Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149065 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rai Sri Dewi Ida Ayu
"ABSTRAK
BAPEK merupakan lembaga banding administratif yang kehadirannya diharapkan sebagai sarana perlindungan hukum bagi PNS dan sebagai sarana pengawasan administratif terhadap perilaku Pejabat TUN. Dalam pelaksanaan fungsinya diduga belum efektif. Penelitian ini diawali dengan studi, kepustakaan dan dilanjutkan dengan penelitian empirik melalui pengamatan partisipatif dan wawancara terstruktur terhadap sejumlah key informan.
Pengukuran efektivitas BAPEK dilakukan melalui empat cara yakni. (1) menghitung output yang dihasilkan, (2) menghitung jangka waktu pengiriman berkas keberatan hingga adanya keputusan BAPEK, (3) ratio antara jenis keputusan yang dipertimbangkan dan (4) ratio antara keputusan BAPEK yang diajukan gugatan ka Pejabat TUN dengan yang tidak diajukan gugatan.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan yang menunjukkan bahwa fungsi BAPEK sebagai lembaga banding administratif kurang efektif, oleh karena derajat pencapaian sasaran kuantitatif yaitu keputusan BAPEK per tahun masih dibawah 50 % dari jumlah keberatan yang ada, hanya 38,45 % keberatan PNS yang memenuhi batas waktu penyampaian keberatan oleh Termohon, sehingga dapat dengan segera disidangkan untuk pengambilan keputusan BAPEK. Sedangkan dalam pelaksanaan pengawasan administratif sebanyak 17,95 % dapat meluruskan dan memperbaiki keputusan Pejabat yang berwenang. Sampai dengan akhir tahun 1998, gugatan Pemohan ke PT.TUN masih sedikit yakni sebanyak 65 gugatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas fungsi BAPEK adalah : (1), kurangnya komitmen pada togas, (2) kurangnya kemampuan dan integritas, (3) prosedur pemeriksaan dan keberatan ke BAPEK belum dilaksanakan dengan balk dan (4) kurangnya koordinasl. Adapun strategi untuk meningkatkan kinarja BAPEK dilakukan dengan menetapkan visi, mengembangkan personal mastery, dan mendukung pemberdayaan pegawai (empowerment).
Beranjak dari kesimpulan diatas, dikemukakan beberapa saran yakni : (1) perlunya ditentukan standar untuk melaksanakan fungsi BAPEK dalam bentuk Pala Upaya Banding Administratif, (2) dalam upaya optimalisasi fungsi BAPEK perlunya peningkatan kemampuan SQM aparatur, dan (3) perlunya peningkatan peranan BAPEK menjadi peradilan kepegawaian yang berwenang menangani segala jenis sengketa kepegawaian.

"
1999
T16759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Ayu Rai Sri Dewi
"BAPEK merupakan lembaga banding administratif yang kehadirannya diharapkan sebagai sarana perlindungan hukum bagi PNS dan sebagai sarana pengawasan administratif terhadap perilaku Pejabat TUN. Dalam peiaksanaan fungsinya diduga belum efektif. Penelitian ini diawali dengan studi, kepustakaan dan dilanjutkan dengan penelitian empirik melalul pengamatan partisipatif dun wawancara terstruktur terhadap sejumlah key informan.
Pengukuran efektivitas BAPEK dilakukan melalui empat Cara yakni. (1) menghitung output yang dihasilkan, (2) menghitung jangka waktu pengiriman berkas keberatan hingga adanya keputusan BAPEK, (3) ratio antara jenis keputusan yang dipertimbangkan dan (4) ratio antara keputusan BAPEK yang diajukan gugatan ke Pejabat TUN dengan yang tidak diajukan gugatan.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan yang menunjukkan bahwa fungsi BAPEK sebagai lembaga banding administratif kurang efektif, oleh karena derajat pencapaian sasaran kuantitatif yaitu keputusan BAPEK per tahun masih dibawah 50 % dari 4umlah keberatan yang ada, hanya 38,46 % keberatan PNS yang memenuhi batas waktu penyampaian keberatan oleh Termohon, sehingga dapat dengan segera disidangkan untuk pengambilan keputusan BAPEK. Sedangkan dalam pelaksanaan pengawasan administratif sebanyak 17,95 % dapat meluruskan dan memperbaiki keputusan Pejabat yang berwenang. Sampai dengan akhir tahun 1998, gugatan Pemohon ke PT.TUN masih sedikit yakni sebanyak 65 gugatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas fungsi BAPEK adalah : (1), kurangnya komitmen pada tugas, (2) kurangnya kemampuan dan integritas, (3) prosedur pemeriksaan dan keberatan ke BAPEK belum dilaksanakan dengan baik dan (4) kurangnya koordinasi. Adapun strategi untuk meningkatkan kinerja BAPEK dilakukan dengan menetapkan visi, mengembangkan personal mastery, dan mendukung pemberdayaan pegawai (empowerment).
Beranjak dari kesimpulan diatas, dikemukakan beberapa saran yakni : (1) perlunya ditantukan standar untuk melaksanakan fungsi BAPEK dalam bentuk Pola Upaya Banding Administratif, (2) dalam upaya optimalisasi fungsi BAPEK perlunya peningkatan kemampuan SAM aparatur, dan (3) perlunya peningkatan peranan BAPEK menjadi peradilan kepegawaian yang berwenang menangani segala jenis sengketa kepegawaian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Indri Arfianti
"ABSTRAK
Berbagai perubahan dalam tata kehidupan masyarakat terjadi dalam menghadapi era globalisasi. Perubahan tersebut merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang yang berlangsung dengan cepat. Indonesia pada saat ini juga telah mengikatkan diri pada terciptanya perdagangan bebas. Dengan pengaruh globalisasi ini arus perdagangan barang dan jasa antar negara akan semakin meningkat. Dalam setiap perjanjian internasional, umumnya diperjanjikan bagaimana cara penyelesaian masalah dan hukum apa yang akan diberlakukan jika terjadi perselisihan antar kedua belah pihak.
Dewasa ini tampak adanya perkembangan bagi penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan yang disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Salah satu bentuk ADR yang sering dipergunakan adalah arbitrase. Kebutuhan akan adanya arbitrase dapat dimengerti karena jalan untuk mengajukan perkara di muka pengadilan sampai tercapainya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum dirasakan sangat panjang, memakan waktu dan berbelit. Adapun kelebihan arbitrase dibanding pengadilan yaitu proses yang sederhana, cepat dalam pengambilan keputusan, dilakukan oleh para ahli, bersifat tertutup dan dalam instansi terakhir dan mengikat (final and binding).
Indonesia pada saat ini telah memiliki badan arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan pada tanggal 3 Desember 1977. Permasalahannya adalah apakah peran BANI sebagai media alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan dapat berjalan dengan efektif ? Dari penelitian yang telah dilakukan, dengan menggunakan
data dari narasumber dan ditunjang dengan studi kepustakaan, didapatkan bahwa BANI telah mengalami berbagai hambatan dalam menjalankan tugasnya sebagai media alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan di Indonesia ini. Sehingga bisa dikatakan bahwa BANI tidaklah efektif dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak tahun 1977 sampai dengan tahun 1997, hanya ada 95 perkara yang masuk ke BANI.
Berdasarkan fakta di atas, dan mengingat pentingnya suatu badan arbitrase di suatu negara maka perlu segera dilakukan tindakan-tindakan agar BANI dapat efektif dalam menjalankan tugasnya. Dan tentunya keberadaan BANI ini akan ikut memperkaya sistem hukum peradilan di Indonesia."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Fazly Redwan
"Dilatarbelakangi akan kesadaran pentingnya peranan lembaga-tembaga pengawasan di daerah dalam era otonomi saat ini, maka studi ini dimaksudkan untuk mengetahui aspek aspek apa yang mempengaruhi efektivitas Bawasda Kabupaten Pelalawan dalam menjalankan fungsi pengawasannya.
Setelah menganalisis empat indikator untuk menilai effektivitas pengawasan Bawasda, yaitu : (1) Cakupan Pemeriksaan, (2) Ketepatan waktu Penerbitan Laporan Hasil Pemeriksaan, (3) Jumlah dan Kualitas Temuan Hasil Pemeriksaan dan (4) Jumlah Rekomendasi Pemeriksaan yang Ditindaklanjuti, diketahui bahwa effektivitas pengawasan Bawasda Pelalawan tahun 2001-2002 masih belum optimal.
Gambaran tersebut diperoleh dari : (1) Analisis hasil wawancara dengan tiga orang informan yang ditentukan dengan Porpusive Sampling, yaitu : Bupati Pelalawan, Kepala Bawasda dan salah satu Kepala Bidang di Bawasda. (2) Analisis dokumen dan laporan Bawasda.
Berdasarkan kerangka pemikiran dari beberapa teori pengawasan, maka dalam tesis yang menggunakan metode kuantitaif ini delapan aspek telah mempengaruhi effektivitas Bawasda dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Kedelapan aspek tersebut adalah : (1) Tugas, Pokok dan Kewenangan, (2) lndependensi, (3) Perencanaan Pemeriksaan, (4) Penugasan Pemeriksaan, (5) Sumber daya manusia, (6) Dana dan Peralatan Kerja, (7) Hubungan Kerja, (8) Pemantauan Tindak Lanjut.
Dengan demikian maka, disarankan agar dasar hukum mengenai tugas pokok, fungsi dan wewenang Bawasda diperjelas dan dipertegas, sumber daya manusia Bawasda khususnya untuk pengawasan ditingkatkan baik jumlah dan mutunya, perencanaan pemeriksaan lebih harus lebih terfokus kepada arahan pimpinan berupa kebijakan pengawasan dari Bupati."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irwan Rahmat Gumilar
"Salah satu upaya pemerintah dalam menindak lanjuti aspirasi ini adalah dengan mewujudkan reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN (clean gaverment) serta kepemerintahan yang baik (good governance) dengan melakukan transparansi atau keterbukaan kepada masyamkat, untuk mengontrol hal tersebut perlu adanya kehumasan, maka Kementerian Hukum dan dalam hal ini Direktorat Jenderal pemasyarakatan pada tanggal 17 Desember tahun 2009 Ielah membuat kesepakatan bersarna dengan Persatuan Wartawan Indonesia yang salah satu Hngkupnya adalah pemberian akses bagi wartawan untuk meliput dan mendapatkan informasi di lingkungan pemasyarakatan (Lembaga Pemasyarakatan). Sejauh mana kesepakatan bersama antara Direktorat Jenderal Pemasayarakatan dan Persatuan wartawan Indonesia dalam pemberian akses bagi wartawan untuk meiiput dan mendapatkan informasi di Lapas dan akan dapat diimplementasikan dengan tetap mengindahkan hak hak dan tranparansi pelayanan Lapas disisi lain, serta terciptanya pemberitaan yang seimbang dan objektif. Oleh karenanya; pene1itian ini bertujuan dalam penelitian: ini adaJah untuk menganalisis Kesepakatan Bersama antara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Persatuan Wartawan Indonesia dimana salah satu lingkupnya adalah mengacu pada transparansi kepada publik, dan disisi lain kesepakatan tersebut tidak mengganggu atau tetap rnemperhatikan hak-hak narapidana secara pribad. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data yang dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan daftar dokumen.

One of the government's purpose in following up this aspiration is to achieve reform of government bureaucracy to create a clean and free of corruption (Clean Government) as well as good governance by taking the transparency or openness to the public, the role public relations is needed to control public open, so the Ministry of Justice and Human Rights in this regard Directorate General of the Corrections on December 17year 2009 has made a coHective agreement with the Indonesian Journalists Association which one of scope is the provision of access for journalists to cover and get lnformation on the correctional environment (Correctional Institution}. The extent of the agreement between the Directorate General of Corrections and Indonesian Journalists Association in the provision of access for journalists is to cover and get the information in prisons and will be implemented with due attention to the privacy rights of inmates in one side and the transparency of prison senĀ·ices on the other side, and the creation of a balanced and objective news. Therefore, this research has aim to analyze the Mutual Agreement between the Directorate General of Corrections and the Indonesian Journalists Association where one scope is based on transparency to the public, and on the other hand the agreement does not interfere with or due regard to the rights of prisoners in private. The method used in this research is descriptive research method with qualitative approaches. Data collected through interviews, observation and document lists."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T21050
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Luay Ghozy Rizq
"Penelitian ini mengkaji tentang evaluasi kebijakan tour of duty dan tour of area pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Jakarta. Penelitian ini menggunakan enam dimensi dari Teori Evaluasi Kebijakan Publik oleh Dunn (2018) yang terdiri dari effectiveness, efficiency, adequacy, equity, responsiveness, dan appropriateness. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan campuran melalui survei, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Survei dilakukan secara langsung melalui penyebaran kuesioner dengan melibatkan 76 responden yang merupakan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Jakarta, sementara itu wawancara mendalam dilaksanakan dengan melibatkan 13 informan. Analisis kuantitatif menunjukkan bahwa penerapan kebijakan tour of duty dan tour of area pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Jakarta telah sesuai dengan ukuran nilai efektivitas, efisiensi, kecukupan, keseteraan, responsivitas, dan ketepatan. Hasil uji statistik tersebut juga didukung oleh analisis kualitatif berdasarkan temuan di lapangan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penerapan tour of duty dan tour of area sebagai bentuk kebijakan pengelolaan sumber daya manusia terbukti mampu membawa banyak keunggulan kompetitif baik bagi para individu pegawai maupun entitas organisasi secara keseluruhan.

This study examines the evaluation of tour of duty and tour of area policies on employees of the Class IIA Jakarta Narcotics Correctional Institution. This research uses six dimensions of the Public Policy Evaluation Theory by Dunn (2018) consisting of effectiveness, efficiency, adequacy, equity, responsiveness, and appropriateness. This research uses a quantitative approach with mixed collection techniques through surveys, in-depth interviews, and literature studies. The survey was conducted directly through the distribution of questionnaires involving 76 respondents who were employees of the Class IIA Jakarta Narcotics Correctional Institution, while in-depth interviews were conducted involving 13 informants. Quantitative analysis shows that the implementation of tour of duty and tour of area policies for employees of the Class IIA Jakarta Narcotics Penitentiary is in accordance with the measures of effectiveness, efficiency, adequacy, equity, responsiveness, and accuracy. The statistical test results are also supported by qualitative analysis based on field findings. Therefore, it can be said that the application of tour of duty and tour of area as a form of human resource management policy has proven to be able to bring many competitive advantages to both individual employees and the organizational entity as a whole."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Yuristia Mardhiyah
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembedaan kewenangan lembaga
pemerintah non kementerian (LPNK) yang dibentuk Pemerintah atas perintah
undang-undang dengan LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak atas perintah
undang-undang dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam
penelitian ini akan didalami atas dasar apa LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak
atas perintah undang-undang tidak memiliki kewenangan untuk membentuk
peraturan perundang-undangan atas nama LPNK tersebut. Selanjutnya, bagaimana
kedudukan produk hukum yang ditetapkan oleh LPNK tersebut dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian
hukum yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pembedaan
kewenangan LPNK yang dibentuk Pemerintah atas perintah undang-undang
dengan kewenangan LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak atas perintah undangundang
dalam membentuk peraturan perundang-undangan adalah karena atribusi
kewenangan, sebagai dasar konstitusional yang bersifat formal, hanya dapat
dimiliki oleh badan, lembaga, atau komisi yang diberi kewenangan oleh UUD
1945 atau undang-undang. Dengan demikian, hanya LPNK yang dibentuk
berdasarkan perintah UUD 1945 atau undang-undang lah yang memiliki
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan atas nama LPNK
tersebut. Sedangkan LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak atas perintah undangundang
bukan merupakan lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan bukan
merupakan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, melainkan merupakan peraturan
kebijakan (beleidsregel) yang mengikat umum secara tidak langsung. Untuk itu,
perlu dilakukan pencerahan kembali bagi kementerian dan LPNK mengenai
sistem perundang-undangan Indonesia yang membatasi badan-badan apa saja
yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Penelitian ini juga
menyarakankan agar UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur dengan tegas materi
muatan jenis peraturan perundang-undangan yang termasuk ke dalam Pasal 8 ayat
(1) agar tidak semua materi muatan pengaturan dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan diundangkan ke dalam Berita Negara
Republik Indonesia

ABSTRACT
This research aims to analyze about any difference of the non-ministerial
government institutions (LPNK) constructed by the government under command
of act with the non-ministerial government institutions under non-mandatory
decree by act to formulate legislation. Questions of this research are what is the
reasons of the under non-mandatory LPNK which has not the authority to make
regulations, and what is the status of the law products made by such LPNK in the
Indonesian legislation system? This research is a normative juridical law method
The results of this research show that reasons of differences between mandatory
LPNK and non-mandatory LPNK to formulate legislation are regard to the
problem of required attribution of authority as constitutional consideration for
making regulations is formally conferred by the Constitution of 1945 or an act to
any board, institution, or commission. This means that only the mandatory LPNK
has exclusively authorized to make legislation, while the non-mandatory LPNK
established by the government without order of the act is non-authorized
institutions. By this reason, the legal status of legislative products of the nonmandatory
LPNK are not kind of legislations referred to Article 8 paragraph 1 of
the Act Number 12 of 2011, but only should be deemed as any kind of policy rules
(beleidsregels), which has indirectly legally binding force. It is needed, therefore,
to support legal awareness activities for the ministries and LPNK with regard to
the doctrine of Indonesian legislative system concerning to what institutions can
be conferred the attribution of authority of making regulations. Result of this
research also recommend for the Act Number 12 of 2011 to describe in details
what the legal substance can be included according to the Article 8 paragraph 1,
in order to understand that not all legal substances can be drafted as regulations
and published in the State Bulletin of the Republic of Indonesia"
2016
T45624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Badru Zaman
"Pembentukan Lembaga Pemerintahan Non Struktural di Indonesia tidak diikuti dengan adanya cetak biru dalam pelembagaan lembaga pemerintahan non struktural dan beragamnya model peraturan yang membentuknya serta kewenangannya dalam membentuk peraturan perundangan-undangan. Skripsi ini membahas tiga permasalahan utama. Pertama, lembaga non struktural yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kedua, dasar pembentukan lembaga lembaga pemerintahan non struktural dan kewenangannya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketiga, jenis kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pemerintahan non struktural dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Penulis menggunakan lembaga KPU, KPK, KPPU dan BSSN sebagai bahan untuk dikaji dengan metode yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang seharusnya diinklusikan hanya sebagai kewenangan pemerintahan. Selanjutnya, penulis menganalisis ada 4 (empat) dasar pembentukan lembaga pemerintahan non struktural dan kewenangannya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu dibentuk dengan undang-undang dan memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, dibentuk atas perintah undang-undang dengan undang-undang dan memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, dibentuk atas perintah undang-undang dengan Keputusan Presiden namun tidak memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan dan dibentuk melalui Peraturan Presiden namun tidak atas perintah Undang-Undang dan tidak memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan. Hasil dari lembaga yang dikaji menunjukan bahwa KPU, KPK, KPPU dan BSSN adalah lembaga non struktural yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, namun tidak semua memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan. KPU dan KPK memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan, sementara KPPU dan BSSN tidak memiliki kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan.

The establishment of Non Structural Government Institutions in Indonesia is not followed by a blueprint for institutionalizing Non Structural Government Institutions and the variety of laws that forming it and so its authority of forming laws and regulations. This thesis discusses three main problems. First, non-structural institutions that have the authority to form legislation under the law. Second, the basis for the formation of non-structural government institutions and their authority to forming laws and regulations. third, under the context of duties and functions to run the government, what kind of authority that held by non-structural government institutions in forming laws and regulations. The author uses KPU, KPK, KPPU and BSSN institutions as material to be studied through normative juridical approach method. The results of this study indicate that with the authority being possessed by the government to carry out executive functions and implement laws, the forming of law and regulations under the law shall be included limitedly as governmental authority. Furthermore, the author analyzes there are 4 (four) bases/models to establish Non Structual Government Institutions and its authority to form law and regulations, which is formed by law and has the authority to form legislation, formed by the order of the law and has the authority to form legislation, is formed at the order of the law with a Presidential Decree but does not have the authority to form legislation and is formed through a Presidential Regulation but is not ordered by the Law and does not have the authority to form legislation. The results of this research on the Institutions show that KPU, KPK, KPPU and BSSN are considered as executive authority non-structural institutions, but not all of these institutions have the authority to form legislation. KPU and KPK have the authority to form legislation, while KPPU and BSSN do not have the authority to form legislation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Agustyah
"Sistem birokrasi yang dianut pada humas organisasi pemerintah Indonesia membuat keterbatasan komunikasi antara anggota kelompok. Selain itu, keterbatasan posisi membuat humas hanya terpaku pada model press agentry serta public information; realita tersebut berpengaruh terhadap interaksi sosial yang terjadi dalam proses pembuatan keputusan, terutama yang terkait dengan pelaksanaan fungsi humas pemerintah. Dengan menggunakan Adaptive Structuration Theory yang digagas oleh Poole dan DeSanctis yang mengadaptasi teori strukturasi dari Anthony Giddens; penulis meneliti interaksi sosial yang terjadi dalam proses strukturasi, yaitu bagaimana struktur diproduksi dan direproduksi dalam sistem formal birokrasi. Di AST, ditekankan bahwa critical edge berada pada proses pembuatan keputusan tanpa memarjinalkan anggota organisasi tertentu dengan cara berpartisipasi dalam mengemukakan gagasan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan single case study untuk menganalisis mengenai strukturasi di humas dalam suatu organisasi pemerintah dengan melakukan wawancara mendalam terhadap para agen yang berperan secara aktif di dalam interaksi sosial. Dari titik inilah penulis akan menganalisa structural features, other sources of structure serta group rsquo;s internal system mempengaruhi proses interaksi sosial. Studi ini menemukan bahwa ketika agen humas pemerintah berinteraksi dengan struktur dalam sistem birokrasi, mereka melakukan tindakan appropriation of structure serta menghasilkan emergent source of structure yang akan digunakan sebagai struktur tambahan pada interaksi sosial. Proses pembuatan keputusan yang terjadi dalam interaksi sosial menunjukkan terbentuknya new social structures. Hal ini menunjukkan bahwa ketika appropriation moves yang dilakukan para agen adalah untuk mewujudkan faithfulness of appropriation, maka hasil akhirnya decision outcomes yang predictable.

The bureaucratic system embraced by the Indonesian Government Public Relations makes the communication limitations between group members. In addition, the limited authority makes public relations is only fixated on the press agentry and public information model this reality affects the social interaction that occur in the decision making process, especially those related to the implementation of government public relations functions. Using Adaptive Structuration Theory initiated by Poole and DeSanctis, adapting the structural theory of Anthony Giddens The author examines the social interaction that occur in process of structuration, namely how the structure is produced and reproduced in the formal system of beraucracy. In AST it is emphasized that the critical edge is in the decision making process, without marginalizing the particular organization members by participating in suggesting an idea. The study was conducted using a single case study to analyze the structuration of public relations in government organization, by conducting in depth interviews on agents who play an active role in social interaction. From this point, the author will analyze the structural features, other sources of structure and the group 39 s internal system affected the process of social interaction. This study finds that when government public relations interact with structures in the bureaucratic system, they take the action of appropriation of structure and generate an emergent of structure which will be used as an additional structure in social interaction. The process of decision making that occurs in social interaction shows the formation of new social structures. This suggests that when appropriation moves by agents are to manifest the faithfulness of appropriation, then the outcome of the decision outcomes is predictable."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T48055
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>