Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127975 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Hidayat
"Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997 tidak hanya mendepresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS tetapi bersamaan dengan krisis yang berkepanjangan itu, berbagai aset strategis rnilik bangsa Indonesia juga ikut berpindah tangan, sejalan dengan semangat liberalisasi ekonorni. Dalam keadaan yang tak menguntungkan tersebut, Pemerintah telah mengundang International Monetary Fund (IMF) untuk membantu pemulihan krisis ekonomi di Indonesia. Sektor moneter dan perbankan termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi sasaran penerapan kebijakan IMF.
Proses liberalisasi ekonomi ini ditandai dengan agenda privatisasi di sektor-sektor yang selama ini menjadi sektor publik. Pemerintah Indonesia di dalam keterpurukannya terpaksa mengikuti saran IMF untuk melakukan penyehatan ekonomi pemerintah dengan melibatkan pihak swasta asing melalui program privatisasi BUMN, mengingat perusahaan swasta Indonesia berada dalam ketidakberdayaan. Beberapa perusahaan industri semen yang termasuk salah satu BUMN yang strategis juga terkena kebijakan privatisasi ini. Bahkan program privatisasi ini membuka kesempatan bagi Penanaman Modal Asing (PMA) untuk memiliki saham 100% di BUMN. PeIuang ini langsung ditangkap oleh Multinational Corporation (MNC) industri semen untuk menguasai kancah industri semen nasional. Sampai saat ini, setidaknya terdapat empat MNC yang mengendalikan industri semen dunia sudah menjadi pemilik saham di empat perusahaan semen nasional, yaitu (Cemex SA DE CV dari Meksiko yang memiliki saham sebesar 25,50% di PT Semen Gresik Tbk., Hakim dari Swiss memiliki saham 76% di PT Semen Cibinong Tbk, demikian juga Heidelberger Zement AG dari 7erman memiliki saham 61.7% di PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk dan Lafarge dari Prancis memiliki saham 88% di PT Semen Andalas Indonesia).
Namun kehadiran MNC tersebut sarat dengan indikasi persaingan usaha yang tidak sehat. Bahkan ditenggarai MNC tersebut akan membangun kartel di industri semen lokal. Sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, guna mengawasi agar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahannya tetap mempertahankan persaingan pasar yang sehat4.
Keinginan Indonesia untuk memiliki undang-undang yang mengatur tentang persaingan usaha dan pembatasan praktek monopoli, telah terwujud dengan disahkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada tanggal 5 Maret 1999. Undang-undang tersebut berlaku secara efektif satu tahun sejak diundangkan dan mernpunyai masa transisi selama enam bulan, untuk memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha guna melakukan persetujuan. Sebelumnya, pengaturan hukum tentang larangan persaingan usaha tidak sehat tersebut tersebar di berbagai undang-undang yang ada."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T16391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathiannisa Gelasia
"Masuknya era globalisasi dalam bidang perdagangan merupakan titik majunya dunia persaingan dalam pasar perdagangan baik domestik maupun internasional. Dimana dalam dunia perdagangan tujuan untuk mencari keuntungan sebesarbesarnya terkadang menyebabkan munculnya tindakan anti persaingan yang salah satu diantaranya adalah tindakan monopoli. Di Indonesia tidak semua monopoli dilarang secara langsung oleh UU yang berlaku. Monopoli yang dilaksakan berdasarkan hukum adalah salah satu bentuk monopoli yang pelaksanaanya tidak dilarang. Monopoli berdasarkan hukum atau Monopoly by Law adalah pelaksanaan monopoli yang didasarkan pada pengaturan hukum tertentu. Pada umumnya monopoli berdasarkan hukum merupakan monopoli yang diberikan sebagai hak istimewa oleh negara kepada BUMN atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk untuk melaksanakan hak tersebut. Pemberian hak monopoli tersebut hanya terbatas pada produksi-produksi negara yang penting bagi hajat hidup orang banyak dan penting bagi negara. Monopoli berdasarkan hukum juga dapat berbentuk monopoli yang dilaksanakan sebagai bentuk pelaksanaan perintah dari sebuah peraturan tertentu.
Pelaksanaan monopoli berdasarkan hukum seringkali disalahartikan dan dianggap sebagai celah oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab sebagai sebuah hak untuk menguasai pasar tanpa memperhatikan hakikat awal tujuan dibentuknya pengaturan ini. Penulis berpendapat bahwa monopoli berdasarkan hukum merupakan sebuah kebijakan negara yang memang murni bertujuan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan keberadaannya memang dibutuhkan negara. Akan tetapi pelaksanaan monopoli berdasarkan hukum tersebut harus tetap sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya agar tujuan awal dari dibentuknya monopoli berdasarkan hukum dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia. Maka dari itu pembatasan pelaksanaan monopoli berdasarkan hukum harus lebih dipertegas dan diperjelas sehingga terpisah dari pelaksanaan praktik monopoli.

The entry of the era of globalization in trade is an advance point in the competitive world market, both domestic and international trade. Where in the world trade, in order to seek profit maximization, sometimes results in the emergence of anti-competitive actions, in which one of them is an act of monopoly. In Indonesia not all monopolies are directly prohibited by applicable law. Monopolies that is held by a certain law is allowed by Indonesia's Competitive Law, but only applicable with some requirements. Monopoly by law is based on specific legal arragement. In general monopoly by law, the privillege of monopolization granted and provided by the state to the state agency or institutions established or designated to exercise such rights. Granting monopoly rights is confined to the productions of the State that are important to the livelihood of many and important to the State itself. Statutory monopoly or monopoly by law can also be a monopoly as the implementation of a certain laws and regulations.
Impelementation of the monopoly by law is often misunderstood and considered a gap by the unresponsible parties as a right to dominate the market regardless of the nature of the initial purpose of the establishment of this arrangement. The author argues that the monopoly by law is a state policy which is purely aimed at the welfare of the people of Indonesia and its presence is needed most. However, the implementation of monopoly by law or statutory monopoly should remain in line with laws and regulations that govern them so that the original purposes of the establishment of a monopoly by law can be felt by the people of Indonesia. Thus the limitation of the implementation of statutory monopoly should be more emphasized and clarified so that apart from implementing monopolistic practices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S1179
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Hikmahtullah
"[ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang faktor-faktor yang
dapat menghambat perkembangan industri pengolahan kakao Indonesia.
Penelitian ini, khususnya, ditujukan untuk menganalisa perkembangan industri
pengolahan kakao di Indonesia setelah penerapan bea keluar terhadap ekspor biji
kakao (bahan baku bagi produk-produk olahan kakao); bagaimana respon dari
industri tersebut dan bagaimana distribusi harga diantara para pelaku dalam rantai
nilai kakao-coklat di Indonesia.
Pendekatan kualitatif dan kuantitatif digunakan dalam analisa penelitian ini.
Analisa kualitatif digunakan untuk melihat secara deskriptif pola ekspor kakao
Indonesia, sebagai gambaran dari perkembangan industri pengolahan kakao
Indonesia. Selain itu, metode kualitatif juga digunakan untuk menganalisa rantai
nilai dari Kakao-Coklat di Indonesia. Analisa deskriptif juga dilakukan terhadap
trend harga biji kakao untuk melihat pembagian harga dan resiko antar pelaku
dalam rantai nilai kakao Indonesia akibat penerapan bea keluar ekspor biji kakao
dan perubahan harga dunia biji kakao. Analisa kuantitatif dilakukan untuk melihat
apakah penerapan bea keluar tersebut mempengaruhi perkembangan industri
pengolahan kakao Indonesia, melalui penawaran ekspor dari produk-produk
olahan kakao Indonesia.
Hasil analisa menunjukkan bahwa pasokan biji kakao yang tidak cukup untuk
pasar domestik, hambatan berupa bea masuk oleh negara-negara EU, dan
permasalahan transportasi adalah permasalahan utama yang dapat menghambat
perkembangan industri pengolahan kakao Indonesia. Dapat disimpulkan juga
bahwa penerapan bea keluar untuk ekspor biji kakao adalah regulasi yang sangat
efektif untuk menurunkan ketergantungan terhadap ekspor bahan baku pada
ekspor produk kakao Indonesia dan mendorong pengolahan domestik kakao
dengan peningkatan ekspor produk-produk olahan kakao. Selain itu, penerapan
bea keluar dan fluktuasi harga dunia untuk biji kakao dipandang menguntungkan
pemerintah dan industri pengolahan kakao, tapi menyebabkan kerugian bagi
eksporter biji kakao dan tidak berpengaruh terhadap petani. Namun, suatu
mekanisme penetapan harga yang lebih baik antara petani dan industri serta
efektifitas dari keberadaan asosiasi atau organisasi petani dapat menjadi solusi
untuk membuat petani memperoleh keuntungan dari penerapan bea keluar
tersebut

ABSTRACT
This paper aims to answer a question regarding factors that can hinder the
development of Indonesian cocoa processing industry. Specifically, the paper is
intended to analyze the development of cocoa processing industries in Indonesia
due to the imposition of export tax on cocoa beans (raw material for cocoa
processing products); how they respond and how the price distribution among
stakeholders.
Qualitative and quantitative methods are applied in the analysis of this paper. The
qualitative analysis is used to see descriptively the pattern of the Indonesian cocoa
exports, as the picture of the development of Indonesian cocoa processing
industry, and analyze the Indonesian cocoa-chocolate value chain, specifically the
processing of cocoa in domestic market. Descriptive analysis is also done for the
trend of cocoa beans price to see the share of price and risk between stakeholders
in Indonesian cocoa value chain due to the imposition of export tax on cocoa
beans and the changes in the world price of cocoa beans. Quantitative analysis is
done to see whether the imposition of export tax on cocoa beans affects the
development of Indonesian cocoa processing industries, through export supply of
the Indonesian cocoa products.
Result of the analysis shows that insufficient supply of cocoa beans for domestic
market, barriers in the form of import duty by the EU countries, and transportation
problems are the major problems that could hinder the development of Indonesian
cocoa processing industry. The analysis also concludes that the introduction of
export tax on cocoa beans is an effective regulation to decrease the dependence on
the export of raw material of cocoa exports and encourage the domestic
processing of cocoa beans by increase the export of cocoa processing products. In
addition, the imposition of the tax and fluctuation on the world price of cocoa
beans is evaluated to be benefited for the government and the processors, but
causes loss on the exporters of cocoa beans and gives no effect to the farmers.
However, a better price mechanism between the farmers and the processors and
the presence of an effective farmer?s association or organization could be a
solution to make the farmers gain benefit of the export tax imposition.;This paper aims to answer a question regarding factors that can hinder the
development of Indonesian cocoa processing industry. Specifically, the paper is
intended to analyze the development of cocoa processing industries in Indonesia
due to the imposition of export tax on cocoa beans (raw material for cocoa
processing products); how they respond and how the price distribution among
stakeholders.
Qualitative and quantitative methods are applied in the analysis of this paper. The
qualitative analysis is used to see descriptively the pattern of the Indonesian cocoa
exports, as the picture of the development of Indonesian cocoa processing
industry, and analyze the Indonesian cocoa-chocolate value chain, specifically the
processing of cocoa in domestic market. Descriptive analysis is also done for the
trend of cocoa beans price to see the share of price and risk between stakeholders
in Indonesian cocoa value chain due to the imposition of export tax on cocoa
beans and the changes in the world price of cocoa beans. Quantitative analysis is
done to see whether the imposition of export tax on cocoa beans affects the
development of Indonesian cocoa processing industries, through export supply of
the Indonesian cocoa products.
Result of the analysis shows that insufficient supply of cocoa beans for domestic
market, barriers in the form of import duty by the EU countries, and transportation
problems are the major problems that could hinder the development of Indonesian
cocoa processing industry. The analysis also concludes that the introduction of
export tax on cocoa beans is an effective regulation to decrease the dependence on
the export of raw material of cocoa exports and encourage the domestic
processing of cocoa beans by increase the export of cocoa processing products. In
addition, the imposition of the tax and fluctuation on the world price of cocoa
beans is evaluated to be benefited for the government and the processors, but
causes loss on the exporters of cocoa beans and gives no effect to the farmers.
However, a better price mechanism between the farmers and the processors and
the presence of an effective farmer?s association or organization could be a
solution to make the farmers gain benefit of the export tax imposition;This paper aims to answer a question regarding factors that can hinder the
development of Indonesian cocoa processing industry. Specifically, the paper is
intended to analyze the development of cocoa processing industries in Indonesia
due to the imposition of export tax on cocoa beans (raw material for cocoa
processing products); how they respond and how the price distribution among
stakeholders.
Qualitative and quantitative methods are applied in the analysis of this paper. The
qualitative analysis is used to see descriptively the pattern of the Indonesian cocoa
exports, as the picture of the development of Indonesian cocoa processing
industry, and analyze the Indonesian cocoa-chocolate value chain, specifically the
processing of cocoa in domestic market. Descriptive analysis is also done for the
trend of cocoa beans price to see the share of price and risk between stakeholders
in Indonesian cocoa value chain due to the imposition of export tax on cocoa
beans and the changes in the world price of cocoa beans. Quantitative analysis is
done to see whether the imposition of export tax on cocoa beans affects the
development of Indonesian cocoa processing industries, through export supply of
the Indonesian cocoa products.
Result of the analysis shows that insufficient supply of cocoa beans for domestic
market, barriers in the form of import duty by the EU countries, and transportation
problems are the major problems that could hinder the development of Indonesian
cocoa processing industry. The analysis also concludes that the introduction of
export tax on cocoa beans is an effective regulation to decrease the dependence on
the export of raw material of cocoa exports and encourage the domestic
processing of cocoa beans by increase the export of cocoa processing products. In
addition, the imposition of the tax and fluctuation on the world price of cocoa
beans is evaluated to be benefited for the government and the processors, but
causes loss on the exporters of cocoa beans and gives no effect to the farmers.
However, a better price mechanism between the farmers and the processors and
the presence of an effective farmer?s association or organization could be a
solution to make the farmers gain benefit of the export tax imposition;This paper aims to answer a question regarding factors that can hinder the
development of Indonesian cocoa processing industry. Specifically, the paper is
intended to analyze the development of cocoa processing industries in Indonesia
due to the imposition of export tax on cocoa beans (raw material for cocoa
processing products); how they respond and how the price distribution among
stakeholders.
Qualitative and quantitative methods are applied in the analysis of this paper. The
qualitative analysis is used to see descriptively the pattern of the Indonesian cocoa
exports, as the picture of the development of Indonesian cocoa processing
industry, and analyze the Indonesian cocoa-chocolate value chain, specifically the
processing of cocoa in domestic market. Descriptive analysis is also done for the
trend of cocoa beans price to see the share of price and risk between stakeholders
in Indonesian cocoa value chain due to the imposition of export tax on cocoa
beans and the changes in the world price of cocoa beans. Quantitative analysis is
done to see whether the imposition of export tax on cocoa beans affects the
development of Indonesian cocoa processing industries, through export supply of
the Indonesian cocoa products.
Result of the analysis shows that insufficient supply of cocoa beans for domestic
market, barriers in the form of import duty by the EU countries, and transportation
problems are the major problems that could hinder the development of Indonesian
cocoa processing industry. The analysis also concludes that the introduction of
export tax on cocoa beans is an effective regulation to decrease the dependence on
the export of raw material of cocoa exports and encourage the domestic
processing of cocoa beans by increase the export of cocoa processing products. In
addition, the imposition of the tax and fluctuation on the world price of cocoa
beans is evaluated to be benefited for the government and the processors, but
causes loss on the exporters of cocoa beans and gives no effect to the farmers.
However, a better price mechanism between the farmers and the processors and
the presence of an effective farmer’s association or organization could be a
solution to make the farmers gain benefit of the export tax imposition, This paper aims to answer a question regarding factors that can hinder the
development of Indonesian cocoa processing industry. Specifically, the paper is
intended to analyze the development of cocoa processing industries in Indonesia
due to the imposition of export tax on cocoa beans (raw material for cocoa
processing products); how they respond and how the price distribution among
stakeholders.
Qualitative and quantitative methods are applied in the analysis of this paper. The
qualitative analysis is used to see descriptively the pattern of the Indonesian cocoa
exports, as the picture of the development of Indonesian cocoa processing
industry, and analyze the Indonesian cocoa-chocolate value chain, specifically the
processing of cocoa in domestic market. Descriptive analysis is also done for the
trend of cocoa beans price to see the share of price and risk between stakeholders
in Indonesian cocoa value chain due to the imposition of export tax on cocoa
beans and the changes in the world price of cocoa beans. Quantitative analysis is
done to see whether the imposition of export tax on cocoa beans affects the
development of Indonesian cocoa processing industries, through export supply of
the Indonesian cocoa products.
Result of the analysis shows that insufficient supply of cocoa beans for domestic
market, barriers in the form of import duty by the EU countries, and transportation
problems are the major problems that could hinder the development of Indonesian
cocoa processing industry. The analysis also concludes that the introduction of
export tax on cocoa beans is an effective regulation to decrease the dependence on
the export of raw material of cocoa exports and encourage the domestic
processing of cocoa beans by increase the export of cocoa processing products. In
addition, the imposition of the tax and fluctuation on the world price of cocoa
beans is evaluated to be benefited for the government and the processors, but
causes loss on the exporters of cocoa beans and gives no effect to the farmers.
However, a better price mechanism between the farmers and the processors and
the presence of an effective farmer’s association or organization could be a
solution to make the farmers gain benefit of the export tax imposition]"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T43658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maengkom, Judi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1977
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widuri Andarini
1976
S2210
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Olivia Rachel
"Skripsi ini membahas bagaimana kedudukan akuisisi atas aset perusahaan dalam hukum positif di Indonesia dan di Amerika Serikat serta bagaimana perbandingan pengaturan akuisisi aset yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat di Indonesia dan Amerika Serikat. Di Indonesia metode akuisisi yang dikenal hanyalah atas saham perusahaan, sehingga terhadap metode akuisisi lain, seperti atas aset perusahaan belum diatur dengan jelas di Indonesia. Ditinjau dari segi persaingan usaha, tindakan akuisisi aset ini juga perlu mendapat perhatian khusus karena, sama seperti akuisisi atas saham, akuisisi aset juga berpotensi mengurangi tingkat persaingan di pasar. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu pembahasan mendalam mengenai pentingnya pengaturan akuisisi aset tersebut di Indonesia, salah satu caranya dengan merujuk kepada pengaturan di negara yang telah lama menerapkannya, yakni di Amerika Serikat.

The focus of this study is to discuss the regulations about acquisition of the company's assets in the positive law in Indonesia and in the United States and the comparison between the regulations of asset acquisition that may substantially lessen competition in Indonesia and in the United States. In Indonesia, an acquisition can be done only by purchasing the stock of another company. That?s why any other methods of an acquisition, such as asset acquisition, have not been set out clearly in Indonesia. In terms of competition, this asset acquisition also needs special attention because, like the acquisition of stocks, the acquisition of assets also has the potential to reduce the level of competition in the market. Therefore, it is necessary to analyze about the importance of regulation about an asset acquisition in Indonesia. To do that analysis, we can refer to the United States as a country that has already applied the regulation."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62078
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demayanti Makmoen
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1978
S2142
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sardjono
"ABSTRAK
Penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan pengetahuan tradisional Indonesia, khususnya di bidang obat-obatan menjadi penting, setidak-tidaknya karena tiga alasan. Pertama, keuntungan ekonomi, Kedua, keadilan dalam sistem perdagangan dunia, dan Ketiga, perlunya perlindungan hak-hak masyarakat lokal. Indonesia yang memiliki potensi sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional yang terkait dengannya temyata belum menikmati secara ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Dari berbagai data yang ada menunjukkan bahwa yang menikmati keuntungan ekonomis dari pemanfaatan pengetahuan tradisional adalah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Negara-negara maju memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan rezim Hak Kekayaan Intelektual sebagai sarana melindungi teknologi dan kreasi intelektual mereka, termasuk teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan pengetahuan tradisional, khususnya di bidang obat-obatan. Sistem World Trade Organization (WTO) merupakan sarana yang sangat ampuh bagi negara-negara maju untuk memaksa negara-negara berkembang melindungi teknologi mereka itu. Dalam hal ini negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat telah menerapkan standard ganda. Di satu sisi mereka sangat kuat memperjuangkan perlindungan HKI bagi teknologi dan industri mereka, pada sisi yang lain, mereka enggan mengakui hak-hak masyarakat lokal atas karya intelektual mereka. HKI tidak untuk melindungi hak-hak masyarakat, melainkan untuk melindungi hak-hak individual atas kepentingan ekonomis dari pemanfaatan kreasi individu pencipta atau penemunya. Pada saat yang sama masyarakat lokal sendiri tidak mengetahui atau bahkan tidak peduli adanya kepentingan ekonomis dari pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka. Kondisi ini tentu saja menimbulkan adanya rasa ketidakadilan bagi negara-negara berkembang. Rasa ketidakadilan ini semakin menguat ketika negara-negara maju menolak untuk mengakui adanya hak kolektif masyarakat tradisional (indigenous and local community) atas pengetahuan tradisional mereka. Selain itu, keberadaan berbagai kesepakatan internasional juga belum banyak membantu upaya melindungi hak dan kepentingan masyarakat lokal. Ini berarti masyarakat lokal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, belum dapat berharap banyak dari rezim hukum internasional untuk menyediakan perangkat yang dapat melindungi kepentingan mereka. Dengan demikian, perlu ada inisiatif dari Pemerintah Indonesia untuk mulai memikirkan dan menyiapkan sistem perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional dari masyarakatnya, mengingat masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan memiliki nilai ekonomis. Masyarakat tidak pernah berpikir bahwa apabila pengetahuan mengenai obat-obatan tradisional itu dikelola sebagai komoditi perdagangan, akan mendatangkan keuntungan ekonomi. Beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah Pertama, meninjau kemungkinan untuk menggunakan rezim HKI bila dimungkinkan untuk melindungi pengetahuan tradisional; Kedua, menciptakan sistem perlindungan sui generis; Ketiga, mempersiapkan dan melaksanakan sistem dokumentasi yang tepat bagi pengetahuan tradisional; Keempat, melakukan upaya-upaya untuk melestarikan, mengembangkan, mempromosikan penggunaan pengetahuan tradisional untuk kepentingan dan keuntungan masyarakatnya, serta menciptakan sistem pembagian manfaat yang tepat atas penggunaan pengetahuan tradisional tersebut. Upaya itu perlu mendapat dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pelindungan hak-hak masyarakat lokal atas pengetahuan tradisional mereka."
2004
D1075
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Sardjono
"ABSTRAK
Penelitian dan pembahasan mengenai perlindungan pengetahuan tradisional Indonesia, khususnya di bidang obat-obatan menjadi penting, setidak-tidaknya karena tiga alasan. Pertama, keuntungan ekonomi, Kedua, keadilan dalam sistem perdagangan dunia, dan Ketiga, perlunya perlindungan hak-hak masyarakat lokal. Indonesia yang memiliki potensi sumber daya hayati dan pengetahuan tradisional yang terkait dengannya temyata belum menikmati secara ekonomi atas hasil dari pemanfaatan sumber daya tersebut. Dari berbagai data yang ada menunjukkan bahwa yang menikmati keuntungan ekonomis dari pemanfaatan pengetahuan tradisional adalah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Negara-negara maju memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan rezim Hak Kekayaan Intelektual sebagai sarana melindungi teknologi dan kreasi intelektual mereka, termasuk teknologi yang digunakan dalam memanfaatkan pengetahuan tradisional, khususnya di bidang obat-obatan. Sistem World Trade Organization (WTO) merupakan sarana yang sangat ampuh bagi negara-negara maju untuk memaksa negara-negara berkembang melindungi teknologi mereka itu. Dalam hal ini negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat telah menerapkan standard ganda. Di satu sisi mereka sangat kuat memperjuangkan perlindungan HKI bagi teknologi dan industri mereka, pada sisi yang lain, mereka enggan mengakui hak-hak masyarakat lokal atas karya intelektual mereka. HKI tidak untuk melindungi hak-hak masyarakat, melainkan untuk melindungi hak-hak individual atas kepentingan ekonomis dari pemanfaatan kreasi individu pencipta atau penemunya. Pada saat yang sama masyarakat lokal sendiri tidak mengetahui atau bahkan tidak peduli adanya kepentingan ekonomis dari pemanfaatan pengetahuan tradisional mereka. Kondisi ini tentu saja menimbulkan adanya rasa ketidakadilan bagi negara-negara berkembang. Rasa ketidakadilan ini semakin menguat ketika negara-negara maju menolak untuk mengakui adanya hak kolektif masyarakat tradisional (indigenous and local community) atas pengetahuan tradisional mereka. Selain itu, keberadaan berbagai kesepakatan internasional juga belum banyak membantu upaya melindungi hak dan kepentingan masyarakat lokal. Ini berarti masyarakat lokal di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, belum dapat berharap banyak dari rezim hukum internasional untuk menyediakan perangkat yang dapat melindungi kepentingan mereka. Dengan demikian, perlu ada inisiatif dari Pemerintah Indonesia untuk mulai memikirkan dan menyiapkan sistem perlindungan yang tepat bagi pengetahuan tradisional dari masyarakatnya, mengingat masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa pengetahuan tradisional di bidang obat-obatan memiliki nilai ekonomis. Masyarakat tidak pernah berpikir bahwa apabila pengetahuan mengenai obat-obatan tradisional itu dikelola sebagai komoditi perdagangan, akan mendatangkan keuntungan ekonomi. Beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah Pertama, meninjau kemungkinan untuk menggunakan rezim HKI bila dimungkinkan untuk melindungi pengetahuan tradisional; Kedua, menciptakan sistem perlindungan sui generis; Ketiga, mempersiapkan dan melaksanakan sistem dokumentasi yang tepat bagi pengetahuan tradisional; Keempat, melakukan upaya-upaya untuk melestarikan, mengembangkan, mempromosikan penggunaan pengetahuan tradisional untuk kepentingan dan keuntungan masyarakatnya, serta menciptakan sistem pembagian manfaat yang tepat atas penggunaan pengetahuan tradisional tersebut. Upaya itu perlu mendapat dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pelindungan hak-hak masyarakat lokal atas pengetahuan tradisional mereka."
2004
D567
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awaludin Luckman
"Penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia diatur didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji. Pemerintah dalam hal ini adalah Departemen Agama, ditunjuk sebagai Institusi yang mewakili Pemerintah dalam hal pengorganisasian, pelaksanaan,dan segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Ibadah Haji di Indonesia. Dengan jumlah jama?ah dan quota terbesar di dunia, maka dengan sendirinya menjadikan manajemen dan pengorganisasian Haji di Indonesia menjadi rumit dan tidak terlepas dari berbagai potensi permasalahan seputar pelaksanaan, mis-manajemen, ONH yang relatif mahal, keterlambatan pemberangkatan, pemondokan, katering, hingga indikasi adanya korupsi didalam instansi-instansi yang terkait dengan penyelenggaraan Haji. Berbagai permasalahan tersebut mungkin disebabkan oleh berbagai faktor dan sebab yang mungkin saling berkaitan, akan tetapi yang paling mencolok dan sering menjadi permasalahan adalah peran Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama yang ditunjuk oleh Undang-Undang Haji sebagai satu-satunya regulator, operator, dan eksekutor. Sehingga desentralisasi dan monopolisasi penyelenggaraan Ibadah Haji, terkesan menjadi muara sebab munculnya berbagai permasalahan seputar penyelenggaraan Ibadah Haji selama ini. Apabila dikaitkan dengan isu monopoli, maka ada beberapa permasalahan penyelenggaraan Ibadah Haji yang perlu dijawab; pertama, apakah dengan adanya monopoli oleh Pemerintah dapat menjadikan penyelenggaraan dan pelayanan Haji di Indonesia menjadi lebih baik?; kedua, apakah monopoli oleh Pemerintah dalam penyelenggaraan dan pelayanan Haji di Indonesia diamanatkan dan dapat dikecualikan menurut Undang-Undang Hukum Persaingan Usaha?; ketiga, apakah penyelenggaraan Haji di Indonesia tetap di monopoli oleh Pemerintah ataukah sebaiknya dilaksanakan dengan berasaskan pada semangat persaingan?. Ada beberapa aspek yang menyebabkan munculnya permasalahan dalam penyelenggaraan Haji selama ini, diantaranya; pertama, Aspek substantif dari pelayanan, bimbingan, dan perlindungan terhadap jamaah haji yang tidak berjalan optimal; kedua, biaya atau ongkos naik haji (ONH) yang mahal dan tidak efisien; ketiga, tidak profesional dan transparan dalam pengelolaan dana haji, dikarenakan masih ditemukan selisih kemahalan harga apabila dihitung secara riil berdasarkan cost di lapangan; dan keempat, adanya indikasi terjadi praktek korupsi. Meskipun didalam Undang-Undang Haji menyatakan bahwasanya penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan prinsip nirlaba, akan tetapi tetap tidak dapat dipungkiri besarnya potensi ekonomi dalam penyelenggaraannya. Isu monopoli di Indonesia tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Formulasi tujuan didalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 seyogyanya tidak serat merta dikaitan dengan bidang yang menyangkut perekonomian saja, akan tetapi selama menyangkut dengan pemerataan dan keadilan yang menyejahterakan, maka dapat dikaitkan dengan semangat kompetisi dan persaingan yang sehat. Monopoli by law oleh Undang-Undang Haji dapat juga diasumsikan sebagai monopoli oleh negara. Monopoli oleh negara dalam hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak dapat dibenarkan apabila sepanjang menghasilkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Akan tetapi apabila memunculkan kerugian dan inefisiensi terhadap penunaian hak-hak masyarakat, maka perlu dilakukan pembenahan dan perbaikan terhadap sistem dan regulasi yang telah berjalan selama ini. Mekanisme sistem pasar (competition for the market) yang berkeadilan sangat urgen untuk diterapkan dalam manajemen penyelenggaraan Haji. Perlu dilibatkan berbagai pihak, baik swasta maupun institusi lain yang berkaitan dalam hal penyelenggaraan Haji, sebagai bentuk apresiasi untuk menciptakan transparansi dan efisiensi penyelenggaraan Haji di Indonesia di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Peneltian ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode pendekatan hukum dan metode hukum yuridis normatif yang bersifat kualitatif.

Pilgrim Religious Service management at Indonesia managed at Statute No. 13/2008 about Hajj management. Government in this case is Religion Department, pointed as Institution that represent Government in term to organizing, performing, and alround one gets bearing with Hajj Religious Service management at Indonesia. With the biggest quota outgrown at the world, therefore by itself make management and Hajj organizing at Indonesia becomes complicated as elaborate and not despite potency sort about problem in around performing, mis-management, cost of that expensive, dispatch delay, housing, catering, until corruption indication marks at deep institutions which concerning with Hajj management. A variety about that problems maybe because of many factors and causes sort that may mutually get bearing, but then the most flashy problem is about Government Commanding role, in this case is Religion Department that pointed by Hajj Statute as the only regulator, operator, and executor. So that decentralisation and monopolization about Hajj Religious Service management, impressed as estuary because its appearance sort about problems in around Hajj Religious Service management for all this time. If concerned by monopoly issue, therefore many problems available about Hajj management Service that need to be answered for; first, is monopoly by Government gets to make management and Hajj service at Indonesia gets better?; second, is monopoly by Government in case of management and Hajj service at Indonesia being mandated and gets to be counted out by emulation Law statutory Effort?; third, is Hajj management at Indonesia constantly been monopolize by Government or better executed with competition?. There are several appearances causative aspect about problems in Hajj management for all this time, amongst those; first, substantif?s aspect in case with service, guidance, and protection to Pilgrims that don?t look optimally; second, cost of that expensive and inefficient; third, not professional and transparent in Hajj management lents fund, because of still found costliness price difference if accounted by substantive bases cost at the site; fourth, still indicating corruption pratices. Even at Hajj Statute declare that for Hajj management is performed on non-profitable principle, but then can't disown to outgrow with economy potency in its management. Monopoly issue at Indonesia cannot despite from anti monopoly Statute No. 5/1999. Intent formulation at anti monopoly Statute No. 5/1999 suppose doesn't be concerned by economics aim only, but then also if gets bearing with well-being and justice, therefore can hotly concerned with competition and healthy emulation. Monopoly by Hajj Statute can be assumed with monopoly by state. Monopoly by State can be corrected as long is determined for multitudes living and resulting justice and welfare for society. But then if arise loss and inefficiency to accomplish society rights, therefore needs to be done by fix and fixed up the system, and regulation that has already been applied at this time. Mechanism for the market that gets justice is really need to be applied for Hajj management. Need to be involved various party, even that private party and also other institutions that gets bearing with Hajj management, as shaped as appreciation in case to establish transparency and efficiency at Hajj management at Indonesia at present term and also at proximately. This study is a normative law study by using the method of approach to legislation and normatif's judicial formality method that gets kualitatif's character."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27941
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>