Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163603 dokumen yang sesuai dengan query
cover
B.Y. Eko Budi Jumpeno
"Pembangunan Kawasan Reaktor Nuklir GA. Siwabessy di Serpong, Jawa Barat yang meliputi juga Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy didasarkan pada pertimbangan bahwa teknologi nuklir memiliki suatu manfaat yang besar bagi pembangunan. Walaupun demikian paparan radiasi nuklir dan kontaminasi zat radioaktif dalam operasi normal maupun pada kasus kecelakaan, terutama terhadap kesehatan dan keselamatan manusia merupakan risiko penggunaan teknologi nuklir, sehingga pembangunan dan pengoperasian suatu instalasi nuklir -termasuk Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy-, selalu berpedoman pada tiga asas yaitu justifikasi, optimisasi (ALARA) dan limitasi. Selain itu diperlukan suatu studi AMDAL yang juga meliputi rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan Iingkungan (RPL) dan sudah dilakukan di Kawasan Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy. Paparan radiasi nuklir dan kontaminasi zat radioaktif dapat terjadi di kawasan Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy sehingga diperlukan upaya pemantauan konsentrasi zat radioaktif di udara. Pemantauan secara periodik diperlukan untuk mendeteksi sedini mungkin terjadinya Iepasan zat radioaktif ke Iingkungan melalui cerobong atau lepasan zat radioaktif dalam udara ruangan kerja pada kondisi operasi normal sehingga bila terjadi peningkatan lepasan dapat segera dilakukan tindakan pengurangan atau penghentian operasi. Selain melaksanakan pemantauan secara teratur, Batan melalui SK Dirjen Batan No. PN 03/160/DJ/1989 telah menetapkan tingkat konsentrasi radioaktivitas dalam udara yang diperkenankan berdasarkan rekomendasi International Commission on Radiological Protection (ICRP Publication 26, 1977). Tingkat konsentrasi radioaktivitas di udara ini berkaitan dengan nilai limit on intake (ALI) pada jalur inhalasi dan kapasitas paru-paru pekerja radiasi dan anggota masyarakat. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan ialah rekomendasi-rekomendasi yang telah diadopsi oleh Batan dari ICRP didasarkan pada perhitungan risiko yang menggunakan data fisiologi standar yang sebagian besar merupakan data manusia ras Kaukasus. Berdasarkan studi lanjut pada korban radiasi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, ICRP menerbitkan rekomendasi keselamatan radiasi yang baru dalam ICRP Publication 60 tahun 1990, di mana salah satu butir rekomendasinya ialah pengurangan nilai batas dosis dari 50 mSv/tahun menjadi 20 mSv/tahun. Seperti pada ICRP Publication 26 tahun 1977, penentuan batas-batas standar keselamatan juga didasarkan pada standar fisiologi ras Kaukasus dan ditambah standar fisiologi manusia Jepang. Namun demikian rekomendasi keselamatan yang terakhir masih menjadi bahan studi negara-negara pemilik fasilitas nuklir.
Salah satu aspek penting yang perlu dicermati dari rekomendasi batas dosis pada ICRP Publication 60 tahun 1990 yang boleh diterima oleh manusia adalah apakah desain sistem keselamatan yang diterapkan pada saat ini memenuhi kriteria tersebut. Apabila desain sistem keselamatan tidak memenuhi kriteria maka konsekuensi logisnya adalah perubahan desain keselamatan yang bemilai ekonomi sangat besar. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian aspek-aspek yang terkait dengan keselamatan. Kegiatan studi paparan internal pada jalur inhalasi menempatkan kondisi Iingkungan faktual pads saat Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy dalarn keadaan beroperasi yang meliputi :
1. Definisi kapasitas paru-paru para pekerja di kawasan
2. Rentang fluktuasi lepasan radionuklida di kawasan
3. Prediksi dosis interna yang disebabkan oleh paparan radionuklida yang terdeposisi di dalam tubuh melalui jalur inhalasi.
Penelitian dan kajian dalam Studi Paparan Interna pada Jalur lnhalasi di Kawasan Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy bertujuan untuk mendapatkan data kapasitas paru-paru pekerja di kawasan, untuk mendapatkan data jenis dan kadar radionuklida di udara kawasan, dan untuk memprediksi dosis interna yang diterima para pekerja. Data tersebut sangat berguna untuk mengevaluasi desain keselamatan Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy baik yang mengacu pads ICRP Publication 26 tahun 1977 maupun ICRP Publication 60 tahun 1990 serta mengevaluasi prosedur-prosedur keselamatan yang diterapkan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan hipotesis penelitian ini sebagal berikut:
Pertama; kapasitas paru-paru seseorang ditentukan oleh faktor jenis kelamin, umur, berat dan tinggi badan, serta kondisi kesehatan seseorang. Ras dan kondisi kesehatan seseorang diduga sangat menentukan nilai kapasitas paru-paru.
Kedua; konsentrasi radioaktivitas di udara dipengaruhi oleh tinggi cerobong lepasan, dan faktor cuaca seperti kecepatan angin dan curah hujan. Tetapi faktor cuaca tersebut berlangsung sangat acak. Rentang maksimum diduga pada kondisi kecepatan angin rendah dan kondisi tidak hujan. Sedangkan rentang minimum diduga terjadi pada kondisi angin bertiup kencang dan kondisi sesudah hujan deras.
Ketiga; prediksi dosis interna melalui jalur inhalasi ditentukan oleh kapasitas paru-paru yang meliputi kapasitas fungsional residu, volume ruang mati dan volume tidal; konsentrasi radioaktivitas di udara; diameter partikel radionuklida; laju pernapasan dan dimensi saluran pernapasan yang meliputi diameter trakea dan diameter bronkiolus. Sumbangan masing-masing parameter tersebut terhadap nilai dosis interna berbeda-beda. Diduga pengaruh terbesar diberikan oleh diameter trakea, diameter bronkiolus dan diameter partikel radionuklida yang terdeposisi di dalam tubuh.
Studi paparan interna pada jalur inhalasi ini dilaksanakan di Kawasan Reaktor Nuklir G.A Siwabessy dalam radius sekitar 500 meter dari reaktor.
Pengambilan sampel udara Iingkungan dilakukan pada enam titik pengukuran dengan memperhatikan arah angin dominan yaitu pada arah tenggara sampai selatan, sedangkan para pekerja yang diukur kapasitas paru-parunya meliputi juga pengukuran laju pernapasan berasal dari Pusat Reaktor Serbaguna G.A. Siwabessy sebagai responden di dalam gedung reaktor dan dari Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif untuk responden di Iuar gedung reaktor.
Teknik analisis data yang digunakan ialah analisis statistik sederhana untuk menghitung kapasitas paru-paru para pekerja, analisis spektroskopi nuktir untuk mengidentifikasi radionuklida dan menentukan konsentrasi radioaktivitasnya, analisis grafik untuk menentukan nilai activity median aerodynamic diameter (AMAD) serta penggunaan perangkat iunak LUDEP (Lung Dose Evaluation Program) 2.0 untuk memprediksi dosis interna. Parameter-parameter yang menjadi input dalam perhitungan dosis interna menggunakan LUDEP 2.0 ialah kapasitas paru-paru, dimensi saluran pernapasan, laju pernapasan; konsentrasi radioaktivitas di udara serta diameter partikel radionuklida.
Pada penelitian ini diperoleh hasil nilai median kapasitas vital para pekerja di Kawasan Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy sebesar 3,15 liter untuk pria dan 2,20 liter untuk wanita. Sedangkan nilai median volume tidal untuk pria ialah 1,04 liter dan untuk wanita sebesar 0,88 liter. Sementara di udara kawasan tersebut teridentifikasi radionuklida Thallium-208, Plumbum-212 dan Plumbum-214 yang berasal dari alam pada konsentrasi di bawah lima Bq/M3.
Sedangkan hasil perhitungan dosis interna oleh para pekerja menggunakan perangkat lunak LUDEP 2.0 diperoleh penerimaan dosis efektif tertinggi untuk seluruh tubuh sebesar 3,097mSv/tahun pada radius 150 arah selatan tenggara gedung reaktor.
Berdasarkan pengukuran, perhitungan dan kajian yang telah dilakukan dapat disampaikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Kapasitas paru-paru para pekerja di Kawasan Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy relatif lebih kecil dibandingkan dengan kapasitas paru-paru manusia ras Kaukasus yang dipakai sebagai standar ICRP. Hal ini dapat dilihat pada nilai perbandingan kapasitas vital para pekerja di kawasan tersebut terhadap kapasitas vital manusia ras Kaukasus yang dipakai sebagai standar ICRP yang nilainya lebih kecil dari satu.
Di udara ruang kerja Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy dan di lingkungan luar reaktor pada radius 500 meter tidak ditemukan adanya radionuklida hasil fisi maupun hasil aktivasi, namun terdeteksi adanya radionuklida Thallium-208, Plumbum-212 dan Plumbum-214 yang berasal dari alam pada konsentrasi lebih kecil dari lima Bq/M3 udara. Dengan demikian pengoperasian Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy tidak menimbulkan efek peningkatan radioaktivitas pada Iingkungan udara di kawasan tersebut.
Hasil prediksi perhitungan penerimaan dosis interna melalui jalur inhalasi selama satu tahun untuk konsentrasi radioaktivitas di udara dan ukuran AMAD yang sama, ternyata berbeda pads masing-masing pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa nilai kapasitas paru-paru, nilai dimensi saluran pernapasan dan nilai laju pernapasan yang menjadi input perhitungan dosis mempengaruhi penerimaan dosis intema melalui jalur inhalasi, walaupun tingkat pengaruhnya berbeda-beda untuk masing-masing parameter. Berdasarkan perhitungan tersebut penerimaan dosis efektif interna tertinggi nilainya hanya dalam orde 10 mSv. Apabila dibandingkan dengan penerimaan dosis eksterna tertinggi selama satu tahun yang nilainya adaiah 6,28 mSv, sumbangan dosis interna melalui jalur inhalasi terhadap keseluruhan penerimaan dosis tidak signifikan. Nilai ini juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan batas penerimaan dosis tertinggi tahunan menurut ICRP Publication 60 yaitu sebesar 20 mSv yang merupakan gabungan dosis intema dan dosis ekstema.
Dari hasil penelitian ini juga terdapat beberapa saran yang baik bagi pengelola Kawasan Reaktor Nuklir G.A. Siwabessy maupun bagi para peneliti lain yang akan melakukan kajian lebih lanjut mengenai radioaktivitas di udara kawasan tersebut sebagai berikut: Untuk memperoleh hasil yang lebih baik pada pengukuran konsentrasi radioaktivitas di udara diperlukan waktu sampling dan waktu pencacahan yang lebih lama. Studi yang dilakukan dalam penelitian ini dapat digunakan dalam kajian keselamatan radiasi suatu instalasi nuklir; khususnya berkaitan dengan paparan interna melalui jalur inhalasi.

The development of G.A. Siwabessy Nuclear Reactor Area at Serpong, West Java including G.A. Siwabessy Nuclear Reactor was based on thought that nuclear technology would benefit the nation. However, the effect of nuclear radiation exposure and radioactive contaminant in normal operation or accident cases, especially for human health and safety, are the risks introduced by the application of nuclear technology, so the development and operation of nuclear installations - including G.A. Siwabessy Nuclear Reactor - always take three principles namely justification, optimization (ALARA) and limitation. Beside, it is necessary to carry out study of analysis for environmental impact (AMDAL) including environmental management plan (RKL) and environmental monitoring plan (RPL) and this activity has already done at G.A. Siwabessy Nuclear Reactor.
Nuclear radiation exposure and radioactive contaminant of the G.A. Siwabessy Nuclear Reactor area are necessary to be monitored. Regular monitoring is needed to detect the releasing of radionuclide into the air or working room at normal condition as early as possible. If the radioactive release improved, the operation could be reduced or stopped. Based on Director General Decree Number PN 03/160/DJ/1989, Batan has made a regulation on the limit of radioactive concentration in the air based on ICRP recommendation (ICRP Publication 26, 1977). The limit of radioactive concentration in the air is related to the limit of intake (ALI) of inhalation pathway and lung capacity of workers or members of public. It is necessary to know that the recommendations adopted Batan from ICRP are based on risk calculations using standard physiological data which much of them are the Caucasian data. Based on advanced researches of atomic bomb victims in Hiroshima and Nagasaki, ICRP published the new radiation safety recommendations in the ICRP Publication 60 year 1990. One of the recommendations is reduction of dose limit from 50 mSv/year to 20 mSv/year. As the recommendations in the ICRP Publication 26 year 1977, the safety standard limits are based on the physiological standard of the Caucasian with additional consideration of physiological standard of the Japanese. However, the recommendations are still assessed by countries which have nuclear facilities.
One of important aspects of dose limit in the ICRP Publication 60 year 1990 is whether the safety system design fulfils the criteria. if the safety system doesn't fulfill the criteria so its consequence is expensive safety design change.
Third, internal dose prediction through inhalation pathway is determined by lung capacity including residual functional capacity, dead space and tidal volume; concentration of radioactivity in the air, diameter of radionuclide particle; rate of respiration and also dimension of respiratory tract including diameter of trachea and diameter of bronchioles . The contribution of each parameter to the internal dose is different. It is estimated that the most influence is contributed by diameter of trachea, diameter of bronchioles and diameter of radionuclide particle deposited in the body.
Study of internal dose at inhalation pathway was carried out in radius 500 meters from reactor. Air sampling was taken at six points by south east to south west wind direction. Meanwhile, the measurement of lung capacity of workers including the rate of respiration was carried out at G.A. Siwabessy Multi Purpose Reactor Centre and Radioactive Waste Management Centre.
Simple statistic is applied to analyze lung capacity of workers; Nuclear spectroscopy method is used for identifying radionuclide and determining its concentration. Curved analysis is used for determining activity median aerodynamic diameter (AMAD). The effective internal dose was calculated by using software LUDEP (Lung Dose Evaluation Program) 2.0. with input of inhalation parameter including lung capacity, dimension of respiratory tract and rate of respiration. The concentration of radioactivity in the air and diameter of radionuclide particle are the other input parameters.
The study reported that vital capacity median of workers is 3.15 liters for male and 2.20 liters for female. Meanwhile, tidal volume for male is 1.04 liters and it is 0.88 liters for female. Thallium-208, Plumbum-212 and Plumbum-214 from natural radioactivity at concentration under five Bq/M³ are identified in the air of G.A. Siwabessy Nuclear Reactor Area. Meanwhile, maximum body effective dose calculated using LUDEP2.0 is 3.097E-1 mSv/year at 150 meters from reactor in south-south east direction.
The conclusions of this research are as follows:
Lung capacity of workers at G.A. Siwabessy Nuclear Reactor Area is lower than the Caucasian lung capacity. It could be seen from comparative vital capacity value which is lower than one.
There are no fissile and activated products indoor and outdoor at radius 500 meters. However, it is detected the existence of Thallium-208, Plumbum-212 and Plumbum-214 from natural radioactivity by concentration lower than five Bq/M³. So that, the operation of G.A. Siwabessy Nuclear Reactor does not cause the radioactive increment to the air.
The calculation of annual body effective internal dose prediction for the same radioactive concentration and AMAD based on LUDEP 2.0 is different for each worker. This shows that lung capacity, dimension of respiratory tract and rate of respiration influence effective internal dose. Maximum effective internal dose received is approximately 10 mSv, compared to maximum external effective dose of 6.28 mSv, this contribution to total effective dose is not significant. According to ICRP
Publication 60, the value is much lower than the annual permissible maximum dose (20 mSv) representing for internal and external dose.
Results of the study suggests as follows :
1. To get the better results in measurements of radioactive concentration in
the air it is suggested to take more time of sampling and counting in order.
2. This study can be used for the assessment of radiation safety around nuclear installations, especially for the internal dose through inhalation pathway.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riyanto
"Radiografer secara umum mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan pasien secara radiografi meliputi pemeriksaan untuk radiodiagnostik termasuk kedokteran nuklir dan ultrasonografi (USG) dan melakukan tindakan proteksi radiasi dalam mengoperasikan peralatan radiologi. Penelitian ini bertujuan memprakirakan risiko pajanan radiasi sinar-X pada pekerja radiasi di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dalam perhitungan prakiraan risiko pajanan radiasi sinar-X, dosis pajanan radiasi sianr-X radiografer diperoleh dari hasil pengukuran film badge. Data pola aktifitas (lama kerja, frekuensi pajanan dan masa kerja) diperoleh berdasarkan hasil wawancara pada 35 radiografer di Departemen Radiologi RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, nilai rata-rata Excess Cancer Risk (ECR) lifetime (4,8E-2) dan realtime (1,9E-2). Karena secara teoretis karsinogenisitas tidak mempunyai nilai ambang atau non threshold, maka prakiraan risiko dinyatakan unacceptable (dosis tidak dapat diterima) bila ECR < E4. Kisaran angka E-4 diperoleh dari nilai default karsinogenistas yang digunakan oleh US-EPA (1990). Berdasarkan perhitungan ECR lifetime dan ECR realtime diperoleh gambaran prakiraan risiko efek karsinogenik yang terjadi pada radiografer di Departemen Radiologi RSUPN CM, dinyatakan aceptable pada risiko kanker baik pada ECR lifetime maupun realtime.

Radiographer in general have a duty and responsibility to audit includes examined patients for radiodiagnostic including nuclear medicine and ultrasonography (USG), and radiation protection in radiology and operating equipment. This study aims to estimated the risk of X-ray radiation exposure to radiographer in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo using Environmental Health Risk Analysis (ARKL). In calculating the estimated risk forecasts ARKL, risk of X-ray radiation exposure dose radiographer obtained from measurements of the film badge. Data patterns of activity (duration of work, frequency of exposure and years of work) obtained based on the results of a survey of 35 radiographers in the Department of Radiology RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Based on the calculations performed, the average value of Excess Cancer lifetime Risk (ELCR) is 4,8E-2 and the value of Excess Real-time Cancer Risk (ERRC) the average is 1,9E-2. Because theoretically carcinogenicity has non-threshold value, then the forecast is declared unacceptable when ECR < E-4. Range of numbers obtained from the E-4, carcinogenicity default values used by the US-EPA (1990). Based on the calculation of the ELCR and ERCR forecasts illustrate the risk of carcinogenic effects that occur in the radiographers in the Department of Radiology RSUPN CM, acceptable on cancer risk both in the ELCR and ERRC.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T43374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Supriyadi
"ABSTRAK
In vivo apoptosis of fibroblast pulp cells by ionizing radiation from radiotherapy of the head and neck area has not yet been demonstrated. The study aimed to show in vivo the effect of a single dose of ionizing radiation on apoptosis of fibroblast pulp cells. The sample group consisted of 24 healthy male Wistar rats that were 3-4 months old and 150- 200 g in weight. The rats were divided into 4 groups of 6 rats that were subjected to Cobalt 60 radiation to the head at the levels of 0, 100, 200 or 400 rad. The rats were sacrificed 24 hours after radiation exposure, and the lower incivus were taken for histopatological processing. Apoptosis was detected by using the TUNEL Assay method. The apoptotic fibroblast pulp cells were counted under light microscope by multiple observers using the blind test approach. The fraction of apoptotic cells was counted as mean of labial and palatal sides of the teeth below odontogenic and free-cell zone. The data were statistically analyzed using one-way anova. The results showed the percentage of apoptotic of fibroblast pulp cells was 6.4, 23.7, 34.5 and 17.8% after 0, 100, 200 and 400 rad doses, respectively. There were significant differences in the apoptotic percentages between the four groups (p<0.05). In conclusion, the highest fraction of apoptotic fibroblast pulp cells was found after a single 200 rad dose, and this fraction decreased after a single dose of 400 rad."
[Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember;Journal of Dentistry Indonesia, Journal of Dentistry Indonesia], 2007
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Pekerja wanita usia subur (WUS) sebagai sumber daya manusia utama di banyak industri, rawan terkena anemia. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan status besi pekerja WUS yang anemia atau memiliki hemoglobin (Hb) rendah, yang bekerja di perusahaan pengalengan nanas dengan melakukan suplementasi zat besi. Penelitian ini dilakukan dua periode, menggunakan rancangan acak lengkap buta ganda. Subyek penelitian adalah pekerja WUS yang dibagi menjadi dua grup perlakuan suplemen, yakni grup-BF yang diberi zat besi dan asam folat dan grup-MVM yang diberi multivitamin dan mineral yang mengandung 15 macam vitamin dan mineral termasuk zat besi dan asam folat. Subyek penelitian pada periode-1 sebanyak 25 pekerja WUS sudah menikah (BF=13; MVM=12) dan periode-2 sebanyak 15 pekerja WUS belum menikah (BF=7; MVM=8). Suplementasi dilakukan tiga kali per minggu selama 10 minggu dengan pengawasan. Sesudah suplementasi tingkat Hb, hematokrit (Ht) dan serum feritin grup BF meningkat, sedangkan pada grup MVM ada yang menurun. Peningkatan Hb dan Ht pada yang sudah menikah lebih tinggi dibandingkan yang belum menikah. Namun, Hb tersebut turun saat suplementasi dilanjutkan tanpa pengawasan dan semakin turun saat tidak lagi diberi suplemen. Pemberian suplemen yang mengandung zat besi menjadi keharusan bagi pekerja WUS, karena mereka tidak mampu meningkatkan Hb-nya jika hanya mengandalkan dari makanan.

The Supplementation Effects of Iron and Folic Acid Compared with the Multivitamin and Mineral on Female Workers of Childbearing Age in the Pineapple Agribusiness. Female workers of childbearing age (WUS) as a major of human resources in many agribusiness exposed to anemia. This study aims to improve the iron status of anemic WUS workers with low hemoglobin (Hb) levels, who work in a pineapple agribusiness by iron supplementation. This study was conducted two periods, using a double-blind randomized trial design. Subjects were divided into two treatment groups supplements, namely IF that was given iron + folic acid and MVM that was given multi vitamin and mineral containing 15 different vitamins and minerals including iron and folic acid. The subjects of period-1 were 25 married WUS (IF=13, MVM=12) and of period-2 were 15 single WUS (BF=7, MVM=8). Supplementation performed three times weekly for 10 weeks. After supplementation, the levels of Hb, haematocrit (Hc) and serum ferritin of BFgroup increased, whereas there were declines in MVM-group. The increase in Hb and Hc in married WUS was higher than the single. However, their Hb was fallen down when supplementation was continued without supervision and getting down when not given the supplements anymore. Supplementation with iron is a must for WUS workers, because they are not able to increase their Hb if only rely on their food."
Institut Pertanian Bogor. Fakultas Ekologi Manusia, 2013
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Telah dikembangkan alat yang dapat digunakan untuk membantu menetukan sudut pada pembuatan lead brick (plain brick). Sudut yang dimaksud adalah sudut luar dan dalam pada lead brick (plain brick) male and female yang harus memenuhi standart ISO 7212-1986 dengan toleransi sudut male 90o o+15 dan female 90o o-15. Ketepatan pengerjaan sudut ini menjadi sangat penting untuk menjaga keseimbangan supaya susunan lead brick tidak miring atau rubuh. Oleh karena itu setiap pengerjaannya menggunakan rotary table karena memudahkan dalam setting benda kerja dan kepresisian pengukuran bisa dijaga. Namun dikarenakan banyaknya operator yang belum bisa menggunakan alat ini sebagai alat bantu untuk mencapai toleransi sudut yang disyaratkan, maka diperlukan adanya metode pengukuran yang tepat pada proses machining lead brick menggunakan alat bantu rotary table sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk mencapai tingkat ketelitian sudut 0,03o pada pembuatan sudut luar dan dalam (male and female) lead brick (plain brick)."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ramzy S. Amier
"Sejalan dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2000 perihal Keselamatan dan Kesehatan Terhadap Pemanfaat Radiasi Pengion serta untuk memenuhi persyaratan lulus Contractor Safety Management System, maka sistem manajemen keselamatan radiasi menjadi penting bagi perusahaan yang memanfaatkan radiasi pengion.
Tuntutan implementasi sistem keselamatan menjadi tinggi karena resiko dampak radiasi selain ada yang mempunyai efek langsung ada juga yang mempunyai efek tunda hingga 15 - 25 tahun. Oleh karenanya sistem pantauan pajanan radiasi dan dokumentasinya menjadi sangat penting dan peraturan mensyaratkan dokumentasi wajib disimpang hingga 30 tahun setelah pekerja radiasi berhenti bekerja.
Masalah yang terjadi adalah adanya gap yang melebihi toleransi antara hasil bacaan pajanan radiasi alat pantau radiasi individu pendosimeter yang dibaca oleh pekerja radiasi dengan alat pantau radiasi individu filmbadge yang besar pajanannya dievaluasi oleh BATAN sebagai badan yang terakreditasi.
Oleh karenanya dilakukan studi evaluasi untuk mengetahui hubungan faktor-faktor human error yaitu rule-based, knowledge-based dan skill-based serta audit sistem manajemen keselamatan radiasi sebagai penyebab terjadinya gap bacaan pajanan radiasi analisa dilakukan di PT RUI terhadap 40 orang pekerja radiasi yang bekerja dengan radiasi selama atau diantara bulan Desember 2002 hingga Pebruari 2003.
Hasil analisa diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam program peningkatan keselamatan kerja pada umumnya dan pekerjaan yang berhubungan dengan radiasi khususnva.
Daftar Bacaan : 37 (1976 - 2003)

In line with Government Regulation Number 63 year 2000 Concerning Safety and Health on User of Ion Radiation and to meet the requirement of Contractor Safety Management System. Radiation Management system become an essential thing to company who take an advantage from the radiation.
The requirement of implementing safety management increase due to radiation impact beside direct effect it has also delay effect may take 15 to 25 years. That is why the regulation require have to keep the personal radiation exposure data until 30 years after the employee resign.
Problem arise while the gap is happen between gamma dosimeter evaluated by the employee and filmbadge evaluated by BATAN as authorized body, the reading gap of radiation exposure is more than tolerable value
The aim of applied research is to know the correlation of human error factors thru item rule-based, knowledge-based and skill-based, included the implementation of radiation management system audit as cause factors human error to arise radiation reading gap.
The analysis is conducted at PT RUI for 40 employees who work with radiation during or within December 2002 until February 2003.
The result expected to be used as information to set up or to update safety program for continual improvement. especially on occupation radiation sector.
Bibliography: 37 (1976-2003)
"
Depok: Universitas Indonesia,
T12971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigalingging, Jefri Alfonso author
"Energi merupakan unsur yang selalu berhadapan dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang terdiri dari beberapa jenis, seperti energi potensial, energi mekanik, energi kinetik dan lainya. Kalor juga merupakan energi yang sangat dibutuhkan kemampuan untuk memanfaatkan energi ini. Kalor juga memiliki sifat dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lainya, salah satunya adalah radiasi. Radiasi kalor merupakan sumber energi yang sangat baik untuk dimanfaatkan karena sifatnya yang mampu berpindah tanpa adanya perantara. Namun radiasi juga dapat membahayakan jika fluks kalor yang dipaparkan sangat besar yang mampu memicu penyalaan api pada objek yang terpapar.untuk menghindari hal tersebut maka perlu diantisipasi dengan salah satu cara melakukan pemetaan radiasi kalor pada suatu area tersebut. Pemetaan yang dilakukan terdiri dari beberapa faktor seperti jarak, offset, elevasi dan sudut pandang. Tentu saja jika sumber panas berada pada area fluida menyebabkan adanya pengaruh konveksi pada fluks kalor yang terukur. Kalor yang dihasilkan akan mengubah karakteristik udara disekitar objek yang dipaparkan dan akan membentuk sebuah lapisan batas yang memiliki ketebalan sesuai dengan karakteristik aliran kalor.

Energy is always connected with human life in every day, which is like potential energy, mechanical energy, kinetic energy and others. Heat is also a kind of energy, that rsquo s needed skill and capabilites to use this energy. Heat also has properties that can devolve to others place, one of that is radiation. Heat radiation is a very good energy to be exploited because of the nature characteristics of radiation is being able to move without a medium. However, radiation can also be dangerous if the heat flux is very large which can be triggered ignition fire of the object. To keep those things it is necessary to anticipate, one of them is to make a mapping of radiation in the area. Mapping consists of several factors such as distance, offset, elevation and view factor. Of course, if there is heat in the fluid region it will cause influence of convection in measurable heat flux. The heat produced of the heater will change the properties of air around exposed object and will form a layer that has a thickness according to the heat flow."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti Tri Kusumawati
"Latar Belakang: Tingginya pertumbuhan kasus keganasan ginekologi dan organ panggul menyebabkan penggunaan terapi radiasi meningkat. Akan tetapi, terapi radiasi juga cukup banyak menimbulkan proktitis radiasi sebesar 30%. Tatalaksana menggunakan agen topikal seperti SCFA, sukralfat, steroid, formalin, dan 5-ASA diketahui memiliki hasil yang baik, namun belum banyak studi yang membandingkan terapi mana yang lebih superior. Tujuan: Menilai efektivitas beberapa terapi topikal terhadap perbaikan gejala klinis dan gambaran endoskopi pasien proktitis radiasi.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan secara elektronik pada basis data PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, dan Science Direct antara September hingga November 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada referensi studi yang terkait, dan melalui register uji klinis yang tersertifikasi lainnya seperti Global Index Medicus, Garba Rujukan Digital (GARUDA), ClinicalTrial.gov, dan International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) WHO.
Seleksi Studi: Studi uji klinis acak terkontrol dengan intervensi terapi topikal dibandingkan plasebo atau terapi topikal lainnya atau kombinasi terapi medikamentosa, yang menilai luaran berupa respon gejala klinis dan gambaran endoskopi, serta dapat disertai luaran lain, ataupun tidak. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua orang peninjau independen. Dari total 1786 studi, didapatkan 9 studi memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh dua peninjau independen dan dikonfirmasi pada peninjau ketiga. Konfirmasi data dilakukan dengan menghubungi peneliti dari studi terkait. Tidak didapatkan data tambahan.
Hasil: Studi yang melaporkan efektivitas terapi berupa banyaknya jumlah subjek yang mengalami perbaikan atau penurunan skor klinis dan endoskopi dirangkum secara kualitatif. Masing-masing studi saling membahas antar terapi, dan memiliki heterogenitas yang tinggi. Dua studi mengenai formalin dapat dilakukan meta-analisis dengan hasil perbaikan klinis dan endoskopi, namun tidak bermakna terhadap dua studi tersebut (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15) dan tidak terdapat terapi yang lebih superior dibanding terapi lain dalam meta-analisis tersebut. Empat studi yang membahas formalin 4% memiliki kualitas hasil studi menengah dengan risiko bias rendah. Terdapat 3 dari 9 studi yang membandingkan terapi SCFA dengan plasebo sehingga sulit untuk menyimpulkan terapi mana yang berefek lebih baik, dan memiliki risiko bias tidak jelas, namun dengan jumlah pasien yang sedikitsehingga kualitas studi rendah. Satu studi mengenai efektivitas sukralfat menunjukkan hasil bermakna dengan estimasi risiko rendah (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). Akan tetapi studi mengenai 5-ASA topikal tidak ditemukan dalam inklusi telaah sistematis ini. Secara umum, kualitas hasil studi berdasarkan GRADE dapat dimasukkan ke dalam kategori sedang.
Kesimpulan: Penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema efektif dalam memperbaiki gejala klinis dan gambaran endoskopi proktitis radiasi. Namun, hingga saat ini belum ada studi klinis berkualitas baik sehingga sulit untuk menilai terapi yang terbaik. Sedangkan dari 2 studi formalin 4% yang dapat dilakukan meta-analisis, menunjukkan bahwa tidak ada terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya. Selain itu, tidak ditemukan tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema dalam mengobati proktitis radiasi.

Background: The high incidence of gynecological and pelvic malignancies has led to the usage of radiation therapy. Nonetheless, radiation therapy also causes a significant complication, about 30% of radiation proctitis. Treatments using topical agents such as SCFA, sucralfate, steroids, formalin, and 5-ASA are known to have good results. However, there are only a few studies comparing the superiority of those therapies.
Objectives: To assess the effectiveness of topical therapies in the clinical and endoscopic improvement of radiation proctitis patients.
Data Sources: Primary searching was conducted on electronic databases such as PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, and Science Direct between September and November 2020. Secondary searching was done by snowballing method on the relevant study references and through other certified clinical trial registries (Global Index Medicus, Garba Digital Reference (GARUDA), ClinicalTrial.gov, and WHO's International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP).
Study Selection: A randomized controlled trial comparing topical therapies versus placebo or other topical therapies or combination with medical therapies that evaluating the clinical response and endoscopic response. There is no restriction regarding the year of publication and language. Each study were assessed by two independent reviewers. From a total of 1,786 studies identified, 9 studies met the eligibility criteria.
Data Extraction: Data extraction was performed by two independent reviewers and confirmed by a third reviewer. Data confirmation was made by contacting the first researchers from related studies. No additional information was obtained.
Results: Studies reporting the effectiveness of therapy in the form of a large number of subjects experiencing improvement or reduction in clinical symptoms and endoscopy were summarized qualitatively. Each study discussed the therapies and the heterogeneity that could not be calculated due to the different outcomes. Two studies on formalin were subject to meta-analysis with clinical and endoscopy improvement. However, they were not significant in the two studies (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15), and no better treatment compared with others in those studies. Further, four studies discussing 4% formalin had medium study quality results with a low risk of bias. There are 3 out of 9 studies that compared SCFA therapy with placebo so it is difficult to conclude which therapy has a better effect, and has an unclear risk of bias, but with a small number of patients so that the quality of the study is low. One study using sucralfate showed significant results with a low-risk estimate (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). However, the study of topical 5-ASA was not found in the inclusion of this systematic review. The level of evidence for the majority of outcomes was downgraded using GRADE to a moderate level, due to imprecision and study limitation.
Conclusion: The usage of SCFA enema, topical formalin, topical steroid and sucralfate enema are effective in improving the clinical and endoscopic response in radiation proctitis patient. However, until now, there are no good quality studies, making it difficult to prove the best therapy. A meta-analysis from 2 studies using 4% formalin versus irrigation and antibiotics, shows no therapy is superior to another. Otherwise, no serious side effects were found in the usage of these topical therapies
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kri Yudi Pati Sandy
"Telah dilakukan pengukuran persentase dosis kedalaman ( PDD ) dan profil berkas sinar-X 6 MV dan 10 MV pesawat linear accelerator Siemens Primus 2D Plus untuk lapangan simetris dan asimetris 10 x 10 cm2 dan 20 x 20 cm2 SSD 100 cm. Pengukuran profil dilakukan di kedalaman dosis maksimum ( dmax ), 5 cm, 10 cm, dan 20 cm. Hasil pengukuran menunjukkan terjadi perubahan nilai PDD sampai sekitar 5 % untuk kedua kualitas sinar-X akibat pembentukan lapangan asimetris. Profil berkas sinar-X arah inplane dan crossplane juga mengalami perubahan yang mengakibatkan terjadinya degradasi nilai flatness, symmetry, dan penumbra. Selain itu juga terjadi kenaikan asimetrisitas dosis relatif pada titik-titik tertentu sepanjang profil terutama arah crossplane yang dapat mencapai 7,85 %. Hal ini harus diperhatikan dalam aplikasi klinis penggunaan lapangan asimetris.

Measurement of percentage depth dose ( PDD ) and X-ray beam profiles were done for 6 MV and 10 MV of Siemens Primus 2D Plus Linear accelerator for 10x10 cm2 and 20 x 20 cm2 symmetric and asymmetric fields at SSD 100 cm. Measurement of profiles were verified at depth of maximum dose ( dmax ), 5 cm, 10 cm, and 20 cm. The result showed changes of PDD value reaching about 5% for both of X-ray qualities. Inplane and crossplane X-ray beam profiles have also undergone changes that caused the degradation of flatness, symmetry,and penumbra values. Besides that there is also an increase in the relative dose asymmetricity on certain points along the profile, it happens mainly in the crossplane direction that can reach 7,85 %. In using the asymmetric fields on the clinical implementation, this changes must be put into consideration."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S28841
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>