Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 103098 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahmi Jamaludin
"Dalam tesls ini, penulis ingin menjelaskan Kebijakan Luar Négeri Turki dalam mengatasi masalah Kurdi. Tema ini sangat menarik bagi penulis karena masalah Bangsa Kurcli tidak hanya dihadapi oleh negara Turki saja, namun juga melibatkan beberapa negara tetangga Turki yang menghadapi permasalahan dengan Bangsa Kurdi. Dinamika intemal para aktor politik Turki berkenaan dengan perkembangan penanganan masalah Kurdi dan hubungan antamegara dalam mengatasi masalah ini juga menarik untuk disimak, karena berkaitan dengan kepentingan negara masing-masing.
Dengan menggunakan teori Snyder dan Coplin mengenai proses pengambilan keputusan, model proses pembuatap kebijakan luar negeri dari Allison, dan juga didukung oleh pendapat Holsti mengenai interaksi antaraktor serta teori Frankie mengenai faktor ekstemal dalam pembuatan keputusan Iuar negeri, penulis mencoba membahas masaiah tersebut Tesis ini merupakan kajian kualitatif. Penelitian tesis ini adalah deskriptif. Data penelitian diperoieh melalui teknik pengumpulan data kepustakaan. Dari penelitan diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa daIam penyelesaian masalah Kurdi, selain peranan dominan dari kalangan mi1iter, pihak eksekutif dan partai politikjuga memainkan peranan penting dalam penyelesaian masalah tersebut. Hubungan Turki dengan negara- negara tetangga juga sedikit banyak dipengaruhi oleh perkembangan konflik Kurdi di kawasan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umair Shiddiq Yahsy
"Etnis Kurdi sebagai etnis yang heterogen telah terbagi ke dalam dua kelompok dengan identitas yang berbeda. Kelompok yang pertama adalah etnis Kurdi dengan identitas berdasarkan pendekatan objektif atas asal-usul kebangsaan yang statis. Kelompok yang kedua adalah etnis Kurdi dengan identitas berdasarkan pendekatan subjektif yang dinamis bagi setiap anggotanya untuk dapat berubah dan menentukan hidupnya sendiri. Sebagian kelompok Etnis Kurdi dengan karakteristik asal-usul kebangsaan yang berbeda dengan negara dimana tempat mereka tinggal, melalui semangat etnisitasnya tersebut melahirkan konsep etnonasionalisme untuk dapat mempertahankan eksistensi identitas mereka. Di Turki, konsep nasionalisme etnik yang mereka gunakan telah melahirkan konflik, perlawanan dan pemberontakan kepada pemerintah untuk melakukan gerakan separatis dan untuk membentuk negara sendiri dalam satu kesatuan etnisitas yang absolut. Karakteristik etnis berdasarkan asal-usul kebangsaan yang dimilikinya kerap menjadikan komunitas etnis sebagai sebuah kesatuan kelompok yang memisahkan diri dari segala perbedaan. Konsep etnisitas dengan ciri-ciri budaya yang mencakup bahasa, agama dan adat istiadat yang mutlak merupakan cara bagi setiap etnis untuk mengidentifikasi identitas mereka. Namun, identitas etnis tidaklah statis dan akan selau berproses berdasarkan perubahan ciri-ciri kutural yang dinamis. Maka, identitas etnis sesungguhnya juga bergantung pada keinginan setiap anggotanya untuk dapat menentukan nasibnya sendiri.

Kurdish as a heterogeneous ethnic that has been divided into two groups with distinctive identities. The first group is Kurdish who identity based on an objective approach on a static national origin. The second group is Kurdish whose identity is based on a dynamic subjective approach for each member to change and define his own life as a nation or as an ethnic groups. Some groups of Kurds with the characteristics of national origin which differs from the country where they live, through their ethnic spirit gave birth to ethnonasionalism concept to maintain the existence of their identity. In Turkey, the concept of ethnic nationalism that they use has created conflict, resistance and rebellion to the government being a separatist movement and aiming to form their own country in a single ethnicity as a sovereign nation. Ethnicity which is based on nation identity tend to separate from all the differences as an aethnic community. Ethnicity concepts which contain cultural traits including language, religion and customs are absolutely a way for each ethnic to identify themselves. However, ethnic identity is not static and always develops, based on dynamic cultural changes. Therefore, ethnic identity also depends on the willingness of each member in determining their own destiny."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S13363
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ully Nuzulian
"Kebijakan Pemerintah Turki setelah Perjanjian Sevres tahun 1920 banyak diadopsi dari Eropa. Akibat dari pengadopsian ini, segala bentukb pengungkapan diri bagi kaum Kurdi maupun etnis minoritas lain direpresi. Kurdi tidak punya hak berpolitik, tidak punya akses pendidikan, dan informasi. Sebelum tahun 1991, bahasa Kurdi dianggap ilegal. Hingga tahun 1999 masih ada batasan-batasan tertentu bagi etnis Kurdi, misalnya siaran radio Kurdi tidak boleh lebih dari 1 jam per hari; lima hari seminggu. Konflik antara Turki dengan Kurdi terjadi sejak tahun 1984. Kebijakan Pemerintah Turki terhadap etnis Kurdi di Turki Tenggara tidak dapat dilepaskan dari posisi Kurdistan sebagai suatu wilayah yang strategis bagi Turki sebab mengandung sumber daya minyak dan air yang akan selalu mereka upayakan tidak lepas dari genggaman mereka. Tipe penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Data-data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kasus yang ditunjang oleh data dokumen, rekaman fisik dan wawancara yang terkait dengan masalah penelitian. Metode analisis data menggunakan analisis data berbentuk analisis kualitatif dengan model interaktif. Dari data yang diperoleh, dapat diketahui bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Turki untuk menyelesaikan masalahnya dengan etnis Kurdi baik melalui jalan damai maupun kekerasan. Perubahan konstelasi politik dalam negeri Turki ternyata mempengaruhi kebijakan terhadap etnis Kurdi.

Most of the Turkish government policies toward the Kurds after the Treaty of Sevres in 1920, were adopted from Europe. The consequences of these policies, the Kurds and other minorities in Turkey are oppressed. The Kurds do not have the rights for being active in politic, no adequate access to education, and information. Before 1991, Kurdish language was considered illegal. Up until 1999 the Kurds cannot aired their radio for more than 1 hour in five days a week. The conflicts between the Turkish government and the Kurds happened since 1984. The Turkish government policies towards the Kurds, is caused by the strategic geographic position and the natural wealth of Kurdistan. Especially its natural resources such as water and oil, which is very important for Turkey. The methods used for this research is a study case methods with qualitative research. All the data used for this research came from documents, physica records, and interviews. Data analysis methods for this research are qualitative analysis and interactive model. From the data obtained, it can be seen every efforts that had been done by the Turkish government in order to deal with the Kurdish situations, both by the use of force and through negotiations. The changing political situation in Turkey also influenced the Turkish government policy toward the Kurds."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 24320
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Era Bawarti
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S8315
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengapa Turki menerapkan kebijakan luar negeri untuk menyepakati kerjasama dengan Uni Eropa menerima imigran ireguler yang ditolak oleh Uni Eropa dan membendung arus imigran ireguler ke Eropa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis studi kasus. Jumlah imigran ireguler ke Eropa dan Turki semakin meningkat seiring dengan berlangsungnya Arab Spring terutama sejak pecahnya perang sipil di Suriah. Peningkatan jumlah imigran ireguler ke Eropa dapat memunculkan beberapa masalah stabilitas sehingga mendorong Uni Eropa untuk meminta bantuan Turki dalam membendung aliran imigran ireguler melalui kerjasama. Turki yang kekuatannya tidak sebesar Uni Eropa dan sebagai penampung pengungsi terbanyak menyepakati kerjasama tersebut. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Turki menyepakati kerjasama berdasarkan pertimbangan pengambilan kebijakan luar negerinya yang dipengaruhi oleh situasi pembuatan keputusan, faktor psikologi, faktor internasional dan faktor dalam negeri. Lebih khusus,Turki menggunakan kerjasama ini untuk memperoleh keuntungan antara lain bantuan dana, penguatan kerjasama ekonomi melalui Customs Union, tindakan kemanusiaan bagi pengungsi Suriah dan yang terpenting adalah aksesi masuk dalam keanggotaan Uni Eropa serta pembebasan visa bagi warga Turki yang berkunjung ke wilayah Schengen.

ABSTRACT
This study discusses why Turkey implemented their foreign policy for dealing with EU to accommodate rejected irregular migrants from Europe and combat irregular migrants flow to Europe. This study is using qualitative method with case study approach. The number of irregular migrants are increasing during Arab Spring especially since Syrian civil war began. This condition may bring problems for European stability. Therefore the EU includes Turkey in a deal to manage irregular migrant issue. Turkey which has their own migrant issues as host of country with the largest refugee population in the world, ends up making agreement on this deal. The result of the study shows that Turkey made agreement with EU on their basis of their foreign policy considerations which are affected by decission environment, psychological factors, international factors, and domestic factors. Turkey using this issue to get some interests such as humanitarian assistances, strengthen economy coorporation through Customs Union, humanitarian action for syrian refugees and most importantly to get accession to EU and visa liberation for Turkey citizen to visit Schengen area."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiyan Nooryan Putera Pikoli
"Penelitian ini menganalisis perubahan kebijakan luar negeri Turki terhadap Suriah. Analisis dalam penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang melandasi Turki mengubah kebijakan luar negerinya sejak konflik sipil terjadi tahun 2011 di Suriah. Tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berdasarkan pada causal process tracing sebagai teknik analisis data. Dengan kerangka analisis politik luar negeri, penelitian ini menemukan adanya faktor internal dan eksternal sebagai pembentuk perubahan kebijakan luar negeri. Faktor internal terdiri dari isu politik identitas, pragmatisme ekonomi, dan peran kelompok kepentingan. Kemudian, faktor eksternal terdiri dari ancaman eksistensial, guncangan eksternal, desakan publik, dan persaingan di kawasan. Berdasarkan perangkat analisis tersebut, penulis menyimpulkan bahwa perubahan sikap Turki dilandaskan pada kepentingan nasionalisme Turki yakni mencegah terbentuknya Negara Kurdi di Suriah Utara, mengendalikan kelompok Islam Radikal di Suriah, membentuk pemerintahan baru di Suriah sesuai dengan kehendak Turki, menguasai akses sumber energi di Suriah, dan melindungi wilayah kedaulatannya dari ancaman dan efek limpahan konflik Suriah. Berdasarkan hasil analisis tersebut, penelitian ini menawarkan dua rekomendasi penting. Pertama, secara akademik yang menawarkan penyempurnaan lebih lanjut dari teori perubahan politik luar negeri dengan menggabungkan pendekatan berbasis struktur dan agen. Kedua, rekomendasi kebijakan yang menawarkan secara idealitas bahwa Turki harus mengembalikan karakteristik politik luar negeri Zero Problem with Neighbour yang cenderung mengedepankan soft power dibanding hard power.

This study analyzes the changes in Turkey's foreign policy towards Syria. The analysis in this study identifies the causal factors that underlie Turkey's change in its foreign policy since the civil conflict occurred in 2011 in Syria. This thesis uses a qualitative research method based on causal process tracing as a data analysis technique. With the framework of foreign policy analysis, this research finds internal and external factors as the shapers of foreign policy changes. Internal factors consist of identity politics, economic pragmatism, and the role of interest groups. Then, external factors consist of existential threats, external shocks, public pressure, and competition in the region. Based on this analysis, the authors conclude that Turkey's policy changes are based on the interests of Turkish nationalism, namely preventing the formation of a Kurdish State in Northern Syria, controlling Radical Islamic groups in Syria, forming a new government in Syria under Turkey's will, controlling access to energy sources in Syria, and protect its sovereign territory from the threats and spillover effects of the Syrian conflict. Based on the analysis results, this study offers two important recommendations. First, academically that offers a further refinement of the theory of foreign policy change by combining a structure-based and agency-based approach. Second, policy recommendations offer ideals that Turkey must restore the characteristics of a "Zero Problem with Neighbor" foreign policy, which tends to prioritize soft power over hard power."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Uus Usman
"Bentuk dasar strategi kebijakan luar negeri Turki yang tertuang dalam program kerja pemerintahan koalisi DSP-MI-IP-ANAP maupun pemerintahan AKP sebagai penggantinya tetap mengutamakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta diorientasikan untuk berintegrasi dengan negara-negara Barat. Prinsip dasar "peace at home, peace in the world" yang merupakan motto Bapak pendiri Turki Kemal Ataturk secara konsisten tetap menjadi landasan utama dalam implementasi kebijakan politik luar negerinya tersebut. Dalam hal ini, Turki telah mengalami sejarah yang cukup panjang dalam hal kerjasama dengan negara-negara Barat dan Amerika. Seperti pada awal terjadinya krisis di kawasan Teluk, Turki telah mengambil sikap yang tegas sejalan dengan sikap negara-negara barat dan Amerika.
Selain itu, AS secara intensif turut membantu dalam hal menekan negara-negara Eropa terhadap proses keanggotaan Turki di EU dan berusaha memfasilitasi proses perdamaian dalam persengketaan di Pulau Siprus, serta membantu Turki dalam upaya menekan aksi-aksi pemberontakan suku Kurdi (PKK) di perbatasan. Gambaran situasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa bentuk kebijakan politik luar negeri yang dihasilkan oleh pemerintahan Turki dan AS mengarah pada sebuah bentuk konformitas dan saling memberikan dukungan pada politik luar negeri masing-masing kedua negara.
Akan tetapi, perbedaan pendekatan dalam menyikapi masalah krisis Irak yang semakin menonjol pada akhir tahun 2002 lalu, menjadi titik balik dalam hubungan kedua negara. Kampanye perang AS terhadap Irak yang ditanggapi secara hati-hati oleh pemerintah baru Turki (AKP), semakin memperlebar jurang pemisah dalam hubungan strategis kedua negara. Seperti diketahui, parlemen Turki menolak membuka front utara dari Turki bagi pasukan AS untuk kepentingan penyerangan ke Irak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi para pembuat kebijakan Turki (Parlemen) hingga memutuskan untuk menolak draft penempatan pasukan AS di wilayah Turki untuk kepentingan invasi ke Irak ketimbang mendukungnya. Gambaran tentang pergeseran arah kebijakan politik luar negeri tersebut di atas ditinjau dari sisi persepsi sebagian besar anggota Parlemen sebagai sekelompok pemegang kebijakan, yang memberikan tanggapan dan penilaian pada realitas invasi AS sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
Temuan dalam tesis ini antara lain menyebutkan bahwa dengan Keputusan Parlemen Turki (TGNA) yang menolak kedatangan 62.000 pasukan militer AS yang akan ditempatkan di tapal batas dengan Irak, merupakan sebuah akibat dari persepsi negatif yang terbentuk dikalangan mayoritas anggota Parlemen terhadap rencana invasi Amerika. Terbentuknya persepsi negatif tersebut disebabkan oleh serangkaian citra tentang realitas invasi yang ternyata dianggap telah melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip Dewan Keamanan PBB, tidak sesuai dengan sikap mayoritas mayarakat Turki yang menentang perang, memperbesar kekhawatiran akan terjadinya destabilisasi suku Kurdi di wilayah perbatasan serta membangkitkan kembali kenangan masa lalu dimana Turki mengalami kerugian ekonomi setelah bersekutu dengan Amerika Serikat pada krisis Teluk Persia 1991.

Basic strategy of the Turkish foreign policy mentioned in its action plan of coalition government among Democratic Left Party (DSP) Nationalist Movement Party (MI-IP) Motherland Party (ANAP) as well as Justice and Development Party (AKP)'s government as the subsequent administration mainly exercises "Free and Active" policy and western-orientation. "Peace at home, peace in the world" as the basic principle developed by Turkish founding father, Kemal Attaturk, consistently remains the major foundation in implementing its foreign policy. In this regard, Turkey has a long history in building a close relationship with West and United States of America (US). At the beginning of the taking place a crisis in Gulf region, for the example, Turkey adopted a firm behavior, which was in harmony with the policy taken by West countries and US.
In addition, US intensively supports Turkey in giving pressure toward European Union (EU) related with Turkey's membership in EU and mediates peace process concerning Cyprus dispute as well as helps Turkey to press rebel actions of Kurds in the border line. The condition mentioned above indicates that resulting foreign policy between Turkey and US tends to form conformity one and support each other.
However, different approach in responding Iraqi crises dominantly at the end of 2002 became a turning point in the relationship of both countries. War campaign of US against Iraq responded carefully by the new administration in Turkey (AKP) widened some discrepancy concerning a strategic relationship of the countries. As we know, Turkish parliament refused to provide its land for US troops to attack Iraq from north front.
This research aims to describe factors influencing the decision makers of the Turkish parliament so that it decided to refuse a draft of the US troop deployment in Turkish Land for the sake of attacking Iraq rather than supporting it. The writer describes that shift in Turkish foreign policy from the perception of major Turkish parliament member's point of view as a group of decision makers providing respond and judgment on US invasion.
Findings of his research conclude that Decision of Turkish Parliament (TGNA) opposing the deployment of 62.000 US military troops positioned in Turkey's border line with Iraq was a result of negative perception of Turkish Parliament member majority regarding US attack plan. That perception is due to a set of images on US invasion having been regarded in violation of US Security Council values and principles, disagreement with the majority of Turks aspiration who opposed the invasion, enlarging fear of destabilization among Kurds in the border line as well as reviving past experience in which Turkey got a loss when the country allied US during Gulf Crises of 1991.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lalu Muhamad Iqbal
"Keterlibatan Indonesia di Timor Timur secara de facto berlangsung sejak tahun 1974 hingga tahun 1999. Namun demikian, periode tersebut bukanlah periode dengan pola kebijakan dan pengambilan kebijakan luar negeri yang konsisten serta teratur. Sekurangnya terdapat lima periode panting dalam kebijakan luar negeri Indonesia terhadap masalah Timor Timur yang memperlihatkan iregularitas serta inkonsistensi dalam pola pengambilan kebijakan serta kebijakan yang dihasilkannya. Periode tersebut adalah periode tahun 1974-1983, 1983-1989, 1989-1991, 1991-1997 serta 1997- 1999. lregularitas yang terjadi pada tiap periode tersebutlah yang menjadi concern dari penelitian ini.
Penelitian ini berusaha untuk mencari jawaban mengenai faktor apakah yang secara dominan mempengaruhi iregularitas tersebut. Diajukannya military industrial complex sebagai unit eksplanasi untuk menjawab pertanyaan tersebut, terutama didasari pertimbangan bahwa belum ada peneliti Iainnya yang melihat persoalan Timor Timur dari sudut tersebut, disamping karena military industrial complex menjanjikan sebuah jawaban yang lebih komprehensif, yang banyak melibatkan story behind the story, bagi persoalan tersebut.
Eksplanasi di dalam penelitian ini diiakukan dengan mengajukan tiga pertanyaan dasar yaitu "siapa(kah)" yang termasuk dalam unsur military
industrial complex, "apa(kah)" kepentingan dari unsur-unsurnya tersebut, dan dengan cara "bagaimana(kah)" unsur-unsur tersebut mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri indonesia dalam masalah Timor Timur?
Sumber yang digunakan dalam peneiitian ini adalah sumber-sumber primer, yaitu wawancara langsung dengan tokoh-tokoh dari berbagai kelompok yang terlibat dalam masalah Timor Timur serta menyaksikan langsung berbagai konstalasi politik yang terjadi di Timor Timur terutama selama periode Juli sampai dengan September 1999, sebeium hingga setelah pelaksanaan jajak pendapat. Sementara itu sumber-sumber sekunder diperoleh dari berbagai buku, majalah, jurnal, dan koran. Untuk menjaga aktualita data, penulis juga banyak menggunakan data-data dari berbagai situs intemet terutama yang berkaitan arm transfer baik kualitas maupun kuantitasnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Mossadeq Bahri
"ABSTRAK
Untuk saat ini, karena Jepang telah diterima dan diakui sebagai salah satu anggota dari kelompok negara adidaya dan maju, maka adalah penting baginya untuk terlibat dan bersaing dengan negara adidaya lain dalam kerangka dunia yang dikuasai dan diperintah oleh aturan dari negara-negara Barat. Oleh karena itu, sebagai partisipan baru dalam masyarakat internasional (setelah 1952, perjanjian San Fransisco) Jepang harus banyak belajar dari Barat dalam menjalankan kebijakan hubungan budaya antar bangsanya, terlebih lagi pada akhirnya, menciptakan gaya dan caranya sendiri.
Sepanjang menyangkut hubungan budaya antar bangsa yang Jepang jalankan, kita melihat bahwa strategi yang diambil adalah menjalankan kebijakan hubungan budaya antar bangsa yang menyeluruh sifatnya. Dalam hal ini, wilayah yang tercakup adalah menyebar untuk seluruh penjuru dunia. Meskipun. demikian, Jepang tetap juga menjadi daerah Asia Timur, Asia Tenggara, Amerika Utara dan Eropa Barat sebagai tempat strategis bagi program hubungan budaya antar bangsanya. Hal ini bisa dimengerti, sebab wilayah ini merupakan partner dagang Jepang yang paling utama.
Ide dari berbagai program dan kegiatan yang dijalankan Jepang dalam hubungan budaya antar bangsa ini pada dasarnya bisa dilihat dari Laporan Akhir Komite Penasehat Hubungan Budaya Antar Bangsa pada bulan Mei 1989. Laporan final inilah yang menjadi rambu atau pedoman bagi Jepang dalam menciptakan kebijakan guna menjalankan hubungan budaya antar bangsa. Dengan demikian, bagi Jepang, hubungan budaya antar bangsa merupakan aktifitas yang diakui sebagai alat untuk mempertahankan keberadaan nasionalnya. Hubungan budaya antar bangsa yang tercipta ini beroperasi dalam berbagai cara, seperti jaringan uang, jaringan barang dan jaringan informasi.

ABSTRACT
Because Japan in contemporary history was accepted and admitted as a member of powerful and advanced industrialized countries, it was important for her to get involved and to compete with other powers in a situation wherein the rules were established by the Western industrialized countries. Therefore, as a new participant in the international community she had to learn the way to conduct cultural relations and eventually develop her own approach.
As far as cultural relations between Japan and other countries is concerned, we note that the strategy of her cultural relations was its wide-ranging geographical area coverage. However, Japan have choosen to focus on the strength of her cultural relations towards certain regions that serve her economic interests, namely, Southeast Asia, Western Europe, North America and East Asia. This situation can readily be understood because these regions are part of the major trading partners for Japan.
The idea that culture is important for Japan's foreign policy can be seen from the policy statements of the Advisory Group on International Cultural Exchange in May 1989. The Committee issued its final report describing a guide-line Japan is expected to follow in promoting her international cultural relations. Therefore, for Japan, international cultural relations is an activity that is recognised to sustain its national well-being. The exchanges in operating cultural relations are composed of various flows, e.g. flow of goods, money, and the flows of information."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>