Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106359 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Baby Mariaty
"Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pengakuan perlindungan Paten dan Hak Kekayaan Intelektual umumnya di Indionesia didasarkan pada Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, walaupun ketentuan tersebut belum dijadikan dasar pertimbangan pembentukan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, namun jelas hak tersebut dijamin perlindungannya oleh Negara. Keberadaan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual umumnya dan Paten khususnya diperlukan dalam rangka pengembangan industri yang dapat menunjang perekonomian nasional, namun disisi lain perlindungan Paten dapat menyebabkan harga produk yang dilindungi Paten menjadi mahal. Demikian juga untuk obat antiretroviral yang dibutuhkan pasien penderita penyakit HIV/AIDS (Odha=orang dengan HIV/AIDS) harganya sangat mahal karena obat antiretroviral dilindungi Paten. Penyakit HIV/AIDS semakin lama tersebar diseluruh Indonesia. Jika pada mulanya penyakit HIVIAIDS disebabkan oleh hubungan seks sejenis dan seks bebas, lama kelamaan penderita HIVIAIDS di Indonesia banyak disebabkan oleh pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik yang tidak streril. Penggunaan jarum suntik beramai-ramai menyebabkan ketidaksterilan jarum suntik. Biasanya penggunaan jarum suntuk beramai-ramai ini karena pengguna berasal dari kalangan ekonomi lemah. Maka saat ini banyak penderita HIV/AIDS di Indonesia berasal dari kalangan ekonomi lemah yang tidak mampu membeli obat antiretroviral yang harganya mahal. Obat antiretroviral tidak menyembuhkan penyakit HIV/AIDS, tetapi menyebabkan tubuh Odha menjadi lebih baik sehingga Odha tidak mudah diserang penyakit. Odha harus minum obat antiretroviral seumur hidup. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah, obat antiretroviral diberikan gratis kepada Odha melalui ruimah sakit rujukan yang ditunjuk. Saat ini ada 25 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia. Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah nyata telah melindungi Hak Asasi Manusia dibidang Pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945. Saat ini obat antiretroviral yang dilaksanakan Patennya dari jenis Nevirapin dan Lamivudin. Untuk selanjutnya Pemerintah harus mengupayakan akses obat antiretroviral jenis lain kepada Odha karena biasanya dokter memberikan lebih dari satu macam obat antiretroviral untuk mencegah resistensi obat."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16633
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Hadisetyono
"ABSTRAK
Hak paten merupakan bagian dari pada Hak Kekayaan Intelektual, secara umum pengertian HKI yaitu sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektuaI manusia, dimana sebagai bagian dari hukum harta benda (hukum kekayaan). Perlindungan Paten diberikan untuk perlindungan dalam bidang teknologi termasuk teknologi produk farrnasi atau obat. Hak monopoli dari yang dimiliki pemegang paten mengakibatkan obat menjadi mahal sehingga banyak kalangan masyarakat tidak mampu membelinya pada hal obat tersebut sangat diperlukan, maka pemiliknya pada prinsipnya adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan hukumnya. Hanya dalam perkembangan selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan, yaitu misalnya pembatasan berbpa adanya pengambilalihan oleh Negara.
Kebutuhan terhadap kebijakan tentang PeIaksanaan Paten Oleh Pemerintah sangat mendesak sehubungan dengan penyakit menular HIVIAIDS yang perkembangannya dari tahun ke tahun sedemikian cepat, tingginya angka korban yang meninggal akibat penyakit HIV/AIDS serta semakin meningkatnya jumlah penderita HIVIAIDS, hal ini perlu pemerintah segera mengambil tindakan untuk mengatasinya.
Dengan adanya campur tangan Pemerintah dengan melaksanakan Paten obat antiretroviral (lamivudin dengan Nomor Paten ID 0 002 473 dan Nevirapin dengan Nomor Paten ID 0 001 338), mama harga that dapat ditekan menjadi Iebih murah bahkan diberikan dengan gratis kepada penderita HIVIAIDS, sehingga semakin banyak penderita HIVIAIDS yang dapat menggunakan obat tersebut, namun kenyataannya masih banyak penderita HIVIAIDS yang belum memanfaatkan atau menggunakan obat anti retroviral tersebut.
Permasalahannya adalah sebagai berikut : "Kendala-kendala apakah yang dihadapi penderita HIVIAIDS dalam memperoleh obat-obat anti retroviral 7', khusunya that anti retroviral yang dilindunggi paten, dan paten tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah.
Berdasarkan basil riset bahwa hambatan penderita HIVIAIDS terhadap akses that anti retroviral adalah dalam pelayanan kesehatan dan disebabkan juga oleh penderita HIVIAIDS sendiri yang belum bersedia untuk menggunakan obat anti retroviral karena berbagai pertimbangan.

ABSTRACT
Rights of health of patient HIV/AIDS constraints faced by the patient HIV/AIDS in obtaining drugs of anti retroviral as exploitation of patent by Government. Patent right represent the part of intellectual equity, in general congeniality intellectual property rights that is as rights for properties of arising out or born because intellectual ability of human being, where as part of good and chattel law (law of properties). Patent protection given for the protection of in the field of technology of is inclusive of technology of product of pharmacy or drug. Monopolistic rights from owned by the patent holder result the drug become costly so that a lot of society circle unable to buy it though the drug matter very needed, hence its owner in principle is free go to any length as according to its, and give the content desired own at its contractual terms. Only in growth here in after that freedom experience of the change, that is for example demarcation in the form of existence of take over by State.
Requirement to policy about exploitation of patent by imperative Government referring to contagion HIV/AIDS which its growth from year to year in such a way quickly, height of victim number dying effect of disease HIV/AIDS and also progressively the increasing of amount of patient HIV/AIDS, this matter is governmental need immediately bring an action against to overcome it.
With the existence of Governmental interference by exploitation patent medicine the antiretroviral (lamivudin with the number of patent id 0 002 473 and nevirapin with the number of patent id 0 001 338), hence drug price can be depressed to become cheaper is even given free of charge to patient HIV/AIDS, so that more and more patient HIV/AIDS which can use the drug, but in reality still a lot of patient HIV/AIDS which not yet exploited or use the drug of anti retroviral. Its problems shall be as follows: "Constraints whether/what faced by the patient HIVIAIDS in obtaining drugs of anti retroviral?", especially medicine anti retroviral which protected by patent, and Exploitation of Patent By Government.
Pursuant to result research into that resistance of patient HIVIAIDS to accessing drug antiretroviral in health service and caused also patient HIVIAIDS by self which not yet have the kindness to use the drug of anti retroviral because various consideration.
"
2007
T20833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sianturi, Sarah Mega Ridho
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai penolakan pasien ODHA dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Penolakan pasien ODHA ini disebabkan karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS yang menyebabkan timbulnya rasa takut tertular virus HIV sehingga timbul sikap diskriminasi dan tidak rasional terhadap ODHA. Dalam penulisan skripsi ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. Permasalahan yang dibahas dalam skipsi ini adalah terkait perlindungan hukum bagi ODHA sebagai konsumen jasa pelayaan kesehatan, pengaturan standar pelayanan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA, dan pertanggungjawaban rumah sakit atas penolakan terhadap ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak pasien ODHA untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, adanya peraturan mengenai standar pelayanan kesehatan rumah sakit bagi ODHA dan juga pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada rumah sakit apabila menolak pasien ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan alasan yang tidak rasional. Pertanggungjawaban rumah sakit meliputi pertanggungjawaban hukum perdata, pertanggungjawaban hukum pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi.

ABSTRACT
This thesis discusses the rejection of patients living with HIV-AIDS (PLWHA) in getting health services in the hospital. The rejection of PLWHA is due to the limited information and knowledge about HIV-AIDS that causes fear of contracting HIV virus so that there is discrimination and irrational attitude toward PLWHA. In writing this thesis, the form of research used is juridicalnormative study by using secondary data as the main data source. The problems discussed in this thesis are related to legal protection for PLWHA as consumers
of health services, standard setting of hospital services in meeting the needs of health services for PLWHA, and the hospital's responsibility for the rejection of PLWHA in providing health services. The conclusion of this research is the existence of regulation which guarantee the rights of PLWHA to get health services, the regulation about hospital standard for PLWHA and also legal liability can be applied to hospital if reject PLWHA in giving health service with irrational reasons. Hospital liability includes civil liability, criminal liability, and administrative law liability."
2017
S69347
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Setiawan
"Hak Paten adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh pemegang paten, sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Dimana sebagai bagian dari hukum harta benda (hukum kekayaan), maka pemiliknya pada prinsipnya adalah bebas berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya, dan memberikan isi yang dikehendakinya sendiri pada hubungan hukumnya. Hanya dalam perkembangan selanjutnya kebebasan itu mengalami perubahan, yaitu misalnya pembatasan berupa adanya lisensi wajib, pengambil alihan oleh negara, dan tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan serta ketertiban urnurn.
Bahwa pelaksanaan lisensi wajib paten berdasarkan Persetujuan TRIPs dalam Deklarasi Doha yang berkaitan dengan paten farmasi untuk kesehatan masyarakat yang memberikan haknya kepada pihak ketiga untuk membuat, menjual, dan mengekspor paten produk yang berkaitan tanpa persetujuan pemegang paten untuk memenuhi keperluan kesehatan masyarakat dalam menanggulangi penyakit H1VIAIDS, tuberkolosis, malaria, dan penyakit epidemik lainnya. Penerapan sistem paten sebagaimana diatur dalam TRIPs ini merupakan salah satu perlindungan dan pelaksanaan terhadap hak asasi manusia dibidang kesehatan masyarakat.
Bahwa pelaksanaan lisensi wajib paten di Indonesia, apabila sesuai dengan peraturan yang berlaku terkesan tidak ada pelanggaran HAM. Tetapi apabila kita telah lebih lanjut pelaksanaan lisensi wajib paten dapat digarisbawahi yaitu apabila pelaksanaan sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia maka kemungkinan kecil terjadi suatu pelanggaran terhadap HAM terjadi karena dalam pelaksanaannya harus memberitahukan kepada si pemegang paten. Tetapi sesuai dengan Deklarasi Doha, maka pelaksanaan lisensi wajib paten dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu persetujuan si pemegang paten dengan syarat bahwa pelaksanaan tersebut untuk keadaan darurat nasional atau darurat yang sangat mendesak untuk menanggulangi penyakit epidemik dan tentunya pelaksanaan lisensi wajib tersebut untuk kebutuhan non-komersial. Dalam hal walaupun untuk kepentingan masyarakat, tatapi dalam pelaksanaannya telah terjadi pelanggaran HAM dimana hak ekonomi dari si pemegang paten akan terlanggar.
Tetapi apabila tidak ada peraturan mengenai pelaksanaan lisensi wajib untuk kepentingan kesehatan masyarakat bisa dibayangkan bagaimana masyarakat dapat menanggulangi berbagai bencana penyakit apabila harga obat-obatan paten untuk menanggulangi penyakitnya sangat mahal harganya dan tentunya akan sangat terbatas masyarakat untuk mendapatkannya. Dan apabila hal ini terjadi banyak masyarakat yang terkena penyakit epidemik satu per satu akan meninggal dunia, dimana hal ini tentunya akan terjadi suatu pelanggaran HAM mengenai hak hidup, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16405
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josep Christian
"Hak untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan melekat pada setiap diri manusia secara kodrati, berlaku universal dan bersifat abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Namun pada kenyataannya, masih banyak manusia yang dengan sengaja melakukan berbagai cara untuk mengakhiri kehidupannya sendiri maupun orang lain secara tidak alamiah. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan keyakinan setiap umat beragama yang percaya bahwa hanya Tuhan pemilik hidup ini dan berhak atas kehidupan manusia ciptaan-Nya, juga hanya Tuhan yang akan menentukan batas akhir kehidupan setiap manusia di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Euthanasia merupakan perbuatan yang terlarang karena dikategorikan sebagai suatu pembunuhan atas nyawa seseorang dan terhadap pelakunya diancam pidana, tetapi bukan mustahil jika selama ini euthanasia telah banyak terjadi di Indonesia, walaupun hal tersebut dilakukan secara diam-diam. Pada kenyataannya, semakin lama ternyata tindakan euthanasia menjadi suatu "kebutuhan" dalam beberapa kasus tertentu mengenai penderitaan pasien atas penyakit tak tersembuhkan yang dideritanya. Memberikan hak kepada individu untuk mendapatkan pertolongan dalam pengakhiran hidupnya masih menjadi perdebatan yang sengit bagi banyak negara. Bertitik tolak dari hal-hal tersebut yang berkaitan dengan masalah tindakan euthanasia, Apakah pasien yang sudah dalam keadaan in persistent vegetative state hidupnya masih layak dipertahankan? Apakah ada unsur pembenar bagi dokter yang melakukan tindakan euthanasia dan dapatkah dibebaskan dari tuntutan hukum? Bagaimana hubungan antara euthanasia dengan hak asasi manusia? Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya tindakan euthanasia? Penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu dalam mencari data yang digunakan berpegang pada segi-segi yuridis dan bersifat deskriptif-preskriptif"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16410
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pensra
"Penelitian ini akan mengkaji pemberlakuan pidana mati ditinjau dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, dimana di Indoensia pidana mati masih diberlakuakan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang - Undang lain serta RUU KUHP yang memuat pidana mati. Pada sisi lain Indoensia pun telah merativikasi peraturan internasional yang menerapkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan telah memberlakuakan UU No 39 tahun I999 juga termuat dalam Pasal 28 A sampai dengan 283 Amandemen UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, Hal ini pun terjadi perbagai pendapat balk yang pro maupun yang kontra terhadap pemberlakuan pidana mati itu sendiri.
Dengan demikian Masalah yang akan dibahas adalah :
- Apakah double sanction yang dialami terpidana coati melanggar Hak Asasi Manusia dan - Apakah telah terjadi pergeseran dari sistem hukum pidana di Indonesia mengenai pidana mati menurut RUU KUHPidana Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan menekankan pada data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan.
Berdasarkan studi pustaka, akan digambarkan perkembangan Konsep HAM dalam perlindungan terhadap terpidana mati dalam hukum positif nasional dan hukum positif internasional. Penelitian ini menggunakan teori tentang Hak asasi Manusia, teori Tujuan Hukum ( teori Keadilan dan teori Utilistis atau teori Kemanfaatan ) dan Teori Pembebasan. Teori Ham digunakan untuk melihat lebih mendalam dari sisi HAM terpidana sementara Teori tujuan Hukum digunakan peneliti untuk melihat tujuan dari pemedinaan terhadap pidana mati sementara teori pemidanaan bertujuan "pembebasan". Pembebasan yang dimaksud adalah bukan dalam pengertian fisik. Tapi dalam keterbatasan ruang gerak terpidana, terpidana dibebaskan secara mental dan spiritual. Dengan tujuan bukan saja untuk melepaskan cara dan gaya hidup yang lama, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk membebaskan kesalahan terpidana dan keluarga dari kesalahan yang telah dilakukan dengan mengacu pada Pancasila.
Penelitian yang telah dilakukan ini memaparkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terpidana dalam menjalani hukuman mati dimana terpidana dalam menunggu pelaksanaan eksekusi mati dipenjara maka telah terjadi dua kali hukuman yaitu hukuman penjara dan hukuman mati. Dengan adanya perubahan dalam RUU KUHP yang memuat pidana mati dengan ancaman hukuman secara alternatif maka telah terjadi pergeseran hukum sebagai wacana dalam pemberlakuan pidana mati di Indonesia

The research means to find out the implementation of Death Penalty from Human Rights Perspective while in Indonesia still uses Law Crimes and the designing of Law Crimes which concern with Death Penalty. On the other hand Indonesia has ratified International laws which implemented the protection of Human Rights to the implementation of Laws Number 39 1999, in the Principles 28 until 28 J. Constitution 1945 and Pancasila as the basic principles of Indonesian. Therefore, there is pro and contra for the implementation of death penalty. The problems of the research is to find out whether double sanction can be categorized as human rights violations for the prisoner and to find out whether there is changing in law crimes system.
The research uses qualitative method which emphasizes primary data by in depth interview and secondary data by library research. The theories that implemented in the research are human rights theories, the aims of Law theories, and freedom theories. Human rights theories are used to see prisoners from human rights perspectives in depth.
The Purpose Law theories is used to see the penal of death penalty while the penal theories means to give freedom, The freedom doesn't mean for only physically but also spiritually and mentally.
The research describes that there is human rights violation for the prisoners during death penalty process. Dual sanctions become the problem for the prisoners. The improvement in the designing of Criminal Code with alternative punishment seems bring the changing in the implementation of death penalty in Indonesia."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Ariyulinda
"ABSTRAK
Deklarasi Universal Hak Asasi manusia (DUHAM) merupakan akar
dari instrument hak asasi manusia internasional. Dalam DUHAM dapat dibagi
dalam tiga kelompok besar pengaturan yaitu: hak sipil dan politik, hak ekonomi,
social dan budaya, dan ketentuan penutup. Dalam tingkat nasional banyak
negara telah mengadopsi elemen-elemen dari deklarasi tersebut ke dalam
Undang-Undang Dasar mereka. Dalam hal ini Indonesia telah mengadopsi
nilai-nilai hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang
Dasar 1945 adalah mengenai perkawinan. Dalam hal perkawinan, masyarakat
menyoroti pengaturan mengenai hal tersebut. Dalam Pasal 16 ayat (1)
DUHAM, perkawinan karena perbedaan agama bukan merupakan suatu
penghalang. Tetapi dalam pengaturan mengenai perkawinan di Indonesia,
yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahuh 1974 tentang
Perkawinan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu, Pasal 2 ayat (2) bahwa Tiaptiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehingga terdapat perbedaan antara DUHAM dengan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Berdasarkan kenyataan bahwa di Indonesia banyak yang melakukan
perkawinan beda agama, hal ini disebakan karena interaksi sosial yang luas,
pada hal dalam pengaturannya, perkawinan tersebut dilarang.
Dalam hal penegakan hak asasi manusia, setiap negara yang
berdaulat mempunyai hak untuk menafsirkan pelaksanaan dari nilai-nilai hak
asasi manusia yang tercantum dalam DUHAM. Penerapan hak asasi tersebut
disesuai dengan kondisi latar belakang masyarakat dalam suatu negara
tersebut, budaya, adat istiadat, moral, dan nilai-nilai agama yang diyakini
dalam suatu negara tersebut. Sehingga tidak dapat dilaksanakan secara
mutlak nilai-nilai hak asasi manusia yang terdapat dalam DUHAM. Sehingga
pengaturan mengenai perkawinan beda agama yang dilarang dalam UU No. 1
Tahun 1974 jik a dilihat dari perspektif HAM tidak melanggar hak asasi
manusia."
2011
T38071
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2005
331.137 IND m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1931-
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2004
323.4 SUN a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>