Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117295 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erlin Yuliastuti
"Kekayaan alam berupa hutan merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai harganya. Oleh karenanya, hutan wajib diurus dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan akhlak mulia sebagai ibadah dan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hutan banyak manfaatnya bagi kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Salah satu manfaat hutan secara langsung adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kayu tersebut ditebang dan kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemanfaatan kayu tersebut harus berdasarkan ijin dari Departemen Kehutanan.
Namun pada kenyataannya, banyak pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan kerusakan hutan yang salah satunya adalah perdagangan kayu ilegal. Tindak pidana perdagangan kayu ilegal sangat marak diIndonesia dan melibatkan banyak pelaku dan merupakan tindak pidana yang rapi dan teroganisasi. Hal mendasar yang menyebabkan sulitnya memberantas perdagangan kayu ilegal adalah karena perdagangan kayu ilegal adalah termasuk kategori "kejahatan teroganisasi". Kegiatan ini melibatkan banyak pelaku yang teroganisasi dalam suatu jaringan yang sangat solid, luas rentang kendalinya, kuat dan mapan. Oleh karena itu penegakan hukum perlu diwujudkan melalui sistem peradilan pidana. Proses penegakan hukum di bidang kehutanan khususnya terhadap pelaku perdagangan kayu ilegal dilakukan melalui suatu sistem yang dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system).
Sistem Peradilan Pidana terdiri dari komponen-komponen antara lain Kepolisian, PPNS Kehutanan, Kejaksaan, Kehakiman dan Lembaga Pemasyarakatan. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur pengelolaan hutan dan basil hutan dengan tujuan agar hutan dapat dikelola secara proporsional dan tidak mengurangi nilai kegunaannya. Dalam praktek penanganan kasus perdagangan kayu ilegal, proses penegakan hukum terhadap perdagangan kayu ilegal sangat lemah. Salah satu faktor lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan kayu ilegal ditandai dengan penanganan tindak pidana perdagangan kayu ilegal yang tidak integral (menyeluruh) karena pelaku intelektual yang berkaitan langsung seperti pemodal, pemesan, pengirim, pemalsu dokumen, saw mill yang berperan sebagai penghubung jarang sekali dipidana dan hanya orang-orang lapangan Baja yang dipidana.
Selain itu banyak faktor yang menyebabkan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan kayu ilegal sehingga hal tersebut menjadi kendala dalam penegakan hukum. Dalam penegakan hukum diperlukan sinkronisasi dalam sistem hukum yaitu sinkronisasi substansial, sinkronisasi struktural dan sinkronisasi kultural. Sistem dapat berjalan dengan baik untuk mencapai tujuan jika semua sinkronisasi sistem hukum saling mendukung dan melengkapi. Dengan demikian penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan kayu ilegal dalam sistem peradilan pidana perlu didukung oleh sinkronisasi sistem hukum."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16617
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Rachman
"Dalam penulisan tesis ini membahas mengenai penegakan hukum terhadap Tindak Perdagangan Orang. definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang dewasa ini mengacu pada Protokol Palermo yang merupakan sebuah perjanjian internasional. Protokol tersebut merupakan sebuah perangkat hukum yang mengikat dan mewajibkan bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya termasuk Indonesia. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hukum Acara Pidana yang digunakan pada penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang pada dasarnya adalah Hukum Acara sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali mengenai ketentuan khusus mengenai alat bukti, pembuktian dan hak-hak korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Dari hasil penelitian yang sifatnya yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi, penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta teknik wawancara dengan para nara sumber diperoleh kesimpulan yaitu meskipun dalam Undang-undang 21 tahun 2007 diatur mengenai ketentuan pembuktian yang memuat 1 (satu) keterangan saksi saja sudah cukup apabila disertai dengan alat bukti lainya (pasal 30 Undang-undang 21 tahun 2007) tetapi para aparat penegak hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan masih menganut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang diatur secara tegas dalam hukum acara (KUHAP) pasal 185 ayat (2). Lebih lanjut, ketentuan mengenai hak korban untuk mendapatkan restitusi seringkali tidak diperhatikan oleh para penegak hukum kita karena lebih mengutamakan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara daripada keadilan yang seharusnya didapatkan oleh korban atas penderitaanya yang menjadi objek perdagangan orang.

This thesis discussed the enforcement of the Acts of Trafficking in Persons. Definition of the Crime of Trafficking in Persons today refers to the Palermo Protocol is an international treaty. The Protocol is a legal instrument that binds and obliges all countries that ratified or acceded including Indonesia. An Act No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons defines trafficking as an act of recruitment, transportation, shelter, transportation, transfer, or receipt of a person by threats of violence, the use of violence, kidnapping, abduction, fraud, deception, abuse of power or vulnerable position, trapping the debt or giving payments or benefits to achieve consent of a person having control over another person, whether committed in the country and between countries, for the purpose of exploitation or the cause of the exploited. Criminal law is used in law enforcement on the Crime of Trafficking in Persons is basically the Law of Procedure as defined in Law No. 8 of 1981 on the Book of Law Criminal Code (Criminal Code), except on special provisions concerning the evidence, proof and victims' rights as stipulated in Law No. 21 of 2007.
From the results of studies that are juridical and normative data collection methods that include, library research through the collection of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary legal materials, and techniques of interviews with informants Although the conclusion that the Act 21 of 2007 set regarding the provision of evidence that includes one (1) witness is sufficient if accompanied by other evidence (section 30 of Act 21 of 2007) but the law enforcement agencies in submitting his case to the courts still adhere to the principle of Unus nullus testis testis (one witness is not a witness), which is set firmly in procedural law (Criminal Code) Article 185 paragraph (2). Furthermore, the provisions regarding the rights of victims to restitution often overlooked by law enforcement because they prefer the rule of law in the resolution of the case rather than justice that ought to be obtained by the victim for his suffering which is the object of trafficking in persons.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30369
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
NMIK 2001/2002/2003
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
"ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 

ABSTRACT
Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suoth, Nophy Tennophero
"ABSTRAK
Dewasa ini peranan dan aktivitas korporasi sangat strategis. Tidak jarang dalam
praktiknya korporasi dapat menjadi sarana untuk melakukan kejahatan dan
memperoleh keuntungan dari hasil kejahatan. Tesis ini membahas mengenai latar
belakang penetapan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam UU No. 31
Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, proses penuntutan
pidana terhadap korporasi, kendala-kendala dalam penegakan hukum pidana
terhadap korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan upaya mengatasi
kendala-kendala tersebut serta evaluasi terhadap jenis pidana denda terhadap
korporasi dalam UU tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif
yang didukung penelitian empiris. Sedangkan analisis hasil penelitian dilakukan
dengan menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai
data pendukung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuntutan dan penjatuhan
pidana hanya terhadap pengurus korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi
dianggap tidak adil sementara terhadap korporasinya tidak dilakukan penuntutan
pidana. Secara umum, proses penuntutan pidana bagi subyek tindak pidana
korporasi berlaku sama seperti halnya pada proses penanganan perkara terhadap
subyek tindak pidana perorangan. Namun terdapat hal-hal yang berbeda
khususnya dalam hal mengenai perwakilan korporasi, pencantuman identitas
tersangka/terdakwa, penyusunan konstruksi surat dakwaan dan mengenai
pelaksanaan putusan pidana denda terhadap korporasi. Dalam praktiknya, terdapat
kendala-kendala dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap korporasi dalam
perkara tindak pidana korupsi yaitu meliputi faktor hukum dan faktor penegak
hukum. Penelitian ini menyarankan perlu adanya perubahan pola pikir dan pola
tindak dari aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan pidana terhadap
korporasi dalam perkara tindak pidana korupsi dan pentingnya upaya
pembaharuan undang-undang tindak pidana korupsi yang meliputi materi
termasuk jenis pidana terhadap korporasi maupun hukum formilnya.

ABSTRACT
Today, the role and the activity of the corporation are very strategic, not rare in
practice the corporation could become means of carrying out the crime and
obtaining the profit from results of the crime. This thesis throughly overview it
backgrounds of appointment of corporation as a subject of criminal law in UU No.
31/1999 and revised with UU No. 20/2001, criminal prosecution of corporation,
obstacles and obvious hindrances in prosecuting corporation in infringement of
corruption crimes with any effort to overcome such prosecute obstacles as well as
evaluation of corporate criminal fine applied within the acts. This research
represents normative juridical research using secondary data as primary data and
primary data as supporting data. Research conclusion has indicated that
prosecutions and criminal penalties to corporate managements considered as
unfair without placing related corporation as a mutual subject of prosecution. In
general, prosecute process for corporate crime subject is identical with prosecute
process of personal crime. However, there are some dissimilarity, particularly
with regards to corporation representation, identity exposure of defendant,
configuration of allegation letter and concerning implementation of fine against
corporation. In practical matters, there are apparent obstacles within the law
enforcement process in corruption criminal cases by corporation namely the legal
factor and the law enforcer factor. This research recommended need the existence
of the change in the pattern thought and the pattern of the act from the upholder's
apparatus of the law to carry out the criminal demanding against the corporation
in the case of the criminal act of corruption and the importance of criminal efforts
of corruption that cover material including the criminal kind against the
corporation and his formal law of reform of act regulations."
2009
T37288
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rantung, Alfian
"Tesis ini membahas mengenai Optimalisasi Tugas Penegak Hukum Di Laut Dalam Sistem Pengamanan Terpadu Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing. Ada beberapa aturan yang telah dibuat oleh pemerintah dan kementerian dalam rangka untuk mengambil kebijakan terhadap penegakan hukum terhadap illegal fishing di laut agar bisa optimal efisien dan efektif. Akan tetapi secara aplikatif dilapangan masih belum dapat memenuhi target dalam meminimalkan tindak pidana illegal fishing di laut, dimana terdapat pelaku-pelaku kejahatan illegal fishing baik dilakukan oleh KII dan KIA yang belum tertangkap dan masih beroperasi di wilayah laut NKRI, serta masih banyaknya sumber daya perikanan yang di ambil secara ilegal oleh pelaku kejahatan dilaut.Tesis ini akan menjelaskan konsep bagaimana mengoptimalkan tugas penegakan hukum secara terpadu oleh aparat penegak hukum dil aut yang diberikan wewenang oleh undang-undang. Tesis ini juga akan menjabarkan banyak persoalan yang menjadi kendala dan solusi dalam menegakan tidak pidana illegal fishing di Indonesia agar bisa berjalan dengan optimal efisien dan efektif.

This thesis discusses the Optimization of the Duty of Law Enforcement in the Sea in an Integrated Security System Against Illegal Fishing Crimes. There are several rules that have been made by the government and ministries in order to take policies on law enforcement against illegal fishing in the sea in order to be optimally efficient and effective. However, applicatively in the field it still cannot meet the target of minimizing the crime of illegal fishing in the sea, where there are perpetrators of illegal fishing both carried out by KII and KIA who have not been caught and are still operating in the NKRI sea area, as well as many fisheries resources which is taken illegally by criminals in the sea. This thesis will explain the concept of how to optimize the task of law enforcement in an integrated manner by law enforcement officers in the sea which is authorized by law. This thesis will also describe the many problems that become obstacles and solutions in upholding not criminal illegal fishing in Indonesia in order to run optimally efficiently and effectively."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T52122
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Joyo Supeno
"Secara universal pada dekade ini penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia semakin tinggi, namun pada ruang lingkup yang kecil (sistem peradilan pidana) masih terdapat pihak yang belum diperhatikan kedudukan dan peranannya, yaitu korban tindak pidana kejahatan. Korban tindak pidana kejahatan konvensional pada hakekatnya mempunyai hak dan kewajiban dalam sistem peradilan pidana, sebagaimana yang dirumuskan secara konstitusional dalam Pasal 27 Undang Undang Dasar 1945, secara idiologis tercermin dalam nilai-nilai dari sila-sila Pancasila dan secara moral terumuskan dalam Declaration of Human Rights, Declaration o f Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power dan International Covenant on Civil and Political Rights. Namun secara yuridis-formal kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan masih belum diperhatikan secara optimal, bahkan para ilmuwan Hukum Pidana dan Kriminologi secara sinis mengatakan, bahwa korban tindak pidana kejahatan merupakan pihak yang terlupakan. Perundang-undangan pidana Indonesia (KUHP dan KUHAP) lebih banyak mengatur kepentingan hukum tersangka/terdakwa dan fungsionalisasi tanggungjawab aparat peradilan pidana. Kedudukan dan peranan korban tindak pidana kejahatan dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelapor/pengadu dan saksi. Kepentingan hukumnya sebagai pihak yang dirugikan (pencari keadilan) hanya terumuskan dalam Pasal 14 c KUHP dan Pasal 98 ayat (1) KUHAP, itu pun tidak pernah terealisasi. Ada suatu kondisioning yang berpengaruh terhadap kondisi korban tindak pidana kejahatan, yaitu pertama, perundang-undangan yang belum jelas dan tegas, meskipun ada indikasi diperhatikannya korban tindak pidana kejahatan dalam Konsep Rancangan KUHP 1987/1988, namun masih perlu dilakukan reorientasi, reevaluasi dan reformasi terhadap hukum formil (KUHAP). Kedua, belum optimalnya realisasi tanggung jawab hukum dan moral aparat peradilan pidana terhadap upaya pemulihan penderitaan korban tindak pidana kejahatan. Ketiga, masih rendahnya partisipasi masyarakat, baik secara individu maupun secara kolektif. Akibatnya dengan kondisi tersebut diperlukan pembaharuan hukum melalui kebijakan hukum pidana yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tidak meninggalkan nilai-nilai hukum dan keadilan."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
T36430
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Rosalin
Depok: Universitas Indonesia, 2006
S22366
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>