Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37258 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sebayang, Mesania Mimaisa
"Meningkatnya tuntutan masyarakat untuk menindaklanjuti secara hukum terhadap tindakan medis dokter yang dianggap sebagai perbuatan malpraktek ternyata pada pelaksanaannya menimbulkan permasalahan. Pro dan kontra yang terjadi antara masyarakat dengan para ahli hukum kedokteran sendiri berkaitan dengan definisi malpraktek dan bagaimana menentukan suatu tindakan medic seorang dokter dapat dikategorikan sebagai perbuatan malpraktek. Perselisihan selanjutnya yang timbal adalah adanya dualisme penyelesaian secara hukum atas tindakan medis dokter yang dikategorikan sebagai tindakan malpraktek yang dalam dunia hukum di Indonesia sebagian benar hanya diselesaikan oleh suatu Majelis yang disebut Majelis Kehonnatan Etik Kedokteran (MKEK) yang notabene hanya memberikan sanksi berupa sanksi etika tanpa ada unsur pidananya. Hal inilah yang menimbulkan ketidakpuasan dalam diri pasien dan keluarga sebagai korban pada khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
Dalam kaitannya dengan perselisihan tersebut, maka penulis dalam tesis ini berupaya memaparkan gambaran sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat mengenai rnaraknya tuntutan terhadap tindakan malpraktek yang dianggap telah dilakukan oleh dokter selaku tenaga kesehatan. Oleh karena suatu tindakan medis seorang dokter hares berdasarkan suatu asas yang diistilahkan dengan informed consent, maka perlu dibahas lebih dahulu mengenai asas tersebut sebagai salah satu dasar untuk rnenentukan adanya suatu tindakan malpraktek oleh dokter.
Pembahasan selanjutnya mengenai penyelesaian atas tindakan malpraktek yang dianggap telah dilakukan oleh dokter dikaji dalam dua bagian, yaitu, penyelesaian tindakan malpraktek oleh MKEK dan penyelesaian perkara tindakan malpraktek berdasarkan UU Praktik Kedokteran (UU No. 29 Tahun 2004). Dalam hal ini penulis mengauggap bahwa kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan sehingga alangkah baiknya apabila penyelesaian terhadap perkara tindakan malpraktek tersebut dikaji melalui perspektif etikolegal, yaitu penggabungan antara sanksi etika dengan sanksi pidana yang tentunya hams benar-benar diputuskan secara obyektif dan adil setelah dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan secara utuh dan menyeluruh sehingga memang dapat dibuktikan bahwa seorang dokter telah melakukan suatu tindakan malpraktek yang menimbulkan kerugian terhadap pasein sebagai konsumen jasa layanan kesehatan."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T14459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Putu Agustini
"Dewasa ini perkembangan dunia kedokteran semakin bertambah pesat sehingga tidak saja berfungsi dalam hal penyembuhan namun juga memberikan suatu peluang yang positif terhadap dunia kecantikan. Salah satunya ialah bedah plastik. Dulu suatu tindakan bedah plastik selalu dikaitkan dengan suatu keadaan dimana pasiennya menderita suatu indikasi medis sehingga memerlukan penanganan bedah plastik. Namun dunia kedokteran kini tidak lagi hanya berfungsi apabila adanya indikasi medis, tetapi juga dapat berfungsi sebagai penambah daya tarik kecantikan seseorang. Bedah plastik mempunyai karakteristik yang khusus misalnya dalam hal bedah plastik estetik yang berbeda dengan tindakan medis lainnya. Hal ini disebabkan karena bedah plastik estetik lebih mengutamakan kepada suatu hasil kerja dari dokter bedah plastik yang bersangkutan (Resultaatverbintenis), walaupun memang bedah bedah plastik rekonstruksi merupakan bedah plastik yang lebih mengutamakan daya upaya atau usaha maksimal dari tindakan dokter (Inspaningverbintenis).
Perlindungan hukum atas hak-hak konsumen (pasien) di Indonesia, sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Begitu juga hak-hal pasien telah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Salah satu hak tersebut adalah untuk mendapatkan ganti kerugian atas tindakan pelaku usaha yang menyebabkan kerugian itu. Aspek hukum perlindungan konsumen (pasien) menjadi fokus penting karena tindakan dokter bedah plastik yang sering merugikan konsumen. Dalam hal bedah plastik ada beberapa permasalahan yang dapat timbul seperti tidak adanya pengaturan secara eksplisit yang mengatur mengenai dokter yang berwenang untuk melakukan tindakan bedah plastik. Hal ini menyebabkan banyak dokter yang mengklaim dirinya mampu untuk melakukan bedah plastik.Permasalahan lainnya ialah apabila seorang dokter melakukan Perbuatan Melawan Hukum maupun wanprestasi yang biasanya disebut dengan Malpraktek.
Pemberlakuan klausula-klausula yang bersifat baku sehingga konsumen (pasien) hanya bisa menerima dan tidak adanya kesempatan bernegosiasi dan terkadang klausula tersbut berisi pembebasan tanggung jawab dari pihak dokter bedah plastik. Klausula tersebut sering terdapat dalam Informed consent. Sedangkan alternatif penyelesaian sengketa antara konsumen (pasien) dengan dokter bedah plastik apabila terjadi suatu tindakan malpraktek dalam bidang Perdata, maka dapat diselesaikan baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan yaitu dengan cara musyawarah serta dapat diajukan permasalahan kepada organisasi profesi yang terkait yaitu MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran)."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36564
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Aryani
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas peranan informed consent dan counseling dalam perjanjian layanan medis antara dokter dan pasien pengidap HIV/AIDS ditinjau dari hukum perikatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari penelitian ini diketahui beberapa perundang-undangan yang berlaku sekarang serta peranan informed consent dan counseling bagi pasien HIV/AIDS adalah sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian layanan medis antara dokter dan pasien pengidap HIV/AIDS. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan dan bersifat deskriptif yang memberikan gambaran dan menguraikan keadaan atau fakta mengenai permasalahan informed consent dan counseling serta HIV/AIDS. Analisa dalam penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif.

ABSTRACT
This thesis discusses the role of informed consent and counseling in medical services agreements between physicians and patients living with HIV/AIDS commitments in terms of law and regulations which currently regulate it. From this research it was concluded some of current regulations that regulate informed consent and the role of informed consent and counseling for patients living with HIV/AIDS as one of the legal conditions of medical services agreements between physicians and patients living with HIV/AIDS. The method used in this research is the literature research method which provides an overview and describes the circumstances or facts about the problems of informed consent and counseling. This research in this thesis was using qualitative data analysis."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2010
S21472
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arlista Puspaningrum
"Masyarakat di Indonesia masih banyak yang be etahui hak-hak yang dimilikinya di dalam pelayanan kesehatan, Di sisi lain, masih ada anggapan bahwa dokter tidak mempunyai suatu kesalahan. Akibatnya perlindungan konsumen di bidang jasa pelayanan kesehatan selama ini Bering terabaikan. Perlindungan hukum kesehatan terhadap pasien memang diperlukan untuk menjamin agar tidak terjadi pelanggaran dari tenaga kesehatan.
PermasaIahan dalam tesis ini dibagi menjadi tiga pokok permasalahan, pertama mengenai bentuk hukum dari hubungan antara dokter dengan pasien adalah dalam bentuk transaksi terapeutik dan informed consent. Transaksi terapeutik merupakan perjanjian (kontrak) yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, Sedangkan informed consent merupakan kesepakatan atau persetujuan. Kedua, mengenai implementasi UU No. 8 tahun 1999 dalam hubungan antara dokter dengan pasien. UU No. 8 tahun 1999 meskipun pada dasarnya tidak bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran, tetapi bukan berarti UU No. 8 tahun 1999 dapat iangsung diterapkan pada jasa pelayanan kesehatan. Apabila UU No. 8 tahun 1999 diimplementasikan dalam hubungan antara dokter dengan pasien, berarti pasien dapat diposisikan sebagai konsumen dan dokter sebagai pelaku usaha, hal ini dapat menimbulkan kesan bahwa hubungan pasien dengan dokter adalah hubungan dimana seolah-olah dokter menjual jasanya dengan jaminan sembuh. Selain itu, bila pasien atau keluarganya telah menandatangani informed consent bukan berarti pasien atau keluarganya mendapatkan suatu jaminan "pasti sembuh". Berbeda dengan pelaku usaha yang memberikan jaminan barang dan/atau jasa yang diberikan "pasti baik" dan terjamin mutunya kepada konsumen. Ketiga, mengenai pelaksanaan perlindungan hak-hak pasien dalam hubungan antara dokter dengan pasien. Praktek kedokteran betapapun berhati-hatinya dilaksanakan, selalu berhadapan dengan kemungkinan terjadinya resiko, yang salah satu diantaranya adalah kesalahanikelalaian dokter dalam menjalankan profesinya. Pasien dapat menggugat tanggung jawab hukum kedokteran dalam hal dokter melakukan kesalahanikelalaian dengan dasar hukum Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 55 ayat (1) UU No. 23 tahun 1992. Untuk mencegah terjadinya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan profesinya, bagi pasien adalah dengan menjadi pasien yang bijak yaitu dengan mengambil peran aktif dalam setiap keputusan mengenai pemeliharaan kesehatan. Untuk mengatasi buruknya komunikasi antara dokter dengan pasien, adalah rumah sakit sejak dini menginformasikan hak-hak pasiennya.
Saran yang dituangkan dalam tesis ini adalah bahwa pemerintah diharapkan mengatur transaksi terapeutik dalam suatu undang-undang agar dapat menyeragamkan isi dari transaksi terapeutik. Dengan adanya UU Praktek Kedokteran diharapkan memberikan panduan hukum bagi pare dokter agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab alas profesinya."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T19873
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Kaffa
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penolakan pemenuhan kewajiban imbalan jasa oleh pasien karena tidak terpenuhinya hak pasien atas informed consent dan rekam medis dalam putusan No. 396/PDT.G/2008/PN.JKT.PST. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai peranan informed consent dan rekam medis terkait pemenuhan kewajiban imbalan jasa oleh pasien di rumah sakit serta tanggung jawab hukum rumah sakit terkait penolakan pemenuhan kewajiban imbalan jasa oleh pasien karena tidak terpenuhinya hak pasien atas informed consent dan rekam medis khususnya dalam putusan No. 396/PDT.G/2008/PN.JKT.PST. Pembahasannya dilakukan dengan metode yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa informed consent dan isi rekam medis dapat dijadikan sebagai dasar pembayaran pelayanan kesehatan yang diterima pasien di rumah sakit. Hasil dari penelitian ini menyarankan agar adanya sosialisasi yang lebih terkait apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban antara pasien dan rumah sakit agar masing-masing dapat sadar dan memahami secara utuh hak dan kewajibannya, khususnya dalam hal informed consent dan rekam medis sebagai dasar pembayar pelayanan kesehatan yang diterima pasien di rumah sakit.

ABSTRACT
This thesis discusses the refusal fulfillment of the service fee obligation by the patient due to the non-fulfillment of the patient's right to informed consent and medical record (study case of the court decision 396/PDT.G/2008/PN.JKT.PST). This thesis is focusing on the role of informed consent and medical records related to the fulfillment of service fee obligation by the patient in the hospital and the hospital liability related to the refusal fulfillment of the service fee obligation by the patient due to the non-fulfillment of the patient's right to informed consent and medical record especially in court decision 396/PDT.G/2008/PN.JKT.PST. Research method that is used in this thesis is normative juridical method. This thesis concluded that informed consent and medical record can be used as a basis for payment of the health services received by patients in the hospital. As the outcome, the result of this study suggests that it is advisable to make more informed socialization of the rights and obligations between the patient and the hospital so that each of them can be aware and fully understand their rights and obligations, especially in the case of informed consent and medical records as the basis for payment of the health services received by the patient in the hospital."
2017
S68486
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Brigitta Eva Sonya
"Informed consent merupakan sebuah pondasi sebelum memulai tindakan medis, sebab ia memberikan manfaat perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian medis, diantaranya penghormatan hak pasien sebagai individu dan sebagai bukti izin yang memberi kewenangan bagi dokter untuk melakukan tindakan medis. Tipe penelitian ini adalah deskriptif dan preskriptif, dimana Penulis membahas pengaturan serta implementasi dari informed consent sebagai perlindungan hukum bagi dokter dan pasien melalui analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 864/PDT.G/2019/PN JKT.BRT. Bentuk penelitian adalah yuridis-normatif membahas asas dan norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan menggunakan data sekunder sebagai hasil dari studi kepustakaan dan hasil wawancara kepada narasumber. Dari penelitian ini, ditemukan fakta bahwa pasien yang mendapat tindakan medis, tidak selamanya datang dalam keadaan sadar. Terhadap pasien sadar yang sudah diberikan informed consent juga ditemukan kendala, yakni bagaimana jika terjadi perbedaan antara diagnosis dan kenyataan pada saat tindakan sehingga perlu dilakukan tindakan life saving, hingga perluasan operasi yang sulit didapat jika keadaan pasien tidak sadar. Selain itu penelitian ini juga menemukan adanya inkonsistensi dalam penerapan tanggung jawab rumah sakit terhadap personalianya dalam hal terjadi sengketa medis yang melibatkan informed consent. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ketentuan pengenyampingan informed consent dalam life saving yang diatur Pasal 4 Permenkes 290/MENKES/Per/III/2008 pada praktiknya masih ditemukan kendala karena sulitnya pembuktian, dan berpotensi terjadi sengketa medis. Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah kepada pemerintah terkhusus Kementerian Kesehatan agar membuat aturan yang mengharuskan pihak dokter untuk melakukan diskusi kepada sejawat dan/atau meminta persetujuan direktur rumah sakit, dalam hal akan melakukan tindakan medis kedaruratan yang bersifat invasif dan mempengaruhi hidup pasien. Saran ini dimaksudkan agar kedepannya posisi dokter menjadi aman dan pihak pasien mendapat opini tambahan yang menguatkan alasan dari tindakan dokter.

Informed consent is a foundation before starting medical action because it provides the benefits of legal protection for the parties to the medical agreement, including respect for patient rights as individuals and as proof of permission that authorizes doctors to carry out medical actions. This type of research is descriptive and prescriptive, in which the author discusses the arrangement and implementation of informed consent as legal protection for doctors and patients through analysis of the West Jakarta District Court Decision No. 864/PDT.G/2019/PN JKT.BRT. The form of research is juridical-normative discussing the principles and norms regulated, using secondary data and the results of interviews with source person. From this study, it was found that patients who received medical treatment did not always come conscious. Obstacles were also found for conscious patients who had given informed consent, namely what if there was a difference between the diagnosis and the reality at the time of the procedure so that life saving measures were necessary, to the extent of surgery which is difficult to obtain if the patient is unconscious. In addition, this study also found inconsistencies in the implementation of hospital responsibilities towards its personnel in the event of a medical dispute involving informed consent. This study concludes that the provision for waiver of informed consent in life saving regulated in Article 4 of the Permenkes 290/MENKES/Per/III/2008 in practice still encounters obstacles due to the difficulty of proving, and the potential for medical disputes to occur. The advice that can be given from this research is for the government, especially the Ministry of Health, to make rules that require doctors to hold discussions with colleagues and/or seek approval from the hospital director, in terms of carrying out emergency medical procedures that are invasive and affect the patient's life. This suggestion is intended so that in the future the doctor's position will be safe and the patient will receive additional opinions that strengthen the reasons for the doctor's actions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Apong Herlina
"Dewasa ini kasus sengketa antara dokter dan pasien sebagai konsumen jasa kesehatan semakin marak, sengketa ini banyak bersumber dari lemahnya penyampaian informasi.
Permasalahan:(l) Mengapa hak atas informasi bagi konsumen jasa kesehatan diperlukan?;(2).Bagaimana pengaturan hak atas informasi bagi konsumen jasa kesehatan dalam hukum di Indonesia;(3)PermasaIahan apa yang timbul dalam pelaksanaan hak atas informasi bagi konsumen jasa kesehatan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Temuan: Dalam UU Perlindungan Konsumen, hak informasi merupakan hak konsumen dan sekaligus menjadi kewajiban dari pelaku usaha, pelanggarnya dapat dikenakan sanksi perdata maupun pidana, pangaturan ini sejalan dengan UUD 1945 dan UU HAM, dalam UU Kesehatan hak atas informasi merupakan hak pasien dan dokter wajib menghormati hak tersebut, bagi pelanggarnya ada sanksi administratif, ketentuan ini sejalan dengan Permenkes No. 585 tahun 1989, sedangkan dalam UU Pradok hak atas informasi merupakan kewajiban pasien dan hak dokter,makna hak informasi sebagai hak pasien telah bergeser menjadi kewajiban pasien, terhadap pelanggarnya tidak ada sanksi. Dalam perkara Indra Syarif Yacub Vs. RSCM. Cs, telah teijadi pelanggaran hak atas infomasi mengenai: substansi,waktu penyampaianinformasi, pihak yang menyampaikan, dan cara penyampaian informasi.
Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa: (1). hak atas informasi sangat penting dan bermanfaat baik bagi konsumen jasa kesehatan maupun dokter; (2). Adanya ketidak konsistenan pengaturan hak atas informasi bagi konsumen jasa kesehatan; (3) Masih banyak pelanggaran hak atas informasi ini, karena ada kendala dari pihak dokter, pasien, budaya, perundang-undangan, system pembuktian dan kendala dari tingkat pemahaman para ahli hukum terhadap hak atas informasi.
Rekomendasi:(l)Perlu penegasan bahwa hak informasi merupakan hak asasi manusia;(2)Perlu pengaturan yang konsisten ;(3)Perlu program pemerintah untuk mengurangi kendala yang ada, antara lain, sosialisasi hak alas informasi bagi konsumen jasa kesehatan.

Disputes o f medical doctors and patients as health service consumers have increasingly become significant today as legal case. In many cases lack of information serves as source of the conflict.
The Problems : (1) Why the right to information for health service consumers is need ? (2). How is the regulation o f the right to information for health service consumers in the Indonesian?s law ? (3).What problem could emerge in the implementation of the law on the right to information for health service consumers ?. This study applies of normative legal analysis approach.
The study found out the following : The Law of Consumer Protection stipulates that the right to information is the right of consumers and at the same time the obligation o f health service providers. The Offender could be imposed with civil and criminal sanctions, which is in line with the Constitution 1945 and the Human Rights Law. The right to information in Health Care Law is the right o f patiens, and the doctors are obliged to respect it. The offender could be imposed with administrative sanction. This is in line with the Health Minister Regulation No. 585 / 1989, while on the other hand, the right to information in the Doctors? Practical Law is the obligation of the patients, and there is no sanction on the offender. In the case o f Indra Syarif Yacub Vs. RSCM.cs there has been a violation of the right to informed . The Substance of the case includes the time of giving the information, the party who give the information, and the way of giving the information.
The study came up with the conclution that (l).the right to information is very important and beneficial for both the health service consumers and doctors; (2).there is an inconsistency in the regulation of the right to information for health service consumers;(3).a lot o f violations of the right to information are still happening because some obstacle o f the doctors, the patients, the culture, the law, the system of evidence, and also the level o f perception o f experts about the right to information.
Recommendation: (1). It needs to emphasize that the right to information is a basic right of people;(2)It needs a consistent regulation of the right to information;(3) It needs to have a government program to minimize obstacles, among others, through the socialization o f the right to information for health service consumers."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T37123
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fajrianthi
"Selama ini sudah cukup sering kita mendengar keluhan masyarakat mengenai kurang baiknya mutu pelayanan kesehatan yang mereka terima sebagai pasien. Keluhan ini muncul sebagai reaksi atas kerugian yang mereka alami saat berobat. Misalnya kesalahan dalam mendiagnosa penyakit sampai pada masalah alat kedokteran canggih yang penggunaannya dirasa mengeksploitasi keuangan pasien Menurut dr. Marius Widjayarta (staf ahli bidang kesehatan bidang kesehatan YLKI) pasien paling banyak dirugikan karena dokter kurang memberiksn informasi mengenai keadaan penyakit dan cara pengobatannya kepada pasien.
Hal di atas sebenarnya tidak perlu terjadi mengingat bahwa sejak tahun 1989 telah dikeluarkan Peratuan Menteri Kesehatan no. 585 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau "Informed Consent". Dengan diberlakukannya "Informed Consent", pasien mendapat hak untuk memberikan persetujuannya terhadap tindakan medik yang akan dilakukan, setelah sebelumnya mendapat informasi yang adekwat mengenai tindakan tersebut oleh dokter. Selain memberi perlindungan hukum pada pasien, dengan memberlakukan "Informed Consent", seorang dokter juga tidak akan dapat dituntut ke depan hukum atas tindakan medik yang dilakukannya. Hal ini disebabkan karena tintersebut dilakukan atas sepengetahuan dan seijin pasiennya.
Walaupun "Informed Consent" telah memiliki landasan hukum, namun masalah pember1akuannya tidak terlepas dari "kontrol" masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan. Qleh karena itulah maka pasienpun sebenarnya perlu memiliki pengetahuan tenting "Intg^ed Cgnsent" tersebut. Hal ini panting agar pasien mengetahui haknya dalam suatu palayanan kesehatan dan dapat menuntut haknya taraebut Jika dpktar tidak mambarlakukan "Intprpad Consent dalam pelayanan mediknya.
Bagaimana seorang bertingkah laku dalam 1ingkungannya, tidak lepas dari bagaimana mereka mempersepsikan 1ingkungannya Holander (i9ai) menyatakan bahwa persepsi mengarahkan tingkah laku seseorang di dalam 1ingkungannya. bungan dokter dan pasien, menurut Terrance McConnell (1982) dapat digolongkan sebagai model hubungan "Paternalistic", "Contractual" dan "Engineering". Penggolongan tersebut didasarkan atas pihak mana diantara dokter dan pasien yang lebih dominan dalam memutuskan tindakan medik apa yang akan dilakukan. Selanjutnya, penulis tertarik untuk mengetahui apakah ada hu bungan antara tingkat pengetahuan pasien "Informed Consenf'dengan persepsi terhadap hubungan dokter - pasien.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pihak yang berwenang dalam bidang pelayanan untuk meningkatkan mutu pe1ayanannya. Subyek dalam penelitian ini adalah pasien berusia dewasa dan berakai sehat. Pada mereka akan diberikan sebuah kuesiner yang mengukur tingkat pengetahuan mereka tentang "Informed Consent" dan sebuah kuesioner tentang hubungan dokter - pasien. Pengambilan sampel dilakukan dengan "accidental sampling". Untuk mengolah data tentang tingkat pengetahuan mengenai "Informed Consent" digunakan teknik "percentile", sedangkan untuk melihat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang "informed Consent" dengan persepsi terhadap hubungan dokter - pasien, digunakan teknik perhitungan chi-square. Dari hasil pengolahan data ternyata terbukti ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan pasien tentang "Informed Consent" dengan persepsi terhadap hubungan dokter - pasien."
Depok: Universitas Indonesia, 1992
S2543
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Eka Tirta Arini
"Tesis ini membahas operasi di Rumah Sakit Risa Sentra Medika tahun 2016 dan faktor-faktor yang berhubungan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan Cross Sectional Study. Sampel diambil secara acak, yaitu 235 lembar informed consent pada rekam medis pasien operasi bulan Januari hingga Desember 2016 di Rumah Sakit Risa Sentra Medika serta pengisian kuisioner oleh 10 orang dokter spesialis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pengisian lembar informed consent pada pasien operasi di Rumah Sakit Risa Sentra Medika tahun 2016 adalah 21 item terisi atau sebesar 61% dan bagian yang paling banyak tidak terisi adalah bagian pemberian informasi yaitu sebesar rata -rata 7 item terisi (41%). Bagian informasi yang paling jarang diberikan adalah informasi tentang alternatif tindakan, yaitu hanya sebanyak 51 lembar dari 235 lembar informed consent yang didata (21,7%).
Berdasarkan uji korelasi Spearman Rank, faktor yang memiliki hubungan dengan kelengkapan pengisian informed consent tersebut adalah faktor motivasi dan jenis tindakan operasi. Hal yang dapat disarankan adalah melakukan penyegaran pengetahuan tentang informed consent dan komunikasi efektif kepada dokter spesialis; lembar informed consent juga perlu dikaji ulang agar sesuai aturan identifikasi pasien.

This thesis discusses the completeness of informed consent in surgery patients at Risa Sentra Medika Hospital in 2016 and related factors. This research is a quantitative research with cross sectional study design. Samples were taken at random, ie 235 informed consent sheets in medical records of surgery patients from January to December 2016 at Risa Sentra Medika Hospital and filled out questionnaires by 10 specialist doctors.
The results showed that the average of filling of informed consent sheet in operation patients at Risa Sentra Medika Hospital in 2016 was 21 items filled or 61% and the most unfilled part was the information giving section which was 7 items in average (41%). The most rarely informed section of information is information on alternative actions, ie only 51 sheets of 235 informed consent sheets (21.7%).
Based on Spearman Rank correlation test, factors that are related to the completeness of the filling of informed consent are motivational factors and types of surgical measures. It may be suggested to refresh knowledge of informed consent and effective communication to a specialist; the informed consent sheet also needs to be reviewed to fit the patient identification rules.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T49939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>