Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125893 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sondang Regina I.
"Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah menciptakan unifikasi dibidang hukum perkawinan di Indonesia, yang diberlakukan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, agama, dan ras. Akan tetapi, dalam hal perkawinan yang dilakukan antara mereka yang berbeda agama, Undang-Undang Perkawinan hanya memberikan pengaturan yang berupa penyerahan sepenuhnya kepada hukum agama yang berlaku.
Sehubungan dengan hal tersebut, dewasa ini sering terjadi pengakuan dan pencatatan atas perkawinan antara mereka yang berbeda agama, yang mana sesungguhnya perkawinan tersebut tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai yang berlaku. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis membuat penulisan mengenai permasalahan hukum dalam pencatatan perkawinan antara mereka yang berbeda agama dengan meninjau Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1400/K/Pdt/1986 mengenai perkawinan antara mereka yang berbeda agama.
Dalam penulisan ini dibahas permasalahan mengenai syarat syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, dan mengenai sah/tidaknya pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan putusan No. 1400/K/Pdt/1986 menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam melakukan penulisan ini, penulis menggunakan metode pendekatan dengan menggunakan metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan pustaka atau yang disebut data sekunder berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai permasalahan yang dibahas, maka penulis berpendapat dan menyimpulkan bahwa perkawinan sah secara hukum apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, serta dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan Putusan MA-RI No.1400/K/Pdt/1986, adalah tidak dapat dibenarkan karena perkawinan tersebut bertentangan dengan agama. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar lebih ditingkatkan lagi kesadaran hukum terhadap agama, dan peranan Kantor Catatan Sipil dalam menjalankan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bey, Errizka F.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21355
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Klarinthia Ratri
"Temuan sebelumnya menemukan hasil yang konsisten mengenai hubungan positif antara religiusitas dan kepuasan pernikahan (Ahmadi & Hossein-abadi, 2009). Namun, perkawinan beda agama diharapkan bisa mengubah jalannya hubungan ini. Masing-masing tingkat religiusitas menghasilkan konflik, bertindak sebagai penekan untuk pernikahan. Karena itu, ini Penelitian dilakukan untuk menguji ulang hubungan antara religiusitas dan perkawinan kepuasan, dan untuk menguji peran Copic Dukungan Dyadic sebagai strategi pasangan dalam menghadapi tantangan dalam pernikahan antaragama (moderator). Kuisioner diberikan kepada 65 peserta dalam pernikahan beda agama dengan usia berkisar 26-64 tahun. Data dikumpulkan dengan menggunakan Indeks Kepuasan Pasangan, Inventarisasi Coping Dyadic, dan Kuisioner Skala Sentralitas Religiusitas. Analisis data dilakukan dengan pearson korelasi, analisis regresi, dan Annova satu arah dalam SPSSS versi 23.
Hasil tidak menunjukkan hubungan antara religiusitas dan kepuasan pernikahan (r = -0,154, p> 0,05), a hubungan positif yang signifikan antara coping diad yang mendukung dan perkawinan kepuasan (r = 0,601, p <0,05), dan tidak ada efek moderasi dari coping diad suportif religiusitas dan kepuasan pernikahan (β = 0,056; p> 0,05). Kesimpulannya, mendukung mengatasi diad terbukti mampu melemahkan, tetapi tidak memoderasi hubungan antara religiusitas dan kepuasan pernikahan pada individu dalam pernikahan beda agama.

Previous findings found consistent results regarding a positive relationship between religiosity and marital satisfaction (Ahmadi & Hossein-abadi, 2009). However, interfaith marriages are expected to change the course of this relationship. Each level of religiosity produces conflict, acts as a suppressor for marriage. Therefore, this study was conducted to reexamine the relationship between religiosity and marital satisfaction, and to examine the role of Copic Dyadic Support as a couple's strategy in facing challenges in interfaith marriages (moderators). The questionnaire was given to 65 participants in interfaith marriages with ages ranging from 26-64 years. Data were collected using the Pair Satisfaction Index, Dyadic Coping Inventory, and the Religiosity Central Scale Questionnaire. Data analysis was performed with Pearson correlation, regression analysis, and one-way Annova in SPSSS version 23.
The results did not show a relationship between religiosity and marital satisfaction (r = -0.154, p> 0.05), a significant positive relationship between coping dyads support and marriage satisfaction (r = 0.601, p <0.05), and there was no moderating effect of coping with supportive religiosity and marital satisfaction (β = 0.056; p> 0.05). In conclusion, supporting overcoming dyads can weaken, but not moderate the relationship between religiosity and marriage satisfaction for individuals in interfaith marriages.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dollys Sulaiman
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S26097
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Didik Aprihadi
"Status perkawinan menjadi permasalahan sebelum pasangan suami istri
mengajukan isbat nikah dan mengajukan gugatan perceraian. Selanjutnya, permasalahan dalam pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 3082/Pdt.G/2016/PAJT dan Nomor: 1751/Pdt.G/2017/PAJT. Oleh karena itu, penulis meneliti isbat nikah dan gugatan perceraian yang didahului isbat nikah di Pengadilan Agama. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yaitu dengan mengkaji konsep hukum Islam, ketentuan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam terkait isbat nikah dan perceraian. Hasil dari penelitian ini adalah status perkawinan pada isbat
nikah ditentukan dari terpenuhinya rukun dan syarat perkawinan, isbat nikah pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 3082/Pdt.G/2016/PAJT tidak dikabulkan dan putusan telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI. Selanjutnya, isbat nikah pada putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor: 1751/Pdt.G/2017/PAJT dikabulkan dan gugatan cerai dikabulkan telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan demikian, saran kepada masyarakat untuk memperhatikan rukun dan syarat perkawinan dalam permohonan isbat nikah dan gugatan cerai ke Pengadilan Agama.
Marital status becomes a problem before husband and wife
file a marriage isbat and file a divorce suit. Furthermore, the problems in the judge's consideration in the East Jakarta Religious Court Decision Number: 3082/Pdt.G/2016/PAJT and Number: 1751/Pdt.G/2017/PAJT. Therefore, the author examines the isbat of marriage and divorce claims that are preceded by the isbat of marriage in the Religious Courts. The research was conducted using a juridical-normative method, namely by examining the concept of Islamic law, the provisions of the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law related to the isbat of marriage and divorce. The results of this study are the marital status of the isbat Marriage is determined from the fulfillment of the pillars and conditions of marriage, the marriage isbat in the decision of the East Jakarta Religious Court Number: 3082/Pdt.G/2016/PAJT was not granted and the decision was in accordance with the Marriage Law and KHI. Furthermore, the isbat marriage in the decision of the East Jakarta Religious Court Number: 1751/Pdt.G/2017/PAJT was granted and the divorce suit was granted in accordance with the Marriage Law and the Compilation of Islamic Law. Thus, suggestions to the public to pay attention to the pillars and conditions of marriage in the application for marriage isbat and divorce claims to the Religious Courts."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephanie Andrea Frederica Hukom
"Perkembangan teknologi komunikasi di era digital saat ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar manusia di dunia. Di satu sisi dapat mempermudah komunikasi tetapi di sisi lain dapat mengganggu, salah satunya dalam hubungan perkawinan (technoference). Penelitian ini memeriksa hubungan technoference dengan kepuasan perkawinan dimediasi oleh konflik karena penggunaan teknologi. Partisipan penelitian ini 533 orang WNI menikah, 125 laki-laki dan 408 perempuan yang berusia 19-50 tahun, diperoleh dengan convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan secara daring. Alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah Technoference Device Interference Scale (TDIS), Conflict Over Techno Use Scale dan ENRICH Marital Satisfaction Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik karena penggunaan teknologi secara signifikan memediasi hubungan antara technoference dan kepuasan perkawinan secara parsial.

The development of communication technology in the digital era has become a part of the lives of most people in the world. On the one hand it can facilitate communication but on the other hand it can interfere, one of them is in marital satisfaction (technoference). This study examined the relation between technoference and marital satisfaction mediated by conflict over technology use. Participants in this study were 533 Indonesian citizens, married, 125 men and 408 women aged 19-50 years, obtained by convenience sampling. Data collection is done online. Measuring instruments used in this study are Technoference Device Interference Scale (TDIS), Conflict Over Techno Use Scale, and ENRICH Marital Satisfaction Scale. The results showed that conflict over technology use significantly mediated the relation between technoference and marital satisfaction partially."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Gunawan
"Perkawinan beda agama bukan merupakan masalah baru, perkawinan semacam ini telah banyak terjadi jauh sebelum undang-undang perkawinan dibentuk. Dalam tata hukum kolonial bentuk perkawinan semacam ini mendapatkan tempat yang kuat dalam hukum positif sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (2) GHR. Setelah berlakunya UUP, melalui suatu perdebatan yang cukup panjang, ketentuan mengenai perkawinan beda agama tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi, sehubungan dengan banyaknya kasus perkawinan beda agama yang terjadi, maka penemuan hukum atas masalah ini terus dicari, sehingga menimbulkan pendapat baik yang pro maupun kontra. Ketidaktegasan UUP ^ dalam mengatur mengenai hal ini, menimbulkan iDanyak interpretasi yang berbeda-beda, tidak terkecuali dikalangan hakim sebagai penegak hukum. Secara nukum positif maupun secara sosiologis mungkin dapat diterima bentuk perkawinan semacam ini. Hal ini sebagaimana terlihat dari sikap MA-RI dalam putusannya No. 1400 K/Pdyi98 6 atas perkara Andi Vonny Gani P, seorang wanita muslim yang hendak menikah dengan pria non muslim, dalam putusannya Majelis Hakim MA-RI mengabulkan perkawinan mereka. Di dalam pertimbangannya MA-RI menyatakan bahwa UUP tidak mengatur mengenai hal ini sehingga terjadi kekosongan hukum, oleh karenanya perlu dicari hukumnya. Pendirian mana didasarkan pada suatu kenyataan bahwa untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan dikemudian hari, seperti terjadinya penyelundupan nilai-nilai sosial, agama dan hukum Namun dipandang dari sudut agama tidaklah demikian, pada dasarnya semua agama melarang perkawinan beda agama. Walaupun tidak menutup kemungkinan akan adanya kelonggaran-kelonggaran. Tetapi, khusus dalam agama Islam, seorang non muslim. Dengan adanya perbedaan pendapat mengenai beda agama. Oleh karenanya perbedaan pendapat mengenai hal ini dapat diakhiri bilamana UUP dikemudian hari mempertegas kedudukan perkawinan semacam ini."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
S20707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Yoseph
"Perkawinan antar mereka yang berbeda agama, tidak diatur dalam UU No. 1/1974 Tentang Perkawinan. Pasal 57 UU No. 1/1974 itu hanya mengatur mengenai perkawinan campur yang didasarkan pada perbedaan kewarganegaraan, di mana salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Di masyarakat Indonesia yang majemuk perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama sering tak terhindarkan, meskipun dalam praktik sering ada banyak kesulitan dan hambatan. Kesulitan yang sama dialami oleh mereka yang menganut agama atau kepercayaan yang tidak diakui resmi oleh pemerintah sampai sekarang tidak ada peraturan perundang-undangan yang menghormati dan melindungi kepetingan dan hak-hak mereka karena Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/ 1974 menetapkan bahwa perkawinan hanyalah sah bila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya itu. Maka praktis, segolongan warga negara yang agama atau kepercayaannya tidak diakui secara resmi oleh pemerintah, menjadi seperti dianak-tirikan dalam pelayanan publik pemerintah sehingga mereka sulit memperoleh hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Untunglah, ketentuan peralihan, Pasal 66 UU No. 1/1974, masih memberi celah untuk masih dapat menggunakan 'Peraturan Perkawinan Campur' S 1898 No/158 dan 'Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia Jawa, Minahasa dan Ambon' S 1933 No.74, serta Pasal 83 dan Pasal 84 B.W. (KUH Perdata). Ketiga peraturan perundang-undangan itu meskipun tidak tuntas menyelesaikan persoalan perkawinan antar mereka yang berbeda agama setidak-tidaknya memberi jalan keluar minus malum (maksudnya kalau tidak ada rotan, akarpun jadilah). Hukum agama-agama yang ada di Indonesia sangat berbeda satu dari yang lain, masing-masing mandiri dan tidak saling berkaitan karenanya juga tidak dapat saling di damaikan. Bagi agama-agama, kawin campur agama selamanya dilarang dan menjadi halangan perkawinan; itu artinya tidak dapat diharapkan suatu pemecahan masalah perkawinan campur agama dari hukum agama-agama itu sendiri. Satu-satunya cara bagi bangsa Indonesia untuk dapat memecahkan soal Perkawinan Antar Mereka Yang Berbeda Agama adalah mengamandemen UU No.l/1974, alternatif lain satu-satunya adalah membuat undang-undang baru mengenai perkawinan yang memungkinkan orang-orang berbeda agama atau orang-orang yang agama dan atau kepercayaannya tidak diakui resmi oleh pemerintah bisa memperoleh hak-hak mereka. Undang-undang baru mengenai perkawinan itu harus mencerminkan semangat dan jiwa ayat (1) Pasal 27 UUD Negara Republik Indonesia 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
S21174
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yotia Jericho Urbanus
"Penulisan ini membahas mengenai kedudukan hukum akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh Notaris terhadap pelaku perkawinan beda agama di Indonesia (studi kasus Notaris X di Jakarta Barat). Adanya perkembangan mengenai pengesahan pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia dan juga pengalaman Notaris X yang seringkali membuat akta perjanjian perkawinan yang para penghadapnya beda agama menjadi dasar bagi Notaris X untuk membuat akta perjanjian perkawinan bagi Tuan A yang beragama Kristen dan Nyonya B yang beragama Buddha. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kedudukan akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X dan mengenai batasan hukum serta langkah hukum bagi seorang Notaris dalam membuat akta perjanjian perkawinan beda agama di Indonesia. Bentuk penelitian ini adalah yuridisnormatif dengan tipe penelitian eksplanatoris. Pada akhirnya akta perjanjian perkawinan beda agama yang dibuat oleh Notaris X ialah batal demi hukum dikarenakan tidak memenuhi ketentuan syarat objektif perjanjian. Selanjutnya akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh seorang Notaris tidak boleh bertentangan dengan ketentuan agama, kesusilaan dan ketertiban umum sebagaimana ternyata dalam Pasal 29 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun seorang Notaris dalam menghadapi akta perjanjian perkawinan beda agama, seorang Notaris harus mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan tugas jabatannya.

This writing discusses the legal position of the marriage agreement deed made by a Notary against interfaith marriage actors in Indonesia (case study of Notary X in West Jakarta). The developments regarding the legalization of the registration of interfaith marriages in Indonesia and also the experience of Notary X who often makes marriage agreement deeds where the parties are of different religions becomes the basis for Notary X to make a marriage agreement deed for Mr. A who is a Christian and Mrs. B who is a Buddhist. This raises questions about the position of the interfaith marriage agreement deed made by Notary X including the legal limitations and legal steps for a Notary in making the interfaith marriage agreement deed in Indonesia. The form of this research is juridical-normative with explanatory research type. In the end, the deed of interfaith marriage agreement made by Notary X was null and void because it did not meet the provisions of the objective conditions of the agreement. Furthermore, the marriage agreement deed made by a Notary may not conflict with the provisions of religion, morality and public order as stated in Article 29 paragraph (2) of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. As for a Notary in dealing with an interfaith marriage agreement deed, a Notary must prioritize the principle of prudence in carrying out his duties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>