Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181634 dokumen yang sesuai dengan query
cover
MG Ana Budi Rahayu
"Penelitian dengan topik kesenjangan antarwilayah sudah banyak dilakukan, baik tingkat regional maupun nasional. Namun, demikian sepertinya permasalahan kesenjangan antarwilayah masih menjadi prioritas karena faktor-faktor penyebabnya semakin kompleks dan melibatkan banyak pihak. Tesis dengan judul "analisis kesenjangan wilayah pesisir dan non-pesisir dan pengaruhnya terhadap PDRB di Propinsi Jawa Tengah", disusun dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besarkah tingkat kesenjangan daerah pesisir dan non pesisir serta mengetahui pengaruh tingkat kesenjangan tersebut terhadap PDRB Propinsi Jawa Tengah. Sedangkan hipotesa adalah (1) diduga terjadi kesenjangan di wilayah pesisir dan non pesisir (2) adanya kesenjangan tersebut diduga mempengaruhi PDRB Propinsi ]awa Tengah.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data time series tahun 1993-2004 dan data cross section 35 kabupaten/kota di Propinsi Jawa Tengah. Metode yang digunakan adalah (1) mengetahui tingkat kesenjangan dengan penghitungan Indeks Williamson (2) mengetahui pengaruh tingkat kesenjangan terhadap PDRB dengan model regresi data panel Fixed Effect Model. Rancangan model yang digunakan adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas (Y = AKaLb). Model dasar tersebut, selanjutnya dimasukkan variabel aglomerasi sehingga menjadi fungsi Y AK~kL~~P~p. Untuk menjawab tujuan, maka model diformulasikan kembali menjadi Y = AK13L L13' Pip . Setelah dituliskan dalam bentuk logaritma untuk menjadi:
LnY,t=InA+RklnKIt+R,InL,t+13plnP,t+TIWft+w, (sudah dimasukkan variabel tingkat kesenjangan).
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa telah terjadi kesenjangan di di tingkat propinsi (0.64) wilayah pesisir utara (0.46) , pesisir setatan (0.22) dan non-pesisir (0.43) Propinsi Jawa Tengah. Kesenjangan di tingkat propinsi lebih besar dibandingkan masing-masing wilayah pesisir dan non-pesisir. Kesenjangan berpengaruh negatif terhadap PDRB. Hal ini sesuai dengan hipotesa Kuznets (hipotesa U) bahwa pada tahap pertumbuhan awal terjadi pemerataan pendapatan yang memburuk sedangkan pada tahap pertumbuhan lanjut pemerataan semakin membaik.
Sedangkan pengaruh aglomerasi, investasi dan tenaga kerja adalah, apabila masing-masing terjadi peningkatan faktor aglomerasi, investasi dan tenaga kerja akan meningkatkan pertumbuhan PDRB Propinsi Jawa Tengah dengan asumsi faktor lain cateris paribus. Walaupun di wilayah pesisir utara dan non-pesisir aglomerasi berpengaruh posistif tetapi tidak signifikan.
Karakteristik wilayah pesisir utara adalah tingkat pertumbuhan tinggi sedangkan tingkat kesenjangan sedang. Nilai intersep yang menggambarkan produktifitas kabupaten/kota sebesar -10.081 sampai dengan -8.7548. Wilayah pesisir utara menunjukkan kondisi increasing return to scale. Karakteristik wilayah pesisir selatan tingkat pertumbuhan tinggi sedangkan kesenjangan rendah. Nilai intersep yang menggambarkan produktifitas kabupaten/kota sebesa! -401,92 sampai dengan -368,03. Wilayah pesisir selatan menunjukkan kondisi increasing return to scale. Di wilayah non pesisir tingkat pertumbuhan sedang, tingkat kesenjangan juga sedang. Nilai intersep yang menggambarkan produktifitas kabupaten/kota sebesar -5,20 sampai dengan -2,49. Wilayah non-pesisir menunjukkan kondisi increasing return to scale.
Kebijakan pemerintah untuk peningkatan pemerataan pendapatan dan PDRB, tentunya berkaitan dengan karakteristik wilayah tersebut. Walaupun pada tesis ini hanya dibatasi analisis dari aspek aglomerasi, investasi dan tenaga kerja."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mera Nuringsih
"Kebijakan desentralisasi fiskal telah berjalan 3 tahun sejak diberlakukan secara efektif pada Januari 2001. Komitmen kebijakan desentralisasi fiskal tersebut dilandasi UU No. 22 Tabun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kedua UU tersebut memuat herbagai perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang Administrasi Pemerintahan maupun dalam hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilakukan melalui Desentralisasi Piskal, dengan desentralisasi fiskal mendukung penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Tujuan penelitian ini adalah membandingkan Pendapatan Asli Daerah berupa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Propinsi NAD sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di Propinsi NAD. Jenis data yang digunakan adalaha data sekunder dan data primer, data sekunder diperoleh dari laporan APBD Propinsi NAD dan data primer didapat dari narasumber tetpilih melalui wawancara. Teknis analisis data yang digunakan adalah dengan pengujian Hipotesis dengan menggunakan Uji Beda Dua Rata-Rata (uji t).
Berdasarkan basil analisis yang dilakukan, didapatkan penerimaan rata-rata pajak daerah meningkat secara signifikan setelah desentralisasi fiskal, peningkatannya sebesar 101,53%. Jenis pajak yang mendominasi selama enam tahun adalah pajak kendaraan bermotor (PKB), kontribusi rata-rata penerimaan sebelum desentralisasi sebesar 60,72% dan setelah desentralisasi 40,48%, kontribusi tertinggi pada tahun 2000/2001 sebesar 68,29%. Pertumbuhan penerimaan jenis pajak tertinggi selama enam tahun diperoleh dari pajak bahan baker kendaraan bermotor (PBB-K13) sebesar 332%. Penerimaan pajak daerah sebelum desentralisasi maupun setelah desentralisasi didominasi oleh tiga jenis pajak yaitu pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB), dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBB-KB).
Faktor-faktor yang berpengaruh terbadap penerimaan pajak kendaraan bermotor, bea batik nama kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor adalah : (a) Jumlah kendaraan bermotor, (b) Jumlah pemakaian bahan bakar minyak, (c) PDB per kapita Propinsi NAD. Penerimaan retribusi daerah di Propinsi NAD berdasarkan hasil analisis didapatkan perbedaan yang cukup signifikan antara penerimaan sebelum dan sesudah dikeluarkannya kebijakan desentralisasi fiscal, di mana penerimaan setelah desentralisasi mengalami penuranan sebesar -24,52%. Pertumbuhan penerimaan obyek retribusi daerah di Propinsi NAD selama enam tahun di dominasi oleh retribusi pelayanan kesehatan. Rata-rata pertumbuhan penerimaan selama enam tahun sebesar -5,74%. Kontribusi penerimaan jenis retribusi daerah selama enam tahun di Propinsi NAD dominan dari retribusi pelayanan kesehatan, kontribusi rata-rata sebelum desentralisasi sebesar 58,46% dan setelah kebijakan desentralisasi sebesar 87,46%."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T20296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arifin
"Sejak diberlakukannya Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Reklame dan Pajak Reklame yang efektif berlaku tanggal 28 Nopember 2000 Penghitungan pajak reklame adalah hasil perkalian antara tarip pajak sebesar 25 % dengan dasar pengenaan pajak yang dihitung berdasarkan variabel-variabel (1) besarnya biaya pemasangan reklame, (2) besarnya biaya pemeliharaan reklame, (3) lama pemasangan reklame, (4) nilai strategis lokasi dan (5) jenis reklame. Dasar pengenaan pajak yang dalam Peraturan Daerah disebut Nilai Sewa Reklame (NSR) ditetapkan besarannya dengan Keputusan Gubernur Propinsi OKI Jakarta No.74 tahun 2000 tentang Penetapan Nilai Sewa Reklame sebagai Dasar Penghitungan Pajak Reklame dalam bentuk Tabel NSR yang terbagi menjadi 10 tabel NSR. Dari 10 macam tabel NSR tersebut terdapat perbedaan bentuk dan besarannya bahkan ada pemberlakuan tabel NSR minimum dan maksimum. Yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah keadilan dan prinsip kepastian hukum telah diterapkan dalam penetapan dasar pengenaan pajak reklame ?.
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui apakan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum tetah diterapkan dalam penetapan dasar pengenaan pajak reklame.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka masalah yang akan diteliti adalah apakah prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum telah diterapkan dalam pemungutan pajak reklame khususnya penetapan dasar pengenaan pajak reklame ?.
Kerangka teori yang digunakan berawal dari sistemperpajakan, kemudian teori prinsip keadilan dan kepastian hukum yang dikaitkan dengan dasar pengenaan pajak reklame.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode survai dengan mendistribusikan kuesoner dan wawancara dengan responden, pengamatan langsung terhadap obyek penelitian dan studi kepustakaan. Hasil penelitian dapatdisimpulkan sebagai berikut:
1. Secara teori penetapan dasar pengenaan pajak belum atau tidak menerapkan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum.
2. Dari hasil kuesioner, para responden seluruhnya setuju bahwa dasar pengenaan pajak reklame tidak menerapkan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum.
Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas disarankan agar:
1. Segera merevisi Keputusan Gubernur Propinsi OKI Jakarta Nomor 74 tahun 2000 yang mengatur tentang dasar pengenaan pajak reklame sebelum wajib pajak mempertanyakan mengenai penerapan prinsip keadilan dan prinsip kepastian hukum pada dasar pengenaan pajak reklame.
2. Nilai strategis lokasi ditetapkan berdasarkan nilai sewa lahan.
3. Biaya pemasangan dan biaya pemeliharaan dihitung berdasarkan biaya yang dikeluarkan atau ditetapkan koefisiennya saja.
4. Tidak memberlakukan Dasar Pengenaan Pajak minimum dan Dasar Pengenaan Pajak Tetap."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T309
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mainita Hidayati
"Tesis ini membahas tentang perubahan tarif pajak daerah berdasarkan UU No. 28 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Studi Kasus : Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) Di Propinsi DKI Jakarta) dalam bahasannya juga menganalisis mengenai tarif progresif, earmarking dan potensi peningkatan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian menyarankan bahwa penerapan tarif progresif harus disertai dengan perbaikan sistem adminitrasi melalui Single Identity Number (SIN) untuk mencapai hasil yang optimal, menaikkan tarif pajak parkir dan retribusi parkir, dan potensi peningkatan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dengan memungut Pajak Kendaraan Bermotor atas kendaraan pemerintah.

The focus of this thesis is the change in the tariff of the regional tax was based on Regulation No. 28 about the Local Tax and the Local Fee (the Case Study: The Motor Vehicle Tax in Province Special Capital District Of Jakarta) in thesis also analysed about the progressive tariff, earmarking and the potential for the increase in acceptance of the Motor Vehicle Tax. This research was the qualitative research with the descriptive design.
Results of the research suggested that the application of the progressive tariff must be accompanied with the improvement of the administration system went through Single Identity Number (SIN) to achieve optimal results, raised the tax tariff parked and the fee parked, and the potential for the increase in acceptance of the Motor Vehicle Tax by collecting the Motor Vehicle Tax on the governments vehicle."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T29099
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Foster Pimondang
"ABSTRAK
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pengaruh tingkat inflasi dan nilai kurs terhadap kinerja pemungutan pajak hiburan di Propinsi DKI Jakarta tahun 1995/1996 s.d. 1999/2000.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan analisis statistik. Metode deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai variabel yang diteliti berdasarkan data sekunder. Sedangkan analisis statistik digunakan untuk mengetahui secara kuantitatif seberapa kuat hubungan antara tingkat inflasi dan nilai kurs dolar terhadap kinerja pemungutan pajak hiburan.
Dari perhitungan statistik, untuk variabel tingkat inflasi dengan variabel kinerja pemungutan pajak hiburan, diperoleh nilai koefisien korelasi = -0,614, nilai koefisien determinasi = 0,337, nilai t hitung= 1,346, dan persamaan regresinya Y = 56.774.386.202 - 216.095.061X1.
Sedangkan untuk variabel kurs dolar dengan variabel kinerja pemungutan pajak hiburan, diperoleh nilai koefisien korelasi= -0,778, nilai koefisien determinasi= 0,606, nilai t hitung = -2,148, dan persamaan regresinya Y = 63.990.010.253 - 2.326.000.609X2.
Sementara itu untuk korelasi berganda diperoleh nilai koefisien korelasi= -0,786, nilai koefisien determinasi = 0,618, nilai F hitung = 0,618, dan persamaan regresinya Y = 63.542.613.756 - 53.042.097, 30X, - 2.017.337.218X2.
Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa tingkat inflasi dan nilai kurs dolar mempunyai implikasi negatif terhadap kinerja pemungutan pajak hiburan di Propinsi DKI Jakarta. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa penerimaan pajak hiburan di Propinsi DKI Jakarta akan turun jika tingkat inflasi dan nilai kurs naik.
Saran yang dapat diberikan yaitu memperbaiki faktor-faktor internal dengan memperluas basis obyek pajak hiburan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, selain itu mengurangi berbagai pengecualian pemungutan dari objek pajak hiburan yang diatur dalam Perda, melaksanakan penagihan aktif terhadap tunggakan-tunggakan pajak hiburan sampai dengan tahap penyitaan dan pelelangan dan memotivasi."
2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlina Emidianti
"Aspek keuangan adalah merupakan aspek yang penting dalam pelaksanaan pembangunan daerah terlebih-lebih dalam masa Otonomi, dimana pemerintah pusat telah menyerahkan sebagian besar kewenangan dalam mendapatkan, mengelola sumber-sumber pembiayaan yang dimiliki daerah. Guna membiayai serta melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dacrah maka Pajak daerah dan Retribusi Daerah adalah merupakan sumber penerimaan terpenting karena merupakan kontribusi yang besar dalam PAD.
Menilai bahwa peraturan umum tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selama ini (periode s.d tahun 1997) menyebabkan banyak pungutan yang tidak memadai hasilnya dan menghambat efisiensi ekonomi. Selain daripada itu bahwa dinilai daerah Propinsi mempunyai penerimaan yang berasal dari Pajak dan Retribusi cukup memadai, sedangkan sebaliknya daerah Kabupaten/kota dari pajak dan retribusi masih relatif kecil sehingga kurang mendukung perekembangan otonomi daerah oleh karenanya perlu peningkatan penerimaan daerah yang berasal dari sumber Pajak dan Retribusi yang potensial yang mencerminkan kegiatan ekonomi serta meniadakan jenis retribusi yang dinilai inefisiensi. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang nomor 18 tahun 1997 sebagaimana yang telah dirubah menjadi Undang-Undang nomor 34/2000 untuk menggantikan Undang-Undang nomor 11 tahun 1957 dan Undang-Undang 12 tahun 1957 tentang Retribusi Daerah yang dinilai sudah tidak sesuai lagi.
Perubahan kebijakan sebagai dasar hukum pelaksanaan pemungutan Pajak dan Retribusi daerah ternyata telah membawa dampak terhadap keuangan pemerintah Daerah Propinsi Lampung. Dalam tahun pertama pemberlakuannya telah menyebabkan berkurangnya penerimaan daerah yang berasal dari pajak sebesar Rp. 474 juta yang sebagian besar disebabkan oleh penurunan tarif BBNKB dan-dari retribusi daerah sebesar Rp. 6.773,9 juta yang disebabkan oleh terpangkasnya sebanyak 10 jenis retribusi sehingga total penurunan penerimaan sebesar Rp. 7.247,9 juta pads t.a. 1998/1999. Namun demikian pada t.a. 2001 dampak negatif berubah rnenjadi positif seiiring telah terdapatnya penambahan jenis pajak dan retribusi Baru serta terdapatnya kenaikan tarif baru PKB, sehingga pada t.a. 2001 dampak UU telah menaikkan penerimaan dari pajak sebesar Rp. 12.232,6 juta sedangkan penerimaan dari retribusi masih minus sebesar Rp.5.375,7 juta. Sehingga total dampak UU telah menaikkan penerimaan sebesar Rp.6.856,9 juta.
Berkurang dan atau bertambahnya penerimaan daerah dari jenis Pajak dan Retribusi sebagai dampak UU telah pula berpengaruh kepada Kemampuan rutin, kemandirian dan posisi fiskal daerah. Pada La. 1998/1999 pemberlakuan UU telah menurunkan kemampuan rutin dan sebaliknya pada t.a. 2001 kemampuan rutin menjadi meningkat Sedangkan terhadap kemandirian daerah, pemberlakuan UU telah menurunkan kemandirian daerah pada t.a. 1998/1999 dan menaikkan kemandirian daerah pada t.a 2001.
Posisi fiskal daerah selama pemberlakuan UU adalah lemah yang ditunjukkan oleh nilai UPPAD yang selalu lebih kecil dari TSPAD dan dampak UU jika dilihat dari UPPAD telah melemahkan posisi fiskal daerah pada t.a. 1998/1999 dan menguatkan posisi fiskal daerah pada t.a. 2001. Namun demikian, keuangan, kemandirian, kemampuan rutin dan posisi fiskal daerah berkemungkinan akan lebih baik untuk masa yang akan datang, karena ternyata pada t.a 2001 pemberlakuan Pajak dan retribusi belum mengacu kepada UU 34/2000 yang artinya masih terdapat jenis pajak daerah yang telah menjadi kewenangan propinsi akan tetapi belum diberlakukan, jenis pajak tersebut adalah pajak pengambilan air bawah tanah dan air permukaan serta objek pajak kendaraan bermotor di atas air dan bea balik nama kendaraan bermotor diatas air."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T1649
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
B. Boediono
"ABSTRAK
Pendistribusian dana antara Pemerintah Pusat dengan Oaerah-Oaerah merupakan suatu permasalahan. Sejarah dan perbedaan-perbedaan ikut menentukan, seperti potensi sumber daya yang dimiliki, dan kebijakan. Per bedaan tersebut juga menimbulkan ketimpangan mengenai tingkat perkembangan ekonomi, dan pelayanan umum, yang akhirnya rnenimbulkan keresahan. Untuk menghindan" terja-dinya keresahan, diselenggarakan pemen'ntahan Daerah dengan asas desentralisasi yang melahirkan daerah Otonom. Otonomi Daerah dititikberatkan pada daerah tingkat II.
Sebagai tolok ukur bagi penentuan kapasitas dalam penyelenggaraan tugas-tugas otonomi di Daerah adalah ke mampuan keuangan dan kemampuan aparatur Daerah,disamping
xi i
kondi si demografi, potensi masyarakat, dan parti sipasi masyarakat. Kemampuan keuangan Oaerah, salah satu unsur penentu adalah pendapatan pajak-pajak Daerah Tingkat II yang selama ini peranannya sekitar k% dan" APBD, atau 15% dan" PAD, bahkan tingkat penen" maannya lebih keci 1 bila dibandingkan dengan penerimaan retn'busi Daerah, Kecilnya peranan Pajak Daerah Tingkat II dan Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat penerimaan pajak-pajak Oaerah Tingkat II itulah yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini.
Helalui metode penelitian yang deskriptif analisis, penulis mengumpulkan data dari instansi vertikal ditjen Pajak di Daerah Tingkat II Sidoarjo dan Daerah Tingkat II Lampung Tengah, yaitu KPP Sidoarjo, KPPBB Sidoarjo, KPP Metro dan KPPBB Metro, serta melakukan pengumpulan data dari Dispenda Daerah Tingkat II, baik di Sidoarjo maupun Lampung Tengah. Sebagai hasil penelitian ditemukan bahwa potensi Pajak Daerah jsuh lebih kecil bila dibandingkan dengan potensi Pajak Negara di kedua Daerah Tingkat II tersebut.
Disarankan untuk dilakukan kegiatan ekstensifika~ si dan penerapan si stem bagi hasil, hasil penelitian menemukan bahwa penerimaan pajak Oaerah menjadi meningkat, sekaligus meningkatkan PAD dan APBD Daerah Tingkat II yang bersangkutan."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Iskandar
"Penelitian ini dan/atau karya ilmiah ini (tesis) dimaksudkan untuk mempelajari dan/atau mengkaji perkembangan penerimaan PAD di Propinsi DKI Jakarta selama ini. Adapun tujuan penelitian ini antara lain adalah untuk mengetahui:
1. Perkembangan tingkat kontribusi jenis-jenis sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pembentukan Pendapatan Asli Daerah di Propinsi DKI Jakarta dalam periode tahun 1983 s/d 2003.
2. Perkembangan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan keterkaitan antara perkembangan penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) dengan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Propinsi DKI Jakarta, dalam periode tahun 1983 s/d 2003.
3. Perkembangan penerimaan beberapa jenis-jenis pajak daerah di Propinsi DKI Jakarta, dan tingkat kontribusinya terhadap pembentukan penerimaan pajak daerah serta Pendapatan Asli Daerah (PAD), pada khususnya dalam periode tahun 1995 s/d 2003.
4. Memprediksikan atau memperkirakan nilai penerimaan sumber-sumber penerimaan PAD di Propinsi DKI Jakarta ke depan dan/atau pada tahun 2004 s/d 2010.
Berdasarkan pada hasil penelitian yang difakukan dapat dicatat bahwa, peranan penerimaan pajak daerah dalam pembentukan PAD di Propinsi DKI Jakarta, baik dalam periode "sebelum pelaksanaan" otonomi daerah (dalam periode tahun 1983 s/d 1999), maupun "setelah pelaksanaan" otonomi daerah (dalam periode tahun 2000 s/d 2003), tercatat "paling tinggi". Demikian pula peranan penerimaan pajak daerah dalam pembentukan PAD di Propinsi DKI Jakarta dalam periode "setelah pelaksanaan" otonomi daerah, tercatat "Iebih tinggi" dan peranannya dalam periode "sebelum pelaksanaan" otonomi daerah.
Peranan penerimaan retribusi daerah dalam pembentukan PAD Propinsl DKI Jakarta, baik dalam periode "sebelum" maupun "setelah" pelaksanaan otonomi daerah, tercatat "nomor 2 (dua) terbesar". Kemudian disusul berturut-turut oleh peranan pendapatan lain-lain yang sah, pendapatan dart Dinas-Dinas, dan terakhir penerimaan laba BUMD. Akan tetapi peranan penerimaan retribusi daerah, peranan pendapatan lain-lain yang sah, pendapatan dari Dinas-Dinas dan laba BUMDdalam pembentukan PAD Propinsi DKI Jakarta dalam periode "setelah pelaksanaan" otonomi daerah, tercatat "lebih rendah" dart pada peranannya dalam pembentukan PAD Propinsi DKI Jakarta dalam periode "sebelum pelaksanaan" otonomi daerah.
Pengkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi DKI Jakarta selama ini (dalam periode tahun 2000 s/d 2003) berpengaruh secara "signifikan" meningkatkan perkembangan penerimaan PAD Propinsi DKI Jakarta tersebut. Akan tetapi "kenaikan" penerimaan PAD yang terjadi, sebagai akibat adanya pengaruh yang "signifikan" dari "kenaikan" nilai PDRB yang terjadi, tercatat "belum/tidak proporsional" dengan "kenaikan" nilai PDRB yang terjadi tersebut. Karena apabila terjadi kenaikan nilai PDRB sebesar 10%, secara "signifikan" hanya berpengaruh meningkatkan nilai PAD hanya sebesar 8,7% saja. Kondisi tersebut dapat menunjukkan bahwa, perkembangan perekonomian di Propinsi DKI Jakarta yang terjadi selama ini (dalam periode tahun 1983 s/d 2003), yang dicerminkan dengan perkembangan PORB-nya tersebut, belum dapat memberikan kemanfaatan (benefit) yang "optimal" terhadap pembentukan penerimaan PAD Propinsi DKI Jakarta.
Pengkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi DKI Jakarta selama ini (dalam periode tahun 1983 s/d 2003) berpengaruh "signifikan" terhadap perkembangan penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) di Propinsi DKI Jakarta tersebut. Akan tetapi "kenaikan" nilai penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) yang terjadi, sebagai akibat adanya pengaruh yang "signifikan" dari "kenalkan" nilai PDRB yang terjadi, tercatat "belum/tidak proporsional" dengan "kenaikan nilai PDRB yang terjadi tersebut. Karena apabila terjadi kenaikan nilai PDRB sebesar 10%, secara "signifikan" hanya berpengaruh meningkatkan nilai penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) hanya sebesar 9,0% saja.
Kondisi tersebut dapat menunjukkan bahwa, perkembangan perekonomian di Propinsi DKI Jakarta yang terjadi selama ini (dalam periode tahun 1983 s/d 2003), yang dicerminkan dengan perkembangan PDRB-nya tersebut, belum dapat memberikan kemanfaatan (benefit) yang "optimal" terhadap pembentukan penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) Propinsi DKI Jakarta. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa, kondisi penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) di Propinsi DKI Jakarta yang terjadi selama ini (dalam periode tahun 1983 s/d 2003) dalam kondisi "un-bouyant".
Kondisi tersebut juga dapat mengisyaratkan bahwa, sistim dan/atau kegiatan pelaksanaan "penggalangan" penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) di Propinsi DKI Jakarta selama ini, masih tercatat belum efektif dan belum efisien. Dimana gejala belum efektif dan belum efisiennya sistim dan/atau keglatan pelaksanaan "penggalangan" penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) tersebut, dapat terjadi karena adanya banyak gangguan (hambatan) dalam pelaksanaan kegiatan "penggalangan" penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) tersebut, dan/atau dapat juga karena adanya kecenderungan banyak terjadi kebocoran dari penerimaan pajak dan retribusi daerah (pungutan daerah) tersebut.
Angka rata-rata tingkat pertumbuhan penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BIM-KB), Pajak Hotel dan Restoran (PHR), Pajak Hiburan (PHI), Pajak Reklame (PRK) dan Pajak Penerangan Jalan (PPJ), di Propinsi DKI Jakarta dalam periode "setelah pelaksanaan" otonomi daerah (dalam periode tahun 2000 s/d 2003), tercatat "Iebih tinggi" dari pada angka rata-eta pertumbuhannya dalam periode tahun 1995 s/d 1999. Akan tetapi hanya penerimaan PKB dan BBN-KB saja yang peranannya terhadap pembentukan penerimaan pajak daerah dan PAD Propinsi DKI Jakarta yang tercatat "meningkat" dari peranannya dalam periode tahun 1995 s/d 1999 sebelumnya.
Angka rata-rata tingkat kontribusi total penerimaan jenis-jenis pajak daerah tersebut, terhadap pembentukan penerimaan pajak daerah di Propinsi DKI Jakarta dalam periode "setelah pelaksanaan" otonomi daerah (dalam periode tahun 2000 s/d 2003), tercatat relatif "lebih rendah" dari pada angka rata-rata tingkat kontribusi dalam periode tahun 1995 s/d 1999. Akan tetapi angka rata-rata tingkat kontribusi total penerimaan jenis-jenis pajak daerah tersebut, terhadap pembentukan PAD di Propinsi DKI Jakarta dalam periode "setelah pelaksanaan" otonomi daerah, tercatat relatif "lebih tinggi" dari pada angka rata-rata tingkat kontribusi dalam periode tahun 1995 s/d 1999.
Berdasarkan pada temuan-temuan hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa, guna meningkatkan secara "optimal" kemanfaatan perkembangan perekonomian regional Propinsi DKI Jakarta, yang dalam hal ini dicerminkan oleh perkembangan PDRB-nya, bags nilai penerimaan PAD, dan pada khususnya nilai penerimaan PAD dari sumber pajak dan retribusi daerah, disarankan pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta menempuh kebijakan "melaksanakan pembaharuan" sistim dan/atau pelaksanaan "penggalangan" penerimaan pajak dan retribusi daerah tersebut.
Dimana tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menekan seminimal mungkin munculnya gangguan (hambatan) dalam pelaksanaan kegiatan "penggalangan" penerimaan pajak dan retribusi daerah tersebut, serta menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dari penerimaan pajak dan retribusi daerah tersebut. Kemudian guna meningkatkan nilai penerimaan pajak daerah ke depan, Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta hendaknya "lebih memperhatikan" potensi-potensi sumber penerimaan pajak daerah baru, dan potensi baru tersebut diakui secara sah dalam ketetapan UU No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah Spesifik."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewa Gede Joni Astabrata
"Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah perencanaan di bidang keuangan daerah akan menjadi bidang yang memperoleh perhatian yang utama tanpa mengabaikan bidang-bidang lainnya. Hal ini beralasan karena dengan dilimpahkannya otonomi daerah secara nyata ke kabupaten dan kota maka urusan pemerintahan, pembangunan dan jenis pelayanan kepada masyarakat ada ditangan pemerintah kabupaten dan kota akan semakin banyak. Keadaan ini akan diperlukan adanya peningkatan kemampuan keuangan daerah. Otonomi daerah di bidang keuangan hendaknya diartikan sebagai pemberian keleluasaan kepada daerah dalam menggali dan membelanjakan dananya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah masing-masing.
Salah satu usaha Pemerintah Kabupaten Badung untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, bagian labs BUMN, penerimaan dinas-dinas dan penerimaan lain-lain. Pendapatan Asli Daerah menjadi sumber pendapatan yang penting untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Bahkan mampu memberi warna terhadap tingkat otonomi suatu daerah. Pendapatan ini dapat digunakani bebas oleh daerah, artinya penggunaan dana yang bersumber dari PAD dapat dimanfaatkan oleh daerah sesuai dengan kebutuhan.
Sumber penerimaan terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Badung berasal dari pajak daerah yang rata-rata pertahunnya sebesar 83 % dari tahun 1985 - 2000, bahkan dari tahun 1994-2000 mencapai rata-rata diatas 90 % terhadap PAD. Penerimaan pajak yang paling besar kontribusinya terhadap PAD adalah Pajak Hotel dan Restoran (PHR) sebesar 89 % rata-rata per tahun.
Dari hasil analisis regresi sederhana diperoleh adanya pengaruh positif dan nyata antara PHR terhadap PAD, antara PHR dengan APBD, dan antara PHR dengan PDRB Kabupaten Badung, hal ini dapat diketahui dari masing-masing koefisien determinasinya (R2) sebesar 0,996, 0,954 dan 0,605.
Variabel yang paling berpengaruh terhadap penerimaan PHR ditihat dari hasil analisis regresi berganda adalah variabel dummy yang menggambarkan tahun krisis ekonomi terjadi, jumlah wisatawan manca negara yang menginap di Kabupaten Badung, serta jumlah restoran yang ada di Kabupaten Badung. Hasil analisis regresi ini menjelaskan kondisi PHR didasarkan atas data-data yang digunakan dalam analisis bukan dijelaskan oleh kondisi yang ada. Dalam analisis regresi ini dibuktikan bahwa Adjusted R Square sebesar 0,788 yang mendekati 1, sehingga semua variabel di atas berpengaruh cukup besar terhadap variabel PHR. Hal ini dapat dibuktikan secara statistik, baik secara individu masing-masing variabel ataupun secara bersama-sama variabel independen tersebut terhadap variabel PHR.
Potensi PHR masih memungkinkasn untuk dikembangkan. Terjadinya perbedaan antara penghitungan potensi dengan penerimaan PUR diakibatkan oleh keterbatasan sumber daya manusia terutama dalam auditing data potensi PHR, yang tanpa disadari Kabupaten Badung akan kehilangan pajak tiap tahun.
Upaya-upaya peningkatan penerimaan PHR dapat dilakukan dengan: pertama, intensifikasi yaitu memaksimalkan sumber-sumber yang telah ada dengan cara pendataan, penyuluhan, meningkatkan pengawasan, penerapan sanksi dan peningkatan kualitas SDM yang lebih baik; kedua, ekstensifikasi yaitu peningkatan dengan menggali atau menjaring wajib pajak baru yang sebelumnya belum terdata.
Penerimaan PHR sangat tergantung dari sektor pariwisata, dimana sektor pariwisata sensitivitasnya sangat tinggi terhadap faktor keamanan baik di luar maupun di dalam negeri, issue lingkungan dan penyakit, untuk itu pemerintah daerah harus benarbenar menjaga dan memperhatikan hal tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T11907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuirin Budhy Yasin
"Dalam upaya antisipasi menghadapi perdagangan bebas Pemerintah Daerah Tingkat II khususnya perlu semakin mandiri dalam penyediaan dana guna pembangunan infrastruktur, sehingga mempunyai daya tarik bagi investor. Salah satu sumber dana yang paling potensial adalah dari penerimaan Pajak Daerah khususnya Pajak Pembangunan I (P.Pb. I). Penerimaan P.Pb. I di Suku Dinas Pendapatan Daerah Wilayah Jakarta Barat mempunyai urutan pertama dari jenis-jenis Pajak lainnya. Pada tahunT1995/1995 ada gejala bahwa penerimaan masih belum sesuai dengan rencana yang diharapkan sehingga perlu dicari permasalahan. Sebagai perumusan permasalahan sementara dilihat dari sistem perpajakan yang ada yang menyangkut masalah kebijaksanaan perpajakan, Undang-undang Perpajakan dan administrasi perpajakan.
Dengan methode penelitian deskriptif analisis telah dilakukan pengumpulan data dengan teknik wawancara secara mendalam terhadap informan potensial, serta mengkaji peraturan-peraturan yang berlaku yang diharapkan dapat diperoleh data dan informasi yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut di atas.
Dari hasil analisis ditemukan berbagai hal yang terdiri antara lain sebagai berikut :
1. Adanya kasus obyek pemajakan yang memasuki lapangan Pajak Pertambahan Nilai.
2. Obyek pemajakannya tidak memenuhi prinsip kepastian (certainty)
3. Beberapa hal masih perlu penyempurnaan yang menyangkut pelimpahan wewenang dan lain-lain.
Dengan mengkaji berbagai konsep serta teori yang lazim berlaku kiranya dikemukakan saran-saran yang dapat dipakai sebagai pertimbangan untuk mengatasi temuan-temuan di atas, sehingga diharapkan ada manfaat dalam rangka perbaikan-perbaikan lebih lanjut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>