Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143591 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Silalahi, M. Daud
"Since the Stockholm Declaration of 1972, the principles of environmental legal principles fundamentally changed the formulation of new international environmental law. The formulation of environmental legal provision was significantly influenced by a scientific approach, such as ecological and environmental concepts. The role of international environmental law is increasingly greater on the ecological approach rather than on the general principles of international law. The structure of international environmental law is also changed related to, among others, state responsibility, states rights and obligations, and the rising of the eco-rights and the animal rights that fundamentally changed the customary international law approach into new progressive development of international environmental law. Through ratification, the national environmental law has been significantly improved, and there is a growing recognition of the integrated system of national environmental law and international environmental law."
Jurnal Hukum Internasional: Indonesian Journal of International Law, 2005
JHII-2-2-Jan2005-249
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Subagyo, Joko P
Jakarta: Rineka Cipta, 2005
344.046 JOK h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
R. Imam Subekti
"Informasi merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat dalam menunjang kehidupannya sehari-hari, karena melalui informasi itulah, masyarakat dapat mengetahui segala hak dan kewajibannya. Suatu informasi salah, dapat mengakibatkan dilanggarnya hak-hak yang dimiliki masyarakat atau sekelompok orang tertentu oleh penguasa. Dan dapat pula berakibat tidak dilaksanakannya suatu kewajiban tertentu oleh masyarakat atau oleh sekelompok orang tertentu. Sebaliknya, bahwa suatu informasi yang benar dan cepat, dapat membawa dampak positif bagi masyarakat. Informasi yang dimaksud, erat kaitannya dengan kebijaksananyang ditentukan oleh golongan masyarakat kecil yakni penguasa, di mana di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur segala hal dan kewajiban. Dengan kata lain, bahwa segala kepentingan masyarakat diatur di dalam kebijakan penguasa tersebut."
Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isharyanto
"Upaya menegakkan hukum dilakukan dengan gencar tanpa memperhitungkan sifat UULH sebagai "kaderwet" yang perlu penjabaran lebih lanjut dalam seperangkat peraturan perundang-undangan lingkungan. Di samping itu, menghadapi masalah lingkungan yang relatif baru, kemampuan aparat penegak hukum kurang pula dipersiapkan. Kenyataan bahwa aparat penegak hukum yang bergelar Sarjana Hukum pada masa studinya di Fakultas Hukum belum pernah mendapat bekal mata kuliah Hukum Lingkungan tidak disadari sebagai kendala, apalagi penegakan hukum terhadap UULH lebih ditekankan kepada aspek pidananya (represif). Masalah lingkungan yang kompleks yang memerlukan persyaratan pembuktian ilmiah (scientific proof) dalam prosedur perkara belum pula dipahami oleh penegak hukum.
Mudah dipahami apabila kemampuan yang "kurang" akan menjadi kendala bagi penegakan hukum pidana lingkungan. Apalagi masalah lingkungan yang kompleks memerlukan persyaratan pembuktian ilmiah (scientific proof) yang menuntut pemahaman dan penguasaan oleh pihak aparat penegak hukum yang bertugas dalam bidang penegakan hukum pidana lingkungan.
Tujuan penelitian ini adalah menemukan jawaban dari permasalahan sebagaimana telah dirumuskan di atas, yaitu di samping mengetahui sejauh manakah peranan sanksi pidana yang ada dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1982 dan sampai sejauh manakah penerapan sanksi pidananya, juga untuk mengetahui hambatan-hambatan apakah yang ada dalam proses penerapan sanksi pidana dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan menggunakan tinjauan literatur dan penelitian lapangan. Penentuan daera sampel dilakukan dengan purposive random sampling dengan subyek penelitian Kejaksaan Agung RI, MABES POLRI, Pengadilan Negeri Sidoarjo. Analisis data secara kualitatif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
T3129
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suparto Wijoyo
"Hukum lingkungan telah dikonsepkan ada dalam lingkup pembangunan berkelanjutan yang bersendikan rangkaian keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara integral. Perubahan ekologis sangat berpengaruh pada terjadinya Perubahan Perilaku di kehidupan umat manusia. Apalagi rusaknya ekologis sangat cepat membantu terjadinya kerusakan pada kehidupan umat manusia.
Buku ini meliputi 8 pokok permasalahan. Bab 1 sampai 3 membahas masalah lingkungan dan pengelolaannya. Bab 4 sampai 7 membahas budaya masyarakat terhadap lingkungan. Dan bab 8 mengenai bencana banjir dan lumpur."
Surabaya: Airlangga University Press (AUP), 2012
344.046 SUP h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Cicilia Sulastri
"Salah satu tujuan dari penggantian dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ke Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah peningkatan efektivitas penegakan hukum lingkungan.
Berdasarkan hasil pemantauan Kementerian Lingkungan Hidup, sampai saat penelitian ini dilakukan, efektivitas penegakan hukum lingkungan di DKI Jakarta belum efektif. Hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut:
1. Pelaksanaan penegakan hukum lingkungan melalui sarana administratif maupun keperdataan di Propinsi DKI Jakarta kurang didayagunakan sehingga memberikan peluang untuk didayagunakannya instrumen penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan terhadap pelaku pencemaran lingkungan;
2. Penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan kurang didayagunakan. Indikator dari hal ini terlihat dari:
a. Dari 32 pengaduan kasus pencemaran lingkungan yang diajukan kepada Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta dan BPLHD Kotamadya Jakarta Barat, Utara, Pusat, Timur selama Tahun 2001 tidak ada satu kasuspun yang ditindaklanjuti dengan langkah penegakan hukum pidana (Laporan Program Penegakan Hukum Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Tahun 2002);
b. Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sampai digantikannya dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sampai sekarang (21 tahun), hanya 2 kasus pencemaran lingkungan di Propinsi DKI Jakarta yang diproses melalui penegakan hukum pidana;
c. Kondisi kualitas lingkungan (misalnya air sungai) di Propinsi DKI Jakarta tidak membaik tetapi makin memburuk, misalnya kualitas sungai di Jakarta pada Tahun 2000 lebih buruk dari pada kualitas air sungai di Jakarta Tahun 1995 (Laporan Prokasih DKI Jakarta Tahun 1995 dan Tahun 2000).
Sehubungan dengan hal tersebut, pertanyaan timbul dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perbandingan efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup di propinsi DKI Jakarta berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997;
2. Faktor-faktor apa yang secara signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup di Propinsi DKI Jakarta.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut, maka penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian penegakan hukum lingkungan, pengertian, ruang lingkup dan pelaksana penegakan hukum lingkungan melalui sarana kepidanaan serta teori-teori yang mendukung mengenai indikator efektivitas penegakan hukum pidana dan faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup.
2. Menentukan tindak pidana pencemaran lingkungan hidup yang akan diteliti, penentuan lokasi penelitian, menentukan responden penelitian secara purposif, menyusun pedoman wawancara, melakukan penelitian awal, memperbaiki pedoman wawancara, melakukan penelitian lapangan dengan metode kualitatif melalui wawancara mendalam dengan responden, membaca data dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya dan UD. Kurnia. Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk menguji pendugaan mengenai perbandingan efektivitas penegakan hukum pidana berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif dan menggunakan metode analisis komparatif bertahap dan Penjumlahan (Scoring) yang didukung dengan penggunaan simbol (+) dan (-).
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa:
1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 ( kasus Munjul) lebih efektif dibandingkan dengan efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 (kasus PT. Menara Jaya) , yaitu dengan kategori cukup efektif dengan jumlah 5 simbol (+) atau 55,6% dan kategori kurang efektif dengan 3 simbol (+) atau 33,3%. Adapun 4 indikator dari efektivitas penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup adalah kasus ini adalah: a).Pendayagunaan instrumen penegakan hukum pidana terhadap pelaku pencemaran lingkungan hidup; b).Kelancaran proses penegakan hukum pidana; c).Pelaksanaan penegakan hukum pidana dan dampaknya pada peningkatan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup; dan d).Dampak pelaksanaan penegakan hukum pidana terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup.
2. Penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya kurang efektif . Hal ini ditunjukkan dengan indikator:
a). Daya tanggap pejabat penerima pengaduan lamban, instrumen penegakan hukum pidana digunakan, tetapi masih berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan;
b). Proses penegakan hukum pidana selesai, tetapi kurang lancar baik dari aspek waktu maupun teknis lingkungan hidup;
c). Putusan pengadilan tidak sesuai dengan fakta-fakta hukum, kepentingan umum dan misi pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan ketaatan terdakwa terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup;
d). Pelaksanaan penegakan hukum pidana meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lokasi pencemaran.
3. Penegakan hukum pidana terhadap UD. Kurnia (kasus Munjul) cukup efektif, hal ini ditunjukkan dengan indikator:
a). Daya tanggap pejabat penerima pengaduan lamban, instrumen penegakan hukum pidana telah digunakan, tetapi masih berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan;
b). Proses penegakan hukum pidana selesai, cukup lancar baik dari aspek waktu maupun teknis lingkungan hidup;
c). Putusan pengadilan sesuai dengan fakta-fakta hukum, kepentingan umum dan misi pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan ketaatan terdakwa terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup;
d). Pelaksanaan penegakan hukum pidana tidak meningkatkan kualitas lingkungan hidup di lokasi pencemaran.
4. Faktor Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan yang terdiri dari sub-faktor Kapasitas Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan, Komitmen Aparat Penegak Hukum dan Aparat Penerima Pengaduan, Koordinasi antara Aparat Penegak Hukum dan antara Aparat Penegak Hukum dengan Instansi Teksnis Terkait merupakan faktor (sub-sub faktor) signifikan yang mempengaruhi kurang efektivitas penegakan hukum pidana terhadap PT. Menara Jaya (kasus PT. Menara Jaya) dan terhadap UD. Kurnia (Kasus Munjul), yaitu memiliki angka signifikasi terbesar yaitu 88,3% dan 75%.
5. Faktor-faktor berikutnya yang cukup signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap kasus PT. Menara Jaya adalah Faktor Peran Kontrol Legislatif dan Masyarakat dan Faktor Budaya Hukum dengan angka signifikasi 50%, disusul dengan Faktor Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 dan Peraturan-peraturan Terkait Lainnya yaitu dengan angka signifiknasi 33,3% dan yang terakhir adalah Faktor Sarana dan Fasilitas dengan angka signifikasi pengaruh terendah yaitu 20%.
6. Faktor-faktor berikutnya yang cukup signifikan mempengaruhi efektivitas penegakan hukum pidana terhadap kasus Munjul adalah Faktor Budaya Hukum dengan angka signifikasi pengaruh sebesar 50%. Berikutnya secara berurut adalah Faktor Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dan Peraturan-peraturan Terkait Lainnya serta Faktor Peran Pengawasan Masyarakat dan Legislatif dengan angka signifikasi pengaruh 33,3% dan 25%. Selanjutnya yang terakhir adalah Faktor Sarana dan Fasilitas dengan angka signifikasi pengaruh terendah yaitu 20%.

An objective of alteration of Act Number 4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment by Act Number 23 of 1997 concerning The Management of Living Environment is to improve effectiveness of environmental law enforcement.
According to the monitoring of Ministry of Environment, until right now implementation of environmental law enforcement in Province of Jakarta is uneffective. As shown by following indicators:
1. 32 cases environmental complaints to Environmental Management Agency of Province of Jakarta and Environmental Management Agency of West, Central, North, East and south Jakarta in 2001, were not handled by criminal law enforcement;
2. Since of enactment Act No.4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment until changed by Act No23 of 1997 concerning The Management of Living Environment until right now (21 years), only 2 environmental pollution cases which be handled by Criminal Law Enforcement:
3. Environmental condition (air, water dan land) in Province of Jakarta in 2000 more bad than environmental condition of Jakarta in 1995 (Report of Prokasih Programme of 1995 and 2000).
According of above condition, the problems that rised in this research are:
1. How are the comparation of effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters in Province of of Jakarta based on Act Number 4 of 1982 with based on Act Number 23 of 1997;
2. What are significant factors that influences the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters in Jakarta Province.
To answer the research questions, the research is conducted by following processes:
1. To understand the meaning of environmental law enforcement, definition, scopes and actors of environmental law enforcement by criminal sanction and theories of the effectiveness and significant factors that influences of the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters.
2. To determinate environmental pollution cases that be researched, to determinate of research location, to determinate the purposive repondent, to create the guidelines of interview, act the preliminary research, to improve the guidelines of interview, act the field research by qualitative methodology by dept interview with respondents, read of data and documents linked with the implementation of criminal law enforcement for PT. Manara Jaya and UD. Kurnia.
The above actions be done for examine the hypothesis of comparation of the effectiveness of criminal law enforcement based on Act Number 4 of 1982 concerning Basic Provisions For The Management of The Living Environment and Act Number 23 of 1997 concerning The Management of The Living Environment.
3. The collected data will be analysed descriptively by The Stage Comparation Analysis Methodology and Scoring that use symbol (+) and (-).
According of the result of the data analysis, it can be concluded that:
1. The effectiveness of criminal law enforcement based on Act Number 23 of 1997 (a case study UD.Kurnia) is more effective than the effectiveness of criminal law enforcement for environmental polluters based on Act Number 4 of 1982 (a case study PT.Menara Jaya), with sufficiently effective category with 5 symbol (+) or 55,6,3% and lack of effective with 3 symbol (+) or 33,3%. Four (4) of indicators are: a. Use the instrument of crminal law enforcement for environmental polluters; b. The fluent the process of criminal law enforcement; c. Implementation old criminal law enforcement and its impact for the improvement of the compliance of environmental regulation; and d. The impacts of implementation of criminal law enforcement for the improvement of environment quality.
2. Criminal law enforcement for PT. Menara Jaya are lack of effective. As shown by indicators:
a). Responsibility of officials to handle the received public complaints officials is indolent, the instrument of Criminal law enforcement be used, but based on the complaints of the victim;
b). The process of criminal law enforcement has finished, but lack of fluent, timely as well as environmental technics;
c). Court decision are not suitable with the legal facts, the public interest and the mission of environmental sustainability and implementation of criminal law enforcement does not improved the suspected compliance;
d). Implementation of criminal law enforcement has improved environmental quality in the criminal law location.
3. Criminal Law Enforcement for UD. Kurnia (Munjul case) is sufficiently effective. As shown by following indicators:
a). Responsibility of officials to handle the received public complaint is indolent, instrument of criminal law enforcement be used, but based on the complaints of the victim;
b). The Process of criminal law enforcement has finished, sufficiently fluent, timely as well as environmental technics;
c). Court decision are suitable with the legal facts, the public interest and the mission of environmental sustainability and implementation of criminal law enforcement does not improved the suspected compliance;
d). Implementation of criminal law enforcement has not improved the environmental quality in the criminal law location.
4. Factors of The Law Enforcement Apparatus and The Complaint Received Apparatus , which consist of sub factors of the The Law Enforcement Apparatus and The Complaint Received Apparatus capacity and commitment and coordination among the Law Enforcement Apparatus and between The Law Enforcement Apparatus with The Relevanced of Technical Agencies are the significant factors that influences effectiveness of criminal law enforcement for PT. Menara Jaya (PT. Menara Jaya case) and UD. Kurnia (Munjul case), that has biggest signification cipher of 88,3% and 75%.
5. The next factors that sufficiently significant influences the effectiveness of criminal law enforcement for PT. Menara Jaya are Control Role of Public and Legislative and Public Law Culture Factors with signification chipper of 50%, continued by significantless influenced factors are Act Number 4 of 1982 and The Relevant Regulations Factors and Tools and Facilities Factor with signification chipper 33,3% and 20%.
6. The next factors that influences the effectiveness of criminal law enforcement for UD. Kurnia are Public Law Culture Factors with signification chipper of 50%, continued by significantless influenced factors are Act Number 23 of 1997 and the Relevant Regulations and Tools and Facilities with signification chipper of 33,3% and 25% and Control Role of Public and Legislative Factor with lowest signification chipper of 20%;
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T 11112
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susiani
"Kasus sengketa lingkungan hidup pada umumnya diselesaikan melalui pengadilan, baik secara perdata, maupun secara pidana yang diatur diadalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 Undang-undang Nomor : 4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH). Namun jarang sekali kasus sengketa lingkungan hidup yang menang di pengadilan. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui Pengadilan memerlukan waktu yang tidak sedikit, sementara itu pencemaran terus berlangsung. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar proses sidang pengadilan relatif lebih menguntungkan, karena waktu yang diperlukan lebih singkat, para pihak dapat bermusyawarah dan bermufakat sehingga dapat menghasilkan keputusan yang bersifat win-win dalam arti tidak ada pihak yang menang ataupun yang kalah. UULH tidak mengatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Namun di dalam Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup (RUULH) yang akan datang diatur tentang penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar proses sidang pengadilan. Bahkan RUULH secara tegas membuka peluang bagi tumbuh dan berkembangnya mediator swasta disamping mediator yang berasal dari aparat pemerintah. Hal itu tercermin dalam Pasal 28 RUULH. Sebagai alternatif penyelesaian sengketa lingkungan, arbitrase banyak mempunyai kelebihan yaitu, cepat, murah dan efektif. Pada umumnya arbitrase dipakai dalam penyelesaian sengketa komersial (perdagangan) baik dalam negeri maupun luar negeri. Arbitrase karena sifatnya yang menjurus kepada privatisasi penyelesaian sengketa dapat mengarah kepada situasi win-win dan bukan win-lose. Meskipun lebih menguntungkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase masih kalah populer dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui mediasi. Hal ini terbukti belum satu pun sengketa lingkungan hidup yang diselesaikan melalui Arbitrase. Kurang populernya penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui arbitrase, karena kurang dikenalnya lembaga tersebut di dalam negeri sendiri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harun M. Husein
Jakarta: Bumi Aksara, 1992
344.046 Hus b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Yuzad Fiddian
"Sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, harus dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik sekarang maupun masa yang akan datang.
Unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung dan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri. Mengingat pentingnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, maka Pemerintah dan masyarakat mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam kegiatan konservasi.
Pada tahun 1982 disahkan dan diundangkan UU No. 4 Tabun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH), yang berfungsi sebagai payung bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup dan bagi penyesuaian peraturan perundang-undangan yang telah ada. Lebih lanjut UULH ini menyatakan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya perlu ditetapkan dengan undang-undang, yang kegiatannya mencakup 3 aspek :
1. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air dan udara;
3. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(Pasal 12 & Penjelasannya)
Dalam rangka mengawetkan jenis, maka ditetapkan jenis-jenis biota perairan yang dilindungi, agar tidak mengalami kepunahan (Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No. 716/Kpts/Um/10/1980, dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987).
Namun, beberapa jenis satwa yang dilindungi menurut beberapa Keputusan Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan di atas, oleh UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (UUP) dinyatakan dapat dimanfaatkan secara komersial (Pasal 1 Angka 2 & Penjelasannya).
Kemudian pada tahun 1990 diberlakukan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUKH) yang merupakan realisasi amanat Pasal 12 UULH tersebut di atas. UUKH ini menyatakan konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Selanjutnya, dalam Pasal 20 UUKH ditetapkan, untuk melindungi spesies perlu ditetapkan jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi baik karena dalam bahaya kepunahan maupun karena populasinya jarang. Sehubungan dengan ketentuan di atas, Menteri Kehutanan mengeluarkan 2 Surat Keputusan, yakni Keputusan Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-1I/1991 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/92.
Sebagai konsekuensi dari ketentuan itu, setiap orang tidak boleh melakukan penangkapan atau tindak perbuatan lain yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 21 ayat (2) UUKH. Apabila ada orang yang melakukan tindak perbuatan dimaksud, maka orang tersebut dapat dipidana (Pasal 40 ayat (2) & ayat (4) UUKH), dan tumbuhan & satwa tersebut dirampas oleh negara untuk dikembalikan ke habitatnya atau diserahkan kepada lembaga-lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan dan satwa, kecuali apabila keadaannya sudah tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sehingga dinilai lebih baik dimusnahkan (Pasal 24 UUKH).
Pengecualian terhadap hal di atas dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, penyelamatannya, dan atau membahayakan kehidupan manusia (Pasal 22 UUKH).
Sesuai dengan sifat penelitian ini deskriptif-preskriptif, maka penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan dan mencari jawab atas masalah-masalah yang ada tersebut. Dengan demikian diperoleh saran-tindak dalam menghadapi permasalahan itu, agar tercapainya kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Sehubungan dengan hal di atas, pengamatan dan pembahasannya memakai metode ilmiah analitis-struktural, dengan menerapkan tata pendekatan dan metode kajian berdasarkan aspek wadah dan aspek isi yang terkandung di dalamnya serta aspek tata laku yang merupakan perpaduan antara kedua aspek terdahulu, untuk makin mendekati hakekat kenyataan, agar dapat memperoleh cara penyelesaian masalah dengan berlandaskan pengertian (comprehension) dan tidak hanya sekedar.pengetahuan.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa para aparatur hukum yang memproses perundang-undangan yang menjadi obyek penelitian ini, kurang memahami UULH sebagai Umbrella Act yang merupakan makro sistem di dalam pengelolaan lingkungan.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya tingkat kesadaran hukum di Indonesia, karena :
- kurangnya kepastian yang diberikan oleh hukum yang berlaku; dan
- lemahnya komitmen dari pihak penguasa dalam pembangunan hukum itu.
Apabila keadaan ini dihubungkan dengan asas-asas legalitas dari Fuller, maka dapat dinyatakan bahwa situasi perundangundangan sedemikian itu tidak memenuhi :
- asas suatu sistem tidak boleh mengandung peraturanperaturan yang bertentangan satu sama lain;
- asas harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Berdasarkan hal ini dapat dikemukakan, sistem hukum lingkungan di Indonesia belum tercipta secara baik.
Menghadapi permasalahan ini teori ilmu hukum mengharapkan para aparatur hukum untuk melakukan interpretasi teleologis atau interpretasi sistematis berdasarkan konsep, asas, norma, lembaga dan sistematika UULH demi kepentingan masyarakat hukum dan lingkungan yang menuntut penilaian yang sama secara harmoni. Hal ini sesuai dengan asas kepastian hukum, asas kemanfaatan dan asas keadilan di dalam pembangunan hukum.
Untuk menjamin terlaksananya nilai-nilai dasar hukum itu, perlu dipacu operasionalisasi Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum secara nasional sebagai unsur pendukung fungsi hukum, sehingga semua aparatur hukum dapat mengumpulkan data dan informasi hukum yang selengkap-lengkapnya secara cepat, mudah dan akurat. dengan demikian terhindarkan, tidak teramatinya peraturan-peraturan hukum yang berkaitan satu sama lain dalam tata hukum Indonesia dan ketidaktaatan terhadap tertib hukum Indonesia, agar terciptanya budaya hukum nasional yang kondusif bagi kehidupan hukum pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya.
Di samping itu, Pemerintah sudah saatnya untuk merealisasi amanat Pasal 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 yang antara lain menyatakan perlu dilakukan penyempurnaan terhadap TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum bagi Keppres yang dibentuk oleh Presiden dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan menurut Pasal 4 ayat (1) DUD 1945 dan Konvensi Ketatanegaraan, Amanat Presiden RI kepada Ketua DPR No. 2826/Hk/60 dalam sumber Tertib Hukum Indonesia.
Daftar Kepustakaan : 50 (1971-1994)

The Different Regulated Provision In The Field Of Environmental Law In Indonesia (Case Study Act No. 9 Of 1985 And Act No. 5 Of 1990)Biological natural resources of Indonesia and it's ecosystem have an important role and status in the livelihood of national development. Therefore, it has to be managed and exploited in a harmonious and balanced manner for the sake of the Indonesian community's welfare in particular and mankind in general, both today as well as the coming years to come.
The elements of biological natural resources and it's ecosystem, in essence, are inter-dependent and influencing one another, so that damage and extermination of any one of the element will result in ecosystem disturbance. Thus, conservatory steps are needed so that the biological natural resources' and it's ecosystem are always maintained and able to realize the balance and stuck with development itself. Considering the importance of biological natural resources and it's ecosystem for the promotion of community welfare and quality of man's livelihood, hence the government and it's society the duty and responsibility in conservation activities.
In 1982 was done and promulgated the Act No. 4 of 1982 on Basic Provisions for The Management of The Living Environment (EMA), which functions as an umbrella for the formulation of others Acts and Regulations related to the living environment and for the adaptation of the already existing laws and regulations. In addition, this EMA stated that conservation of biological natural resources and it's ecosystem need to be stipulated with an Act, the activities of which encompass 3 aspects:
1. protection of life support system;
2. conservation and maintenance of the varieties of plant and animal species and their ecosystem, in the sphere of earth, water and air;
3. sustained utilization of organic natural resources and their ecosystems.
(Article 12 & it's Elucidation)
In the framework of species conservation, the protected waters biota species are determined, in order to prevent them from extinction (The Letter of Decision of the Minister for Agriculture No. 327/Kpts/Um/7/1972, No. 35/Kpts/Um/1/1975, No. 327/Kpts/Um/5/1978, No 716/Kpts/Um/10/1980, and Letter of Decision of Minister for Forestry No. 12/Kpts-II/1978). Nevertheless, some animal species, protected in accordance with some Decision of the Minister for Agriculture and the Minister for Forestry mentioned above, are permitted to be commercially utilized base on Act No. 9 of 1985 on Fishery (UUP, Article 1 Number 2 & it's Elucidation).
Then, in 1990, Act No. 5 of 1990 on the Conservation of Biological Natural Resources and it's Ecosystem (UUKH) is promulgated, which is the realization of the massage in Article 12 EMA mentioned above. This UUKH stated that the Conservation of Biological Natural Environment constitute Conservation of Biological Natural Resources, the exploitation of which is carried out wisely to guarantee the sustainable reserves by consistently maintaining and promoting biodiversity quality and their values.
In addition, in Article 20 UUKH it was stated that, to protect the species, the kinds of plants and animals that are protected both because of in danger of extinction as well as due to their rare population need be stipulated. Related to the above stipulations, the Minister of Forestry issued 2 decrees, namely The Minister of Forestry Decree No. 301/Kpts-II/1991 and the Decree No. 882/Kpts-1I/92.
As a consequence of those stipulations, every person may not capture or other measures which has been stipulated limitatively in Article 12 paragraph (2) UUKH. Should there be a person who carried out that action as meant, then the person in question can be punished (Article 40 paragraph (2) and paragraph (4) UUKH), and plants and animals in question are confiscated by the State to be returned to their respective habitats or entrusted to those institutions that operate in the field of conservation of plants and animals, except when the condition is such that it is impossible to be of use, so that it is considered better to be destroyed (Article 24 UUKH).
Exception to the above can be undertaken for purposes of research, science, survival and or endangering human life (Article 22 UUKH).
In accordance with in this study, which is descriptive﷓prescriptive, hence this study has as objectives to finalize and search for answers of issued that are present. In doing so, recommendations for actions in facing the issue for the sake of achieving human and other living creatures welfare can be obtained. In connection with the above statement, observations and it's discussion are carried out by using the structural-analytical scientific method, by applying the approach and study method based on content and container aspects inherent in it's as well as behavioral aspects which constitute the integration of the previous two aspects, to approach closer the essence of reality, so that problem solving method is obtained based on comprehension and not merely knowledge only.
The results of the study showed that the legal apparatus that processed the laws that became the study object, lack comprehension of EMA as an Umbrella Act, which constitutes the macro system in environmental management.
This condition showed the weakness of the legal awareness level in Indonesia, due to:
- uncertainty that is provided by the valid law; and
- commitment weakness shown by the authorities in the legal development.
When this situation is related to the legal principles of Fuller, thence, it can be stated that the legal situation as such does not comply with:
- the principle that a system must not contain regulations that is contradicting one another;
- the principle that there must be harmony between regulations enacted with the daily implementation.
Based on those, then, it can be stated that, the environmental legal system in Indonesia is not yet realized properly.
Facing this issue, the legal science theory hoped that the legal apparatus carried out teleological interpretation or systematic interpretation based on concept, principles, norms, institutional and EMA systematic for the sake of the legal community interests and the environment that demand similar evaluation harmoniously. This is in accordance with the legal certainty principle, benefit principle and justness principle within the legal development.
To guarantee the realization of those legal principles values, the operationalization of the Documentation Network System and Legal Information need be stimulated nationally as a legal function support element, so that all legal apparatus can collect legal data and information as completely as possible rapidly, easily and accurately.
Hence, it could be avoided, the unobserved legal regulations that are related one to another in the Indonesian Legal System and the non-adherence towards Indonesian Legal Order, so that the National Legal Culture is realized which is conducive for the legal life in particular and national development in general.
In addition, it is time for the government to realize the message of Article 3 TAP MPR No. V/MPR/1973 which, among others, stated the need to carry out the finalization of TAP MPRS No. XX/MPRS/1966. This is meant to guarantee the legal certainty of KEPPRES which is issued by the President within the framework of carrying out the task and function of governance in accordance with Article 4 paragraph (1) UUD 1945 and matters pertaining to form of government convention, the Republic of Indonesia Presidential Message to the Chairman of DPR No. 2826/Hk/60 in the Indonesian Legal Order Source.
Number of References: 50 (1911-1994)
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T1809
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>