Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21892 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hartono
"Globalisasi telah merubah dan menyajikan realita baru beralihnya fungsi telekomunikasi dari utilitas menjadi komoditi perdagangan, menggeser fungsi pemerintah dari memiliki, membangun dan menyelenggarakan telekomunikasi menjadi hanya menentukan kebijakan, mengatur, mengawasi dan mengendalikannya. Hal ini meningkatkan peran swasta sebagai investor prasarana dan penyelenggara jasa telekomunikasi. Sebagai BUMN bidang Telekomunikasi, TELKOM seperti halnya BUMN bidang telekomunikasi di sejumlah negara lain seperti Amerika, Amerika Latin, Asia, Afrika termasuk di negara bekas Uni Soviet yang disebut CIS (Commonwealth Of Independent State), dituntut meningkatkan produktif dan daya saing, BUMN harus dikelola secara efisien, dengan menerapkan prinsip-prinsip good corporate gevermance, oleh sebab itu swastanisasi sebagai necessary condition tidak terhindarkan lagi.
Sebagai BUMN bidang telekomunikasi di Indonesia, swastanisasi TELKOM dilaksanakan sejak tahun 1995 melalui penjualan 33,75 % saham modal yang dikenal dengan IPO (Initial Public Offering). Selanjutnya dengan maksud mempertahankan laju pembangunan pada REPELITA VI, mempercepat target pembangunan jaringan telekomunikasi, mempercepat kesiapan memasuki pasar bebas,. agar lebih cepat mencapai peringkat World Class Operator, swastanisasi dilanjutkan dengan pola Kerja Sama Operasi (KSO) yang melibatkan perusahaan swasta Nasional dan Asing sebagai MITRA USAHA KSO melalui perjanjian KSO.
Sebagai suatu perjanjian, sesuai ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sebagai suatu perbuatan hukum, perjanjian KSO merupakan perjanjian yang sah, untuk menimbulkan ikatan-ikatan, yang merupakan prestasi timbal balik, Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata "semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya', ayat (3) menegaskan "perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik". Apa yang sudah disepakati wajib ditaati. Pelanggaran asas ini di sebut wanprestasi.
Sejak awal pelaksanaan Perjanjian KSO menimbulkan banyak persoalan operasional. Gejolak keuangan tahun 1997 dijadikan justifikasi keadaan memaksa oleh MITRA USAHA atas tidak dipemenuhinya prestasi perjanjian, yang ditolerir TELKOM melalui MOU, padahal sewajamya bila risiko tersebut menjadi tanggung jawab MITRA USAHA. Masalah timbul setelah masa MOU berakhir MITRA USAHA enggan kembali ke perjanjian induk. Puncak perselisihan terjadi dengan diputusnya secara sepihak PT. Aria West, sebagai MITRA USAHA di Divisi Regional III Jawa Barat. Akibatnya TELKOM diadukan ke Mahkamah Arbitrase Internasional.
Berdasarkan penelitian diketahui perjanjian KSO secara juridis memiliki beberapa kelemahan, ada beberapa pasal yang multi interpretation, selain halangan prestasi M1TRA USAHA, sehingga terjadi gugat menggugat. Untuk kepastian hukum, sewajarnya TELKOM kembali ke perjanjian induk. MITRA USAHA yang kooperatif dan menunjukan itikad baik menyelesaikan kewajibannya patut diberi keringanan dan ditingkatkan kerjasarnanya, sedangkan MITRA USAHA yang selama ini tidak menunjukan itikad baik, dan tidak kooperatif, sebaiknya divonis saja."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T16675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
S. Parman
"Kerjasama Operasi (KSO) merupakan suatu alternatif untuk mempercepat pembangunan telekomunikasi di Indonesia dan transfer teknologi dari operator telekomunikasi kelas dunia. Sebagai mana Konsep BOT yang memiliki beberapa keuntungan tertentu, terutama jika diterapkan dalam pembangunan proyek-proyek milik umum. Keuntungan dari KSO di bidang telekomunikasi adalah sebagai alternatif jalan keluar bagi kesulitan pendanaan proyek-proyek Telekomunikasi, dengan mengikutsertakan swasta sebagai penyandang dana, tanpa pemerintah harus kehilangan hal miliknya atas proyek atau bangunan tersebut ataupun menanggung banyak resiko, seperti umumnya dalam pembangunan proyek milik umum lainnya. Untuk itu maka pemerintah (dalam hal ini TELKOM) akan memberikan ijin bagi pihak swasta untuk mendesain, membiayai, membangun, mengoperasi kan dan sekaligus merawat bangunan proyek tersebut untuk jangka waktu tertentu (Masa KSO). Hak untuk mendapatkan hasil dari pengoperasian tersebut, sebenarnya merupakan imbalan yang diberikan kepada pihak swasta atas segala biaya dan tenaga yang dikeluarkannya untuk membangun proyek. Penerapan sistem ini berbeda dalam tiap proyek, tergantung dari kebutuhannya masing-masing. Perbedaan ini, walaupun tidak lepas dari ide dasar BOT, menyebabkan perbedaan pula dalam perjanjian-perjanjian antara para pihak. Demikian juga halnya yang terjadi dalam penerapan Perjanjian KSO pada proyek telekomunikasi. Disamping keuntungan yang didapat, ada beberapa hal yang dapat menjadi suatu kerugian dalam penerapan sistem ini. Untuk itulah maka penerapan Perjanjian KSO harus terencana dengan baik, terutama dalam segi pengaturan hukumnya, agar tidak menyulitkan atau bahkan melemahkan posisi pemerintah baik dalam menghadapi reaksi masyarakat, terlebih dalam menghadapi pihak swasta. Penelitian yang dilakukan menggunakan metode penelitian Kepustakaan, dengan sumber-sumber data sekunder. Sedangkan metode pengumpulan datanya adalah dengan wawancara dan studi dokumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20775
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Seni Sri Damayanti
"Saat ini Pemerintah secara terus menerus berusaha memacu pembangunan infrastruktur untuk mendorong pemerataan pembangunan di seluruh tanah air. Untuk mengatasi keterbatasan APBN pemerintah menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur. Dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur telah membuka peluang kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk turut serta baik dengan menjadi Penanggung Jawab Proyek Kerjasama yang merepresentasikan Pemerintah atau menjadi pihak Badan Usaha.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 BUMN dimungkinkan untuk mendapatkan penugasan khusus dari Pemerintah, dan apabila penugasan tersebut menurut kajian secara finansial tidak fisibel, maka Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan BUMN tersebut termasuk margin yang diharapkan. Penelitian ini membahas mengenai sejauh mana kompensasi yang diberikan oleh Pemerintah kepada BUMN yang diberikan penugasan khusus dalam Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha. Penelitian ini bersifat yuridis normatif.

Currently, the Government continued to try to spur infrastructure development to promote equitable development across the country. To overcome the limitations of the state budget (APBN), the government is using the Public Private Partnership scheme. Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 concerning Government Cooperation with Business Entities in Infrastructure Provision has opened an opportunity for the State Owned Enterprises (SOEs/BUMN) to participate either by being Cooperation Project Responsible (PJPK) representing the Government or be a party to business entities.
Based on Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 BUMN is possible to get a special assignment from the Government, and if the assignment is not financially feasible, according to research, the government should provide compensation for all expenses incurred BUMN including the expected margin. This study discusses the extent to which the compensation provided by the Government to BUMN given special assignments in Public Private Partnership. This research uses norvative judicial study.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S65946
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Anggoro
"Isi buku mencoba mendudukan posisi yang tepat bagi BUMN dalam pasar di indonesia khususnya, BUMN yang karakteristik industrinya monopoli alamiah. Hal ini didasarkan pada 2(dua) fakta posisi strategis BUMN saat ini yaitu pertama BUMN ternyata sudah bukan lagi anak bawang dalam kompetisi global ditingkat dunia furtune 500 menempatkan kurang lebih 30% BUMN dari berbagai negara sebagai perusahaan terbesar didunia, yang sebagian memiliki karakteristik monopoli alamiah kedua, BUMN memiliki tugas strategis di negaranya masing-masing yaitu sebagai agen pembangunan dan aktor kunci mencapai kesejahteraan rakyat."
Depok: Herya Meida, 2016
338.62 TED m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Husaini
"Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau perusahaan Negara telah lama dikenal di Indonesia yaitu sejak sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, selanjutnya perkembangan BUMN di Indonesia telah terjadi evolusi penguasaan, perusahaan-perusahaan milik Belanda dinasionalisasikan melalui Undang-undang No. 86 tahun 1968. Dengan adanya Nasionalisasi tersebut, maka seluruh perusahaan milik Belanda yang beroperasi diambil alih dan dikelola oleh pemerintah dengan cara ganti kerugian. Sebelum tahun 1960 perusahan di Indonesia diatur oleh beraneka ragam Peraturan Perundang-undangan antara lain LBW dan ICW, aneka ragam aturan ini menimbulkan kesulitan dalam pengelolaanya, sehingga dalam rangka reorganisasi alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 dikeluarkanlah Perpu No.19 tahun 1990 yaitu seluruh perusahaan Negara diseragamkan, modal kerja seluruhnya adalah kekayaan Negara. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan PERPU No.l tahun 1969 tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara yang dikeluarkan atas Pasal 22 UUD 1945 yang kemudian menjadi Undang-undang No. 9 tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-undang yang berhasil mengurangi jumlah BUMN dari 822 menjadi 184 buah dan mengelompokan menjadi 3 bentuk yaitu PERIAN, PERUM dan PERSERO. Selanjutnya untuk meningkatkan peranan dalam pengendalian perusahaan tersebut, pemerintah menetapkan PP No. 3 tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan. Berdasarkan PP ini, Pemerintah memiliki kewenangan yang besar dalam mengelola BUMN oleh Dua Departemen yaitu Departemen Keuangan dan Departemen Teknis, penetapan PP ini memberikan dampak negatip dalam menajemen perusahaan, oleh karena itu untuk memberdayakan kembali BUMN Pemerintah telah menetapkan PP No. 5 tahun 1990 tentang Persero, dan menjual sahamnya kepada masyarakat melalui pasar modal, melalui PP ini-lah BUMN yang telah Go Publik diberi otonomi yang luas dan membebaskan BUMN dari control birokratis, pemegang saham dan manejemen dijadikan lebih profesional untuk menghasilkan barang dan jasa. Di lain fihak perkembangan ekonomi dunia semakin dinamis terutama berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi yang telah disepakati. Untuk menyingkapi perkembangan perdaganagn dimaksud Pemerintah telah menetapkan TAP MPR No.IVIMPR11999, TAP MPR No.VIIIMPRl2000, Tap MPRNo.XIMPRI2001 dan Tap.MPR No. VIIMPRI2002 serta Undang-undang No.25/2000 dan Undang-undang APBN. Pemerintah telah mendapat mandat untuk menetapkan kebijakan dan mengambil langkah nyata dalam focus untuk memulihkan ekonomi, dengan cara memprivatisasi BUMN. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan Privatisasi, arah dan model apa yang dilaksanakan, mengapa program privatisasi mendapat tantangan baik dari kalangan eksternal maupun internal serta bagaimana hubungan dengan pasal 33 Undang-undang dasar 1945 tentang usaha bersama berdasarkan atas kekeluargaan. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian perpustakaan berupa penelahaan Undang-undang dan buku literatur serta peraturan lainnya yang berkenaan dengan penulisan tesis ini. Disamping itu penelitian dilapangan dengan mewawancarai terutama pihak Kantor Kementrian Negara BUMN. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program privatisasi BUMN belumlah berjalan dengan baik, ini disebabkan masih adanya pro dan kontra baik eksternal maupun internal antar sektoral. Yang perlu digaris bawahi adalah dengan privatisasi BUMN yang dilakukan melalui bursa saham telah memberikan stimulus positif bagi pasar modal Indonesia. Oleh karena itu disarankan agar Kementrian Negara BUMN lebih giat lagi melakukan sosialisasi dan konsultasi secara intensif dengan pihak-pihak terkait, sehingga proses pelaksanaan program privatisasi yang telah mempunyai kekuatan hukum ini, dapat terlaksana dan berjalan lancar serta dapat dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat secara transparan dan segera kepada Menteri Negara BUMN untuk menetapkan Master Plan BUMN 2006 - 2010."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T19187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jessy Annastasia
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S24312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denis R. Sibbald
"Pemerintah dalam beberapa hal memegang hak monopoli atas suatu fungsi atau jasa pelayanan. Hal ini memang telah sesuai dengan Undang-undang dan merupakan fungsi suatu negara untuk menyediakan atau menyelenggarakan suatu pelayanan yang bersifat untuk kepentingan umum. Dalam perkembangannya untuk melakukan fungsi tersebut dibutuhkan biaya yang amat besar untuk dapat menghadirkan jasa tersebut sehingga keterlambatan untuk mengimbangi peningkatan kegiatan ekonomi akan memberika dampak yang tidak kecil bagi kehidupan masyarakat. Salah satu jalan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan "privatisasi" atas beberapa jasa pelayanan yang sebelumnya menurut perundang-undangan hanya boleh dilakukan oleh pemerintah. Privatisasi itu sendiri secara umum diartikan sebagai keikutsertaan pihak swasta untuk penyelenggarakan/menyediakan jasa pelayanan umum. Perjanjian Privatisasi Jasa Kepelabuhan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan PT X sebagai suatu perusahaan swasta merupakan bentuk nyata dari usaha privatisasi tersebut. Walaupun privatisasi telah dikenal dengan baik namun di Indonesia sendiri privatisasi merupakan hal yang baru terutama didalam jasa kepelabuhanan oleh karenanya belum ada perangkat perundang-undangan yang baku yang dapat digunakan sebagai bahan acuan pada saat penulisan ini. Secara konsepsual tidak ada perbedaan yang mendasar antara perjanjian privatisasi dan pe~anjian umum yang ada dalam konsep hukum perdata. Semua konsep hukum perjanjian perdata diikuti dengan baik oleh perjanjian privatisasi namun secara khusus perjanjian privatisasi ini memperlihatkan beberapa hal yang menarik untuk dilakukan pembahasan antara lain adanya benturan kepentingan baik yang bersifat yuridis maupun non yuridis karena adanya perbedaan bentuk Badan Hukum maupun sasaran pengusahaan. Hal-hal seperti bentuk Badan Hukum hasil persekutuan kedua belah pihak, pergeseran jaminan baik dari segi subjek maupun objek, limitasi yuridis yang dapat menghalangi terjadinya suatu kondisi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak dan masalah-masalah lainnya yang timbul secara khusus karena adanya benturan-benturan kepentingan terutama karena adanya perbedaan bentuk badan hukum antara para pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Indah Muwarni
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S6294
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alfin Sulaiman
"Definisi menyangkut keuangan negara ternyata masih menuai polemik sampai saat ini. Khususnya menyangkut keuangan negara yang sudah disetorkan ke dalam Badan Usaha Milik Negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagian undang-undang mengatur bahwa keuangan negara yang sudah disetorkan ke dalam Badan Usaha Milik Negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, adalah tetap merupakan uang negara. Sedangkan sebagian undang-undang, khususnya undang-undang tentang Badan Usaha Milik Negara dan Undang-undang tentang Perseroan Terbatas mengatur, bahwa keuangan negara yang telah disetorkan ke dalam Badan Usaha Milik Negara selaku badan hukum sudah bukan menjadi uang negara lagi, melainkan sudah menjadi uang Badan Usaha Milik Negara itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori badan hukum sebagai communis opinion doctorum dalam teori ilmu hukum. Disharmonisasi peraturan perundangundangan menyangkut keuangan negara tersebut ternyata membawa implikasi dan konsekuensi yuridisnya di dalam praktek, khususnya terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi serta terhadap mekanisme pemeriksaan dan pengawasan keuangan negara yang telah disetorkan ke dalam Badan Usaha Milik Negara. Hal ini juga membawa implikasi dan konsekuensi yuridis terhadap timbulnya fatwa Mahkamah Agung Nomor WKMA/Yud/20IVIIII2006 menyangkut piutang negara dan piutang BUMN. Fatwa Mahkamah Agung tersebut sekaligus juga memberikan batasan dan pengertiannya terhadap keuangan negara. Bahwa uang negara yang telah disetorkan ke dalam Badan Usaha Milik Negara sudah bukan merupakan uang negara lagi, melainkan sudah menjadi uang Badan Usaha Milik Negara. Oleh sebab itu perlu dilakukan persesuaian peraturan antar undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lainnya menyangkut definisi keuangan negara. Sehingga diperoleh pengertian secara jelas mengenai keuangan negara dan keuangan negara yang telah disetorkan ke dalam Badan Usaha Milik Negara, tanpa harus mengebiri teori badan hukum sebagai communis opinion doctorum dalam teori ilmu hukum. Persesuaian undang-undang menyangkut definisi keuangan negara dan keuangan negara Badan Usaha Milik Negara tersebut, juga harus membawa implikasi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi, sistematika pengawasan dan pemeriksaan keuangan negara, dan kemandirian Badan Usaha Milik Negara itu sendiri.

The definition of state finance is still creating polemic condition to this date, particularly related to the allocation of state finance to the State-Owned Enterprise classified as excluded state assets. The provision of Law clearly governs that state finance allocated to the State-Owned Enterprise is categorized as excluded state assets and therefore it shall remain the property of the state. Meanwhile, subject to the other provisions of the relevant law on State-Owned Enterprise and Limited Liability Company, it is stated that financial allocation made to the State-Owned Enterprise in its status as legal entity shall no longer be the property of state, but the State-Owned Enterprise. This corresponds to the theory affirming that legal entity is communis opinion doctorum, as defined in the theory of law. Inconsistencies in laws and regulations related to the state finance bears juridical implications and consequences in its practice, especially on Fight Against Corruption as well as the mechanism for audit and control over the state finance allocated to the State-Owned Enterprise. This also bears juridical implications and consequences on Supreme Court's opinion number WKMA/Yud/20IVIII/2006 related state and State-Owned Enterprise receivables. Opinion of the Supreme Court has also set limitations and understanding of the state finance. In other words, state financial allocation shall no longer be the property of the state but State-Owned Enterprise. For that reason, it is regarded necessary to make amendment to relevant laws and regulations related to the definition of the state finance. Thus, state finance and excluded state assets will be clearly defined without disregarding the theory of legal entity as communis opinion doctorum in the theory of law. The amendment to law on definition of state finance and excluded state asset should bring positive implications for fight against corruption, mechanism for audit and control of State Finance as well as the independence of State-Owned Enterprise."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>