Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48202 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rizki Sotya Shantika
"Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 ditentukan mengenai pembentukan Pengadilan Niaga tapi kewenangan dari Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutus sengketa yang perjanjiannya memuat klausula arbitrase belum diatur dengan jelas. Belum adanya pengaturan tersebut menimbulkan putusan hakim yang berbeda-beda salah satu contohnya yaitu kasus PT.BASUKI PRATAMA ENGINEERING dan PT.MITRA SURYA TATA MANDIRI melawan PT.MEGARIMBA KARYATAMA dimana pada tingkat pertama hakim menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara karena adanya klausula arbitrase sedangkan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali hakim menyatakan berwenang untuk memeriksa dan memutuskan. Jadi bagaimanakah sebenarnya kewenangan dari Pengadilan Niaga dalam memutus sengketa yang memuat klausula arbitrase. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan deskriptif analitis sehingga analisanya dilakukan secara kualitatif berdasar data yang telah ada. Suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase maka sejak saat perjanjian itu dibuat maka para pihak terikat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut melalui arbitrase dimana keterikatan tersebut bersifat mutlak dan baru akan gugur jika para pihak sepakat dan dituangkan secara tertulis. Kewenangan arbitrase tidak menyingkirkan kewenangan dari Pengadilan Niaga karena karateristik dari hukum kepailitan itu sendiri yaitu penyelesaian sengketa harus dilakukan terbuka untuk umum yang bertujuan untuk melindungi pihak ketiga yaitu masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16386
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Sukardi
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Eka Prasetyawati
"Pada dasarnya hampir setiap orang yang cakap dalam hukum pernah membuat suatu perjanjian dengan pihak lainnya, baik antara orang perorangan maupun dengan badan hukum. Kepailitan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk penyelesaian perkara antara pihak yang berjanji dalam perjanjian tersebut. Permohonan pernyataan pailit dan penundaaan kewajiban pembayaran utang diajukan kepada Pengadilan melalui Panitera. Pengadilan yang dimaksud menurut Pasal 280 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan Pengailan Niaga tersebut dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut Pasal 280 ayat (2), kewenangan Pengadilan Niaga adalah untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain di bidang perniagaan yang mana penetapannya dilakukan dengan Peraturan Pemerintah. Apabila dalam perjanjian terdapat klausula arbitrase dimana penyelesaiannya oleh para pihak memilih lembaga arbitrase sebagai kesepakatan bersama jika terjadi adanya sengketa diantara para pihak dalam perjanjian, dan bukanlah melalui Pengadilan Niaga. Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase, bila para pihak dalam perjanjian telah terikat perjanjian arbitrase maka Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili yang berarti bahwa kewenangan Pengadilan Niaga dikesampingkan karena adanya klausula arbitrase. Akan tetapi, disisi lain menurut ketentuan dalam kepailitan atau khususnya dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, Pengadilan Niaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan karena itu adanya klausula arbitrase dalam perjanjian dapat dikesampingkan."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16325
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radjagukguk, Erman
Jakarta: Chandra Pratama, 2000
341.522 RAD a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arman
"Penelitian ini menganalisis mengenai kasus Arbitrase antara PT. Krakatau Steel dan International Piping Product (IPP) sekaligus meneliti penerapan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya dalam hal pembatalan putusan Arbitrase karena adanya dugaan pemalsuan dokumen. Pada kasus Arbitrase ini bertindak sebagai penggugat adalah PT. Krakatau Steel dan sebagai tergugat adalah pihak IPP, dimana sengketa timbul akibat adanya kesalahpahaman diantara mereka.
PT. Krakatau Steel telah mengadakan perjanjian jual beli Steel Billet Grade SWRCH8R dengan IPP. Pada pelaksanaannya PT. Krakatau Steel menolak Steel Billet Grade SWRCH8R dan minta dilakukan penukaran dengan Steel Billet Grade SWRCH8A, tetapi pihak IPP menolak untuk melakukan penukaran Steel Billet Grade tersebut. Dalam perjanjian jual beli mereka telah sepakat untuk menyelesaikan masalah yang timbul melalui Arbitrase ad hoc. Sidang Arbitrase dilaksanakan di Jakarta dengan tiga arbiter dan memakai Uncitral Rules. Sidang Arbitrase memutuskan bahwa pihak PT. Krakatau Steel harus membayar kerugian sebesar USD 1.450.000 dan bunga 6% pertahun dari USD 1.450.000 dimulai dari tanggal 12 Agustus 2001 sampai pelaksanaan selesai. Selanjutnya PT. Krakatau Steel tidak menerima putusan Arbitrase dan mengadakan perlawanan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk dilakukan pembatalan putusan.
Di dalam pembatalan hukumnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai bahwa perlawanan terhadap putusan Arbitrase telah sesuai dengan Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa walaupun hanya berdasarkan kepada adanya dugaan pemalsuan surat atau dokumen yang dilakukan dari pihak IPP. Sehingga Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa putusan Arbitrase tersebut dibatalkan. Sementara dugaan pemalsuan surat atau dokumen tersebut belum diteliti lebih lanjut atau lebih tepatnya belum dilakukan penyidikan atau pemeriksaan secara tekhnis laboratoris melalui Sistem Peradilan Pidana sesuai yang diatur dalam KUHP dan KUHAP karena pemalsuan surat atau dokumen adalah merupakan ranah pidana. Namun pada tingkat kasasi, dinyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak dapat dibenarkan. Tetapi Mahkamah Agung dalam putusannya tidak menyebutkan lebih lanjut mengenai konsekuensi ataupun yang bersifat eksekutorial dari putusannya tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 70 Undang - undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, diperlukan adanya putusan Pengadilan untuk pembuktian adanya atau terjadinya pemalsuan surat atau dokumen melalui Sistem Peradilan Pidana sesuai dengan KUHP dan KUHAP karena pemalsuan surat atau dokumen merupakan ranah pidana. Pembatalan putusan Arbitrase berdasarkan dugaan pemalsuan seharusnya tidak hanya sekedar berdasarkan dugaan ataupun interpretasi pribadi dari Hakim Pengadilan Negeri karena hal tersebut dapat menimbulkan masalah baru bahkan dapat menimbulkan terjadinya Occupational Crime.

This research analyzed cases between PT. Krakatau Steel and International Piping Product (IPP), include observe the implementation Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution. In this case plaintiff PT. Krakatau Steel and the defendant IPP arise after misunderstanding between them.
The Krakatau Steel already signed Sales and Purchase Agreement a contract for purchase Steel Billet Grade SWRCH8R from IPP. In the process, PT. Krakatau Steel rejected Steel Billet Grade SWRCH8R and wants to exchange to Steel Billet Grade SWRCH8A. But IPP can?t exchange the Steel Billet Grade. They were agreing to solve the dispute among them with Arbitration ad hoc. The Arbitration was attended in Jakarta, using UNCITRAL Rules, with three Arbitrators. Arbitration award is penalty US $ 1.450.000 and 6% a year from US $ 1.450.000 for PT. Krakatau Steel start at 12 Augusts 2001 until the execution the award. Latter on Pt. Krakatau Steel doesn?t eccept the award and sought a court decision to nullify the Arbitration award.
In its legal analysis the court of South Jakarta noted that the challenge to an arbitration award submitted by PT. Krakatau Steel related to setting aside arbitral award. According articles 70 Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution, the court noted that there are forgery document by IPP in the examination of the dispute. According, the court of South Jakarta determined that the Arbitration award is proved based on forgery document and the District court agrees to annulment the Arbitration award. While estimate of forgery document is not base on research or investigation or scientific forensic laboratory by Criminal Justice System appropriate with KUHP and KUHAP because forgery document is a crime. But after appeal, the Supreme Court provides that the decisions of the District Court are mistake. But the Supreme Court does not provide the consequences or does not have executorial of its decision.
This research showed that base on the official Elucidation to Article 70 Law No. 30 of 1999 concerning Arbitration and Alternative Dispute Resolution provides that the basis on which an award is set aside must be supported by court decision for approved that any forgery document by Criminal Justice System appropriate with KUHP and KUHAP because forgery document is a crime. Determined Arbitration award base on forgery document should not base on estimate or self interpretation from Judge of District Court because of that can be make a new problem indeed Occupational Crime.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T29695
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Gho
"Dalam bidang perdagangan atau bisnis, perbedaan pendapat ataupun sengketa yang menyangkut pelaksanaan perjanjian perdagangan baik berupa kesalahpahaman tentang interpretasi maupun pengertian diharapkan dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat antara para pihak. Apabila masih tetap menghadapi jalan buntu dan tidak tercapai mufakat maka cara penyelesaiannya dapat ditempuh antara lain dengan menyerahkan sengketa untuk diputus oleh peradilan umum atau menyerahkan sengketa untuk diputus oleh lembaga arbitrase. Permasalahan yang dibahas dan dianalisa dalam penulisan iniadalah:(a) Secara yuridis, bagaimanakah kedudukan klausula arbitrase apabila dihubungkan dengan kompetensi Pengadilan Negeri?; (b) Apakah perjanjian para pihak tentang arbitrase dapat begitu saja dikesampingkan oleh hakim? Metode pengertian yangdigunakan dalam penulisan ini adalah penelusuran kepustakaan dan eksplanatoris. Metode penelusuran kepustakaan digunakan untuk mencari fakta mengenai berhak atau tidaknya suatu lembaga dalam memutus suatu sengketa untuk suatu keadilan berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata, undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase, maupun undang-undang lainnya yang terkait dengan arbitrase. Sedangkan metode eksplanatoris digunakan untuk menjelaskan adanya overlapping wewenang mengadili terhadap suatu sengketa yang timbul oleh lembaga peradilan umum. Kesimpulan dari hasil penulisan ini adalah adanya klausula arbitrase menentukan kompetensi absolut arbitrase dan sebaliknya Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili sengketa dagang yang mengandung klausula arbitrase. Undang-undang nomor 30 tahun 1999 memberi wewenang terbatas terhadap kemungkinan campur tangan (intervensi) Pengadilan Negeri terhadap perkara yang mengandung klausula arbitrase."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T16260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Sudirman
"Sebaqai akibat dari krisis moneter yang berkepanjangan yang dimulai sejak pertengahan tahun 19997 yang lalu, saat ini makin banyak dunia usaha yang tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Dalam dunia hukum, debitur yang tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur dapat dinyatakan pailit. Karena bila hal ini dibiarkan berlarut-larut akan
dapat mengganggu tatanan_kehidupan ekonomi yang sudah ada. Untuk mengatasi dampak negatif makin banyaknya debitur yang akan bangrut, maka pemerintah telah mengeluarkan Undang- Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Kepailitan dan Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU} ini dalam hukum dagang dikenal dengan nama Surseance
van betaling atau suspension of payment, yang diatur dalam Peraturan Kepailitan, Sth. 1905-217 jo. Stb. 1906-348, Bab II, dari pasal 212 sampai dengan pasal 279. Debitur yang menunda atau mengetahui bahwa dia tidak akan dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah bisa ditagih, dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaranutangnya melalui pengadilan. Dalam kasus penundaan pembayaran, bahwa debitur berada dalam keadaan sulit untuk dapat memenuhi (membayar) utangya secara penuh, misalnya, perusahaan debitur pada saat itu menderita kerugianQ kebakaran yang menimpa pabrik, resesi ekonomi, dan lain-
lain. Kesulitan debitur seperti itu belumlah menjadi indikasi kearah kebangrutan {kepailitan}. Apabila debitur diberikan waktu, ia akan sanggup (mampul untuk memenuhi
atau melunasi utangnya secara penuh. Untuk itulah, debitur dapat memohon penundaan pembayaran dengan tujuan agar iabisa memperbaiki ekonomi dan perusahaannya tersebut. Dengan demikian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU} dapat dijadikan alternatif yang menguntungkan baik bagi kreditur maupun debitur dibandingkan jika perusahaan yang insolven langsung dipailitkan, akan tetapi hal tersebut tidak
menutup kemungkinan adanya kerugian-kerugian, baik bagi debitur maupun bagi kreditur."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18231
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Desriani Latifah S.
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T02363
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulius Ibrani
"Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mencatat, jumlah perkara kepailitan dalam sepuluh tahun terakhir mengalami penurunan yang signifikan. Beberapa perkara diantaranya melibatkan badan hukum asing secara lintas batas (Cross-Border Insolvency) sehingga masuk dalam lingkup Hukum Perdata Internasional (HPI). Aspek-aspek HPI dalam perkara kepailitan tersebut adalah status personal badan hukum, yurisdiksi yang berwenang, hukum yang dipergunakan, pengakuan dan pelaksanaan putusan (Recognition and Enforcement) serta tempat letaknya harta/boedel pailit (Lex Rei Sitae). Skripsi ini membahas tentang perkara kepailitan badan hukum asing berdasarkan teori HPI dengan menganalisis putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan Pengadilan Wilayah Amsterdam, Belanda sebagai bahan perbandingan hukum kepailitan.

Indonesian Commercial Court in Central Jakarta recorded, the number of insolvency cases for the last ten years experienced the significant decline. Several cases among them involved the foreign legal entity in a cross-border manner (Cross-Border Insolvency) so as to enter the scope of Private International Law. Its aspects were the personal status of the legal entity, authority of the jurisdiction, the governing law, the recognition and enforcement of the court order, and the location of its assets (Lex Rei Sitae). The focus of this study is about the review and implementation of Private International Law theory in cross-border insolvency cases by analysing the insolvency order by Indonesian Commercial Court in Central Jakarta and the District Court of Amsterdam, Netherlands, as the comparative material of the bankruptcy law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26220
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>