Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118163 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kusna Buchari
"ABSTRAK
Perspektif tindakan Kepolisian baik sebagai individu, sebagai fungsi dan sebagai organ sangat penting dalam mencegah dan menanggulangi pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup baik sebagai akibat kegiatan pembangunan industri maupun akibat limbah dari kegiatan usaha industri, dalam mewujudkan pembangunan industri berwawasan lingkungan sebagaimana diatur antara lain dalam PP No.13 Tahun 1987 Tentang Izin Usaha Industri jo PP No.51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan jo SK Menteri Perindustrian No.2911M/SK/14I1989 Tentang Tata Cara Perizinan dan Standart Teknis Kawasan Industri Jo SK Menteri Perindustrian No.1341M14r 988 Tentang pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Sebagai Akibat Kegiatan Usaha Industri jo KEPPRES No.77 Tahun 1994 Tentang BAPEDAL jo Undang-Undang Republik Indonesia No.24 Tahun 1992 Tentang Penataan ruang dan jo Undang-Undang Kepolisian RI No.13 Tahun 1961 jo Undang-Undang HAP No.8 Tahun 1981. Pencegahan pencemaran yang meliputi antara lain pemilihan lokasi sesuai RTR, pembuatan AMDAL, pengolahan dan Iain-lain, serta penanggulangan, seperti penetapan kualitas limbah dan nilai ambang batas bagi lingkungan, penanganan limbah melalui daur ulang dan sebagainya.
Adanya kemungldnan perusahaan kawasan industri diberikan batas waktu 3 (tiga) tahun untuk tidak menyusun RKL, RPL setelah Persetujuan Prinsip dikeluarkan, sebagaimana dimaksud SK Mentri Perindustrian No.291/MISK/1O/1989, dan hanya adanya kewajiban menyusun AMDAL, RKL dan RPL apabila ada dampak panting pada tingkat izin tetap sebagaimana diatur di dalam PP No.51 Tahun 1993 Tentang AMDAL maka memberi peluang pada tingkat persetujuan prinsip bagi perusahaan industri terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, sebab pencemaran dan kerusakan itu dapat terjadi tidak saja setelah usaha industri itu beroperasi tapi dapat juga pada tahap persiapan dan usaha pembangunan industri. Keadaan ini menjadikan tidak efektifnya peraturan Izin Usaha Industri dalam rangka usaha pencegahan dan penanggulangan pencemaran industri terhadap lingkungan hidup. Faktor yang mempengaruhi antara lain adalah adanya peluang dari peraturan yang ada, kesadaran yang rendah dari pengusaha industri mengenai pentingnya melestarikan kemampuan lingkungan. Selain dari hal peraturan perundang-undangan maka pelaksana dan pengawas undang-undang terutama sesuai Pasal 7a Undang-Undang 8 Tahun 1981, dimana jajaran terdepan selaku penyidik utama adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia masih mempunyai beberapa kendala di lapangan mempunyai beberapa kendala di lapangan dalam mewujudkan kepastian hukum dan atau Integrated Criminal Juctice System khususnya pencegahan dan penanggulangan delik pencemaran lingkungan.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1999
341.44 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Nur Ramadhani
"Pencemaran air yang marak terjadi di Indonesia menyebabkan hak atas air di Indonesia terancam karena berakibat pada perubahan kualitas air dan penurunan kualitas daya guna, hasil guna, daya dukung, daya tampung sumber daya air, dan produktivitas. Pencemaran air yang dibiarkan terus menerus akan berakibat kepada kerusakan kingkungan. Maka dari itu, tindakan pemulihan sebagai salah satu bentuk pengendalian pencemaran air perlu dilaksanakan agar kualitas air dapat kembali ke kondisi semula. Pemulihan mutu air pasca kasus pencemaran air di Indonesia sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk dalam UUPPLHH dan PP 22/2021. Meskipun sudah diatur, pemulihan mutu air di Indonesia belum memiliki kerangka kebijakan yang optimal. Hal tersebut disebabkan belum terdapat peraturan/kebijakan yang dapat dijadikan dasar untuk penegakan pemulihan mutu air yang efektif. Sementara itu, Amerika Serikat melalui CERCLA, OPA, serta 40 dan 43 Code Federal Regulation, telah memiliki kerangka regulasi yang mengatur secara jelas ketiga aspek dalam pemulihan, yaitu Amerika Serikat telah memiliki regulasi yang jelas. Dari sisi kebijakan, baik OPA maupun CERCLA telah mengatur dokumen kebijakan yang menjadi panduan pelaksanaan pemulihan di Amerika Serikat, kelembagan yang berwenagn melaksanakan pemulihan, yaitu Trustees dan Team Respons, serta sisi prosedur pelaksanaan pemulihan yang dibagi menjadi tiga, yaitu Removal Actions, Remedial Actions, serta Restoration.. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang akan menguraikan analisis mengenai kerangka regulasi pemulihan mutu air di Indonesia dan di Amerika Serita serta merefleksikan regulasi yang terdapat di Amerika Serikat dan menganalisis potensi serta tantangan apabila Indonesia akan menerapkan regulasi tersebut.

Water pollution that is rife in Indonesia has threatened the right to water in Indonesia because it has resulted in changes in water quality and a decrease in the quality of usability, usability, carrying capacity, the capacity of water resources, and productivity. Water pollution that is allowed to continue will result in environmental damage. Therefore, recovery measures as a form of water pollution control must be implemented so that water quality can return to its original state. Recovery of water quality after cases of water pollution in Indonesia has been regulated in various laws and regulations, including UUPPLHH and PP 22/2021. Even though it has been regulated, Indonesia's water quality restoration does not yet have an optimal policy framework. This is because no regulations/policies can be used as a basis for effective enforcement of water quality restoration. Meanwhile, through CERCLA, OPA, and Code Federal Regulations 40 and 43, the United States already has a regulatory framework that clearly regulates the three aspects of recovery; namely, the United States already has precise regulations. From a policy standpoint, both OPA and CERCLA have regulated policy documents that guide the implementation of recovery in the United States, the institutions authorized to carry out recovery, namely Trustees and Response Teams, as well as the procedure for carrying out recovery, which is divided into three, namely Removal Actions, Remedial Actions, and Restoration. This research is a normative juridical research that will describe an analysis of the regulatory framework for restoring water quality in Indonesia and the United States, reflect on existing regulations, and analyze the potential and challenges if Indonesia implements these regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adryan Adisaputra Tando
"Pengendalian polusi udara adalah salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia, terutama untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Pada dasarnya, upaya ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu berdasarkan pada perintah-dan-kontrol atau instrumen berbasis pasar. Pendekatan pertama dikritik karena dianggap efisien dalam hal biaya dan tidak memberikan insentif bagi pencemar, sedangkan pendekatan kedua dianggap sebaliknya. Salah satu bentuk instrumen berbasis pasar adalah sistem izin polusi yang dapat diperdagangkan. Di Indonesia, hal ini telah diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan dengan mengamanatkan Peraturan Menteri untuk mengatur hal-hal secara lebih rinci. Sayangnya, masih banyak peraturan yang berpotensi menghambat implementasi sistem perdagangan izin emisi dimulai dengan standar kualitas ambien yang tidak sesuai dengan tingkat kesehatan, penilaian lemah, dan kesalahpahaman denda administrasi.
Oleh karena itu, tesis ini mencoba memberikan solusi untuk masalah ini dengan melakukan penelitian yuridis normatif dan melakukan perbandingan dengan praktik di Amerika Serikat dalam Amandemen Undang-Undang Udara Bersih 1990 (CAAA) dengan nama Program Hujan Asam. Hasil Program Acid Rain dapat dikatakan berhasil karena mereka menciptakan kualitas udara yang lebih baik dan membutuhkan biaya yang lebih rendah. Berdasarkan hal ini dan dipandu oleh Program Hujan Asam di Amerika, diharapkan sistem perdagangan izin emisi di Indonesia dapat berjalan dengan baik dan mendapatkan hasil terbaik.

Air pollution control is a form of protection of human rights, especially to get a good and healthy environment. Basically, these efforts are divided into two categories, namely based on order-and-control or market-based instruments. The first approach is criticized because it is considered efficient in terms of cost and does not provide incentives for pollutants, while the second approach is considered the opposite. One form of market-based instruments is a pollution permit system that can be traded. In Indonesia, this has been regulated by Government Regulation No. 46 of 2017 concerning Environmental Economic Instruments by mandating Ministerial Regulation to regulate matters in more detail. Unfortunately, there are still many regulations that have the potential to hamper the implementation of the emission permit trading system starting with ambient quality standards that are not in accordance with the soundness level, weak assessment, and misunderstanding of administrative fines.
Therefore, this thesis tries to provide a solution to this problem by conducting normative juridical research and making comparisons with practice in the United States in the Amendments to the Clean Air Act 1990 (CAAA) under the name of the Acid Rain Program. The results of the Acid Rain Program can be said to be successful because they create better air quality and require lower costs. Based on this and guided by the Acid Rain Program in America, it is hoped that the emissions permit trading system in Indonesia will run well and get the best results.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harish Makarim
"Pencemaran di Sungai Citarum telah terjadi selama bertahun-tahun sehingga mendapatkan gelar sungai paling tercemar di dunia. Tidak hanya merusak lingkungan hidup, pencemaran yang terjadi di Sungai Citarum pun telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Citarum. Kerugian tersebut antara lain ialah kerugian akan kesehatan dan juga kehilangan sumber air bersih. Namun demikian, selama ini belum pernah ada gugatan yang diajukan untuk memberikan masyarakat di Sungai Citarum ganti rugi atas penderitaan yang mereka alami. Selain itu, pabrik-pabrik di Sungai Citarum pun seolah tidak pernah bertanggungjawab atas kerugian yang masyarakat alami. Ketiadaan gugatan semacam ini diakibatkan oleh adanya permasalahan kausalitas dalam kasus pencemaran Sungai Citarum, yakni ketidakpastian kausalitas. Ketidakpastian kausalitas ini diakibatkan oleh dua hal, yakni ketidakpastian tergugat dan ketidakpastian penyebab kerugian. Ketidakpastian tergugat terjadi sebab terlampau banyak industri yang berdiri di Sungai Citarum, dan ketidakpastian penyebab terjadi sebab terlampau banyaknya sumber pencemar yang ada di Sungai Citarum. Skripsi ini hendak menjawab permasalahan ketidakpastian kausalitas tersebut dengan perkembangan doktrin tort yang ada di luar negeri. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Penelitian ini menuai hasil yang cukup memuaskan di mana doktrin market share liability dapat menjadi solusi atas permasalahan kausalitas yang dihadapi kasus pencemaran Sungai Citarum dengan penyesuaian-penyesuaian pada hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. Namun demikian, terdapat tantangan-tantangan seperti dibutuhkannya aktivisme yudisial oleh hakim dan penelitian secara saintifik terhadap pencemaran Sungai Citarum, untuk dapat menerapkan doktrin market share liability  di Indonesia guna membuktikan kausalitas kerugian terhadap pencemaran yang terjadi.

Citarum River has been polluted for many years and has earned it the title of the most polluted river in the world. Not only destroying the environment, the pollution that occurs in the Citarum River has also caused losses to the people living along the Citarum River. These losses include the loss of health and also the loss of clean water sources. However, so far there has never been a lawsuit filed to provide the people in the Citarum River with compensation for the suffering they have experienced. In addition, it seems that the factories in the Citarum River have never been responsible for the losses suffered by the community. The absence of such a lawsuit is caused by a causality problem in the Citarum River pollution case, namely the uncertainty of causation. The uncertainty of causation is caused by two things, namely the uncertainty of the defendant and the uncertainty of the cause of the loss. The defendant's indeterminacy occurred because there were too many industries that stood on the Citarum River, and the causative indeterminacy occurred because there were too many sources of pollution in the Citarum River. This thesis aims to answer the uncertain causation problem with the development of the existing tort doctrine in other countries. The research method used is normative juridical research with a descriptive analysis approach. This study reaped satisfactory results where the market share liability doctrine could be the solution to the causality problem faced by the Citarum River pollution case with adjustments to the civil procedural law applicable in Indonesia. However, there are challenges such as the need for judicial activism by judges and scientific research on Citarum River pollution, in order to be able to apply the market share liability doctrine in Indonesia to prove the causality of losses to pollution. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Inez Wiraatmadja
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Natasha Natio
"Pencemaran dan kerusakan sungai yang terjadi, baik di Indonesia maupun Selandia Baru telah mencapai titik krisis yang memerlukan kebijakan hukum yang inovatif. Di Selandia Baru, Sungai Whanganui melalui Undang-Undang Te Awa Tupua 2017 ditetapkan sebagai subjek hukum. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode hukum normatif-empiris untuk menganalisis konsep pengakuan Sungai Whanganui sebagai subjek hukum di Selandia Baru dan untuk mengevaluasi penanganan pencemaran air pasca pengakuan subjek hukum pada Sungai Whanganui. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menelaah potensi pengakuan subjek hukum pada sungai di Indonesia, baik dari segi perumusan undang-undang maupun penerapannya sebagai langkah menuju penanganan pencemaran sungai yang lebih efektif di masa depan. Sungai Whanganui diakui dalam UU Te Awa Tupua 2017 sebagai subjek hukum penuh yang menyandang hak dan kewajiban, serta memiliki wali yang terdiri dari satu orang wakil suku asli Māori dan satu orang wakil perwakilan negara bagian. Pengakuan hukum terhadap Sungai Whanganui telah menunjukkan dampak positif dalam penanganan pencemaran air. Dengan adanya pengakuan subjek hukum pada sungai di Indonesia dapat berpotensi memberikan sejumlah manfaat bagi penanganan pencemaran sungai, seperti memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat dan mendorong tanggung jawab lingkungan yang lebih besar. Akan tetapi, pengakuan ini juga menimbulkan sejumlah tantangan dalam teori hukum dan implementasinya, seperti menentukan mekanisme pengakuan subjek hukum, mengatur kewajiban dan hak yang melekat pada sungai, serta memastikan kepatuhan dan penegakan hukum yang efektif.

The pollution and damage to rivers, both in Indonesia and New Zealand have reached a crisis point that requires innovative legal policies. In New Zealand, the Whanganui River has been legally recognized as a legal subject subject through the Te Awa Tupua Act 2017. This research utilizes a normative-empirical legal method to analyze the concept of recognizing the Whanganui River as a legal subject in New Zealand and to evaluate the post-recognition measures taken to address water pollution in the river. Additionally, this study aims to explore the potential recognition of rivers as legal subjects in Indonesia, focusing on the formulation and implementation of laws as a step towards more effective river pollution management in the future. The Whanganui River is acknowledged under the Te Awa Tupua Act 2017 as a full legal subject with rights and responsibilities, and it is represented by a legal guardian comprising a representative from the indigenous Māori tribe and a representative from the state government. The legal recognition of the Whanganui River has demonstrated positive impacts in addressing water pollution. The recognition of rivers as legal subjects in Indonesia has the potential to provide several benefits for river pollution management, including stronger legal protection and promoting greater environmental responsibility. However, this recognition also presents various challenges in legal theory and its implementation, such as determining mechanisms for legal subject recognition, regulating the rights and obligations inherent to rivers, and ensuring effective legal compliance and law enforcement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjono Dirdjosisworo
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
363.735 98 SOE u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Niniek Suparni
Jakarta: Sinar Grafika, 1992
344.046 NIN p (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Niniek Suparni
Jakarta: Sinar Grafika, 1994
344.046 NIN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>