Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 834 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jamison, Kay Redfield
"Dr. Kay Redfield Jamison, penulis buku ini adalah seorang profesor ahli psikiatri di Fakultas Kedokteran John Hopkins University. Dia juga seorang psikiater, dan telah banyak menangani dan merawat pasien penderita penyakit mania-depresi. Selama menempuh kariernya, dia juga mengalami depresi parah seperti yang diderita pasiennya. Itulah yang dituliskannya dalam buku ini.
Sebelum baca buku ini, saya sempat berasumsi bahwa mungkin si penulis menjadi ‘gila’ karena keseringan mengurusi orang ‘gila’….he..he…
Ternyata, bukan. Mania depresi yang diderita Kay sebenarnya berakar dari persoalan keluarga dan beban pekerjaan. Nggak ada pengaruh dari pasien yang dirawatnya.
Yang menarik adalah, Kay tidak melulu cerita tentang penyakit mania-depresi, tapi juga tentang kisah hidupnya, keluarga dan kehidupan cintanya. Membaca buku ini memberi banyak wawasan tentang kelainan-kelainan jiwa dalam tingkatan tertentu, termasuk obat-obatan yang berkaitan dengan penyakit tersebut, seperti lithium.
Akan lebih lengkap jika sebelumnya Anda juga membaca “Mereka Bilang Aku Gila” sehingga lengkaplah pengetahuan kita mengenai berbagai kegilaan…he..he…
Buku ‘Mereka Bilang Aku Gila’ ini ditulis oleh penderitanya sendiri, Ken Steele. Ken, dihampiri penyakit mental seperti skizofrenia sejak umur 14 tahun, yang membuatnya selalu dalam ketakutan. Ketiadaan dukungan keluarga membuatnya benar-benar gila dan harus terus berurusan dengan rumah sakit dan obat-obatan. Kisah Ken lebih parah dari Kay. Bukan hanya karena dorongan untuk bunuh diri yang sering menyergapnya, tapi juga ‘tudingan’ setiap kali ada musibah atau kematian di sekelilingnya. Selalu Ken lah yang dituding sebagai penyebabnya. Sapa yang menuding? Gak ada. Hanya suara-suara yang terus menganggunya dari masa ke masa.
Walaupun berbeda kasus, ada benang merah yang dapat ditarik dari kedua buku ini.
Pertama, rata-rata penyebab gangguan jiwa adalah kerapuhan mental seseorang dalam menghadapi persoalan di keluarga atau di lingkungannya. Cilakanya, seringkali mental seseorang justru menjadi rapuh karena berbagai persoalan tersebut. Penyakit pun biasanya akan makin parah jika tidak ada penerimaan atau dukungan dari lingkungan.
Kedua, kesembuhan hanya akan diperoleh jika penderita sendiri sungguh-sungguh ingin sembuh. Ada kekuatan yang tak terkalahkan jika seorang penderita penyakit apapun meneguhkan sikap bahwa dia ingin sembuh. Tentu saja harus dibarengi dengan kedisiplinan dalam segala hal, termasuk disiplin memanage emosi.
Ketiga, cinta merupakan obat paling mujarab untuk penyakit apapun, apalagi penyakit ‘kegilaan’...:)
-----------------------------------
Risensi oleh: Kalarensi Naibaho
"
Bandung : Q-Press, 2006,
616.891 Jam a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Ichsan Andi
"Sebagai salah satu unsur yang membangun cerita pada karya sastra anak, tokoh melakukan berbagai tindakan. Sama halnya dengan manusia, motif tindakan tokoh dipengaruhi oleh aspek psikologis atau kejiwaannya, baik secara sadar, prasadar, maupun tidak sadar. Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti memfokuskan bahasan terhadap motif tidak sadar tindakan melarikan diri tokoh Matara yang ada di dalam Mata dan Rahasia Pulau Gapi  atau MDRPG (2018) karya Okky Madasari. MDRPG menceritakan seorang tokoh bernama Matara yang berusaha menjaga benteng tua di Pulau Gapi. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan teori psikoanalisis Sigmund Freud, terutama id, ego, dan superego. Penelitian dilakukan untuk menelaah motif tidak sadar tindakan melarikan diri tokoh Matara. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menghasilkan temuan motif tidak sadar kedua tindakan melarikan diri Matara yang dilatari oleh instansi psikis id, ego, dan superego. Motif tidak sadar tindakan melarikan diri pertama adalah adanya dorongan instansi psikis id untuk memenuhi kepuasan rasa senang pada diri Matara dengan cara memunculkan rasa kebosanan. Selain itu, ego mengaktifkan mekanisme pertahanan represi, pengalihan, dan fiksasi. Juga, superego menilai bahwa Matara mendapatkan hukuman (punishment) tanpa pernah mendapatkan penghargaan (reward) atas usaha-usaha yang dilakukannya. Sementara itu, motif tidak sadar melarikan diri kedua adalah id dan ego menilai bahwa eksistensi ayah memiliki peranan yang penting. Dalam hal itu, ego mengaktifkan juga mekanisme pertahanan represi dan pembentukan reaksi.

As one of the intrinsic element that builds stories in children's literature, the character takes various actions. As well as human, the motive of the character's actions are influenced by psychological aspects of preconscious, conscious, and unconscious. In this research, the researcher focuses the discussion on the unconscious psychological motive of Matara`s flee action in Okky Madasari`s Mata dan Rahasia Pulau Gapi or MDRPG (2018). MDRPG tells of a character named Matara who tried to protect the old fort on Gapi Island. This qualitative research uses the approach of Sigmund Freud's psychoanalysis theory, especially on the id, ego, and superego. The study was conducted to examine the unconscious psychological motive of the Matara`s flee action. As the conclusion, this research resulted the discovery of the unconscious motive of two Matara`s flee actions which were based on the id, ego, and superego. The unconscious motive of the first act was the encouragement of the psychic aspect of the id to fulfill the satisfaction of Matara`s pleasure by giving rise to a feeling of boredom. In addition, the ego activates the defense mechanisms of repression, displacement, and fixation. Also, the superego considered that Matara received punishment without ever being rewarded for her efforts. Meanwhile, the unconscious motive of the second act is the id and ego assesses that the existence of her father has an important role. In that case, the ego also activates the defense mechanism of repression and reaction formation."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lettisia Adisty
"Penelitian ini membahas novel yang berjudul ZAPISKI IZ PODPOL'JA/CATATAN BAWAH TANAH karya Fyodor Dostoyevsky. Di dalam penelitian ini, pembahasan difokuskan pada kepribadian tokoh utama, yaitu tokoh 'aku', yang dianalisis dengan menggunakan teori Psikoloanalisis Erik H. Erikson. Teori Erikson dalam ilmu psikologi perkembangan kepribadian, berdasarkan perkembangan ego yang dibagi menjadi delapan fase, terjadi melalui pengalaman sosial dan lingkungan seseorang. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Hasil analisis penelitian ini menyatakan bahwa perilaku-perilaku tokoh 'aku' yang menyimpang dikarenakan dia tidak memiliki struktur kepribadian yang seimbang pada dirinya sehingga mempengaruhi kehidupan sosialnya, dan mengakibatkan tidak terciptanya aktualisasi identitas dirinya.

This research discusses the novel ZAPISKI IZ PODPOL JA NOTES FROM UNDERGROUND work of Fyodor Dostoyevsky. In this research, the discussion focused on the personality of the main character, the cast of I , which is analyzed by using the theory Psikoloanalisis Erik H. Erikson. Erikson theory in psychology of personality development, based on the development of the ego which is divided into eight phases, occurs through social experience and a person 39 s environment. The method used is descriptive analysis method. The results of the analysis of this research stated that the behaviors of leaders 39 I 39 distorted because he did not have the personality structure balanced on his thus affecting his social life, and the result was not the creation of the actualization of his identity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Pines, Dinora
London: Viargo, 1993
616.891 7 PIN w
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Laplanche, Jean
London: Routledge, 1999
150.195 LAP e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Munroe, Ruth L.
New York: Dryden Press, 1955
131.346 MUN s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Brenner, Charles
New York: Anchor Book, 1973
616.89 BRE e
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Polimpung, Hizkia Yosias
"Kedaulatan adalah sebuah paradoks: di satu sisi nampak tak mungkin untuk menjadi benar-benar berdaulat, tetapi di sisi lain ada kerinduan untuk senantiasa menjadi berdaulat. Kedaulatan adalah ironis: demi mencapai perasaan kedaulatan, negara rela menyakiti diri sendiri maupun negara lain. Kedaulatan senantiasa memiliki dua wajah: wajah muram dan wajah beringas. Studi ini memulai diskusinya dengan mempertanyakan mengapa negara bersikeras mencapai suatu kedaulatan sekalipun hal tersebut mensyaratkan kekerasan, baik pada diri sendiri maupun pada negara lain. Strategi yang ditempuh untuk menjawab pertanyaan studi ini adalah dengan melacak asal usul kedaulatan negara modern pada Perjanjian Westphalia 1648. Hasil pelacakan tersebut adalah berupa jawaban mengapa kedaulatan akan selalu paradoksal.
Dengan menggabungkan pendekatan Psikoanalisis Jacques Lacan dan Genealogi Michel Foucault, penulis pertama-tama mendesain suatu kerangka analisis yang sesuai bagi pelacakan asal-usul kedaulatan ini, yaitu yang penulis sebut Psikogenealogi. Melalui psikogenealogi, dapat dianalisis bagaimana suatu rezim kebenaran tidak dapat dilepaskan dari hasrat-hasrat tak sadar para pihak/partisipannya dan juga bagaimana rezim itu berhasil menyingkirkan rezim-rezim kebenaran lain pada masanya. Hal berikut yang dilakukan adalah dengan mengeksplorasi tesis makrosubyektivitas yang marak menjadi asumsi dasar terorisasi negara berdaulat. Hasil eksplorasi tersebut nantinya akan mampu melampaui tesis makrosubyektivitas dengan menekankan bahwa negara pada dasarnya memang merupakan manusia-makro, dan bukan analogi. Hal ini hanya akan dapat dilakukan dengan melinguistisasi ?manusia? dan ?negara?, yaitu bahwa keduanya hanyalah efek bahasa.
Berikutnya, dengan dibantu gagasan fasisme dari Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subyeksi Judith Butler, dan abyeksi Julia kristeva, penulis menggariskan beberapa konsep yang akan berpengaruh bagi pemahaman tentang kedaulatan itu sendiri, yaitu di antaranya: kedaulatan itu sendiri, paradoks kedaulatan, komodifikasi kedaulatan, logika kedaulatan.
Melalui studi ini, penulis menyimpulkan bahwa sifat paradoksal dari kedaulatan adalah merupakan bawaan semenjak gagasan kedaulatan tersebut muncul pada sekitar abad-12. Kedaulatan muncul dari kegelisahan raja akan ke-diri-an yang utuh dan otonom. Kegelisahan inilah yang nantinya mengkonstrusikan suatu fantasi tentang kedaulatan, yang berikutnya akan diperjuangkan mati-matian. Negara-modern merupakan hasil perjuangan mati-matian tersebut. Jadi, studi ini menekankan bahwa sedari awalnya, kedaulatan adalah selalu untuk memenuhi fantasi ideal tentang kepenuhan diri. Dan sejarah membuktikan bahwa fantasi tersebut adalah selalu merupakan fantasi raja. Sehingga pada dasarnya, negara didirikan adalah untuk merealisasikan hasrat fantastis dari raja. Natur fasis dalam diri raja akan membuatnya mempertahankan mati-matian kedaulatannya. Upaya raja adalah menggunakan universalitas sebagai landasan kedaulatannya. Universalitas ini akhirnya berfungsi sebagai komoditas kedaulatan. Inilah logika kedaulatan, yaitu bahwa sang berdaulat akan selalu mengkomodifikasi universalitas demi membenarkan dan melanggengkan eksistensi berdaulatnya.
Pemikiran ini penulis teruskan dengan memahami praktik kedaulatan AS di era Perang Global Melawan Teror. Melalui kasus AS ini penulis menunjukkan bahwa inti dari konsep kedaulatan, yaitu fantasi ke-diri-an ideal, belumlah berubah dari versi Westphalianya. Hal ini akhirnya menjadi tidak relevan berbicara tentang kedaulatan kontemporer. Oleh karena itu kedaulatan kontemporer adalah selalu kedaulatan kontemporer.

Sovereignty is a paradox: on the one hand it seems impossible to be truly sovereign, but on the other hand there is a desire to be always sovereign. Sovereignty is an irony: for the sake of achieving the sensation of sovereignty, states are willing to do violence upon itself and others. Sovereignty has always had two faces: gloomy face and furious face. The present study begins its discussion by questioning the reason why states perseveringly insist on attaining sovereignty even it requires violence, both upon its own self and towards other states. The strategy undertaken to address this question is by tracking back the genesis of modern state sovereignty on the Westphalia Peace Treaty 1648. The findings will be the answer of why sovereignty will always be paradoxical.
By Combining Jacques Lacan?s Psychoanalysis and Michel Foucault?s Genealogy, the author first designs an analytical framework that fits this tracking of sovereignty genesis, which is what to be called Psychogenealogy. Psychogenealogy could understand how a regime of truth is inseparable from the unconscious desires of its parties/participants and also how that regime could manage to shove aside other regimes of truth on its time. The next thing being done is exploring he macro-subjectivity thesis that is often to be the basic assumption for modern state theorizing. The result of this exploration will be able to go beyond this thesis of macro-subjectivity by arguing that the state in its essence truly is a macro-human, and not a mere analogy. This could only be done by what the author called ?lingusticizing? the ?human? and ?state?, which is by construing that the two is just an effect of language.
Next, with help of the concept of fascism from Gilles Deleuze dan Félix Guattari, subjection of Judith Butler and abjection of Julia Kristeva, the author outlines some concepts that will be a significant influence on the understanding of the sovereignty itself: the sovereignty itself, sovereignty paradox, sovereign commodification, commodity of sovereignty and sovereignty logic. By this present study, the author concludes that the paradoxical nature of sovereignty is hereditary since the idea of sovereignty emerges circa 12th Century. Sovereignty, as a concept, arisen out of kings? anxiety at that moment toward a sense of integrated and autonomous self. It was this anxiety that provoke fantasy construction of sovereignty, which in its turn would be hard-fought. Modern state is the result of that hard-fought. So, this study stresses from the very outset that sovereignty is always functions to fulfill an ideal fantasy toward an integrated and autonomous self. And as history testifies, the fantasy is always the kings? fantasy, and not the people?s. That one can say that in its very basic, state is founded only to realize and manifest the kings? fantastic desire toward sovereign self. Fascistic nature embedded in those kings has always made them pereseveringly hard-fought their sovereignty. It is done by invoking universalities as its basis of sovereignty practices. These universalities eventually functions as commodity of sovereignty. This is the very logic of sovereignty?that is that the sovereign will always commodifies universalities to justify and perpetuate its sovereign existence.
By this understanding of the nature of sovereignty, the author carries on to take account toward the practice of sovereignty of the United States in this present era of Global War on Terror. By the US case the author shows that the core of the conception of sovereignty, that is the ideal fantasy of self-hood, has not changed yet from its Westphalian version. This, in the end, renders irrelevant any conversation about contemporary sovereignty. Thus, contemporary sovereignty is always contemporary sovereignty."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2010
T27924
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jung, C.G. (Carl Gustav), 1875-1961
"Buku ini merupakan buku Jung tentang psikoanalisis mengenai mother, rebirth, spirit, trickster."
London: Routledge, 2001
150.195 4 JUN f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Freud, Sigmund, 1856-1939
Jakarta: Gramedia, 1983
150.19 FRE m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>