Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42200 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Ruswan Dachlan
"Hemodilusi normovolemik autologus (ANH) adalah salah satu cam untuk menghemat darah donor (homologus). Penyadapan darah pasien (plebotomi) dilakukan setelah indukxi anestexia dan pada waktu bersamaan diberikan cairan koloid atau kristaloid. Darah ini dapat diberikan lagi setelah prosedur mama bedah selesai. Dengan metoda ini penurunan hemoglobin (Hb) karena perdarahan pada bedah mayor dapal diminimalkan dan sekaligus hematokrit (Ht) dapat disesuaikan. Akan tetapi, karena ketidakpraktisannya dalam aplikasi klinis, digunakan metoda hemodilusi lain yang lebih mudah, yaitu hemodilusi hipervolemik (HMD) dengan menggunakan larutan 6% dextran 70 dan Ringer laktat, cairan diberikan sebelum pembedahun dimulai tanpa penyadapan darah. Tujuan dari studi acak komparatif ini adalah untuk mengetahui efek-efek dari kedua metoda hemodilusi (ANH dan HHD) terhadap tekanan arteri rata-rala (MAP), laju jantung (HR), hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Ht) pada pasien yang dianestesi untuk bedah mayor. Empatbelas (14) wanita yang mememdii kriteria inklusi dan eksklusi dibagi dalam 2 kelompok. Tujuh (7) wanita menerima metoda ANH dan tujuh (7) wanita menerima metoda HHD. Ternyata terdapat perbedaan yang bermakna (P<0.05) pada MAP dan Ht setelah 1 menit pasca hemodilusi, (86,3+9,1 vs. 99,1+6,4 pada MAP) dan (27,3±1,7 vs. 31,5±4.4 pada Ht), dan setelah 20 menit pasca hemodilusi (87,7±7,3 vs. 98,3+6,8 pd MAP) dan (27,4± 1,7 vs. 32,6+4,8 pd Ht) pada kelompok ANH dan HHD. Akan tetapi tidak ditemukan perbedaan yang berarti pada HR dan Hb dikedua waktu pencatatan tersebut di atas. Tidak ada perbedaan berarti pada keempat parameter yang diuji setelah 120 menit pasca hemodilusi. Dapat disimpulkan bahwa kedua metoda dapat dipergunakan dalam aplikasi klinis, meskipun studi-studi lanjutan masih diperlukan. (Med J Indones 2006; 15:246-50).

Autologous nonnovolemic hemodilution (ANH) is one of the methods to conserve blood donor (homologous). The decrease in hemoglobin (Hb) due lo bleeding in major surgery will be minimized and the hematocrite (Hct) will be adjusted accordingly by this method. However, due to its impractical clinical application, another simpler hemodilution method is used. i.e. hypervolemic hemodilution (HHD), using 6% dextran 70 and lactated Ringer solutions. Tlie aim of this randomized comparative study was to investigate the impacts of both hemodilution methods (ANH and HHD) on mean arterial pressure (MAP), heart rate (HR), hemoglobin (Hb) and hematoerite (Hct) in anesthetized patients undergoing major surgery. Fourteen (14) women fulfilling the inclusion and exclusion criteria were divided into 2 groups. Seven (7) women received ANH and seven (7) women received HHD method. There were significant .statistical differences (P<0.05) between ANH and HHD groups in MAP and Hcl after / minute (86.3*9.1 vs. 99.1+6.4 on MAP) and (27.3±1.7 vs. 31.5+4A on Hct) and after 20 minutes (87.7+7.3 vs. 98.3+6.8 on MAP) and (27.4± 1.7 vs. 3.6±4.8 on Hct) post-hemodilution respectively. There was no difference in HR and Hb. No statistical difference between the four parameters tested after 120 minutes post-hemodilution. it may be concluded that both methods worth to be used in clinical setting although farther studies are required. (Med J Indones 2006; 15:246-50)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-246
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dwi Surya Supriyana
"Gagal jantung adalah sindrom progresif yang menyebabkan kualitas hidup yang buruk bagi pasien. Insidensi dan prevalensi gagal jantung terus meningkat. Saat ini, banyak bukti menunjukkan bahwa gagal jantung kronis dikarakteristikkan oleh aktivitas kompensasi neurohormonal yang berlebihan, termasuk overaktivitas simpatis yang kemudian menjadi landasan terapi. Diperlukan penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif meliputi modifikasi gaya hidup, diet, serta intervensi farmakologi. Beberapa penelitian klinis menunjukkan bahwa akupunktur memiliki efek terapeutik dan modulatoris pada kondisi yang menjadi faktor risiko gagal jantung. Salah satu modalitas akupunktur adalah elektroakupunktur yang dapat menurunkan aktivitas simpatis dan menghambat respon reflek simpatoeksistoris kardiovaskuler. Penelitian ini merupakan uji klinis double blind randomized controlled trial (RCT), yang melibatkan 42 orang pasien gagal jantung dengan kriteria NYHA II-III, EF <40% terbagi dalam kelompok medikamentosa dan elektroakupunktur, medikamentosa dan elektroakupunktur sham, dan medikamentosa tanpa elektroakupunktur. Terapi dilakukan sebanyak 16 sesi selama 8 minggu. Pengukuran dilakukan pada awal terapi, pertengahan terapi, dan akhir terapi. Hasil menunjukkan pemberian elektroakupunktur pada terapi utama medikamentosa pada pasien gagal jantung mampu meningkatkan fraksi ejeksi, mean arterial pressure, dan menurunkan LVEDP lebih cepat, mempertahankan stabilitas dari heart rate variability, serta meningkatkan kualitas hidup yang diukur menggunakan uji jalan 6 menit secara signifikan.

Heart failure is a progressive syndrome that causes poor quality of life for patients. The incidence and prevalence of heart failure continues to increase. At present, much evidence shows that chronic heart failure is characterized by excessive neurohormonal compensatory activity, including sympathetic overactivity which later became the basis of therapy. Holistic and comprehensive management is needed including lifestyle modification, diet, and pharmacological interventions. Some clinical studies show that acupuncture has a therapeutic and modulator effect on conditions that are risk factors for heart failure. This study is a double blind clinical trial randomized controlled trial (RCT), involving 42 people with heart failure patients with NYHA II-III criteria, EF <40% divided into medical and electroacupuncture, medical and electroacupuncture sham, and medical without electroacupuncture groups. Therapy was done 16 sessions for 8 weeks. Measurements of the variables were carried out at the beginning of therapy, mid-therapy, and end of therapy. The results of showed that electroacupuncture in the top of guidlines medical therapy in heart failure patients were able to increase ejection fraction, mean arterial pressure, and to decrease LVEDP faster, maintain stability of heart rate variability, and improve quality of life measured using the 6 minute road test significantly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harlyjoy
"Penelitian ini merupakan penelitian prospektif dan dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara pemberian 1000 cc larutan Ringer laktat (RL) dengan 500 cc larutan Starch (HAES) 6% terhadap perubahan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus pada anestesia bedah sesar. Pada penelitian ini dipilih dengan cara random 40 wanita hamil aterm dengan status fisik ASA kelas I - II yang akan menjalani bedah sesar berencana dengan anestesia subarakhnoid. Ke 40 pasien ini terbagi dalam dua kelompok. Kelompok I akan menerima 1000 cc larutan RL dan kelompok II akan menerima 500 cc larutan HAES 6% sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid. Perubahan tekanan darah maternal dalam penelitian ini adalah terjadinya hipotensi yang didefinisikan sebagai penurunan tekanan darah sistolik dibawah 100 mmHg Hipotensi terjadi 50% pada kelompok yang mendapat 1000 cc larutan RL sementara pada kelompok II yang menerima 500 cc larutan HAES 6% hipotensi terjadi 25% penderita. Namun pada uji statistik ternyata perbedaan tersebut tidak bermakna (p>0,05). Sementara itu nilai apgar menit 1 dan 5 pada ke 40 neonatus tidak menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa penurunan tekanan darah maternal dan nilai Apgar neonatus menit pertama dan ke lima pada penggunanaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum anestesia subarakhnoid pada bedah sesar tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik (p>0,05) di bandingkan dengan 500 cc larutan HAES 6%. Hal ini berarti penggunaan 1000 cc larutan RL sebagai larutan pengisian awal sebelum tindakan anestesia subarakhnoid masih dapat digunakan untuk mencegah penurunan tekanan darah maternal.

This study was a prospective study and was conducted to determine whether there was a difference between administering 1000 cc of Ringer's lactate (RL) solution and 500 cc of 6% Starch solution (HAES) on changes in maternal blood pressure and neonatal Apgar scores during cesarean section anesthesia. In this study, 40 term pregnant women with ASA class I - II physical status were randomly selected who would undergo planned caesarean section with subarachnoid anesthesia. These 40 patients were divided into two groups. Group I will receive 1000 cc of RL solution and group II will receive 500 cc of 6% HAES solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia. The change in maternal blood pressure in this study was hypotension which was defined as a decrease in systolic blood pressure below 100 mmHg. Hypotension occurred in 50% of the group that received 1000 cc of RL solution, while in group II which received 500 cc of 6% HAES solution, hypotension occurred in 25% of patients. However, in statistical tests it turned out that the difference was not significant (p>0.05). Meanwhile, Apgar scores at 1 and 5 minutes in the 40 neonates did not show a statistically significant difference (p>0.05). It can be concluded that the reduction in maternal blood pressure and the first and fifth minute Apgar scores of neonates when using 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia for caesarean section does not show a statistically significant difference (p>0.05) compared with 500 cc of 6% HAES solution. This means that the use of 1000 cc of RL solution as an initial filling solution before subarachnoid anesthesia can still be used to prevent a decrease in maternal blood pressure."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Arbi
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah merupakan komplikasi yang cukup sering pascabedah jantung terbuka. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan otak adalah faktor oksigenasi jaringan yang terganggu. Selama periode pascabedah gangguan oksigenasi jaringan masih tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab POCD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 pascabedah terhadap kejadian POCD pada bedah jantung terbuka di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 44 pasien bedah jantung terbuka elektif dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Subjek dinyatakan mengalami disfungsi kognitif pascabedah jika terjadi penurunan >20% dibandingkan dengan nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 area kognisi. Nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 diambil dari kateter arteri dan kateter vena sentral pada 6 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis data bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan kedalam regresi logistik.
Hasil: Terdapat 23 dari 44 subjek (52,3%) mengalami POCD. Nilai Hb 6 jam pascabedah lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, nilai p<0,001). Sama halnya dengan nilai Hb 24 jam pascabedah juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, nilai p<0,001). Nilai PaO2, SaO2, dan ScvO2 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Analisis multivariat menunjukkan nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah sebagai variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian POCD.
Simpulan: Nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah memiliki hubungan dengan angka kejadian POCD pascabedah jantung terbuka.

Introduction. Postoperative cognitive dysfunction is a compilaction in open heart surgery. Factor that may involve is associated with impaired brain tissue oxygenation. The aim of this study is to investigate the association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Purpose: To evaluate association between postoperative value of Hb, PaO2,and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Methods. This study was prospective cohort held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included 44 elective open heart surgery patients tested forcognitive function on 1 day before surgery and postoperative day 5. Bloods were taken in 6 hours and 24 hours after surgery to measure postoperative value of Hb,PaO2, SaO2 and ScvO2. Subjects were categorized as POCD if there was decline >20% in postoperative neurocognitive test than preoperative. Data were comparedusing SPSS 20.0 software. Bivariate analysis with p-value above 0.25 were includedin logistic regression.
Results: There was 23 of 44 subjects (52.3%) became POCD. Hemoglobin value in 6 hours and 24 hours were significantly lower in POCD group [(9,13±1,15 vs10,61±1,10 mg/dL, p value<0,001) and (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, p value<0,001)]. PaO2, SaO2, and ScvO2 were not significantly different between twogroups. From multivariate analysis, it was found that hemoglobin value in 6 hours and 24 hours after surgery affect POCD in open heart surgery.
Conclusion: There is an association between hemoglobin values in 6 hours and 24 hours after surgery with POCD in open heart surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Preeklampsia adalah penyebab paling sering ketiga kematian ibu di dunia. Etiologi preeklamsia belum diketahui, hipoperfusi plasenta yang mengarah ke iskemia dan cedera sel endotel dianggap peristiwa patologis utama. Hal ini menyebabkan pertumbuhan janin terhambat dan bahkan kematian ibu dan janin. Preeclampsia juga mengarah ke penurunan berat badan plasenta. Untuk mengamati pengaruh tekanan arteri rata-rata (MAP) pada berat plasenta, sebuah penelitian Cross sectional dengan total 24 perempuan dilaksanakan (12 preeclampsia VS 12 normal). Data sekunder dari Rumah Sakit Bersalin Budi Kemuliaan digunakan dan pengukuran MAP dan berat plasenta dilakukan oleh para dokter di rumah sakit. Dari hasil penelitian ini, rata-rata berat plasenta non-preeklamsia VS preeklamsia adalah 555±74.7 VS 429.2±78.2(p<0.05), sedangkan rata-rata MAP non-preeklamsia VS preeclampsia adalah 91.7±11.3 VS 131±13.4(p<0,05). Korelasi tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain r = 0.640 (p<0.05). Korelasi wanita tanpa preeklampsia dengan MAP mereka menghasilkan r=0,539(p>0,05) dan wanita dengan preeklamsia dengan MAP, mereka menghasilkan r=-0,352(p>0,05), semua korelasi tidak signifikan ketika status penyakit dimasukkan kedalam analisis. Kesimpulan akhirnya ditemukan analisis korelasi statistik tidak signifikan, tetapi dari studi klinis yang didukung oleh hasil tinjauan literatur sebelumnya menunjukkan bahwa ada kecenderungan penurunan pada berat plasenta dengan peningkatan MAP pada ibu preeklamsi. Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya mengandalkan hanya pada analisis statistik saja dan analisis statistic yang tidak signifikan mungkin disebabkan karena kurangnya ukuran sampel.

Preeclampsia is the third most frequent cause of maternal death worldwide. The cause of preeclampsia is still unclear, hypoperfusion which leads to placental ischemia and endothelial cell damage are thought to be the main pathologic events. It causes retarded fetal growth and even maternal and fetal death. Preeclampsia also leads to decreased placental weight. To observe the effect of mean arterial pressure (MAP) on placental weight, a cross sectional study with a total of 24 women in the study (12 preeclamptic VS 12 normal) was done. Secondary data from Budi Kemuliaan Maternity Hospital was used and the measurements of the MAP and placental weight were done by the doctors in the hospital. In the obtained result, mean placental weight of non-preeclampsia VS preeclampsia is 555±74.7 VS 429.2±78.2 (p<0.05), while for mean MAP of non-preeclampsia VS preeclampsia is 91.7±11.3 VS 131±13.4 (p<0.05). Correlation without considering other factors r = -0.640 (p<0.05). The correlation of women without preeclampsia with their MAP yielded r = 0.539 (p>0.05) and women with preeclampsia with their MAP yielded r = -0.352 (p>0.05), all the correlations are insignificant when disease status is considered. In conclusion, the correlation statistical analysis is insignificant but clinical studies and results supported by earlier literature reviews suggest that there is a decreasing trend on placental weight with increasing MAP in preeclamptic mothers. Therefore, we cannot just rely on just statistical analysis alone and the insignificant statistical analysis might be due to the lack of sample size."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Agung Wicaksana
"Penyakit jantung bawaan (PJB) sianotik menyebabkan terjadinya hipoksia kronik yang akan memicu peningkatan eritropoietin dan meningkatkan kadar hemoglobin (Hb). Diagnosis defisiensi besi pada PJB sianotik menjadi sulit karena parameter standar seperti Hb dan indeks eritrosit tidak dapat digunakan. Parameter pemeriksaan lain seperti feritin dan saturasi transferin sering tidak akuirat karena dipengaruhi berbagai faktor seperti inflamasi akut. American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemeriksan reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) sebagai alat diagnosis defisiensi besi yang tidak dipengaruhi inflamasi akut. Serial kasus ini bertujuan untuk menilai gambaran Ret-He dalam menilai defisiensi besi pada pasien PJB sianotik. Sebanyak 11 subjek berusia 6 bulan - 5 tahun dengan PJB sianotik mengikuti penelitian ini dan dilakukan pemeriksaan antropometri, saturasi oksigen, Hb, indeks eritrosit, serum besi, total iron binding complex (TIBC), feritin, dan Ret-He. Terdapat 7 subjek dengan diagnosis tetralogi Fallot dan 4 subjek dengan double-outlet right ventricle (DORV). Sebanyak 10 subjek mengalami malnutrisi dan gangguan penyimpanan besi, namun status gizi tidak berbanding lurus dengan status besi. Nilai Ret-He yang rendah ditemui pada 9 dari 10 subjek yang mengalami gangguan penyimpanan besi meskipun tidak ditemukan nilai yang linear. Berdasarkan temuan di atas, diperlukan beberapa pemeriksaan laboratorium dalam mendiagnosis defisiensi besi pada PJB sianotik.

Cyanotic congenital heart disease (CHD) would cause chronic hypoxia and trigger erythropoietin which led to increase hemoglobin (Hb) levels. Diagnosis of iron deficiency in cyanotic CHD is difficult because standard parameters such as Hb and erythrocyte index cannot be used. Another parameters like ferritin and transferrin saturation are confounded by various factor such as acute inflammation. The America Academy of Pediatrics recommends reticulocyte hemoglobin equivalent (Ret-He) as a diagnostic tool for iron deficiency which not influenced by acute inflammation. This case series aims to assess the role of Ret-He in diagnosing iron deficiency in cyanotic CHD. A total 11 subjects aged 6 months - 5 years with cyanotic CHD included in this study and were examined to anthropometric, oxygen saturation, Hb, erythrocyte index, serum iron, total iron binding complex (TIBC), ferritin, and Ret-He. There were 7 subjects diagnosed with tetralogy of Fallot’s and 4 subjects with double outlet right ventricle (DORV). Malnutrition found and iron storage disorder was found in 10 subject, but nutritional status was not directly proportional to iron status. A low Ret-He value was found in 9 out of 10 iron-deficient subjects, although no linearity between them. Based on the above findings, several laboratory tests are needed in diagnosing iron deficiency in cyanotic CHD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Izzuddin Fathoni
"[Latar belakang: Hidup aktif sangat penting untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran. Aktivitas sepeda bersama, telah menjadi gaya hidup sebagian masyarakat perkotaan. Banyak penelitian pada atlet di laboratorium menunjukkan adanya efek penurunan tekanan darah sesudah melakukan latihan fisik aerobik berupa latihan treadmill atau sepeda statis. Aktivitas aerobik bersepeda yang dilakukan oleh komunitas bukan atlet di luar ruangan (outdoor) umum dijumpai di daerah perkotaan Indonesia. Tujuan: Mengetahui dampak bersepeda luar ruangan terhadap penurunan tekanan darah dan MAP sesudah bersepeda serta beberapa faktor yang berhubungan. Metode: Subyek adalah 33 pesepeda bukan atlet (20-30) tahun. Sebelum bersepeda, diukur berat badan dan tinggi badan, dan tekanan darah. Sesudah bersepeda sejauh 7 km, dilakukan pengisian kuesioner kebiasaan bersepeda dan pengukuran tekanan darah pada meni tke 5-30 pada masa pemulihan. Hasil: Rerata penurunan tekanan darah sistolik adalah 8,36±5,41 mmHg, tekanan darah diastolik 1,82±3,94 mmHg dan MAP 4,00±3,09 mmHg. Tidak terdapat hubungan antara jender, usia, IMT, kebiasaan bersepeda dan penurunan tekanan darah sistolik sesudah bersepeda. Kesimpulan: Terdapat penurunan yang bermakna pada tekanan darah dan MAP pasca bersepeda luar ruangan. Bersepeda luar ruangan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada subyek normotensi tanpa membedakan jender, usia, IMT dan kebiasaan bersepeda. Kata Kunci: Aerobik, bersepeda luar ruangan, penurunan tekanan darah sesudah latihan fisik.;Background: Active Living is very important to improve health and fitness. Cycling together, have become part of the urban lifestyle. Many studies have been conducted on athletes in the laboratory showed that after aerobic exercise training on a treadmill or stationary bike has lowering effect of the blood pressure. Cycling as aerobic activities undertaken by non- athlete community outdoors commonly found in urban areas in Indonesia. Purpose: To determine the impact of outdoor cycling to blood pressure and MAP reduction after cycling and several related factors. Methods: The subjects in this study were 33 non-athletes cyclists (20-30) years old. Body weight and height, and blood pressure was measured before cycling. After 7 km cycling, filling out the questionnaire of cycling habitsand blood pressure measurements in 5-30 minutes of recovery time. Results: The mean reduction in systolic blood pressure was 8.36 ± 5.41 mmHg, diastolic blood pressure was 1.82 ± 3.94 mmHg and MAP was 4.00 ± 3.09 mmHg. There was no relationship between genders, age, BMI, cycling habits with systolic blood pressure reduction after cycling. Conclusion: There was a significant reduction in blood pressure and MAP after outdoor cycling. Outdoor cycling is proven to reduce blood pressure in normotensive subject regardless of gender, age, BMI and cycling habits., Background: Active Living is very important to improve health and fitness. Cycling together, have become part of the urban lifestyle. Many studies have been conducted on athletes in the laboratory showed that after aerobic exercise training on a treadmill or stationary bike has lowering effect of the blood pressure. Cycling as aerobic activities undertaken by non- athlete community outdoors commonly found in urban areas in Indonesia. Purpose: To determine the impact of outdoor cycling to blood pressure and MAP reduction after cycling and several related factors. Methods: The subjects in this study were 33 non-athletes cyclists (20-30) years old. Body weight and height, and blood pressure was measured before cycling. After 7 km cycling, filling out the questionnaire of cycling habitsand blood pressure measurements in 5-30 minutes of recovery time. Results: The mean reduction in systolic blood pressure was 8.36 ± 5.41 mmHg, diastolic blood pressure was 1.82 ± 3.94 mmHg and MAP was 4.00 ± 3.09 mmHg. There was no relationship between genders, age, BMI, cycling habits with systolic blood pressure reduction after cycling. Conclusion: There was a significant reduction in blood pressure and MAP after outdoor cycling. Outdoor cycling is proven to reduce blood pressure in normotensive subject regardless of gender, age, BMI and cycling habits.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmahwati
"yok kardiogenik yang terjadi pada seseorang dapat disebabkan oleh penurunan kinerja miokard yang parah dan mengakibatkan penurunan curah jantung hingga hipoperfusi organ akhir. Pemberian resusitasi cairan pada manajemen awal syok kardiogenik menjadi tantangan klinis karena seringkali sulit dinilai dan dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Sehingga, salah satu cara untuk mengetahui efektivitas resusitasi cairan dengan syok kardiogenik adalah dengan pemantauan hemodinamik pasien menggunakan tekanan arteri rata-rata/mean arterial pressure (MAP). Metode dalam karya ilmiah ini dengan case study pada praktik klinik keperawatan kegawatdaruratan di RSUI. Pasien kelolaan adalah Tn. A berusia 74 tahun dengan diagnosis syok kombinasi kardiogenik dan intervensi utama yaitu pemantauan status sirkulasi menggunakan tekanan darah arteri rata-rata (MAP) untuk mengukur efektivitas resusitasi cairan. Hasil implementasi pemantauan MAP menunjukkan MAP dapat menjadi pengukuran efektivitas resusitasi cairan pada status sirkulasi pasien dengan syok kardiogenik. Perawat dapat menggunakan pemantauan status sirkulasi menggunakan tekanan darah arteri rata-rata (MAP) sebagai salah satu pengukuran efektivitas resusitasi cairan.

Cardiogenic shock that occurs in a person can be caused by a severe decrease in myocardial performance and result in a decrease in cardiac output to end organ hypoperfusion. Providing fluid resuscitation in the initial management of cardiogenic shock is a clinical challenge because it is often difficult to assess and can vary over time. Thus, one way to determine the effectiveness of fluid resuscitation in cardiogenic shock is to monitor the patient's hemodynamics using the mean arterial pressure (MAP). The method in this scientific work is a case study in clinical of emergency nursing at RSUI. The patient being managed is Mr. A is 74 years old with a diagnosis of combined cardiogenic shock and the main intervention is monitoring of circulation status using mean arterial blood pressure (MAP) to measure the effectiveness of fluid resuscitation. The results of implementing MAP monitoring show that MAP can be a measure of the effectiveness of fluid resuscitation on the circulation status of patients with cardiogenic shock. Nurses can use monitoring of circulation status using mean arterial blood pressure (MAP) as one measure of the effectiveness of fluid resuscitation."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hilal Nurdin
"Latar belakang. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi jangka panjang pada stenosis mitral, dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Peningkatan resistensi vaskular paru terjadi pada fase reaktif hipertensi pulmonal akibat stenosis mitral. Pada hipertensi pulmonal terjadi gangguan keseimbangan sistem otonom, yang berpengaruh pada perubahan laju jantung saat uji latih. Laju jantung pemulihan dihitung dari selisih laju jantung maksimal saat uji latih dengan laju jantung menit pertama fase pemulihan dipengaruhi oleh reaktivasi sistem parasimpatis saat akhir latihan, dan merupakan prediktor mortalitas jangka panjang.
Metode. Penelitian ini dilakukan pada 20 pasien stenosis mitral bermakna dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan katup mitral di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan Agustus hingga November 2014. Dilakukan pengukuran resistensi vaskular paru sebelum operasi dan sebelum pasien dipulangkan. Laju jantung pemulihan diambil dari uji treadmil pada akhir program rehabilitasi kardiak fase 2. Dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara resistensi vaskular paru dengan laju jantung pemulihan saat latihan pasca operasi katup mitral.
Hasil. Laju jantung pemulihan yang diukur pada menit pertama fase pemulihan uji treadmill adalah 11,5 + 5,9 kali per menit, dan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi sebesar 1,55 + 2,1 WU. Laju jantung pemulihan menit pertama memiliki korelasi sedang dengan perubahan resistensi vaskular paru (r 0,537; p 0,015) . Analisa regresi linier laju jantung pemulihan menit pertama dengan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi mendapatkan nilai koefisien β 1,52 dengan IK 95% 0,338-2,706 dengan nilai p 0,015. Analisa bivariat menyimpulkan bahwa digoxin merupakan variabel perancu (p 0,048). Analisa regresi linier antara perubahanresistensi vaskular paru pasca operasidengan laju jantung pemulihan menit pertama(adjusted analysis sesuai variable perancu)menunjukkan nilai koefisien β 1,244 dengan IK 95% 0,032-2,457 dengan nilai p 0,045.
Kesimpulan. Perubahan resistensi vaskular paru pada pasien stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan berhubungan dengan laju jantung pemulihan menit pertama saat uji latih jantung.

Background. Pulmonary hypertension is one of the long-term complication of mitral stenosis, resulting increase of morbidity and mortality. Pulmonary vascular resistance (PVR) is increase in reactive phase of pulmonary hypertension due to mitral stenosis. There is impaired autonom regulation following pulmonary hypertension, affecting heart rate changes during exercise test. Heart rate recovery (HRR) is defined as the difference between heart rate at peak exercise and 1 minute of recovery phase. It is affected by reactivation of parasympathetic system after cessation of exercise, and has been known as a long-term mortality predictor.
Method. A study of 20 patients with significant mitral stenosis with pulmonary hypertension who underwent mitral valve surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita was done from August to November 2014. PVR data from echocardiography was measured before surgery and before the patients were discharged. HRR data was taken from the treadmill test at the end of phase 2 cardiac rehabilitation program. Statistical analysis is done to explore the correlation between pulmonary vascular resistance and heart rate recovery after exercise test.
Result. Mean heart rate recovery after exercise test is 11,5 + 5,9 beat perminute, and changes of pulmonary vascular resistance after surgery is 1,55+2,1 WU. There was a correlation between change of PVR and heart rate recovery (r 0,537; p 0,015). Linear regression analysis of the change of PVR and heart rate recovery (unadjusted analysis) showed β coefficient 1,52 with 95% confidence interval 0,338-2,706 and p 0,015. Adjusted analysis to confounding variabel showed β coefficient 1,244 with 95% CI 0,032-2,457 and p 0,045.
Conclusion. Changes of pulmonary vascular resistance after mitral valve surgery in mitral stenosis pastient is positively correlated with heart rate recovery during exercise test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>