Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140397 dokumen yang sesuai dengan query
cover
E. Zaenal Arifin
"ABSTRAK
Konsep jumlah tergolong kategori semantik, seperti halnya jenis kelamin, modalitas, aspektualitas, dan temporalitas yang masing-masing berpasangan dengan kategori gramatikal bilangan, jenis (gender), modus (mood), aspek (aspect), dan kala (tense). Konsep jumlah tersebut merupakan gambaran di dalam pikiran manusia yang menyatakan satu atau tunggal dan lebih dari satu atau jamak tentang maujud, hal, atau peristiwa di dunia nyata atau yang dibayangkan.
"Pengungkapan konsep jumlah di dalam bahasa Sunda" ini berlatar pokok bahasan semantik, yaitu berlatar masalah pengacuan, sedangkan pengungkapannya harus diamati pada tataran morfologi dan sintaksis. Dari sudut semantik ditelusuri berjenis jenis pengacuan yang disandang pleb konsep ketunggalan dan kejamakan. Dari sudut morfologi dan sintaksis analisis data diarahkan pada pemarkahan, pembentukan, dan distribusi ungkapan yang berkonsep ketunggalan dan kejamakan. Di samping 1W, ungkapan tertentu mempertimbangkan juga aspek pragmatik, yaitu yang menghubungkan sistem bahasa dengan pemakaian bahasa di dalam komunikasi (Kridalaksana et al. 1985:6; Verhaar 1996:14; Levinson 1997:9), yang di dalam hal ini siapa pembicara, kawan bicara, di mana, dan kapan diproduksinya ungkapan yang berkonsep jumlah tersebut (Brown dan Yule 1996:27).
Pertanyaan tentang bagaimana pengungkapan konsep jumlah, baik secara leksikal maupun secara gramatikal, belum dirinci dengan jelas. Alat apakah yang dipergunakan sebagai pemarkah jumlah secara leksikal, dan alat apa pula yang dipergunakan secara gramatikal, baik secara morfologis maupun secara sintaktis, belum juga dibahas dengan memadai.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar pokok bahasan pada tujuan penelitian ini adalah:
(a) mengamati, memerikan, dan menjelaskan jenis pengacuan yang disandang each ungkapan yang berkonsep ketunggalan dan kejamakan;
(b) mengamati, memerikan, dan menjelaskan bermacam-macam pemarkah jumlah, baik secara leksikal maupun secara gramatikal;
(c) mengamati, memerikan, dan menjelaskan kendala konstruksi dan distribusi ungkapan yang berpengacuan ketunggalan dan kejamakan.

ABSTRACT
Concepts of numbers are classified as a semantic category, likewise sex, modality, aspectuality and temporality, each of which can be paired with the grammatical category of numeral, gender, mood, aspect, and of tense. Such a concept is formulated in one's mind as being one or singular and being more than one or plural about entities, conditions, and phenomena in a real or imagined world.
The act of expressing the concepts of number in Sundanese concerns mainly with semantic issues, namely references, whereas it has to be observed at the levels of morphology and syntax. From semantic points of view, various referring expressions endowed in the concepts for singularity and plurality are thoroughly analysed in this study. From morphological and syntactical points of view, an analysis is conducted with the focus on the process of marking, forming, and distributing expressions of the concepts for singalurity and plurality. Besides, certain expressions are analysed with some considerations on the aspects of pragmatic, namely those interconnecting a language system and a language use (Kridalaksana et at. 1985:6; Verhaar 1996:14; Livinson 1997:9), and those concerning the speaker, hearer, setting, and time of producing an expression of the concept of number (Brown and Yule 1996:27).
2. Research Objectives
In line with the background stated earlier, the research study aims to
(a) observe, describe, and explain various references shown by the expressions of the concepts for singularity and plurality;
(b) observe, describe, and explain various markers of number, both lexically and grammatically;
(c) observe, describe, and explain the constraints on the formation and distribution of referring expressions of singularity and plurality.
"
2000
D39
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton M. Moeliono
"Bahasa Indonesia sering dijadikan contoh keberhasilan di dalam perencanaan bahasa, khususnya di dalam fungsinya selaku bahasa kebangsaan. Tidak dapat diingkari bahwa kedudukannya di dalam sejarah bahasa, sosial, dan politik Indonesia sangat penting. Beberapa monografi mutakhir memerikan aspek luar-bahasa itu dari berbagai sudut pandangan. Bodenstedt (1967), misalnya, dengan menggunakan ancangan (approach) sosiologi, berusaha menjelaskan tata hubungan antara bahasa kebangsaan dan gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Khaidir Anwar (1976) menangani masalah yang berhubungan dengan pengangkatan bahasa Malaya menjadi bahasa kesatuan nasional di Indonesia dan peranannya kemudian sebagai bahasa negara yang resmi di dalam perspektif sosiolinguistik. Aspek sejarah dan sosiolinguistik juga menjadi perhatian Husen Abas (1978) yang membahas peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa, pemersatu di dalam jaringan kornunikasi antarsuku dan antarbudaya.
Kemiripan telaah penulis ini dengan ketiga tesis yang disebut di atas terletak pada minat terhadap masalah kebahasaan dan cara pemecahannya. Perbedaannya akan tampak di dalam ancangannya yang menempatkan berbagai masalah itu di dalam kerangka teori perencanaan bahasa yang sedang berkembang. Studi ini berusaha mensistemkan konsep-konsep pokok di dalam teori itu dengan bertolak dari praktek pengembangan dan pembinaan bahasa di Indonesia selama ini. Penelaahan itu menghasilkan kerangka acuan baru, yang pada hemat penulis ini, dapat memadukan bermacam-macam pandangan perencanaan bahasa ke dalam kesatuan yang lebih bersistem. Walaupun penulis ini tidak ingin dituduh hanya bermain dengan istilah yang lazim dipakai di dalam kepustakaan perencanaan bahasa, salah satu usaha awalnya, yang dirasakannya perlu dilakukan di dalam kalangan ini, justru berupa pencermatan pembatasan makna istilah yang kadang-kadang masih bersimpang-siur.
Di samping itu, sebagai pengarang yang menulis di dalam bahasa Indonesia, penulis ini juga berhadapan dengan masalah pengungkapan pikirannya di dalam ragam bahasa ilmiah. Atas kepercayaan bahwa perkembangan ilmu dan ragam bahasa ilmiah gantung-bergantung, maka di dalam tulisan ini akan ditemukan sejumlah istilah Indonesia yang mungkin digunakan untuk pertama kali untuk merujuk ke konsep yang pelambangannya di dalam bahasa Inggris sudah disepakati oleh kalangan ahli sosiolinguistik. Penulis ini pun ingin menunjukkan bahwa pergumulannya dengan materi pembahasannya, yang harus direkamkannya di dalam bahasa yang masih sering dianggap orang kurang terkembang, merupakan proses yang kreatif baginya.
Di dalam proses penulisan itu, penulis ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Haugen, pelopor teori perencanaan bahasa, yang lewat karangannya turut mewarnai penafsiran pelbagai pokok bahasan studi ini. Penulis ini juga merasa diperkaya oleh wawasan Ferguson, Fishman, Rubin, Neustupny, dan Jernudd, yang baik lewat percakapan pribadi maupun lewat tulisannya, merupakan sumber bagi apa pun yang berharga di dalam studi ini. Dengan sendirinya penyimpangan anggapan terhadap apa yang disebut perencanaan bahasa yang sekarang dianut oleh penulis ini tidak dapat dipulangkan kepada mereka. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1981
D1004
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton M. Moeliono
"Bahasa Indonesia sering dijadikan contoh keberhasilan di dalam perencanaan bahasa, khususnya di dalam fungsinya selaku bahasa kebangsaan. Tidak dapat diingkari bahwa kedudukannya di dalam sejarah bahasa, sosial, dan politik Indonesia sangat penting. Beberapa monografi mutakhir memerikan aspek luar-bahasa itu dari berbagai sudut pandangan. Bodenstedt (1967), misalnya, dengan menggunakan ancangan (approach) sosiologi, berusaha menjelaskan tata hubungan antara bahasa kebangsaan dan gerakan politik untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Khaidir Anwar (1976) menangani masalah yang berhubungan dengan pengangkatan bahasa Malaya menjadi bahasa kesatuan nasional di Indonesia dan peranannya kemudian sebagai bahasa negara yang resmi di dalam perspektif sosiolinguistik. Aspek sejarah dan sosiolinguistik juga menjadi perhatian Husen Abas (1978) yang membahas peranan bahasa Indonesia sebagai bahasa, pemersatu di dalam jaringan kornunikasi antarsuku dan antarbudaya.
Kemiripan telaah penulis ini dengan ketiga tesis yang disebut di atas terletak pada minat terhadap masalah kebahasaan dan cara pemecahannya. Perbedaannya akan tampak di dalam ancangannya yang menempatkan berbagai masalah itu di dalam kerangka teori perencanaan bahasa yang sedang berkembang. Studi ini berusaha mensistemkan konsep-konsep pokok di dalam teori itu dengan bertolak dari praktek pengembangan dan pembinaan bahasa di Indonesia selama ini. Penelaahan itu menghasilkan kerangka acuan baru, yang pada hemat penulis ini, dapat memadukan bermacam-macam pandangan perencanaan bahasa ke dalam kesatuan yang lebih bersistem. Walaupun penulis ini tidak ingin dituduh hanya bermain dengan istilah yang lazim dipakai di dalam kepustakaan perencanaan bahasa, salah satu usaha awalnya, yang dirasakannya perlu dilakukan di dalam kalangan ini, justru berupa pencermatan pembatasan makna istilah yang kadang-kadang masih bersimpang-siur.
Di samping itu, sebagai pengarang yang menulis di dalam bahasa Indonesia, penulis ini juga berhadapan dengan masalah pengungkapan pikirannya di dalam ragam bahasa ilmiah. Atas kepercayaan bahwa perkembangan ilmu dan ragam bahasa ilmiah gantung-bergantung, maka di dalam tulisan ini akan ditemukan sejumlah istilah Indonesia yang mungkin digunakan untuk pertama kali untuk merujuk ke konsep yang pelambangannya di dalam bahasa Inggris sudah disepakati oleh kalangan ahli sosiolinguistik. Penulis ini pun ingin menunjukkan bahwa pergumulannya dengan materi pembahasannya, yang harus direkamkannya di dalam bahasa yang masih sering dianggap orang kurang terkembang, merupakan proses yang kreatif baginya.
Di dalam proses penulisan itu, penulis ini banyak dipengaruhi oleh gagasan Haugen, pelopor teori perencanaan bahasa, yang lewat karangannya turut mewarnai penafsiran pelbagai pokok bahasan studi ini. Penulis ini juga merasa diperkaya oleh wawasan Ferguson, Fishman, Rubin, Neustupny, dan Jernudd, yang baik lewat percakapan pribadi maupun lewat tulisannya, merupakan sumber bagi apa pun yang berharga di dalam studi ini. Dengan sendirinya penyimpangan anggapan terhadap apa yang disebut perencanaan bahasa yang sekarang dianut oleh penulis ini tidak dapat dipulangkan kepada mereka. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1981
D214
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Njaju Jenny Malik
"Sejak beberapa tahun yang lalu studi sistematik tentang hubungan antara bentuk bahasa dan makna sosial telah berkembang dengan pesat (Ervin Tripp, 1969: 10). Di sini terlihat bahwa bahasa bukan hanya memiliki aspek-aspek linguistik saja tetapi juga memiliki aspek-aspek sosial. Jadi pemakaian bahasa selain tergantung pada strukturnya, juga tergantung pada faktor-faktor sosial.
Kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat menjadi lebih nyata pada pertengahan abad ini. Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengenyampingkan beberapa aspek penting dan menarik, dan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Satu aspek yang mulai disadari adalah hakekat bahwa bahasa adalah suatu gejala yang senantiasa berubah, dan jika diteliti sebagian dari puncak perubahan itu timbal dari masyarakat yang menuturkannya. Sesuatu bahasa itu bukanlah suatu cara pertuturan yang digunakan oleh semua orang bagi semua situasi dalam bentuk yang sama, sebaliknya bahasa itu berbeda-beda tergantung terhadap siapa ia digunakan, oleh siapa, di mana, dan juga mengenai apa.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa untuk dapat berhubungan dengan manusia lain maka manusia menggunakan bahasa. Tanpa bahasa baik lisan maupun isyarat (melalui gerak-gerik tangan, kaki, dan seluruh badan) tak mungkin sesuatu yang terkandung di dalam pikiran dapat dinyatakan. Adapun yang dimaksud dengan alat perhubungan di sini meliputi aspek yang lebih luas. Di dalam konteks warga masyarakat fungsi bahasa adalah sebagai alat untuk menjamin dan mengekalkan hubungan diantara warga dalam masyarakat tersebut.
Selain itu juga bahasa mempunyai fungsi utama dan fungsi khusus. Fungsi utama dari bahasa adalah fungsi komunikasi, di mana fungsi ini memungkinkan para anggota masyarakat bahasa saling mengerti sesamanya. Sedangkan fungsi khusus bahasa adalah fungsi estetis.Oleh karena itu dalam masyarakat pemakai bahasa ada komunitas manusia yang menganggap diri mereka menggunakan bahasa yang sama (language community). Dengan demikian di dalam suatu masyarakat yang majemuk dihasilkan variasi-variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena bermacam-macam sebab, dapat terjadi pertemuan antara dua masyarakat yang masing-masing menggunakan bahasa yang berlain-lainan. Akibatnya penutur kedua bahasa itu dapat belajar unsur-unsur dari bahasa yang lain yang belum dikenal sebelumnya. Kemampuan mengerti sampai dapat menggunakan secara aktif bahasa yang lain itu melahirkan keadaan yang disebut sebagai kedwibahasaan.
Dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dengan sendirinya terdapat pula bermacam-nacam bahasa, yang digunakan untuk berkomunikasi antar anggota masyarakat yang sama penggunaan bahasanya. Dengan kekayaan bahasa daerah yang beratus-ratus jumlahnya di samping bahasa nasional, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat gandabahasa yang semakin sarat dengan beban permasalahan bahasa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dendy Sugono
"Dalam dunia linguistik telaah wacana baru mencapai perkembangan dalam menemukan bentuk dan arah sekitar awal tahun 1970-an walaupun sebetulnya bidang telaah ini telah dimulai sejak berabad-abad yang lalu dengan nama, antara lain, "seni berbicara", retorika. Bidang telaah ini mencapai kejayaannya pada Abad Pertengahan, tetapi pada abad-abad selanjutnya bidang telaah ini telah memudar dari perhatian orang, terutama pada awal abad XX. Pada awal abad itu orang memusatkan perhatiannya pada analisis kalimat atas unsur-unsur yang lebih kecil; kalimat dipandang sentral dan otonom sehingga analisis mereka terlepas dari konteks.
Dalam Bahasa Indonesia penelitian wacana merupakan hal yang baru karena telaah wacana baru mendapat perhatiaan orang setelah tahun 1980-an meskipun satu dasawarsa sebelum itu orang telah sadar akan konteks dalam analisis bahasa. Namun, pengertian konteks di situ mengacu pada kalimat atau pemakaian bahasa (pengaruh masuknya sosiolinguistik di Indonesia).Beberapa penulis telah membuka jalan bagi telaah wacana bahasa Indonesia. Dardjowidjojo (1986) menelaah benang pengikat dalam wacana, Poedjosoedarmo {1986) membicarakan konstruksi wacana, dan Kaswanti Purwo (1987) menelaah pelesapan konstituen dan susunan beruntun dalam menelusuri wacana bahasa Indonesia, serta Moeliono et al (1988) mengemukakan macam wacana dan alat pembentuk wacana: kohesi dan koherensi.
Telaah pelesapan subjek merupakan telaah kohesi (cohesion), telaah perpautan antarkalimat dalam wacana dan perpautan antarklausa dalam kalitnat. Kohesi itu sebagian dinyatakan melalui tata bahasa, disebut kohesi gramatikal, dan sebagian yang lain dinyatakan melalui kosa kata, disebut kohesi leksikal. Kohesi gramatikal meliputi pengacuan (reference), elipsis, dan penyulihan (substitution); sedangkan kohesi 'leksikal meliputi penyebutan ulang, sinonimi, dan kolokasi Konjungsi berada di garis batas antara kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday dan Hassan,1979:6). Dengan pertautan lain, kohesi itu dapat diwujudkan melalui (a) pelesapan (deletion), (b) pemakaian pronomin a,(c) penyulihan, (d) penyebutan ulang, dan (e) pemakaian konjungsi."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
D334
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnetia Maria Cecilia Hermina Sutami
"Bahasa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manusia, karena digunakan sebagai alai berkomunikasi di antara mereka (Lyons 1977:32,57). Melihat perannya yang begitu penting dan besar dalam kehidupan manusia, tidak mengherankan bila penelitian tentang bahasa sudah dilakukan sejak beberapa abad sebelum Masehi. Linguistik modem di Eropa dan Amerika dewasa ini diturunkan clan penelitian bahasa di zaman Yunani Purba yang dipelopori oleh nama-nama filsuf besar seperti Plato, Sokrates, dan Aristoteles. Linguistik Eropa-Amerika inilah yang mempengaruhi penelitian bahasa di Indonesia (Harimurti 199lb:99-127). Bahwasanya bahasa adalah sistem tanda disepakati para sarjana bahasa; tetapi apa hakikat tanda tidak ada kesepakatan. Ketidaksepakatan ini sudah ada sejak zaman Yunani Purba. Penelitian tentang semiotika pada masa purba itu belum disebut semiotika, melainkan masih disebut kajian tentang tanda bahasa.
Perdebatan mengenai masalah bahasa apakah physei atau thesei disebut dalam "The Problem of Cratylus" dan dialog Plato. Bahwa bahasa adalah physei yakni ada kemiripan antara bahasa dengan realitas; disebut juga non-arbitrer atau ikonis-itu merupakan pendapat Plato. Bahwa bahasa adalah thesei-yaitu tiadanya kemiripan antara bahasa dan realitas, disebut juga arbitrer atau non-ikonismerupakan pendapat Aristoteles (Simone 1995:vii). Perbedaan itu menyebabkan timbulnya perbedaan di antara paradigma Plato dan paradigma Aristoteles yang mempengaruhi perkembangan wawasan tentang bahasa. Paradigma Plato dianut oleh kaum naturalis yang menolak kearbitreran; sedangkan paradigma Aristoteles dianut oleh kaum konvensionalis yang menerima adanya kearbitreran antara bahasa dan kenyataan.
Pada abad Pertengahan (abad 17-18 M) kajian tentang tanda bahasa tetap dijalankan, kontroversi di antara kaum konvensionalis dan naturalis tetap berlangsung. Pada masa itu kita jumpai nama-nama filsuf seperti Locke, Berkeley, Leibniz, Hume, dan Lambert yang memberi sumbangan pada semiotika.
Pada permulaan abad modem (abad 19) kita jumpai dua nama besar yang dianggap sebagai pelopor semiotika modem yang mewakili paradigma yang berbeda, yakni Saussure dengan paradigma Aristotelesnya dan Peirce dengan paradigma Platonya. Teori kedua tokoh ini seringkali dijadikan teori dasar dalam mengkaji satuan-satuan bahasa yang menggunakan sudut pandang semiotika."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
D367
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
R. Kunjana Rahardi
Yogyakarta: Andi, 2006
407.1 KUN b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Suwito
"This study aims at describing the choice and selection of a language and its varieties, from the point of view of the kinds of constraints and the utterance of the speakers in the Javanese speech community in the three villages in Surakarta municipality.
This study is based on the assumption that in a Javanese speech community there are at least two languages playing the role as communicative codes i.e. Javanese and Indonesian. In the communication process one choose between Javanese and Indonesian or the varieties of the two. The two languages and their vanities cannot be used haphazardly in all events and in all situations ; The uses of those languages must conform to social, cultural, and situational fact-ors found in Javanese society. Such lack constraints in using a particular variety of a language signals a trend of the selection of language i.e. for what specific purpose a speaker uses a language and in what situation he/she uses another.
The selection of language in a society constitutes one of the features that shows a diglosic situation. In Javanese society the selection of a language is still colored by the deviation utterances of their speakers, due the interference phenomena from Javanese elements into Indonesian. Such phenomena lead to an impression that there is still an overlapping use of Javanese and Indonesian by speakers in general. the overlapping use of the two languages in the Javanese speech community of the-three villages of Surakarta indicates that the disglosic situation is not yet steady.
The application of extra linguistic constraints on the choice and selection of a language is based on the concept of the components of speech, proposed by Dell Hynes (1972), and on its elaboration by Poedjosoedarmo (1979). And the analysis of speech deviation is based on the interference phenomena as discussed by Weinreich (1968), Dittmar (1976), and hababan {1977). By those approaches, the choice and selection of language and it constraints and tha application in the utterances would be able to be explained, and the social, cultural, and situational background of the unstable diglosic situation in Javanese speech community of Surakarta can be examined."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
D354
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Warouw, Martha Solea
"Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi Negara Republik Indonesia perlu diteliti dan dibahas secara tuntas. Ketuntasan ini seharusnya meliputi semua aspek bahasa Indonesia, mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis, sampai pada wacana. Akan tetapi, penelitian tentang wacana bahasa Indonesia masih memprihatinkan.
Sepanjang pengetahuan saya, baru ada beberapa bahasan yang ada kaitannya dengan analisis wacana bahasa Indonesia (Currier, 1977; Rafferty, 1982; 1983, Dardjowidjojo, 1986; Sihombing, 1986; Kridalaksana, 1987; Kasvvanti Purwo, 1986, 1988, 1989; Tallei, 1988; Baryadi, 1988; Purwadi, 1991; Salea-Warouw, 1991, 1992a, 1992b, 1994). Alwi et al. (1993, 471-509) dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia lebih banyak memberikan gambaran umum mengenai wacana bahasa Indonesia.
Banyak hal yang dapat diteliti dalam wacana bahasa Indonesia. Salah satu aspek gramatika wacana bahasa Indonesia yang masih sangat kurang diperhatikan adalah kombinasi predikasi. Padahal, kombinasi predikasi dalam wacana merupakan alat yang ampuh untuk menyampaikan dan menerima informasi dalam komunikasi antarmanusia."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
D429
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>