Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149555 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Teuku Antoni Reza
"Penjaminan kredit merupakan salah satu layanan jasa yang diberikan oleh PT. Askrindo sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi Usaha Kecil dan Menengah (UM guna mendapatkan kemudahan memperoleh kredit dari bank atau lembaga pembiayaan keuangan lainnya. Pada umumnya penjaminan kredit dikenal dengan perjanjian penanggungan hutang, karena kedudukannya sebagai borgtoht yang muncul ketika terjamin atau debitur wanprestasi.
Manfaat yang dapat dinikmati pengguna jasa penjamianan kredit yaitu; membantu usaha kecil dan menengah dalam rangka pemenuhan kekurangan persyaratan atas penyerahan barang jaminan yang ditetapkan oleh Lembaga Pembiayaan Keuangan balk bank maupun non bank dan membantu lembaga keuangan bank, non bank untuk mengalihkan sebagian risiko financial atas kegagalan kewajiban debitur kepada pihak penjamin kredit yaitu PT. Askrindo.
Perjanjian penjaminan kredit dimanfaatkan bank dalam rangka mangamankan risiko kerugian bank akibat debitur wanprestasi dan bank sebagai pemberi jaminan dapat mengajtikan klaim kepada penjamin.
Dalam praktek pemberian jaminan kredit tersebut, bank sebagai pemberi jaminan membuat perjanjian penjaminan kredit dengan penjamin, dimana masing-masing pihak mempunyai hak kewajibannya; pihak penerima jaminan dapat menutut klaim dari pihak Penjamin setelah membayar premi penjaminannya, sedangkan pihak penjamin menerima premi. dari bank dan menyelesaikan klaim ganti rugi akibat debitur atau terjamin wanprestasi.
Terdapat beberapa pokok permasalahan yakni; bagaimanakah timbulnya kredit macet, apakah disebabkan wanprestasi terjamin atau penerima jaminan kurang hatihati menyalurkan kreditnya, bagaimana upayanya dalam meminimalisir risiko kerugian akibat terjamin wanprestasi, bagaimana peran dan fungsi PT. Askrindo sebagai penjamin kerugian pemeberi jaminan dibandingkan dengan.bank garansi, bagaimana perhitungan ganti rugi oleh PT. Askrindo terhadap klaim bank dan bagaimana pula pengembalian dana (subrogasi) dalam bentuk recoveries kepada PT. Askrindo setelah bank menerima pembayaran klaim. Pengembalian dana subrogasi tersebut berasal dari angsuran kredit atau Penjualan barang jaminan yang dilakukan bank memalui Pengadilan Negeri atau melalui BUPLN yang pelaksanaannya dilakukan oleh KP3N dimasing-masing daerah. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam tests ini adalah penelitian preskriptif dan problem finding, sehingga dari hasil penelitian tersebut dapat dicarikan penyelesaiannya dengan ketentuan hukum yang berlaku (KUHPerdata dan KURD)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Wijayanto
"ABSTRAK
Risiko hukum adalah salah satu risiko yang harus dikelola oleh Bank. Merupakan hal yang penting untuk mengelola risiko hukum di dalam aktivitas kredit karena pengelolaan risiko hukum dapat mencegah terjadinya risiko kredit, risiko reputasi dan risiko kepatuhan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana Bank menerapkan pengelolaan risiko hukum dalam aktivitas kredit juga untuk mendapatkan hubungan antara risiko hukum dengan risiko kredit, risiko reputasi dan risiko kepatuhan dalam aktivitas kredit. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptis interpretatif. Data dihimpun berdasarkan wawancara mendalam juga dengan mempelajari literatur dan perundang-undangan terkait. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan risiko hukum telah diterapkan oleh Bank yang diteliti dan terdapat beberapa hubungan antara risiko hukum dengan risiko kredit, risiko reputasi dan risiko kepatuhan dalam aktivitas kredit. Bank yang diteliti menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan risiko sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Bank Indonesia yaitu pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan limit, proses identifikasi, pengukuran, pengawasan dan pengendalian dan juga sistem informasi manajemen risiko. Bank yang diteliti juga memenuhi persyaratan mengenai rasio kewajiban penyediaan modal minimum dan penilaian tingkat kesehatan Bank. Persyaratan-persyaratan tersebut menunjukkan bahwa risiko hukum terkait dengan risiko kredit. Sehubungan dengan pengelolaan risiko dari produk kredit, risiko reputasi terkait dengan risiko hukum, sedangkan risiko kepatuhan terkait dengan risiko hukum karena ketidapatuhan adalah salah satu faktor penyebab risiko hukum.

ABSTRACT
Legal risk is one of the risks that should be managed by the Bank. It is important to manage legal risk in credit activity since legal risk management is able to prevent the occurrence of credit risk, reputation risk and compliance risk. The purpose of this research is to understand how the Bank implement the legal risk management in credit activity as well as to figure out the connection between legal risk and credit risk, reputation risk and compliance risk in the credit activity. This research is qualitative descriptive interpretive. The data were collected by means of deep interview as well as by studying the literature and related regulations. The result of this research concludes that legal risk management has been implemented by the researched Bank and there are some connections between legal risk and credit risk, reputation risk and compliance risk in credit activity. The researched Bank implements the principles of risk management as required by Bank Indonesia Regulation i.e. the active supervision of Board of Commissioner and Board of Directors, the sufficiency of policy, procedure and limit discretionary, the process of identification, measurement, monitoring and controlling and also risk management information system. The researched Bank also complies with the Bank Indonesia requirement on the mandatory of capital adequacy ratio and the valuation of soundness of the Bank. Those requirements show that legal risk is related to the credit risk. In regards to the risk management of credit product, reputation risk is related to legal risk, while compliance risk is related to legal risk since non-compliance is one of the cause factors of legal risk."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38891
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liana Wati
"Pertumbuhan kredit antara 1990-1997 mencapai lebih dari 130 persen. Sesungguhnya pertumbuhan kredit ini tidak menimbulkan masaiah jika dalam proses pemberiannya sudah dilakukan dengan memperhitungkan risiko yang terkandung. Untuk itu sate titik kritis yang hares dibenahi dalam perbankan di Indonesia adalah dimasukannya perhitungan risiko secara formal ke dalam proses pemutusan kredit. ldealnya akan terdapat suatu standar yang dapat dipakai untuk mengukur risiko. Di lain pihak, dengan adanya standar pengukuran dan manajemen risiko yang bake maka bank akan dituntut untuk meningkatkan profesionalisme.
Penerapan manajemen risiko menjanjikan beberapa kegunaan yang diantaranya bersifat strategis bagi kelangsungan bisnis suatu bank. Sesungguhnya penerapan manajemen risiko perbankan yang sistematis dan terintegrasi sudah mcrupakan keharusan bagi manajemen bank. Namun, manajemen bank tetap memiliki kebebasan untuk menetapkan cakupan dan skala penerapan manajemen risiko sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank.
Bulan Mei lalu Bank Indonesia mengeluarkan peraturan nomor 5/8/PB112003 tentang "Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum'' yang akan berlaku mulai I Januari 2004. Tujuan dikeluarkannya pcraturan ini adalah agar Bank umum di Indonesia menerapkan prinsip-prinsip Manajemen Risiko yang sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlement (BIS) atau yang dikenal dengan kesepakatan Basel II. Apa itu Basel lI? Basel II adalah peraturan standar perbankan internasional yang disepakati di Basel, Swiss dibawah naungan BIS. Basel II yang saat ini dijadikan acuan adalah yang dikeluarkan pada bulan november 2005 sebagai ,hasil dari pembahasan akhii- dari Komite Basel dengan beberapa bank central dunia.
Dengan melihat kondisi penerapan manajemen risiko pada Bank "X" saat ini, yang menjadi pertanyaan adalah apakah Bank "X" slap mengikuti kerangka kcrja yang ditetapkan Bank Indonesia untuk mengarah kepada Basel 11 compliance? Hai ini tidak lah rnudah mengingat manajemen risiko dapat dikatakan sebagai hat baru bagi perbankan Indonesia karena baru saja diluncurkan awal tahun 2003 melalui penetapan Peraturan Bank Indonesia No. 5181PBI12003, tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi bank umum. Untuk dapat benar-benar menerapkan manajemen risiko seutuhnya, bank hares lebih dahulu merasakan manfaat-manfaat yang dapat diraih dengan diterapkannya manajemen risiko yang sesuai dengan Basel II. Sedangkan unsur siap atau tidak nya suatu bank dinilai dari beberapa aspek, antara lain: komitmen dari tim manajemen, sumber daya yang kompeten, dukungan tehnologi inf'ormasi, struktur organisasi yang mendukung, keberadaan data historis yang memungkinkan bank untuk dapat menghitung komponen-komponen risiko.
Dengan melihat kepada aktifitas yang dilakukan Bank "X" terkait dengan persiapan penerapan manajemen risiko yang mengacu kepada Basel II, dapat dikatakan bahwa Bank "X" telah memiliki persiapan yang baik. Bank Indonesia menargetkan untuk mulai menerapkan Standardized Approach pada tahun 2008, sedangkan Bank "X" menyatakan siap untuk menerapkan Standardized Approach mulai quarter ketiga tahun 2007. Bahkan saat ini persiapan untuk menerapkan Internal Risk Based Approach telah mulai dilakukan oleh Bank "X", yaitu dengan mulai melakukan perhitungan atas komponen-komponen risiko untuk tiap asstt class-nya. Diharapkan perhitungan komponen-komponen risiko tersebut akan dapat diselesaikan di awal tahun 2008. Dapat ditarik kesimpulan bahwa Bank "X" adalah bank BUMN yang terdepan dalam kesiapan pencrapan manajemen risiko yang mengacu kcpada Basel 11. Tanpa komitmcn yang tinggi dari tim manajemen dalam hal penyediaan sumber daya yang kompcten dan prasarana pendukung, maka mustahil hal tersebut dapat terwujud.

In 1990 to 1997 the credit has grown significantly by 130%. This growth should not be a problem if the approval process has taken into account all risk factors. One critical issue needs to be improved in Indonesia banking environment is to formally take into account the risk factors in credit approval process. Ideally there should be a standard to measure the risks. On the other side, with the implementation of standard measurement and risk management, bank is required to increase its professionalism in banking practices.
Risk management implementation assures several strategic benefits to the business continuity of the banks. Systematic and integrated implementation of risk management is required to the bank management, But, the bank management still has flexibility in determining their risk management implementation scope that fits with their business size/complexity.
On May 2003, Bank Indonesia issued regulation no 5181PB112003 regarding "Implementation of risk management for banks". This regulation was effective on January 1st, 2004. The objective of this regulation is to require banks to implement risk management based on guidelines issued by Bank for International Settlement (BIS) or Basel Committee. What is Basel II? Basel 11 is international banking standard regulation agreed in Basel, Switzerland. Basel 11 that is currently used is issued in November 2005 as the result of final discussion of Basel Committee with several central banks.
If we observe current risk management implementation in Bank "X", the question raised is whether or not Bank "X" is ready in applying the framework set up by Bank Indonesia to be complied with Basel II? This is not an easy task as risk management is considered new subject in Indonesia banking environment, Risk management was just being introduced early 2003 by the issuance of Bank Indonesia Regulation No. 5181PB1/2003 regarding risk management implementation in banks. To ensure risk management implementation is Basel ll compliance, banks should really understand the benefit that could be obtained by fully implementing risk management Base! Il compliance. As for the readiness of' implementation, the following factors should be reviewed: management team commitment, human resources competency, IT infrastructure, supportive organization structure, and the availability of historical data to calculate the risk components.
Post of reviewing the activities done by Bank "X" in doing the preparation of implementing risk management Basel 11 compliance, we can conclude that Bank "X" has good preparation. Bank Indonesia has announced that the implementation of Standardized Approach will be in 2008, Meanwhile, Bank "X" has stated that they are ready to implement Standardized Approach by the third quarter of 2007. Even the preparation in implementing Internal Risk Based Approach has been started by doing the calculation of risk components for each of the asset classes. Bank "X" targeted to finish those calculations by early 2008. Hence, we can conclude that Bank "X" is the only BMMN bank that leads in the readiness of implementation of risk management Basel II compliance. Without the commitment from management team in providing competent resources and supporting infrastructure, there is no way to achieve the objective."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T19770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Liem, Joeng Liang
"Tesis ini membahas tentang probabilitas nasabah KPR Pt Bank xyz Tbk,untuk mengalami status NPL.(kolektibilitas 3-5 dalam tiga tahun pertama kredtnya.Jangka waktu tiga Tahun ke 2 sampai tahun ke-3 dari kreditnya.Sehubungan dengan data yang imbalance. dimana kondisi NPL,sangat kecil dan nilai variabel Y adalah kualitatif, maka metode yang digunakan untuk mengukuran dengan kurva lift."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2011
T29482
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ediharianto
"Bisnis Menengah Bank BRI merupakan suatu unit bisnis yang menyalurkan pinjaman diatas Rp.5 milyar. Melihat besamya putusan pinjaman di bisnis menengah maka dapat dibayangkan apabila terjadi default pada salah satu nasabah yang menikmati fasilitas pinjaman sebesar Rp.50 milyar maka akan sangat mempengaruhi kinerja perkreditan dari unit bisnis yang bersangkutan. Mengingat nasabah pinjaman untuk bisnis menengah merupakan nasabah yang sangat bankable, maksudnya memiliki dokumentasi perusahaan yang baik hingga agunan yang cukup memadai maka perlu suatu kajian mengenai penerapan suatu metode internal yang cocok untuk pengukuran risiko kredit bisnis menengah. Dalam pengukuran risiko kredit menggunakan internal model penting mengetahui probabilitas transisi, kualitas kredit untuk masing-masing sektor ekonomi dan perbandingan besamya hasil perhitungan expected loss dengan perhitungan cadangan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) dan actual loss kredit bisnis menengah di Bank BRI.
Perhitungan expected loss ini merupakan langkah awal dari penerapan Internal Rating Based Model dalam Creditmetrics Framework dan merupakan salah satu model untuk mengukur potensi kerugian karena penyaluran kredit dengan jumlah pinjaman yang besar dan jumlah nasabah yang sedikit. Perhitungan ini juga merupakan model unconditional sehingga tidak memerlukan tambahan data makro dan mengabaikan penyebab dari terjadinya default. Dalam perhitugan expected loss dari credit risk modelling ini digunakan tiga tahapan, yaitu pertama menghitung besarnya probability of default dari masing-masing sektor ekonomi dan dihitung probability of default dari kredit bisnis menengah. Kedua, menghitung present value non performing loan. Ketiga, menghitung besamya loss given default dari nilai recovery rate kredit bermasalah.
Hasil perbitungan expected loss menunjukkan potensi kerugian kredit menengah bank BRI masib lebib rendab dibandingkan dengan basil perbitungan cadangan PPAP dan masih lebih besar apabila dibandingkan dengan realisasi actual loss. Hal ini terlibat dari :
1 ). Pada tabu:n 2002, besamya cadangan PP AP yang dibentuk oleb bank BRI sebesar Rp.l.047.537.418.718,- atau sebesar 31,51% dari total EAD selurub sektor ekonomi sedangkan seandainya cadangan dibuat berdasarkan .perbitungan expected loss adalah 20,90% dari total EAD atau sebesar Rp. 694.743.347.139,- dan realisasi write off pinjaman atau actual loss sebesar 9,37% dari total EAD atau dalam bentuk nominal sebesar Rp. 311.609. 762.285,-.
2). Pada tabun 2003, besamya cadangan PP AP . yang dibentuk sebesar Rp.823.961.511.627,- atau 31,58% dari total EAD selurub sektor ekonomi sedangkan berdasarkan perbitungan expected loss sebesar 9,4"6% dari total EAD atau sebesar Rp. 246.815.428.656,- dan realisasi actual loss 4,20% dari total EAD atau sebesar Rp. 109.621.495.409,-.
Berdasarkan basil backtesting, pada tabun 2002 besamya actual loss berupa penghapusbukuan pinjaman bermasalab nilainya berada jaub dibawab hasil perhitungan expected loss. Sedangkan pada tabun 2003, besamya perbedaan actual loss dan hasil perhitungan expected loss sudab semakin kecil. Hal ini disebabkan karena:
(a). Sudah mulai semakin baiknya penerapan internal credit risk rating di bank BRI.
(b). Meningkatnya perbaikan penanganan kredit bermasalah di bank BRI sebingga dapat menekan angka actual loss.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, bank BRI perlu menerapkan dan mengembangkan Credit Risk Model mengenai The Internal Rating Based Model Foundation Approach dari Creditmetrics dalam perhitungan expected loss karena hasil perhitungan untuk pembentukan cadangan jauh lebih efisien dibandingkan dengan perhitungan cadangan PPAP yang diterapkan saat ini oleh bank BRI."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutabarat, Ester
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1991
S18187
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caecilia Zilvia Suzanna
"Salah satu internal model yang digunakan dalam pengukuran risiko kredit adalah CreditRisk+, yang dikembangkan oleh Credit Suisse First Boston. Dalam penelitian ini metode CreditRisk dipilih untuk mengukur risiko kredit atas portofolio pembiayaan yang disalurkan oleh Permodalan Nasional Madani (PNM) kepada Bank Perkreditan Rakyat (BPRJS). Metode CreditRisk+ yang dipakai adalah pendekatan dengan distribusi Gamma, yang merupakan distribusi dua parameter yang menggambarkan mean (ditunjukkan oleh default rates) dan standard deviation (ditunjukkan oleh default rate volatilities). Metode ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa default rate bersifat variable, tidak konstan sepanjang waktu, sehingga default rates volatilities tersebut diperhitungkan ke dalam model. Output dari pengaktivasian program model CreditRisk+ memperlihatkan kecenderungan risiko kredit yang semakin meningkat atas portofolio pembiayaan kepada BPR/S, yaitu sebesar Rp 12.428.363.221 pada Januari 2005 hingga mencapai Rp 35.426.390.490 pada Desember 2005 atau hampir tiga kali lipatnya. Dengan mengetahui credit Value at Risk (VaR) yang semakin meningkat, diharapkan pengelolaan atas portofolio pembiayaan kepada BPR/S tersebut harus lebih baik dan efektif, terutama dalam mengantisipasi bertambahnya pembiayaan yang bermasalah. Namun demikian PNM dinilai masih dapat menanggung risiko kredit tersebut, terlihat dari kecukupan modal yang dibutuhkan (economic capital) atas portofolio pembiayaan kepada BPR/S sepanjang tahun 2005 tersebut berkisar antara 2% - 8% dari jumlah modal PNM. Model CreditRisk+ dapat diterima sebagai model yang akurat untuk pengukuran risiko pembiayaan kepada BPRJS. Hal ini dihuktikan dari basil pengujian Likelihood Ratio (LR) pada tingkat kepercayaan 95%, di mana nilai LR masih di bawah ambang batas nilai kritikal yang dapat ditolerir.

One of internal model used for measuring credit risk is CreditRisk+, developed by Credit Suisse First Boston. In this research, CreditRisk+ method was selected to measure credit risk on PNM's lending portfolio to rural banks. The CreditRisk+ method being used is the one with Gamma distribution, a two parameters distribution that shows mean (shown by default rates) and standard deviation (shown by default rates volatilities). This method is selected based upon assumption that default rate is variable, not constant through the period so default rates volatilities is incorporated into the model. Output from CreditRisk+ model program activation showed increased credit risk on lending to rural banks, a mere of Rp 12, 428, 363, 221 in January 2005 up to Rp 35, 426, 390, 490 in December 2005, representing an almost three-fold increase. By finding increased credit Value at Risk (VaR), it is hoped that rural bank lending portfolio be managed better and more effective in the future, especially in anticipating the growing non performing portfolio. Nevertheless, PNM still covers credit risk that is shown by required capital adequacy (economic capital) on rural banks lending portfolio in 2005, which range between 2 to 8 percent of total PNM capital. CreditRisk+ model can be viewed as accurate model for rural banks lending risk measurement. This is back-testing by Likelihood Ratio (LR) test at the 5 percent level of significance, which the LR figure is still below the critical value."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18321
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizaldy Iskandar
"Metode Credit Risk+ digunakan untuk menghitung Economic Capital akibat risiko gagal bayar (default) pelanggan pada PT Toyota Astra Financial Services selama periode Januari 2007 hingga Desember 2010. Penggunaan metode Credit Risk+ yang membutuhkan input data sederhana, berupa portofolio eksposur default dan recovery rates, serta tidak mengasumsikan penyebab default, cocok digunakan untuk perhitungan risiko kredit retail. Asumsi default atau non performing loan menggunakan ketentuan Bank Indonesia, yaitu saat tunggakan melebihi 90 hari. Metode pengukuran Credit Risk+ dilakukan dalam tiga tahap, pertama dengan menghitung eksposur default portofolio, kedua dengan menghitung frequency of defaults, ketiga dengan menghitung probability of default yang digunakan untuk mencari distribution of losses yang terjadi pada PT Toyota Astra Financial Services. Frequency of defaults dihitung dengan menggunakan asumsi tingkat keyakinan sebesar 99%. Distribution of losses dihitung diperoleh dengan menghitung besarnya expected loss, unexpected loss serta economic capital. Besarnya modal yang digunakan untuk menutup unexpected loss inilah yang disebut sebagai economic capital. Dalam penelitian ini dilakukan backtesting dengan menggunakan loglikelihood ratio (LR) Test, dan diapatkan hasil sebesar 0 dimana hasil tersebut lebih kecil dibandingkan nilai kritis chi-squared sebesar 6.6439. Hasil ini menunjukkan bahwa metode Credit Risk+ yang digunakan dalam penelitian ini masih valid digunakan sebagai model internal untuk mengukur risiko kredit dan menghitung Economic Capital pada PT Toyota Astra Financial Services.

Credit Risk + methods is used to calculate the economic capital of customer default risk at PT Toyota Astra Financial Services during the period of January 2007 to December 2010. Credit Risk + method only requires simple data input, which is portfolio exposure to default and recovery rates, and do not assume the cause of default. With simplicity offered, this method is suitable for retail credit risk calculations. The assumption of non-performing loan or default is based of Bank Indonesia regulation, when the overdue days of defaults exceed 90 days. Credit Risk + measurement methods carried out in three stages, first by calculating the portfolio default exposure, second by counting the frequency of defaults, finally calculating the probability of default which is used to find the distribution of losses that occurred at PT Toyota Astra Financial Services. Frequency of defaults is calculated using the assumption of 99% confidence level. The Distribution of losses is obtained by calculating the expected loss, unexpected loss and economic capital. The amount of capital used to cover unexpected loss is referred as economic capital. In this work, backtesting is done by using Loglikelihood Ratio (LR) Test, and the obtained results is 0 which is smaller than the critical value of chi-squared of 6.6439. These results indicate that the method of Credit Risk + used in this work is still valid and can be used as an internal model to measure credit risk and calculate economic capital at PT Toyota Astra Financial Services."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2011
T29492
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Justina Ruly Sulistyarini
"Untuk menjalankan lungsinya sebagai financial intermediary. risiko terbesar yang dihadapi bank adalah risiko kredit. Olch karena itu merupakan suatu hal yang panting bagi bank untuk dapat mengukur seberapa besar risiko kreditnya. Pengukuran risiko kredit ini dilakukan dengan terlebih dahulu menentukan model risiko kredit yang tepat.
Pengukuran risiko kredit usaha mikro pada Bank X dengan pendekatan standar yaitu berdasarkan Surat Edaran BI No.8/3/DPNP tanggal 30 Januari 2006 tidak menghasilkan ukuran risiko yang tepat, karenanya diperlukan alat pengukur risiko yang lain. Tujuan penelitian dalam karya akhir ini adalah untuk mengukur besarnya risiko kredit usaha mikro (KUM) pada Bank X dengan metode Credit Risk.
KUM adalah kredit kelolaan Micro Banking and Sales Group pada Bank X yang diklasifikasikan menjadi beberapa jenis produk. yaitu KUM Mandiri. KUM Mapan, KUM Prima, KUM Kelompok dan KUM Karya. Produk-produk tersebut memiliki limit kredit maksimum Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah).
Produk KUM dipasarkan oleh Bank X sejak bulan Maret 2005. Sampai dengan 31 Mei 2006 Bank X telah menyalurkan KUM sebanyak Rp 1,016 Milyar dengan 59.130 rekening debitur.
Credit Risk+ adalah metode pengukuran risiko kredit yang tepat untuk bald debet pinjaman yang kecil dengan jumlah rekening yang sangat banyak, karena metode ini tidak memerlukan tambahan data makro dan merupakan default mode.
Dalarn pengukuran risiko KUM dengan metode Credit Risk+, terdapat pembatasan sebagai berikut :
1. Data yang digunakan adalah data portfolio KUM pcriode bulan Juni 2005 sampai dengan Mei 2006. Penggunaan data periode tersebut karma produk KUM barn dipasarkan pada bulan Mat-et 2005 dan krcdil dinyatakan default apabila umur tunggakan kewajiban lcbih dari 90 hari. Oleh karena itu kemungkinan terdapatnya default KUM minimal 90 hari setelah diberikannya fasilitas KUM tersebut, yaitu pada bulan Juni 2005.
2. Kredit dinyatakan default apabila tunggakan kcwajibannya telah melebihi 90 hari atau berdasarkan kolektibilitas BI tergolong kredit Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. Pengukuran risiko KUM dengan menggunakan metode Credit Risk menunjukkan hasil sebagai berikut :
1. Dengan menggunakan metode Credit Risk, pada bulan Mei 2006 nilai expected loss sebesar Rp 69,74 milyar dan nilai unexpected loss sebesar Rp 104,03 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa nilai VaR untuk bulan Mei 2006 adalah sebesar Rp 104,03 milyar, artinya dengan tingkat keyakinan sebesar 95% maka besarnya risiko kerugian maksimum akibat terjadinya default pada portfolio KUM untuk satu bulan ke depan diperkirakan sebesar Rp 104,03 milyar. Jumlah tersebut adalah 10,24% dari total baki debet KUM.
2. Dengan metode Credit Risk bank hams menyediakan modal untuk mencover risiko KUM pada bulan Mei 2006 sebesar 10,24% x 8%= 0,82% dari baki debet KUM atau sebesar Rp 8,32 milyar.
3. Surat Edaran BI No.813IDPNP tanggal 30 Januari 2006 menyatakan bahwa bobot risiko untuk Kredit Usaha Kecil (KUK) sebesar 85 %., maka bank harus menyediakan modal untuk mencover risiko KUM pada bulan Mci 2006 sebesar 85% x 8% = 6.80% dari baki debet KUM atau sebesar Rp 69,12 milyar.
4. Perbedaan kebutuhan modal yang harus disediakan Bank X berdasarkan metode Credit Risk dan berdasarkan SE BI No.8/3/DPNP untuk bulan Mei 2006 adalah sebesar Rp 69,12 milyar - Rp 8,32 milyar = Rp 60,8 milyar.
5. Berdasarkan basil pengujian model dengan backtesting dan likelihood ratio, maka metode Credit Risk dapat dipertimbangkan sebagai model internal untuk mengukur risiko KUM Bank X maupun kredit usaha kecil lainnya yang memiliki karakteristik yang sama.
Metode CreditRisk+ ini dapat dikembangkan sebagai sistem pengukuran risiko yang terintegrasi dengan cor banking sistem pada Bank X juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan monitoring dan pengawasan yang lebih efektif terhadap portfolio KUM, dengan cara memfokuskan perhatian pada kelompok debitur dengan nilai eksposur yang tinggi dengan default rate yang terbesar.

As a financial intermediary, the greatest risk a bank has to face is credit risk. Therefore. it is very crucial for a bank to measure its credit risk. First, determining the model of the credit risk does the measurement of credit risk.
The measurement of the risk of micro banking in Bank X by standard approach does not give an accurate profile of its credit risk; therefore another measurement tool is needed. This paper is aimed to measure the credit risk of micro banking (Kredit Usaha Mikro/KUM) of Bank X by CreditRisk+ method.
KUM is managed by Micro Banking and Sales Group of Bank X, which are classified into several types of products, such as KUM Mandiri, KUM Mapan, KUM Prima, KUM Kclompok and KUM Karya. Those products have maximum limit of Rp. 100.000,000,00 (a hundred million rupiahs).
Bank X has launched the KUM products on March 2005. Till the end of May 2006, Bank X has facilitated KUM at the amount of Rp. 1.016 billion for 59,130 customer accounts.
Credit Risk' is suitable for credit risk measurement of loans with small outstanding balance and has many customer accounts, because this method does not need additional data about macro economics and is one of the default mode method.
To measure the risk of KUM by Credit Risk+ method, there are limitations as follows:
1. The data used are KUM portfolio data in the period of June 2005 until May 2006. The period is chosen because the products have been launched since March 2005 and the credit is stated as default whenever the facilities arc under performed for more than 90 days. Therefore the default facilities may be found after 90 days after the first KUM were facilitated, i.e. in June 2005.
2. The credit is slated as default whenever the facilities are under performed for more than 90 days or based on 131 collection is classified as Kredit Kurang Lacar, Diragukan and Macet.
The risk measurement by Credit Risk has the following results:
1. The amount of expected loss on May 2006 is Rp. 69.74 billion and the amount of unexpected loss is Rp. 104.03 billion. This shows that the VaR on May 2006 is Rp. 104.03 billion, which is meant that with the 95% confidence level, the maximum risk loss because of default of portfolio KUM for one month ahead is Rp. 104.03 billion. The amount is about 10.24% of the KUM's outstanding balance.
2. On May 2006 the bank has to provide capital to cover the risk of KUM in the amount of 10.24% x 8% = 0.82% of tine KUM's outstanding balance, or Rp.8.32 billion.
3. The circulating letter of BI no.8/3/DPNP dated January, 30, 2006 is stated that the risk-weighted for Kredit Usaha Kecil (KUK) is 85%, so the bank has to provide capital to cover the KUM credit risk on May 2006 is in the amount of 85% x 8% = 6,80% of the KUM's outstanding balance, or Rp. 69.12 billion.
4. The difference of capital needed based on Credit Risk + method and SE BI no. 8/3/DPNP on May 2006 is Rp. 69.12 billion - Rp.8.32 billion = Rp. 60.8 billion.
5. Based on the backtesting and likelihood ratio procedure, the Credit Risk+ method can be used as the internal model to measure the credit risk of KUM portfolio of Bank X and other small amount loans which is has the same characteristics.
The CredilRisk+ method can be developed as the integrated risk measurement system with czar banking system of Bank X. and also can he used as a more effective monitoring and supervising tools for KUM portfolio, with lousing on the customer group with high exposure and high default rate."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>