Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76320 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Akhmad Rizal Shidiq
"Tulisan ini menemukan bahwa implementasi dari program desentralisasi di Indonesia selama 1999-2002 tidak selalu mencerminkan akuntabilitas yang lebih baik dan mampu membawa keuntungan sosial berdasarkan rent based on transfer arrangement ketimbang sistim sentralisasi dari rejim Orde Barn. Terlihat bagaimana rents based on transfers secara massive di zaman Orde Baru diatur berdasarkan aliansi dari militer, birokrasi, dan kapitalis, yang dengan aturan dan institusinya menangani masalah koordinasi dan meminimasi ongkos politik (political cost). Sebagai hasilnya, pembangunan kapitalis masih nampak. Di lain pihak, desentraUsasi sejak 1999, meskipun secara signifikan telah memindahkan rents based on transfer kepada tingkat lokal (kabupaten), belumfah memperlihatkan tipe baru dari kapitalis yang lebih produktif. Selain itu, desentralisasi, hingga data 2002, meningkatkan biaya dalam niengorganisasikan rents based on transfer yang baru."
2003
EFIN-51-2-Juni2003-177
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Since implementing the decentralization mechanism back in 2001, Indonesia's regionsl province/district/cities have been mushroomed. Having rapid changes in its administrative system has brought may implicationa on how the urban development policy shapes the change of the livelihood. Some of the scholars argue that decentralization process would bring negative aspects. First, the decentralization has brought local government as rent-seeking actors. The second aspect is related to weak government institutions. Third, the decentralization policy has beeb seen as uneven in character, Fourth, decentralization has null effects on urban development....."
PPEM 1:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alifah Pratisara Tenrisangka
"Perpindahan ibu kota sudah mendekati tahapan realisasi yang artinya status Jakarta sebagai Ibu kota akan berpindah ke kota lain. Sebagai ibu kota negara secara a quo, Jakarta telah menjelma menjadi kota metropolitan dengan banyaknya privilege. Bahkan selain menjadi bagian dari kota metropolitan dunia, Jakarta dicanangkan menjadi kota global dunia. Kondisi dan statusnya sebagai ibu kota ini menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota yang mendapatkan privilege berupa diterapkannya desentralisasi asimetris. Namun menjadi pertanyaan besar, setelah tidak lagi menyandang status sebagai ibu kota negara, bagaimana status desentralisasi asimetris yang dimiliki Jakarta? Tulisan ini akan mengupas desentralisasi asimetris untuk Jakarta pasca tidak lagi berkedudukan sebagai ibu kota Indonesia berdasarkan status quo segala fasilitas penunjang dan prospek lainnya yang dimiliki Jakarta.

The transfer of the capital is getting closer to the realization phase, which means that Jakarta’s status as the capital will move to another city. As a quo capital city, Jakarta has been transformed into a metropolitan city with many privileges. In fact, apart from being part of the world’s metropolitan cities, Jakarta is proclaimed to be a world’s global city. This condition and status as the capital city makes Jakarta one of the cities that has the privilege of implementing asymmetric decentralization. However, the big question is, after no longer holding the status of the national capital, how is the asymmetrical decentralization status of Jakarta? This paper will examine the asymmetric decentralization for Jakarta after it is no longer the capital based on the status quo of all supporting facilities and other prospects owned by Jakarta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fery Tri Setyawan
"Penelitian ini mencoba untuk melihat dampak desentralisasi terhadap penyediaan infrastruktur. Menggunakan pendekatan logit, penelitian ini menganalisis pengaruh keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap kualitas jalan antar desa di Indonesia tahun 2011-2018. Hasil estimasi menunjukkan bahwa keberadaan BPD berhubungan positif dengan probabilitas desa memiliki kualitas jalan yang baik. Temuan ini memperlihatkan efek positif dari keberadaan BPD sebagai lembaga demokrasi untuk menyalurkan partisipasi masyarakat, mengawasi kinerja dan meminta pertanggungjawaban pemerintah desa terhadap kualitas jalan. Dengan demikian mendukung studi-studi terdahulu mengenai pengaruh positif desentralisasi terhadap kualitas infrastruktur publik.

This research attempts to investigate the impacts of decentralization on infrastructure provision. By using the logit approach, this research analyzed the influence of the existence of Village Consultative Board (BPD) on the quality of rural roads in Indonesia from 2011 to 2018. The estimation result indicated that the existence of BPD was positively correlated with the probability of villages to have good rural roads. This finding showed the positive impact of the existence of BPD as the democratic institution to engage community participation, supervise the performance of local government, and hold the local government accountable on the quality of the roads. Moreover, it also supported the previous studies dealing with the positive influence of decentralization of the public infrastructure quality."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T54763
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Andayani Budisetyowati
"Dalam upaya menangani masalah aktual dan konseptual otonomi daerah era reformasi, penelitian disertasi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis mengenai (a) keberadaan dan hakikat otonomi daerah, (b) hubungan antara daerah otonom dan pemerintah, dan (c) hubungan antar daerah otonom di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tinjauan dari perspektif Ilmu Hukum Tata Negara. Teori dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Areal Division of Powers (ADP) dari Arthur Maass yang berakar pada Teori Kedaulatan Rakyat. Teori tersebut dapat diaplikasikan pada negara kesatuan ataupun negara federal dengan instrumen utama desentralisasi.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan analisis kualitatif berdasarkan data sekunder berupa bahan hukum pimer, sekunder, dan tersier. Untuk memperkuat analisis, dilakukan kajian pustaka mengenai otonomi di berbagai bentuk negara. Dengan berbagai pertimbangan metodologis secara purposif negara-negara penelitian tersebut adalah Belanda, Inggris, Perancis, Filipina, dan Jepang sebagai negara kesatuan, serta Amerika Serikat dan Jerman sebagai negara federal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa otonomi daerah beserta daerah otonom dan/atau pemerintahan daerahnya di negara kesatuan merupakan ciptaan Pemerintah melalui pembagian kekuasaan menurut wilayah (ADP). keberadaan, status dan lingkup kekuasaan otonomi daerah sepenuhnya bergantung pada ketentuan konstitusi dan berbagai produk hukum penjabarannya. Kekuasaan yang tercakup dalam otonomi daerag, di luar kekuasaan yudikatif. Pembagian kekuasaan diatur dalam undang-undang. Dengan diberikannya kekuasaan yudikatif dalam otonomi khusus merupakan pertanda dilakukannya desentralisasi asimetrik yang lambat laun dapat mengarah kepada terjadinya metamorphose dari negara kesatuan ke negara federasi.
Dalam negara kesatuan, kekuasaan yang diserahkan (didesentralisasikan) kepada daerah otonom tidak bersifat eksklusif. Namun otonomi daerah dapat diperbesar ataupun diperkecil bergantung pada kerangka hukum sebagai hasil konstitusi ketatanegaraan. Hubungan antara daerah otonom dan pemerintah serta antar daerah otonom tidak hierarkis tetapi merupakan hubungan antar organisasi. Namun produk hukum daerah otonom berada di bawah produk hukum pusat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
D1770
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Joko Tri Haryamito
"Fiscal decentralization reform era started since January 1st, 2001, with the implications of changes from central¬ized to highly decentralized. Unfortunately, it led to a greater dependence on the Local Government to Central Govern¬ment through the Intergovernmental Transfers, especially on General Allocation Fund (DAU) and also a few on the Spe¬cific Allocation Fund (DAK) and Revenue Sharing (DBH). Based on that problem, this research aims to describe regional performances since 2008 until 2014, using several indicators and quadrant method approaches. In accordance with the calculation of the ratio of local independence, the majority of regions are in the category of less independent. While using dependency ratio, the majority of regions are in the group of very large dependency and a dependency. From the results of quadrant analysis methods, most regions are in quadrant III, which means to have a high dependence on government assistance. As a policy recommendation, the government needs to evaluate the improvement of the fiscal decentralization in Indonesia."
Jakarta: Kementerian Dalam Negeri RI, 2017
351 JBP 9:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agreta Indah Gusumawati
"Desentralisasi di Indonesia telah mendorong terjadinya pemekaran daerah. Banyak daerah telah memisahkan diri dari kabupaten/kota yang ada dan mendirikan kabupaten/kota baru. Akibatnya, jumlah kabupaten/kota di Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dari 276 (65 kota, 249 kabupaten) pada tahun 1998 menjadi 514 (98 kota; 416 kabupaten) pada tahun 2014. Melalui penelitian ini, kami menganalisis dampak pemekaran daerah terhadap kinerja kabupaten/kota. Secara khusus, dengan menggunakan metode Difference-in-Differences dan data di level kabupaten/kota dari tahun 2001 hingga 2013, kami membandingkan tingkat kinerja yang diukur melalui beberapa indikator layanan publik di kabupaten/kota hasil pemekaran dengan kabupaten/kota yang tidak mengalami pemekaran. Studi mengenai desentralisasi menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat menangani secara kompeten wewenang dan tanggungjawab yang didelegasikan dari pemerintah pusat jika mereka memiliki kapasitas dan sumber daya yang cukup. Oleh karena daerah di perkotaan relatif lebih mampu daripada di daerah kabupaten, maka daerah yang baru dibentuk di daerah perkotaan cenderung berkinerja baik. Dengan demikian, dampak pemekaran terhadap pelayanan publik akan positif di daerah kota dan negatif di daerah kabupaten. Kami menemukan bahwa untuk kabupaten/kota yang dibentuk dari 2001 hingga 2003, sesuai dengan ekspektasi kami, dampaknya cenderung positif untuk kota dan negatif untuk kabupaten. Untuk pemekaran yang terjadi dari tahun 2007 hingga 2009, dampaknya secara statistik tidak signifikan baik untuk kota maupun kabupaten.

Decentralization in Indonesia has led to the concurrence of local government proliferation. Many areas have split from existing municipalities and established new ones. As a result, the number of municipalities in Indonesia has almost doubled from 276 municipalities (65 kota; 249 kabupaten) in 1998 to 514 municipalities (98 kota; 416 kabupaten) in 2014. We analyze the impacts of the proliferation on the performance of municipalities. In particular, using the Difference-in-Differences method and municipality-level data from 2001 to 2013, we examine whether the level of performance–measured by several public service indicators–increased more substantially in newly created municipalities than in municipalities whose boundaries remained unchanged. Studies of decentralization suggest that local governments can competently handle greater tasks they have assumed from the central government if they have sufficient capacity and resources. Since municipalities in urban areas (kota) are on average more capable than those in rural areas (kabupaten), newly created municipalities in urban areas should be able to perform well. Thus, the impacts of the proliferation should be positive in urban areas and negative in rural areas. We find that for municipalities established from 2001 to 2003, consistent with our expectations, the impacts tend to be positive for kota and negative for kabupaten. For the wave of proliferation from 2007 to 2009, the impacts are mostly not statistically significant for both kota and kabupaten."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T52006
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Utari
"Kebijakan desentralisasi Indonesia yang ditetapkan tahun 1999 membawa implikasiterhadap program kementerian dan badan dari tingkat nasional, termasuk programKeluarga Berencana. Penelitian ini melihat implikasi kebijakan desentralisasi terhadapmix kontrasepsi. Data yang digunakan adalah data SDKI tahun 1997, 2003, 2007, dan2012. Pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif memperlihatkan bahwa kebijakandesentralisasi mempengaruhi program KB pada sisi sumber daya manusia,kelembagaan, pendanaan, serta sarana dan prasarana.Mix kontrasepsi merupakan akibat dari keputusan pemilihan kontrasepsi di levelindividu, yang dipengaruhi utamanya oleh persepsi terkait biaya yang dikeluarkan.Sehingga akseptor lebih memilih metode suntik dibandingkan dengan metode lain.Saran yang dapat dirumuskan adalah memasukkan program KB di dalam StandarPelayanan Minimal Kesehatan, sehingga masyarakat tidak perlu mengeluarkan biayauntuk memperoleh layanan KB.

Indonesia`sdecentralization policy established in 1999 has implications for family planningprograms. This study aims to see the implications of decentralization policy oncontraceptive mix. The data used are SDKI data in 1997, 2003, 2007, and 2012. With amixed approach between quantitative and qualitative research, decentralization policyresults have influenced the family planning program on human resources, institutional,funding, and facilities and infrastructure. The variables that influence the selection ofcontraception at the individual level are the perceptions related to the lower costsincurred when choosing injection methods compared to other methods. The suggestionthat can be formulated is to incorporate the family planning program in MinimumService Standards Standar Pelayanan Minimal so that the community does not need tospend the cost to obtain family planning services."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
D2450
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yana Syafriyana Hijri
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peningkatan jumlah pembentukan DOB di Indonesia. Hanya dalam waktu setengah dekade bertambah menjadi lima kali lipat. Kurun waktu 1999-2009 menunjukkan kenaikan yang signifikan, jumlah provinsi naik 27%, kabupaten 70,1%, dan jumlah kota 57,6%. Sampai dengan bulan Juni 2009, telah terbentuk 205 DOB, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Sehingga, total DOB saat ini berjumlah 33 Provinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota, ditambah 5 Kota dan 1 Kabupaten Administratif di Provinsi DKI Jakarta. Adapun kenaikan jumlah pembentukan DOB melalui hak usul inisiatif DPR, meningkat 91% (53 DOB), terdiri dari 1 provinsi, 46 kabupaten, dan 6 kota. Pemerintah sendiri hanya mengusulkan 5 DOB (8,6%), terdiri dari 4 kabupaten, dan 1 kota. Kentalnya faktor politis dalam isu pembentukan DOB masih menjadi hambatan bagi pengendaliannya. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori proses politik dari Roy C. Macridis dan Carlton Clymer Rodee, teori elit dari Vilpredo Pareto, teori pemekaran daerah dari Gabriele Ferrazzi, dan teori primordialisme dari Clifford Gertz dan Ramlan Surbakti.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik analisis deskriptif. Sedangkan teknik pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis, baik risalah rapat Pansus, Panja, Timus Komisi II dan Paripurna DPR RI atau dokumen terkait dari lembaga-lembaga lainnya, termasuk wawancara mendalam dengan anggota Panja Komisi II DPR RI. Temuan dilapangan menunjukkan proses pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah merupakan tuntutan masyarakat melalui tokoh adat, tokoh agama, elit politik dan birokrasi, menggunakan pendekatan formal dan informal untuk mendesak Anggota Komisi II DPR RI segera memprosesnya menjadi hak usul inisiatif. Oleh karena itu, pembentukan DOB merupakan tindakan politis, karena beberapa ketentuan, syarat dan mekanisme administratif seringkali diabaikan. Bahkan tuntutan tersebut juga dipengaruhi adanya kontrak politik elit, transaksi ekonomi politik, dan kepentingan pembentukan daerah pemilihan dalam pemilu. Implikasi teoritis menunjukkan aktualisasi maupun sikap atas perilaku politik seperti dijelaskan Roy C. Macridis dalam tuntutan pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah disampaikan kelompok masyarakat adat dan didukung organisasi agama, menjadi kepentingan bersama untuk mewujudkan keadilan, pemerataan, persamaan, kesejahteraan dan kemakmuran, diagregasikan partai politik di daerah dan pusat agar dapat dibahas melalui mekanisme sistem politik. Kepentingan tersebut terealisasi karena adanya sekelompok elit sesuai dengan pendapat Pareto seperti tokoh adat, agama dan partai politik di daerah dan pusat yang berperan mengawalnya dalam lembaga politik.

This research is motivated by the increasing number of the establishment of DOB in Indonesia. In just a decade it has conducted for five times. The period of 1999-2009 showed a significant increase, up to 27% for the number of provinces, 70.1% for the districts, and 57.6% for the number of cities. As June 2009, has formed 205 DOB, which consists of 7 provinces, 164 countries, and 34 cities. Thus, currently number for total DOB is 33 provinces, 398 districts and 93 cities, plus 5 and 1 District Administrative City in Jakarta. The number of initiative right proposal for DOB establishment through parliaments is increasing as well, 91% (53 DOB), consists of 1 province, 46 districts and 6 cities. The government itself is only proposed 5 DOB (8.6%), consists of 4 districts and 1 city. The strong political factor in the issue of the DOB formation is still an obstacle to its control. As a theoretical foundation, this study uses the theory of the political process from Roy C. Macridis and Carlton Clymer Rodee, elite theory of Vilpredo Pareto, the theory of area of Gabriele Ferrazzi, and primordial theory of Clifford Gertz and Ramlan Surbakti.
This study used qualitative methods, the descriptive analysis techniques. While data collection techniques based on written documents, minutes of meetings with the Special Committee, Working Committee, Drafting Team, the Plenary Commission II of the parliaments, and related documents from other institutions, including in-depth interviews with members of the Working Committee. Field findings show the process of formation of the District Central Mamberamo a requirement of society through traditional leaders, religious leaders, political and bureaucratic elite, using formal and informal approaches to urge Members of Commission II of the parliaments immediately proceed to the right of initiative proposal. Therefore, formation of DOB is a political act, because some of the provisions, terms and administrative mechanism are often overlooked. Even these demands also influenced the contract by the political elite, transactions political economy, and the interests of formation of constituencies in the election. Theoretical implications indicate that the actualization of the political behavior and attitudes as explained by Roy C. Macridis shown in the demand for the District Central Mamberamo delivered and supported indigenous groups of religious organizations, to realize the common interest of justice, equity, equality, welfare and prosperity, aggregated regional and national political party in order to enter the political system mechanism. While the benefit is realized because of the elite group is in accordance with the concept of Pareto, such as the presence of traditional leaders, religious and political parties, whose role is to bring the interests and escorted into the political institutions.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T34986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>