Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147572 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Elnawisah
"Undang-undang Nomor 8 Tabun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina) memberikan kewenangan kepada Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan di bidang minyak dan gas bumi. Berdasarkan kewenangan tersebut Pertamina melakukan berbagai kontrak production sharing, antara lain dalam bentuk Kontrak Operasi Bersama (KOB) yang dilakukan oleh perusahaan negara tersebut dengan perusahaan dengan modal asing Karaha Bodas Company (KBC) pada tahun 1994.
Proyek bersama pengembangan energi geotermal tersebut belum sempat dilaksanakan, ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi (1997), sehingga untuk menanggulanginya Presiden mengeluarkan keputusan presiden yang antara lain menangguhkan pelaksanaan proyek KBC. Merasa dirugikan dengan penangguhan tersebut, KBC berusaha melakukan berbagai negosiasi agar proyek terus dilaksanakan sebagaimana diperanjikan. Kegagalan negosiasi tersebut memaksa pihak KBC menempuh jalur hukum dengan menggugat Pertamina di Badan Arbitrase di Swiss sesuai dengan bunyi klausula penyelesaian sengketa. Gugatan KBC diterima dan Pertamina diharuskan membayar sejumlah ganti rugi.
Tesis ini mencoba menjelaskan hubungan antara klausula force majeure dalam KOB yang mencantumkan frasa any government related event yang hanya berlaku bagi kontraktor (KBC) tetapi tidak dapat digunakan oleh company (Pertamina) dengan menggunakan pertimbangan force majeure bagi Keputusan Presiden untuk menangguhkan KOB.
Untuk menjelaskan ha! itu diajukan dua masalah, yaitu: (a) apakah pencatuman klausula force majeure dalam KOB memenuhi unsur-unsur force majeure, dan (b) bagaimana pertimbangan badan Arbitrase Jenewa terhadap kiausuia force majeure bagi penyelesaian sengketa?
Dari basil penelitian disimpulkan bahwa pencantuman klausula force majeure dalam KOB Pasal 15.1 yang menyatakan "with respect to CONTRACTOR only, any Government Related Event tidak memenuhi unsur force majeure daiam hukum kontrak, karena klausula force majeure seharusnya berlaku bagi Para pihak. Namun Badan Arbitrase di Swiss yang mengadili gugatan ini cenderung berpikir legalistik dengan patokan menjunjung tinggi asas kebebasan berkontrak, sehingga tidak dipertimbangkan secara umum unsur-unsur force majeure yang dikenal dalam konsepsi hukum perdata baik daiam KUH-Perdata maupun dalam sistem common law. Meskipun Badan Arbitrase "menghormati" keputusan presiden yang menangguhkan peiaksanaan proyek KBC, namun Pertamina tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya dalam kontrak yang telah disepakati, sehingga Pertamina dan PLN tidak dapat menjadikan keputusan tersebut sebagai alasan yang sah untuk melepaskan kewajibannya.
Hasil penelitian ini menyarankan untuk menghindari perbedaan penafsiran, Pertamina dan Badan Usaha Milik Negara lebih berusaha memahami hakekat kebebasan berkontrak para pihak yang dijunjung tinggi pihak asing dan menempatkannya dalam posisi yang tidak bertentangan dengan otoritas Pemerintah untuk (sewaktu-waktu) mengeluarkan kebijakan publik yang terkait dengan pelaksanaan kontrak tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anggie Dwiputri Irsan
"Kasus antara Karaha Bodas Company LLC (KBC) dengan PERTAMINA berawal dari ditandatanganinya Joint Operation Contract (JOC) antara KBC dan PERTAMINA pada tahun 1994. Namun pada pertengahan jangka waktu perjanjian tersebut, Indonesia telah mengalami krisis ekonomi sehingga Indonesia meminjam dana dari International Monetary Fund (IMF). IMF mensyaratkan agar Pemerintah Indonesia menangguhkan beberapa proyek di Indonesia, salah satunya adalah Proyek Karaha Bodas dengan mengeluarkan Keputusan Presiden. KBC yang merasa dirugikan menggugat PERTAMINA ke Arbitrase Jenewa, Swiss. Namun PERTAMINA dapat mengajukan pembelaan atas dasar force majure. Dalam hal ini Keputusan Presiden dapat mengintervensi perjanjian. Keputusan Presiden dalam hal ini merupakan wewenang atribut.

The case between Karaha Bodas Company LLC (KBC) and PERTAMINA started from the signing of the Joint Operation Contract (JOC) between KBC and PERTAMINA in 1994. But in the mid-term of the agreement, Indonesia had economic crisis that had to borrow funds from the International Monetary Fund (IMF). The IMF required that the Government of Indonesia had to suspend some projects in Indonesia, one of which was Karaha Bodas project by issuing the Decree of Presidential. Therefore, KBC sued PERTAMINA on the basis of defult, to arbitration Geneva, Switzerland. PERTAMINA unable to performed obligations due to the issuance of Presidential Decree in order to conduct a defense on the basis of force majeure. In this case, it may intervene in the agreement because of the attribute authority of President."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S21561
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rory Arba Delano Mogot
"Arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar peradilan umum. Dengan segala kelebihannya dari segi waktu, biaya dan kerahasiaannya dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalul jalur pengadilan, arbitrase menjadi sangat dominan di era bisnis modem sekarang ini. Namun pada kenyataannya, arbitrase juga memiliki permasalahan dengan banyak terjadinya pembatalan putusan-putusan arbitrase oleh peradilan umum. Ini juga terjadi pada kasus antara Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) vs Karaha Bodas Company (KBC) dengan dibatalkannya putusan arbitrase internasional Swiss oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Tindakan PN Jakarta Pusat tersebut dinilai tidak tepat dan telah melampaui kewenangannya. Dengan dipilihnya atau disepakatiriya Swiss sebagai tempat arbitrase oleh PERTAMINA dan KBC, berdasarkan lex arbitri, yaitu hukum negara di mana tempat arbitrase dilangsungkan, maka pengadilan Swiss-lah yang memiliki kewenangan untuk itu sebagai competent authority, bukan PN Jakarta Pusat"
Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
T36181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marlias Geminiyawan
"Dengan semakin meningkatnya perkembangan perdagangan, keuangan dan industri, baik dalam skala nasional maupun internasional, dan juga dengan persiapanpersiapan yang telah dilakukan oleh masyarakat internasional dalam menghadapi era globalisasi, di beberapa kawasan telah tercapai liberalisasi perdagangan ekonomi, industri dan lain-lain.
Perdagangan internasional yang bersifat lintas batas negara dengan sendirinya mencakup banyak hal dalam pelaksanaannya, antara lain timbulnya perselisihan dari dan atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu perjanjian atau kesepakatan yang berkaitan dengan perdagangan.
Sekalipun para pihak dalam perjanjian perdagangan telah seupaya mungkin mengusahakan, adalah tidak mungkin menghindari terjadinya suatu sengketa atau dispute. Setiap jenis sengketa yang terjadi menuntut pemecahan dan penyelesaian yang sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya. Semakin luas kegiatan perdagangan, semakin tinggi frekuensi kemungkinan terjadinya sengketa, yang di lain pihak juga harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan secepat-cepatnya.
Membiarkan suatu sengketa bisnis atau dagang yang terlambat diselesaikan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efektif dan efesien karena timbulnya suatu sengketa, yang mengakibatkan terhambatnya laju perekonomian yang seharusnya dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian sehingga kegiatan produktivitas menurun.
Biasanya apabila timbul sengketa dari suatu perjanjian, maka penyelesaian sengketa di pengadilan ditempuh. Akan tetapi proses penyelesaian sengketa di pengadilan membutuhkan waktu yang lama yang mengakibatkan para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian dan penyelesaian seperti ini tidak selalu menguntungkan bagi pihak yang bersengketa.
Selain penyelesaian sengketa di pengadilan, masih terdapat alternatif lain untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, yang salah satu diantaranya adalah arbitrase. Yang dimaksud dengan arbitrase pada umumnya adalah suatu perjanjian dimana para pihak bersepakata untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka atau yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh orang ketiga yang independen, dengan kata lain penyelesaian sengketa oleh seseorang atau beberapa wasit (arbiter) yang secara bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang bersengketa, yang umumnya ditungkan dalam salah satu klausula dalam suatu kontrak.
Arbitrase di Indonesia telah diatur dengan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.dengan adanya undang-undang ini diharapkan dapat lebih menjamin kepastian hukum bagi cara-cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan dalam setiap perjanjian di bidang perdagangan nasional maupun internasional."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T37719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nurul Firdaus
"Klausula Indemnitas atau Klausula Ganti Rugi merupakan salah satu ketentuan penting dalam kontrak pengeboran internasional untuk membantu mengalokasikan risiko kepada pihak yang berada dalam posisi yang paling tepat untuk menanggung risiko tersebut. Konsep ini memiliki peranan yang signifikan dalam kontrak kontrak di bidang minyak dan gas bumi, karena karakter khusus dari industri tersebut. Skripsi ini membahas unsur utama dari konsep indemnitas, penggunaan klausula indemnitas dalam kontrak pengeboran serta kekurangan dan kelebihan penggunaan klausula indemnitas tersebut dan juga termasuk hal hal penting yang harus diperhatikan oleh para pihak dalam perjanjian.;

Indemnity clause is one of the key provisions in the international contract that helps to allocate risk to the party who is in a better position to accept it. The concept has particularly great significance in oil and gas contracts due to the specific features of the industry. The paper looks at the main elements of the concept and at the ways it is applied in the international drilling rig service contract, some advantages and disadvantages of using indemnity clause in the contract including some critical points that need to be taken into account by the parties to the contract.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S25029
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Novianty
"Semenjak berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, fungsi regulator Pertamina diserahkan kepada BP Migas dan status Pertamina diubah menjadi PT (Persero). Hal ini menyebabkan kedudukan PT Pertamina (Persero) sejajar dengan kontraktor migas lainnya. PT Pertamina (Persero) kemudian membentuk PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) yang kemudian mengadakan kontrak kerjasama dengan BP Migas. Kontrak ini disebut Kontrak Minyak dan Gas Bumi Pertamina. Berdasarkan uraian tersebut, kemudian timbul pertanyaan mengenai kewenangan para pihak dalam kontrak, mengapa kontrak disebut Kontrak Minyak dan Gas Bumi Pertamina dan bukan kontrak production sharing saja, apa perbedaan dan persamaan kontrak dengan kontrak production sharing pada umumnya dan bagaimana analisa berbagai kemudahan yang diberikan kepada PT Pertamina EP dalam peraturan perundangan tentang migas dan kontrak.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau buku sebagai bahan penelitian. Kewenangan BP Migas pada dasarnya bersumber dari amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang kemudian ditegaskan dan dijabarkan lagi dalam UU No. 22 Tahun 2001. Kewenangan PT Pertamina EP juga bersumber dari UU No. 22 Tahun 2001 yang mengubah status Pertamina dan PP No. 35 Tahun 2004 yang mengamanatkan pembentukan anak perusahaan untuk setiap wilayah kerja PT Pertamina (Persero). Kontrak antara BP Migas dan PT Pertamina EP ini sebenarnya adalah kontrak production sharing karena ketentuannya sama dengan kontrak production sharing pada umumnya kecuali ketentuan mengenai wilayah kerja kontrak yang luas bekas Wilayah Kuasa Pertambangan (WKP) Pertamina, besaran pembagian hasil yang sama dengan ketentuan yang berlaku pada WKP Pertamina, jangka waktu kontrak yang tidak ditemukan pengaturan masa eksplorasi dan eksploitasi, larangan pengalihan keseluruhan hak dan interest kepada pihak bukan afiliasi dan penyisihan wilayah kerja yang termasuk kecil yaitu minimum 10% pada atau sebelum akhir tahun kontrak kesepuluh. Berdasarkan peraturan perundang-undangan migas dan kontrak tersebut, PT Pertamina EP diberikan beberapa kemudahan yang mengindikasikan bahwa hanya perannya sebagai regulator yang dicabut, sedangkan sebagai player tetap sama seperti dulu."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S23908
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raditya Kosasih
"Skripsi ini membahas mengenai Perjanjian Operasi Bersama (Joint Operating Agreement) dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di Indonesia, dengan studi kasus Perjanjian Operasi Bersama antara X dan Y. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Normatif Yuridis dimana data penelitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pengaturan hak dan kewajiban dalam Perjanjian Operasi Bersama ini sudah adil bagi para pihak. Namun, pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa dinilai tidak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.

This thesis is focusing on Joint Operating Agreement in the upstream oil and gas bussines activities in Indonesia, case study on Joint Operating Agreement between X and Y. This research is normative yuridis research, which some of the data were collected from literature. The result states that the clauses of rights and duties are fair enough for the parties. But, the clauses of procurement of goods and services are inappropriate with the freedom of contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S21521
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Tri Widyastuti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S22897
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>