Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 144536 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Isma Afifah Romani
"Seiring bergulirnya reformasi dan guna mengantisipasi keinginan daerah untuk mengurus daerahnya sendiri maka diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19S9 Tentang Pemerintahan Daerah yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengatur seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan tertentu yang menjadi wewenang pemerintah pusat. Guna memfasilitasinya, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah yang mengatur bahwa dalam rangka pelaksanaan desentralisasi maka penyelenggaraan tugas pemerintah daerah dibiayai antara lain oleh pendapatan asli daerah. Sumber pendapatan asli daerah terutama berasal dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah yang pemungutannya harus didasarkan pada Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1997 juncto Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah.
Berdasarkan penelitian kepustakaan yang dilakukan ternyata pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah seringkali menghambat pertumbuhan sektor usaha dan tidak mendukung perkembangan daerah sebagaimana diharapkan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Hal ini umumnya disebabkan karena semangat otonomi yang berlebihan dari daerah sehingga daerah memungut pajak daerah dan retribusi daerah secara membabi buta. Selain itu, tidak adanya sistem kontrol yang tegas guna menindak pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang merugikan semakin memperburuk keadaan. Oleh karena itu disarankan agar pemerintah pusat mencegah pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang merugikan. Sedangkan pemerintah daerah disarankan untuk lebih selektif dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36328
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parluhutan, Tumbur
"ABSTRAK
Asas Desentralisasi yang diberikan kepada daerah Kabupaten/Kota adalah salah satu cara untuk membuat daerah agar dapat mandiri, dengan mengatur dan mengelola potensi daerah berdasarkan aspirasi rakyat. Pelaksanaan otonomi daerah diberbagai kabupaten/Kota disambut dengan gembira, hal ini merupakan paradigma baru dalam perkembangan pemerintahan di daerah yang selama ini bersifat sentralistik. Pencabutan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah digantikan dengan Undang_undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan tonggak kemandirian daerah. Pemerintah Daerah berwenang mengatur daerahnya sendiri berdasarkan desentralisasi, yakni pelimpahan beberapa wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sementara dilain pihak, Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini dalam prakteknya di daerah cenderung bersifat etnosentrisme, yakni adanya semangat kedaerahan yang berlebihan yang mengakibatkan timbulnya suatu fenomena disharmonis penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat. Disharmonis ini ditandai dengan adanya ketidakpatuhan seorang Kepala Daerah Tingkat II kepada Kepala Daerah Tingkat I, pembuatan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi dan tidak populistik atau membebani masyarakat.
Implementasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 cenderung diinterpretasi oleh pemerintahan daerah sekehendak hati asal dapat memperoleh Pendapatan Asli Daerah yang dikontribusi kepada APBD. Penerbitan Peraturan Daerah yang berifat membebani masyarakat dan pelaku usaha itu berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dalam pembangiannya tidak merata oleh karena perbedaan potensi wilayah. Semakin besar potensi wilayah (misalnya, sumber daya alam)semakin tinggi dana perimbangan yang diterimanya.
Selanjutnya dikaitkan dengan perdagangan bebas, Indonesia telah meratifikasi ketentuan tentang GATT dan masuk menjadi anggota WTO. Dalam ketentuan GATT tersebut cenderung untuk menghilangkan segala hambatan dalam perdagangan dan jasa, yang sangat bertentangan sekali dengan beberapa pemerintah daerah di Indonesia yang justeru membuat hambatan berupa pembuatan Perda yang membebani masyarakat atau pelaku usaha, misal Perda tentang retribusi pengangkutan hasil produksi pertanian yang melewati batas wilayah antar Kabupaten/Kota. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, diharapkan dapat mengurangi permasalahan di daerah yang tentunya dengan pengawasan yang lebih ketat terhadap produk hukum suatu daerah dan tidak lupa pula peran serta masyarakat yang diatur di dalam pasalnya tentang pembuatan Peraturan Daerah tersebut.
Dari penelitian ini menunjukkan, adanya hubungan yang erat antara pembuatan Peraturan Daerah dengan berkembangnya investasi di suatu daerah, sebab dengan penertiban Perda tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk memungut retribusi dan pajak daerah yang membebani masyarakat atau pelaku usaha yang berakibat, sehingga Pelaku usaha cenderung melarikan modalnya ke daerah yang tidak mempersulit usahanya, bahkan memindahkan usahanya ke manca negara, misal seperti negara Vietnam. Selain keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia, masalah interpretasi dan sifat etnosentrisme sangat mempengaruhi pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan daerahnya, yang dalam hal ini sangat perlu diperhatikan Pemerintah Pusat untuk memperbaiki keadaan tersebut agar dapat menarik investor sebanyak-banyaknya di daerah, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan rakyat."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T36942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Totok Suryawan Wibowo
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S22454
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradono P. Prasta
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
S24455
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Made Mahendra Budhi
"Evaluasi secara periodik terhadap rencana penerimaan dan implementasinya merupakan usaha optimalisasi penerimaan PBB Kab. Tangerang dan Kota Tangerang dalam rangka otonomi daerah. Permasalahan pokok dalam penelitian adalah :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan perbedaan antara realisasi penerimaan PBB dibandingkan dengan rencana penerimaannya meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2000 melampaui 10 %.
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan tingkat pertumbuhan rencana penerimaan PBB dan tingkat pertumbuhan realisasi PBB pada KP PBB Tangerang berfluktuasi dari tahun ke tahun selama periode 1996/1997 s/d 2000, yaitu 17,2 %; 18,9 %; 4,1 % dan 2,4 % untuk pertumbuhan rencana penerimaan PBB serta 21,5 %; 22,0 %; 4,0 % dan 16,5 % untuk pertumbuhan realisasi penerimaan PBB.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan kendala upaya optimalisasi perencanaan penerimaan PBB dan implementasinya.
Dalam penelitian ini digunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan menjelaskan sesuatu hal seperti apa adanya. Data yang dianalisis meliputi : Rencana penerimaan dan realisasi PBB secara nasional; Rencana penerimaan dan realisasi PBB; Pokok, tunggakan dan potensi PBB serta kondisi sosial ekonomi wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Data tersebut diperoleh melalui wawancara dengan staf seksi perencanaan penerimaan, staf seksi penetapan, Kepala seksi penerimaan dan Laporan bulanan KP PBB Tangerang; Laporan Biro Pusat statistik dan studi pustaka.
Kesimpulan bahwa rencana penerimaan KP PBB Tangerang dilakukan dengan pendekatan "atas-bawah". Berdasarkan target penerimaan nasional ditentukan target provinsi dan kemudian target kabupaten atau kota dengan hanya mempertimbangkan realisasi penerimaan tahun sebelumnya serta perkembangan sosial ekonomi wilayah secara global. Pendekatan ini tidak mencerminkan perencanaan penerimaan dari potensi rill wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang. Optimalisasi penerimaan PBB tidak didukung penuh oleh jajaran pemerintah daerah serta pelaksanaan administrasi PBB yang tidak memadai.
Saran-saran dari hasil penelitian ini adalah upaya optimalisasi penerimaan PBB perlu keseimbangan antara pendekatan perencanaan "atas-bawah" dengan pendekatan "bawah-atas". Sistem yang seimbang ini lebih mencerminkan resource base wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang dan perlu koordinasi dengan pemerintah daerah dengan didukung usaha peningkatan profesionalisme sumber daya manusianya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T956
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah
"Tesis ini mencoba melihat seberapa besar pengaruh komposisi fiskal pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sebelum dan sejak kebijakan otonomi daerah dilaksanakan dengan periode data dari tahun 1997-2003. Analisis dilakukan dengan mengunakan metode kuantitatif dengan Analisa GLS (Generally Least Square) yang menggabungkan data dari 30 propinsi beserta kabupaten/kota di Indonesia selama kurun waktu 1997-2003 (Panel Data). Pengolahan dilakukan dengan bantuan software Eviews 3.1.
Berdasarkan hasil pengolahan, model terbaik yang dihasilkan dan dengan melakukan pengujian kriteria a priori ekonomi, kriteria statistika dan kriteria ekonometrika mengindikasikan bahwa pengaruh komposisi fiskal pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah adalah positif, hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 1.16% dari pertumbuhan ekonomi sebelum otonomi daerah diterapkan.
Dari sisi penerimaan daerah, kebijakan otonomi daerah telah dapat mengurangi pengaruh negatif dari komposisi pajak daerah dan bagi hasil pajak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, yang terutama berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sedangkan pengaruh komposisi penerimaan daerah yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) adalah positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah; meskipun pengaruhnya menurun di era otonomi daerah, yang mengindikasikan meningkatnya kemandirian daerah dan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat. Sedangkan dari sisi pengeluaran mengindikasikan bahwa kebijakan otonomi daerah telah dapat memberikan pengaruh positif yang berasal dari komposisi pengeluaran pembangunan sektor transportasi, sementara pengeluaran pembangunan sektor lainnya belum memberikan. Dengan demikian, hasil penelitian tesis ini mengindikasikan perubahan struktur fiskal yang diakibatkan diterapkannya kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T20561
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tjip Ismail
"Sejalan dengan perkembangan ekonorni saat ini, peran penerimaan dalam negeri bagi APBN dalam rangka pembiayaan kegiatan pemerintah maupun kaitannya dangan pelaksanaan kebijakan fiskal semakin penting. Sementara itu, sumber utama penerimaan dalam negri masih didominasi oleh penerimaan perpajakan yang dari tahun ke tahun peranannya menunjukkan kenaikan.
Sistem pemerintahan di Indonesia berubah sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang efektif berlaku pada tanggal 1 Januari 2001 yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Perubahan yang mendasar adalah bahwa segala urusan pamerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama menjadi kewenangan daerah. UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 merupakan tonggak sejarah beralihnya sistem pemerintahan dari sentralistik ke desantralistik, sesuai dengan kehendak founding fathers Indonesia dan Konstitusi UUD 1945.
Esensi otonomi adalah kemandirian, yaitu kebebasan untuk berinisiatif dan bertanggungjawab sendiri dalam mengatur dan menyusun pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangganya yang selama ini merupakan urusan pmerintah pusat, termasuk pelayanan kepada warga masyarakat. Idealnya otonomi tersebut harus dibiayai dari sumber-sumber pendapatan dari daerah itu sendiri (PAD), khususnya dari pajak daerah, karena peranan pajak daerah terhadap PAD masih dominan, yaitu 83,09% di Provinsi dan 37,72% untuk Kabupaten Kota.
Berkenaan dengan hal tersebut, banyak daerah mengambil jalan pintas dengan mengoptimalkan pajak daerah sebagai satu-satunya sumber pembiayaan daerah. Apabila tidak diimbangi dengan palayanan kepada sektor pajak barsangkutan, pungutan pajak daerah akan manjadi kontraproduktif karena hanya akan dirasakan sabagai beban. Hal itu tidak sejalan dengan otonorni daarah yang bertujuan untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Perkembangan demokrasi saat ini menghendaki adanya wujud pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Masyarakat kian kritis dalarn menyikapi setiap kebijakan pemerintah, apalagi berkenaan dengan suatu pungutan, khususnya pajak daerah. Rasio kenaikan penerimaan ratribusi daerah lebih tinggi dari pada pajak daerah, menunjukkan bahwa terdapat tuntutan masyarakat yang menginginkan adanya kontraprestasi (pelayanan) dari suatu pungutan. Disamping itu dari hasil penelitian daerah di Indonesia menunjukkan bahwa pada kenyataannya daerah-daerah telah berinisiatif melakukan pergeseran paradigma pajak daerah dengan memprioritaskan peruntukkan penerimaan pajak daerah untuk pelayanan kepada pajak yang bersangkutan. Sedangkan penelitian di nagara lain pun menunjukkan bahwa penerimaan pajak daerah, dioptimalkan pemanfaatannya untuk pelayanan kepada sektor pajak yang bersangkutan.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa paradigma pajak daarah yang semula merupakan iuran yang dapat dipaksakan tanpa adanya imbalan kontraprestasi harus diubah, dengan penegasan mangenai adanya imbalan kontraprestasi yang diprioritaskan untuk membiayai pelayanan terhadap sektor pajak daerah yang bersangkutan.

In line with current economic development, the role of domestic revenue in State Budget in relation to the financing of govemment activities and fiscal policy implementation has grown more important. Meanwhile, a larger part of domestic revenue comes from tax revenue which has been increasing over the years.
The governmental system of Indonesia has changed since the stipulation of Law Number 22 Year 1999 and Law Number 25 Year 1999 that came into implementation on January 1?, 2001 which was later on amended by Law Number 32 Year 2004 and Law Number 33 Year 2004 respectively. One of the fundamental changes is the delegation of authority from central government to local government in all areas except for those in foreign policy, defense, national security, justice, national monetary and fiscal matters, and religious affairs. Law Number 22 Year 1999 on Regional Governance and Law Number 25 Year 1999 on Fiscal Balance between Central and Local Govemment have become a historical milestone in terms of the shift from centralized government to a more decentralized one as warranted by lndonesia's founding fathers and constitution.
The fundamental nature of autonomy in unitary country is discretionary, which in this case refers to discretion to have initiative and self responsibility in managing their region?s governmental affairs which prior to the stipulation of Law Number 22 Year 1999 were the domain of central government, including public service. Ideally, regional autonomy should be financed by the region?s own revenue sources (Pendapatan Asli Daerah, PAD), especially by local taxes because they make up a significant portion of PAD, i.e. 83,09% in Provincial level and 37,72% in District/Municipal level.
It is because of the above reason that many local governments resort to optimizing local taxes as the only source of regional financing. lf such measure is taken without giving something in return, e.g. improvement of services, to sectors taxed, regional taxes will not yield the desired result because they will only be viewed as additional burden, which of course is against the spirit of regional autonomy whose purpose is to bring services closer to public.
The development of democracy demands a clearer manifestation of government's services to public as they grow more knowledgeable about government's policies, particularly when it comes to levies, especially local taxes. The fact that local charges shows more significant increase rate compared those of local taxes reflects public?s demand for some sort of compensation for every kind of tax/charges levied. In addition, the results of researches conducted in Indonesia indicate the shifting of local tax paradigm. Currently, local governments tend to allocate tax revenue obtained from a certain sector to measures designed to improve services in that sector. Meanwhile, similar research conducted in other countries also shows similar result.
In conclusion, it can be stated that the earlier paradigm that consider local tax as something that can be coerced by government without compensation should be changed by giving more emphasis on fonns of compensation that can be used to finance services in the sector being taxed."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D695
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H.A.W. Widjaja,1940-
Jakarta: Rajawali, 2009
352.14 WID o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widjaja
Jakarta: Rajawali, 2007
352.14 WID o
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>