Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114796 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mokhammad Lutfi Fauzi
"Kebudayaan dapat diterjemahkan sebagai keseluruhan sistem ide, tindakan serta hasil dari tindakan manusia, yang saling berkait satu dengan lainnya. Salah satu unsur kebudayaan tersebut adalah sistem agama, baik yang kini masih hidup maupun telah punah, yang dapat diamati melalui peninggalannya. Dengan demikian, agama sebagai salah satu unsur kebudayaan, khususnya yang pernah ada pada masa lampau merupakan salah satu jelajah studi arkeologi di pandang dari sudut kebudayaan (Nurhadi Magetsari, 1995:1).
Sutjipto Wirjosuparto (1964: 6-7) menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia Kuna banyak dijiwai atau diliputi oleh suasana keagamaan. Oleh Karena itu, kiranya tepat pendapat P.J. Zoetmulder (1965:327) yang menekankan pentingnya memahami agama pada rnasa tersebut sebagai kunci untuk memahami kebudayaannya. Pendapat di atas, sesuai dengan fakta banyaknya peninggalan arkeologi dari masa Indonesia Kuna yang terbentang dari abad V hingga XVI Masehi, baik berwujud bangunan peribadatan, maupun area-area yang bernafaskan agama Hindu maupun Buddha. Wujud peninggalan tersebut seringkali dipandang sebagai `buah' dari hubungan budaya antara Indonesia dan India yang diperkirakan terjadi secara intensif sejak abad II Masehi Bosch, 1983:11. Dengan demikian, aktivitas pemujaan terhadap dewa-dewa Hindu maupun Buddha yang tersimpul di dalam berbagai bentuk peninggalan pada masa Indonesia Kuno merupakan wujud dari hubungan kebudayaan antara Indonesia dan India pada masa itu.
Dalam kebudayaan India, Dewa Wisnu telah muncul sejak jaman Veda, seperti yang dinyalakan di dalam syair-syair (saiithita) Veda meskipun kedudukannya masih rendah, setara dengan kelompok Dewa Aditya. Kepercayaan terhadap sifat-sifat Dewa Wisnu pada masa tersebut tumpang tindih dengan dewa-dewa lainnya. Misalnya, Dewa Wisnu dipercayai memiliki sifat-sifat Dewa Surya dan Indra. Sifat Dewa Surya pada Dewa Wisnu dipersonifikasikan dengan energi matahari yang menyinari dunia dan telah mengunjungi tujuh bagian dunia, serta mengedari dunia dengan tiga langkahnya (irivikrama). Dengan tiga langkahnya itu, Wisnu dianggap sebagai penakluk seluruh alam semesta dan dianggap sebagai dewa perang yang gagah berani berasal dari `pemberian' sifat Dewa Indra. Justru melalui kepercayaan terhadap Wisnu yang menjalankan triwikrasna menjadikannya terkenal hingga masa Hinduisme, karena dianggap melindungi manusia dari bahaya dan menaklukkan seluruh alam semesta baik di darat, air maupun angkasa.
Kedudukan Dewa Wisnu dalam konsepsi Trimurti (§iwa, Brahma serta Wisnu) dipandang sebagai perwujudan dari Brahman yang menyandang aspek pemelihara (sthiti), Dewa Siwa menyandang aspek perusak dan Dewa Brahma menyandang aspek pencipta. Di antara ketiga dewa tersebut yang seringkali dipuja sebagai dewa tertinggi oleh penganutnya adalah Dewa Siwa dan Dewa Wisnu, sedangkan Dewa Brahma tidak banyak dijumpai. Fenomena pemujaan terhadap Dewa Wisnu di India telah muncul sejak abad II SM dan berpengaruh besar di India selatan pada abad XI Masehi (Gonda, 1954:228-229). Bagi penganut agama Waisnawa Dewa Wisnu ditempatkan sebagai dewa tertinggi, sedangkan keberadaan dewa-dewa lainnya dipandang sebagai aspek Nya, seperti disebutkan dalam Bhugavurlgita (X-20-41) (Basham, 1956:300-301; Gonda, 1954:238; 1970:88). Dengan demikian, penganut Wisnu tidak menolak keberadaan Dewa Sawa dan Brahma, akan tetapi kepercayaan terhadap kedua dewa tersebut dipandang sebagai aspek dari Wisnu.
Dalam agama Hindu, lazimnya Dewa Wisnu dipandang memiliki tugas khusus sebagai dewa pelindung keselamatan manusia dan alam semesta (Gonda, 1954:120). Sebagai dewa pelindung (bhatr-) seperti disebutkan di dalam beberapa kitab Purana, Wisnu terjun langsung ke dunia dalam wujud aubtara. untuk menyelamatkan kebaikan, memelibara dunia dari kebudayaannya, menghancurkan pelaku kejahatan, serta menegakkan dharma di dunia (Gonda, 1954:125). Di India yang paling menonjol adalah dasaufrtara yang berkaitan dengan tugas Wisnu menghancurkan berbagai rintangan perputaran dunia di dalam 10 macam peristiwa.
Pengarcaan Wisnu berdasarkan naskah-naskah agama Waisnauh, seperti terdapat di dalam kitab-kitab Sarihita dan Agarna, secara umum diwujudkan di dalam tiga sikap, yaitu berdiri (sthanaka-murti), duduk (asana-mirti), serta berbaring (sayana-miirti). Secara arkeologis ketiga sikap area tersebut dapat dijumpai pada beberapa kuil Wisnu di India Selatan yang memiliki tiga relung utama pada bangunan induknya, seperti kuil Vaikunthapperumal di Conjeevaram, Kudal-alagar di Madura, Tirukkottiyur dan Mannakoyil di Tinnevelly. Dari ketiga sikap area tersebut masing-masing ditempatkan pada relung bawah, tengah, serta relung atas (Rao, 1, 1968:77-79). Selain itu, dalam pengarcaan Dewa Wisnu yang di tempatkan pada kuil khusus agama Waisnawa, Wisnu didampingi oleh satu atau dua sbkti-nya, yaitu Laksmi dan atau Sri.
Kaitannya dengan salah satu kewajiban raja sebagai pelindung rakyatnya, terdapat keterkaitan erat dengan sifat-sifat Wisnu yang senantiasa melindungi manusia dari segala perilaku kejahatan. Taittiriya Brahma (1,7,4) meyebutkan bahwa Wisnu menyertai semua raja, dan penyamaan diri seorang raja dengan Wisnu dipercayai dapat menaklukkan dunia (wisnor eva bhuivenzwnl lokan abhijayati) (Gonda, 1954:164). Jalan penyamaan raja dengan sifat kedewaan Wisnu antara lain dapat dilakukan melalui upacara abhiseka- dari Dewa Wisnu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T1762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adiguno Bimo Wicaksono
"Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami ikonografi Dewa Wisnu di Jawa Timur pada abad ke 12-M – 15 M. Ikonografi (iconography) berasal dari bahasa Yunani, yaitu eikoon memiliki arti gambar dan graphoo artinya menulis. Jika diartikan secara harfiah, maka ikonografi memiliki arti “suatu benda yang menggambarkan sosok dewa dalam bentuk-bentuk tertentu, seperti arca, relief, dan lain-lain”. Dalam hal tersebut, ikonografi berkaitan dengan penggambaran sosok dewa dalam bentuk arca yang akan ditampilkan. Hasil dari penelitian ini adalah dengan mengetahui ikonografi Dewa Wisnu, maka informasi mengenai keberagaman penggambaran arca dewa serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

The purpose of this research is to understand the iconography of God Vishnu in East Java on 12th – 15th centuries. Iconography is the word based from Greek, eikoon means images, and graphoo means write. Iconography means “a thing that represents a god in a other forms, like statue, relief, etc.”. In this context, iconography has a connection with a god representation on the statue. The result of this research is knowing an iconography of God Vishnu and getting information about the diversity of god statue and the factors that affect the depiction."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Phinkan Arrini
"Prasasti Leran merupakan prasasti yang dikeluarkan pada masa Majapahit akhir. Prasasti Leran berisi mengenai pengukuhan kembali daerah Batwan. Pengukuhan kembali suatu daerah sangatlah jarang ditemukan pada prasasti-prasasti Majapahit, terlebih lagi Prasasti Leran menjelaskan bahwa Sima Batwan diperuntukan untuk penyembahan Dewa Wisnu. Selain itu Prasasti Leran memiliki struktur penulisan yang tidak biasa dituliskan dan memuat unsur keagamaan yang kental mengenai turunnya Dewa Wisnu ke dunia untuk mengajari manusia tentang ilmu.

Leran Inscription is inscription that was written in the end of Majapahit era. Leran Inscription tell about recommemorated Sima Batwan. In fact, inscription that contains about recommemorated an area is so not common found in the Majapahit Inscriptions, moreover this inscription give information that Sima Batwan is for Wisnu temple. Leran Inscription rsquo structure is not common written in the Majapahit era and this inscription is dominant about religious matters that Wisnu is descended to the earth and teach human about knowledge.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S69870
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Mas Ngabei Poerbatjaraka
Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2010
899.222 POE r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Yudo Wahyudi
"Penelitian ini membahas tentang fenomena Ṡiwa-Buddha yang tumbuh dan berkembang pada masa Kerajaan Singhasari hingga Kerajaan Majapahit dalam rentang waktu dua abad (13-15 M). Munculnya fenomena Ṡiwa-Buddha telah menjadi perhatian para sarjana dan banyak pendapat tentang hal tersebut. Kajian-kajian tersebut banyak hanya berhenti pada tataran konsep namun masih sedikit yang mencoba menelusuri fenomena yang nyata dalam jejak kebudayaan materi. Berdasarkan hal tersebut kajian ini mencari dan menganalisis unsur-unsur Ṡiwa-Buddha yang terkandung dalam percandian, arca, prasasti dan naskah Jawa Kuno pada kurun masa tersebut. Selain itu, fenomena tersebut dicari dalam penerapan kehidupan agama dan politik. Kerangka berpikir yang digunakan adalah kajian Melford E, Spiro yang mengaji tentang sejarah religi. Dalam kajian ini dibangun atas empat hal yang diungkapkan Spiro, yaitu (1) penjelasan sejarah, (2) penjelasan struktural, (3) penjelasan kausal, dan (4) penjelasan fungsional. Hasil temuan kajian ini mendapati adanya proses transformasi Ṡiwa-Buddha dalam ajaran agama, yaitu munculnya yang terikat dan bebas. Terikat mengacu pada kaidah agama pembentuknya dan bebas mengacu pada interpretasi konsep hakekat oleh pemeluknya. Transformasi Ṡiwa-Buddha tersebut diekspresikan dalam berbagai bidang baik kebudayaan materi, sumber tekstual maupun implementasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa Singhasari-Majapahit di abad ke-13-15 M.

This study discusses the Siwa-Buddhist phenomenon that grew and developed during the Singhasari Kingdom to the Majapahit Kingdom in a span of two centuries (13-15 AD). The emergence of the Siwa-Buddha phenomenon has attracted the attention of scholars and many opinions about it. These studies only stop at the conceptual level, but few trace real phenomena in the traces of material culture. Based on this, this study seeks and analyzes the Siwa-Buddhist elements contained in temples, statues, inscriptions and Old Javanese manuscripts at that time. In addition, the phenomenon is sought in the application of religious and political life. The framework used is the study of Melford E, Spiro who studies the history of religion. In this study, Spiro builds on four things, namely (1) historical explanations, (2) structural explanations, (3) causal explanations, and (4) functional explanations. The findings of this study found that there was a process of iwa-Buddha transformation in religious teachings, namely the emergence of the bound and free. Bound refers to the rules of its formation and free refers to the interpretation of the concept of essence by its adherents. The Siwa-Buddha transformation was expressed in various fields, both material culture, textual sources and implementation of national and state life during the Singhasari-Majapahit period in the 13th-15th centuries AD."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Patera
"Latar Belakang
Agama merupakan suatu fenomena sosial yang dapat diamati dalam kebidupan manusia. Bagi para penganutnya, agama bersifat normatif sebagai sumber informasi yang memberikan arah pola prilaku serta corak kebudayaan dan masyarakatnya. Dapat pula terjadi, agama dijadikannya sebagai inti dari model-model psngetahuan yang dimiliki manusia sebagai makbluk sosial, untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dibadapi dan mendorong kelakuan serta terciptanya hasil kelakuan (suparlan, 1982:81).
Agar dapat menyentuh kenyataan social dalam kehidupan manusia, agama yang bersifat normatif, didukung oleh berbagai bentuk simbolik dan pranata-pranata sosial. Agama memperlibatkan dirinya dalam berbagai bentuk nilai - nilai sosial, yang memberikan kerangka kepada manusia dalam memahami dan melibat realitas yang dihadapi dan secara etis menentukan ukuran baik dan jelek (Geertz, 1982:9).
Dalam suatu kenyataan sosial, agama dapat diamati dalam bentuk kelakuan dan hasil kelakuan yaitu benda- benda kebudayaan, sebagai peogejewantahan dari sistem makna dan nilai yang dianut dalam menginterpretasi lingkungan yang dibadapi. Agama dalam bentuk kelakuan yaitu berupa tindakan keagamaan dan upacara-upacara keagamaan, yang muncul didasarkan atas pengaruh konsepsi ajaran agamanya. Sedangkan dalam aspek hasil kelakuan, berupa banda-benda hasil dari kebudayaan seperti Mesjid, Gereja, Pura, Arca-Arca dan lain sebagainya merupakan model untuk menggambarkan konsepsi ajaran agamanya.
Padmasana yang dibicarakan dalam tulisan ini, merupakan salah satu aspek pantulan dan perwujudan dari agama Hindu dalam kehidupan sosial umatnya. Dalam bentuk bangunan arsitektur yang dapat kita amati, padmasana tentunya memiliki latar belakang konsepsi ajaran yang melandasinya sebagai aspirasi dan tujuan dari pendukungnya yang hidup dalam masa dan lingkungan tertentu (Brown, 1971:1, Herberger, 1989:22).
Untuk memahami makna yang terkandung dalam suatu hasil kebudayaan, seperti balnya Padmasana, diperlukan pemahaman terbadap konsepsi yang melandasinya, seperti diungkapkan Dawson yang dikutip Zoetmulder berikut ini ;
"Agama adalah kunci sejarah, kita tidak dapat memahami masyarakat tanpa mengerti agamanya. Kita tidak dapat memabami hasil-hasil budayanya tanpa mengerti kepercayaan agama yang menjadi latar belakangnya. Dalam semua jaman, hasil utama budaya didasarkan pada gagasan keagamaan dan diabadikan untuk tujuan agama" (Zoetmulder,1965:327).
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninny Soesanti Tedjowasono
"Langkah pembaharuan yang dilakukan oleh raja Airlangga semenjak ia naik takhta tahun 941 Saka(1019 M) adalah memberi perhatian besar pada aspek perekonomian negara. Perbaikan aspek ekonomi dianggap dapat menjadi dasar dari proses perbaikan ketiga aspek kehidupan bernegara lainnya, yaitu politik, agama dan sosial. Karena itu ia mengembangkan landasan perekonomian pada sektor perdagangan di samping pertanian yang sudah sejak lama dijalankan. Kedua sektor yang merupakan landasan perekonomian negara sangat diperhatikan dan diupayakan berkembang secara maksimal.N Ciri-ciri umum kerajaan-kerajaan kuna di Indonesia tidak banyak berubah dari abad ke abad, yang disebabkan oleh faktor geografi wilayah Indonesia. Kondisi tanah dan iklim dan geografi dianggap sebagai faktor penting yang menentukan landasan pereko_nomian yaitu pertanian dan perdagangan. Di sepanjang Jawa terda_pat sederetan gunung berapi yang berjajar memanjang membentuk tulang punggung dari timur ke barat. Gunung-gunung dan dataran tinggi membantu membentuk wilayah pedalaman menjadi kawasan_kawasan yang kebetulan sangat cocok bagi pengolahan sawah.Jalur perhubungan yang utama di Jawa adalah sungai-sungai yang sebagian besar relatif pendek. Sungai yang paling cocok untuk hubungan transportasi jarak jauh hanya sungai Brantas dan bengawan Solo, sehingga tidak mengherankan apabila lembah-lembah kedua sungai tersebut merupakan pusat-pusat kerajaan besar sejak..."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D1845
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Penebar Swadaya, 2005
294.5 HIN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Hariani Santiko
"Arkeologi adalah ilmu yang mempelajari dan merekonstruksi kebudayaan masa lalu berdasarkan sisa-sisa kebudayaan materi yang mereka tinggalkan. Mengingat kelembaban iklim Indonesia yang sangat tinggi serta akibat proses kimiawi yang terjadi dalam tanah dimana benda-benda tersebut terkubur beratus bahkan beribu tahun, maka benda-benda tinggalan manusia tersebut sudah tidak utuh lagi. Dari sisa-sisa materi yang terbatas inilah ahli arkeologi berusaha untuk merekonstruksi kebudayaan manusia masa lalu, apabila mungkin seutuhnya, Mengingat jangkauan arkeologi sangat luas, maka untuk merekonstruksi kebudayaan masa lalu, selain mempergunakan metode arkeologi secara seksama, apabila diperlukan, dapat diterapkan pula metode-metode yang dipinjam dari ilmu-ilmu lain (Magetsari 1990: 1-2).
Dalam rangka penelitian arkeologi, untuk kali ini, perkenankanlah saya membahas salah satu jenis peninggalan arkeologi yaitu candi, sisa-sisa sarana ritual agama Hindu dan Buddha di Indonesia, khususnya di Jawa dengan menitik beratkan pembicaraan pada ciri-ciri arsitektur candi serta membandingkannya dengan patokan-patokan yang digariskan oleh kitab Vastusatra (Silpasastra) di India, selanjutnya mencoba merekonstruksi makna simboliknya.
Agama Hindu dan Buddha berkembang di Indonesia antara abad VII--XV Masehi, dan kebudayaan materi yang mereka tinggalkan kebanyakan adalah tempat-tempat suci yaitu candi, stupa, gua penapaan dan kolam suci (patirthan).
Kehadiran bangunan suci candi mula-mula dilaporkan oleh orang-orang Belanda yang melakukan perjalanan di Jawa Tengah pada sekitar abad XVIII, Misalnya C.A. Lons, seorang pegawai VOC di Semarang mengunjungi Kartasura dan Yogyakarta, menyempatkan diri mengunjungi peninggalan-pcninggalan purbakala sekitar Yogyakarta termasuk kompleks candi Prambanan (Rara Jonggrang). Laporan-laporan tersebut rupanya menarik hati pejabat-pejabat Belanda, sehingga tahun 1746 Gubernur Jendral Van Imhoff mengunjungi kompleks Prambanan, kemudian berdatanganlah orang-orang, baik atas perintah atasannya maupun atas kehendak sendiri. Kemudian Sir Stamford Raffles yang menjadi Gubemur Jendral di Indonesia pada tahun 1814 sangat tertarik dengar kebudayaan Jawa. Dengan bantuan teman-teman dan bawahannya (orang Jawa) ia meneliti kebudayaan Jawa termasuk candi-candi yang kemudian diterbitkan daiam bukunya yang terkenal yaitu The History of Java (1817) . Pada waktu itu rupanya orang-orang Belanda dan Inggris telah mempunyai pandangan berbeda terhadap "barang-barang aneh" tersebut. Mereka mulai mengagumi candi dan berpikir betapa tingginya nilai seni yang ditampilkan, serta timbul kesadaran betapa tinggi peradaban bangsa Indonesia di masa lalu (Soekmono 1991:3).
Pada tahun 1885 Y.W. Yzerman mendirikan Archaeologische Vereenigins van Jogya, yaitu semacam Badan Purbakala. Sejak itu penelitian terhadap benda benda purbakala dilakukan lebih sistematis, demikian pula mulai dilakukan pemugaran candi-candi besar maupun candi kecil.
Penelitian candi-candi di Jawa maupun di luar Jawa telah banyak dilakukan Karangan-karangan tentang deskripsi candi paling banyak ditemukan, kemudian menyusul karangan mengenai relief candi, fungsi candi, Tatar belakang keagamaan seni arcanya, peranan candi dalam industri pariwisata dan sebagainya."
Jakarta: UI-Press, 1995
PGB 0462
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Soewito Santoso
New Delhi: Institute of Southeast Asian Studies, 1980
899.29 SOE r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>