Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121179 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Anjari
"Jutaan manusia di seluruh dunia menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan sebagai penyedia sumber makanan yang penting, lapangan kerja, sumber pendapatan dan rekreasi. Bagi Indonesia yang merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah laut sebesar 5,8 juta km2, perikanan memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Sayangnya, pendayagunaan sektor perikanan terhambat oleh maraknya tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi, akibatnya Indonesia mengalami kerugian yang sangat besar. Tindak pidana di bidang perikanan sebenarnya telah menjadi isu yang sangat penting dalam manajemen perikanan dunia, oleh karena itu Food and Agriculture Organization (FAO) mengeluarkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dengan mandat utama dalam hal penyediaan kerangka pengelolaan bagi pemanfatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan baik dalam tatanan global, regional maupun nasional.
Sebagai pelaksanaan dari CCRF, FAO mengeluarkan panduan yang dinamakan International Plan of Action (IPOA). Sejalan dengan tuntutan dunia internasional dan kebijakan FAO tersebut, Pemerintah Indonesia berusaha untuk memperbaiki pengelolaan perikanan nasional, termasuk dalam hal penegakan hukum yang selama ini dirasa lemah. Salah satu usaha peningkatan penegakan hukum adalah dengan mengeluarkan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam penegakan hukum melalui sarana penal, penyidik merupakan instansi penegak hukum yang memegang peranan penting untuk menciptakan suatu sistem peradilan pidana terpadu. Dalam pembahasan Rancangan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan muncul ide untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada satu instansi penyidik (penyidik tunggal) yaitu PPNS Perikanan, namun ide tersebut ditolak oleh Perwira TNI AL dan penyidik POLRI.
Pada akhir pembahasan, disepakati suatu kompromi politis untuk memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada tiga instansi penyidik, yaitu perwira TNI AL, PPNS Perikanan dan penyidik POLRI, kesepakatan tersebut dituangkan dalam Pasal 73 Undang - Undang Nomor 31Tahun 2004. Keberadaan tiga instansi penyidik dengan posisi sejajar dan kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan memungkinkan terjadinya tumpang tindih penyidikan. Oleh karena itu diperlukan suatu mekanisme koordinasi dalam menjalankan tugas dan wewenang masing - masing penyidik sehingga tercipta suatu mekanisme penyidikan yang akuntabel. Dengan mekanisme koordinasi maka tugas dan wewenang ketiga instansi penyidik tidak tumpang tindih dan justru akan mendorong peningkatan kinerja para penyidik secara umum, dengan demikian tujuan dari Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2004 untuk menimalisir tindak pidana di bidang perikanan dapat tercapai."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahrijal Syakur
"Penegakan hukum atas pencucian uang yang berasal dari tindak pidana di bidang perikanan (Illegal Fishing)pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 selain menjadi tugas dari penyidik di bidang perikanan, namun juga penuntut umum dan hakim di pengadilan yang akan memproses hasil penyidikan dalam tingkat persidangan. Untuk itu masing-masing aparat penegak hukum tersebut harus mempunyai persepsi yang sama dalam penegakan hukum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penyidikan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya di bidang perikanan dikaitkan dengan perbedaan hukum acara masing-masing dan untuk mengetahui kewenangan Pengadilan Khusus Perikanan untuk mengadili perkara tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya di bidang perikanan. Penelitian ini menggunakan metode normatif atau doctrinal. Rekomendasi dari penulis adalah penyidikan perkarapencucian uang yang tindak pidana asalnya di bidang perikanan dilakukan dengan cara memisahkan berkas perkaratindak pidana di bidang perikanan dengan berkas penyidikan tindak pidana pencucian uang namun penyidikannya tetap dilakukan secara paralel. Terkait kewenangan pengadilan khusus perikanan, Hakim pada Pengadilan Khusus Perikanan dapat melakukan penafsiran hukum dengan memaknai bahwa berdasarkan Pasal 71 UU Perikanan, Pengadilan Khusus Perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkarapencucian uang yang tindak pidana asalnya di bidang perikanan."
Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, 2023
336 JAC 2:1 (2023)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
NMIK 2001/2002/2003
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdi Satriaji
"Tesis ini mengangkat permasalahan mengenai perkembangan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia khususnya Hak Cipta dalam bidang film dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya pembajakan di bidang karya film dan apakah upaya penegakan hukum di bidang karya film lelah berjalan efektif atau tidak. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan di bidang Hak Cipta khususnya karya film, persetujuan TRIPs-WTO dan konvensi-konvensi Internasional yang terkait dengan Hak Cipta di bidang karya film. Penegakan hukum di bidang Hak Cipta khususnya karya film di Indonesia masih sangat memprihatinkan, hal ini ditandai dengan masih maraknya film bajakan yang ada dan beredar secara terang-terangan di Jakarta, ini membuktikan secara empiris bahwa penegakan hukum terhadap palanggaran Hak Cipta oleh aparat penegak hukum masih belum optimal, karena dipengaruhi berbagai faktor seperti faktor ekonomi, sosial dan budaya.

This thesis focuses on the progrcss of Intellectual Property Rights protection in Indonesia specifically the Copy Rights of movies and issues which affect ntovie piracy and whether the law enforcement efforts for movie piracy are affective or not. Research for this thesis uses the normative law method which focuses on reviewing the laws related to Copy Rights specifically those that are related to movies/films. theTRIPs-WTO Agreement and international conventions in Copy Rights Cor movies. The Copy Rights law enforcement in Indonesia is concerning which is proven by the amount of pirated movies distributed publicly in Jakarta. This shows empirically that the enforcement is not yet optimal due to several factors such as economic. social and culture."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T26923
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andrijani S.
"ABSTRAK
Tindak Pidana Kehutanan di Indonesia telah menjadi masalah serius yang tidak hanya berdimensi hukum, tetapi juga memiliki dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Kondisi yang demikian menyebabkan tindak pidana kehutanan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana luar biasa yang menuntut penanganan yang luar biasa pula. Dalam mengkaji tindak pidana kehutanan bukan saja aspek hukum positifnya yang mesti disoroti, tetapi juga aspek sejarah hukum dan masalah penegakan hukumnya. Aspek sejarah hukum sangat diperlukan untuk melihat politik hukum pemerintah dalam menangani masalah tindak pidana kehutanan yang nantinya dapat digunakan sebagai referensi pembuatan kebijakan pada masa kini. Sementara, aspek penegakan hukum boleh dikatakan integral dengan aspek hukum positif, karena penegakan hukum merupakan upaya untuk mengejawantahkan atau mengimplementasikan hukum positif agar memiliki keberlakuan secara efektif. Berhasil atau tidaknya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terkait, yakni instrumen hukum yang memadai, kebijakan dan peraturan yang mendukung, aparat penegak hukum serta kapasistas kelembagaan yang kuat, proses peradilan yang bersih, dan sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelaku tindak pidana.

ABSTRAK
Forestry criminal act in Indonesia has been serious problem that is not only having legal dimension, but also having economic, social, and political dimension. That condition cause forestry criminal act has been able to be qualified as an extraordinary crime that is also pursuit extraordinary handling. In studying forestry criminal act, is not just positive law aspect that must be viewed, but also the aspect of legal history and its law enforcement. The aspect of legal history is much needed to see government's politics of law in handling the forestry criminal act and eventually can be used as policy making references in nowadays. At the same time, the aspect of law enforcement can be said integrated with positive law, because the law enforcement is effort to implement positive law in order to have deed effectively. Success or not the law enforcement toward forestry criminal act in Indonesia influenced by many factors, are sufficient law instruments, supporting policies and rules, law enforcer apparatus and strong institutional capacity, also, clean judicial process, and punishment that is imposed toward criminal actor.
"
2007
T22902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Evan Merrill
"Skripsi ini membahas mengenai Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan (Ditjen PSDKP) dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang memiliki kewenangan yang tumpang tindih dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, dimana Ditjen PSDKP dan Bakamla sama-sama mempunyai kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dalam bentuk penindakan dan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan. Untuk mempermudah pemahaman, skripsi ini mengambil contoh kasus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh Nguyen Van Hieu, seorang warga negara Vietnam yang terbukti mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE) tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Pokok permasalahan dari skripsi ini adalah mengenai kewenangan yang tumpang tindih antara Ditjen PSDKP dan Bakamla dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, dan bagaimana pelaksanaan dan pengaturan dari kewenangan yang tumpang tindih tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kewenangan Ditjen PSDKP dan Bakamla dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan dan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan dalam hal kewenangan yang tumpang tindih antara Ditjen PSDKP dan Bakamla. Hasil penelitian dari skripsi ini adalah walaupun antara Ditjen PSDKP dan Bakamla sudah terdapat beberapa mekanisme kerja sama antar lembaga, tetapi tetap diperlukan pengaturan lebih rinci untuk memberikan kerangka operasional yang lebih jelas dan meminimalisir dampak buruk dari tumpang tindih lingkup kewenangan antara kedua lembaga tersebut.

This thesis discusses the Directorate General of Marine and Fisheries Resources Surveillance (DGMFRS) and the Maritime Security Agency (MSA) which have overlapping authority in terms of law enforcement against criminal acts in the fisheries sector, where the DGMFRS and MSA both have the authority conduct law enforcement in the form of prosecution and investigation against criminal acts in the fishery sector. To facilitate the explanation, this thesis takes an example of a criminal case in the fisheries sector committed by Nguyen Van Hieu, a Vietnamese citizen who operated a fishing vessel of foreign origin in the Indonesian Exclusive Economic Zone (EEZ) without having secured a fishing permit from relevant authority. The main problem of this thesis is regarding the overlapping authority between the DGMFRS and MSA on law enforcement against criminal acts in the fisheries sector, and how the overlapping authority is implemented and regulated. The purpose of this research is to find out the authority of DGMFRS and MSA to conduct law enforcement against criminal acts in the fisheries sector and to find out the overlapping authority between the DGMFRS and MSA on conducting law enforcement against criminal acts in the fisheries sector. The result of this thesis is that although DGMFRS and MSA already have several cooperation mechanisms between the two institutions, more precise arrangements on this issue are still needed to provide a clearer operational framework and further minimize the possibility of negative excess of the overlapping field of authority between the two institutions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Tulisan ilmiah ini membahas masalah pencucian uang dari satu sisi, yaitu sisi penegakkan hukumnya. Ada banyak sudut pandang dan banyak sisi yang dapat dilihat dalam membahas masalah pencucian uang karena kejahatan yang terorganisasikan dengan baik ini melibatkan banyak otak brilian di belangnya. Batas wilayah negara dapat ditembus dengan mudah, perpindahan uang dapat terjadi hanya dengan hitungan detik saja, belum lagi ide-ide cemerlang lainnya yang kerap digunakan untuk menyamarkan asal-usul dana ilegal. Dengan demikian pembahasan pencucian uang dari aspek hukum ini menjadi suatu hal yang cukup menarik dan penting untuk dikaji memngingat perlunya gerakat cepat dan taktis untuk memutus mata rantai pencucian uang. Dalam skripsi ini dibahas mengenai bagaimana penangan yang harus dilakukan apabila telah terjadi suatu tindak pidana pencucian uang. Dalam skripsi ini akan dibahas mengenai definisi pencucian uang, posisi predicate crime, serta proses acara pidana tindak pidana pencucian uang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian uang terutama penyidikan dan penuntutan."
[Universitas Indonesia, ], 2006
S22093
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanafi Rachman
"Dalam penulisan tesis ini membahas mengenai penegakan hukum terhadap Tindak Perdagangan Orang. definisi Tindak Pidana Perdagangan Orang dewasa ini mengacu pada Protokol Palermo yang merupakan sebuah perjanjian internasional. Protokol tersebut merupakan sebuah perangkat hukum yang mengikat dan mewajibkan bagi semua negara yang meratifikasi atau menyetujuinya termasuk Indonesia. Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Hukum Acara Pidana yang digunakan pada penegakan hukum terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang pada dasarnya adalah Hukum Acara sebagaimana ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali mengenai ketentuan khusus mengenai alat bukti, pembuktian dan hak-hak korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.
Dari hasil penelitian yang sifatnya yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi, penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta teknik wawancara dengan para nara sumber diperoleh kesimpulan yaitu meskipun dalam Undang-undang 21 tahun 2007 diatur mengenai ketentuan pembuktian yang memuat 1 (satu) keterangan saksi saja sudah cukup apabila disertai dengan alat bukti lainya (pasal 30 Undang-undang 21 tahun 2007) tetapi para aparat penegak hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan masih menganut asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi) yang diatur secara tegas dalam hukum acara (KUHAP) pasal 185 ayat (2). Lebih lanjut, ketentuan mengenai hak korban untuk mendapatkan restitusi seringkali tidak diperhatikan oleh para penegak hukum kita karena lebih mengutamakan kepastian hukum dalam penyelesaian perkara daripada keadilan yang seharusnya didapatkan oleh korban atas penderitaanya yang menjadi objek perdagangan orang.

This thesis discussed the enforcement of the Acts of Trafficking in Persons. Definition of the Crime of Trafficking in Persons today refers to the Palermo Protocol is an international treaty. The Protocol is a legal instrument that binds and obliges all countries that ratified or acceded including Indonesia. An Act No. 21 of 2007 on the Eradication of Trafficking in Persons defines trafficking as an act of recruitment, transportation, shelter, transportation, transfer, or receipt of a person by threats of violence, the use of violence, kidnapping, abduction, fraud, deception, abuse of power or vulnerable position, trapping the debt or giving payments or benefits to achieve consent of a person having control over another person, whether committed in the country and between countries, for the purpose of exploitation or the cause of the exploited. Criminal law is used in law enforcement on the Crime of Trafficking in Persons is basically the Law of Procedure as defined in Law No. 8 of 1981 on the Book of Law Criminal Code (Criminal Code), except on special provisions concerning the evidence, proof and victims' rights as stipulated in Law No. 21 of 2007.
From the results of studies that are juridical and normative data collection methods that include, library research through the collection of primary legal materials, legal materials secondary, tertiary legal materials, and techniques of interviews with informants Although the conclusion that the Act 21 of 2007 set regarding the provision of evidence that includes one (1) witness is sufficient if accompanied by other evidence (section 30 of Act 21 of 2007) but the law enforcement agencies in submitting his case to the courts still adhere to the principle of Unus nullus testis testis (one witness is not a witness), which is set firmly in procedural law (Criminal Code) Article 185 paragraph (2). Furthermore, the provisions regarding the rights of victims to restitution often overlooked by law enforcement because they prefer the rule of law in the resolution of the case rather than justice that ought to be obtained by the victim for his suffering which is the object of trafficking in persons.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30369
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Setiawan
"Sejak diberlakukannya Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam dan LK) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan Pasal 70 UU OJK dinyatakan bahwa Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM) tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan UU OJK. Dengan demikian, kewenangan OJK dalam penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran tindak Pidana di bidang Pasar Modal, masih diatur berdasarkan ketentuan pada Pasal 101 UUPM di mana Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada OJK untuk melakukan proses penyidikan bahkan kewenangan untuk melanjutkan atau tidak melanjutkan dugaan pelanggaran tindak Pidana di bidang Pasar Modal ke tahap penyidikan. Kemudian, sejak diundangkannya UU OJK, penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang berasal dari pegawai Bapepam dan LK tidak dapat lagi menjadi penyidik di OJK mengingat dalam UU OJK disebutkan bahwa penyidik OJK berasal dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan di OJK. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, terdapat tantangan dalam penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran tindak Pidana di bidang Pasar Modal yang dilaksanakan oleh OJK, diantaranya terkait dengan kriteria terhadap kewenangan OJK dalam melanjutkan dugaan pelanggaran tindak Pidana di bidang Pasar Modal sebagaimana diatur pada Pasal 101 UUPM dan penjelasannya, serta penegakan hukum dalam proses penyidikan oleh penyidik OJK yang berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan di OJK. Menarik untuk diteliti lebih lanjut dengan menggunakan studi kasus sebagai contoh permasalahan yang terjadi dengan beralihnya kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor Pasar Modal dari Bapepam dan LK kepada OJK terutama dalam hal penegakan hukum terhadap tindak Pidana di bidang Pasar Modal

Since the enactment of UU No. 21 Year 2011 on the Financial Services Authority (OJK Law Act), the functions, duties, and authority of the regulatory and supervisory activities of financial services in the Capital Market sector switching from Capital Market Supervisory Agency and Financial Institution (Bapepam dan LK) to the Financial Services Authority (OJK). Pursuant to Article 70 of OJK Law Act stated that Law Act No. 8 of 1995 concerning Capital Market (Capital Market Law Act) remains valid as long as not contrary to and have not been replaced by the OJK Law Act. Thus, the authority of the OJK in the enforcement of the law against the alleged offense of Criminal in the capital market, is still governed by the provisions of Article 101 of Capital Market Law Act in which that article grants the authority to the OJK to carry out the investigation process even the authority to continue or not to continue the alleged offense Criminal Capital Market to the investigation stage. Then, since the enactment of OJK Law Act, investigators civil servants coming from Bapepam dan LK employees can no longer be given the investigator in the OJK Law Act noted that the OJK investigation came from the Indonesian National Police investigators and civil servants assigned to the OJK. Relating to such matters, there are challenges in the enforcement of the law against the alleged offense of Criminal in the capital market were carried out by the OJK, which were related to the criteria of the authority of the OJK in continuing the alleged offense of Criminal in the capital market as provided for in Article 101 of Capital Market Law Act and explanation, as well as law enforcement in the investigation by the OJK investigators originating from the Indonesian National Police and civil servants assigned to the OJK. Interesting to be further investigated using a case study as an example of the problems that occur with the shift of regulatory and supervisory authority of the Capital Markets sector of Bapepam-LK to the OJK, especially in terms of law enforcement against criminal acts in the capital market"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>