Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setia Budi Hartono
"Pidana penjara seumur hidup akan selalu dihadapkan dengan suatu persoalan pergulatan tentang kemanusiaan. Disatu sisi pidana penjara seumur hidup digunakan sebagai sarana represif untuk melindungi masyarakat dari perbuatan dan pelaku kejahatan yang dipandang sangat membahayakan. Namun di sisi lain pidana penjara seumur hidup meniadakan hak narapidana mengakhiri masa menjalankan pidana. Garis kebijakan tujuan pelaksanaan pidana di Indonesia adalah pemasyarakan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Meskipun pidana penjara seumur hidup dalam kenyataannya masih digunakan, namun dalam praktik pelaksanaannya cenderung berusaha untuk menyesuaikan dengan sistem pemasyarakatan yang berorientasi pembinaan. Hal demikian ditempuh untuk mengatasi benturan kepentingan dalam konsep pemasyarakatan yang berorientasi kepada rehabilitasi dan resosialisasi narapidana untuk kembali ke masyarakat dan kepentingan untuk memisahkan narapidana dengan masyarakat dalam jangka waktu lama. Perlu kearifan dalam memandang tujuan pemidanaan yang tidak bermaksud semata memisahkan pelaku kejahatan dari masyarakat dalam jangka waktu lama demi alasan suatu pelanggaran hukum. Meskipun pemidanaan disahkan sebagai konsekuensi atas suatu perbuatan yang melanggar hukum, namun secara substansial dan pelaksanaanya hendaknya menghormati narapidana sebagai manusia yang dijadikan obyek pemidanaan. Bagaimanapun tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku kejahatan yang memiliki kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki. Jika demikian faktanya bukankah suatu hal yang berlebihan apabila pidana penjara diterapkan hanya semata-mata difokuskan kepada perampasan kebebasan seseorang selama hidup tanpa memberi kesempatan untuk kembali kepada masyarakat ?. Bukankah hal demikian merupakan pemidanaan yang cenderung melanggar HAM seseorang, yakni hak kebebasan yang menurut hukum dilindungi keberadaannya"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16454
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Wiranofa
"Kontribusi hukum sangat besar bagi pembangunan ekonomi di negara berkembang untuk mencapai kemakmuran. Hukum harus melindungi masyarakat agar merasa aman dan kepentingannya terlindungi, sehingga aktivitas lainnya seperti ekonomi dan politik dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tindakan penggeledahan dalam konstelasi KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981), merupakan satu bagian dari rangkaian kewenangan penyidik yang bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia, Tindakan penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik dalam praktek, tidak jarang menyebabkan kerugiaan yang baik disebabkan oleh pelaksanaannya (Penyidik Polri) maupun oleh karena pengaluran UU-nya belum lengkap.
Penelitian ini membahas permasalahan tentang Penggeledahan dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia dimama penggeledahan merupakan tahapan pra -ajudikasi (pre-adjudication} yang merupakan dasar, terutama pada pencarian data dan bukti yang akan dijadikan dasar pengadilan untuk memutuskan suatu kasus. Tindakan penyidik yang bersifat upaya paksa berupa penggeledahan rentan mengakibatkan benturan antara kepentingan masyarakat yang terlanggar hak asasinya, sebagai akibat tindakan penyidik yang berkaitan dengan pengaturan KUHAP, disuatu pihak yang masih belum lengkap dengan diskresi kepolisian yang amat luas yang menyebabkan sering terlanggarnya hak asasi tersangka maupun korban. Disatu pihak bagi penyidik tindakan penggeledahan sangat urgen untuk mendapatkan alat bukti, dilain pihak penggeledahan yang keliru dapat menimbulkan kerugian, yaitu tersangka maupun korban. Sehingga dengan demikian kewenangan kepolisian khususnya penggeledahan menjadi bahan penelitian yang penting. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan penggeledahan oleh Penyidik Polri masih banyak kekurangan dari tujuan UU, disamping UU itu sendiri (KUHAP) belum mengatur tentang izin penggeledahan apabila perkara tidak dilanjutkan oleh Penyidik, penggeledahan badan dengan istilah intimate body search dan invasive body search."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T14463
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosana Kesuma Hidayah
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, sejauhmana melalui pidana penjara jangka pendek tujuan pemidanaan dapat tercapai.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kalianda dan Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kalianda.
Pidana penjara yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan pada intinya mempunyai maksud agar pada masa pemidanaan terhadap terdakwa dapat dilakukan pembinaan, namun ternyata dalam hal terdakwa dijatuhi pidana penjara jangka pendek, karena pendeknya waktu pemidanaan, pembinaan justru tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu pidana penjara jangka pendek sebagai suatu sarana pemidanaan dalam rangka mencapai tujuan pemidanaan perlu pengkajian lebih jauh terutama dari sisi hak asasi narapidana maupun dari sisi Hakim sebagai aparat yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang dihadapi terdakwa. Berangkat dari Mori Utilitarian yang mempunyai titik tekan pada aspek kemanfaatan, dimana berpijak pada teori ini bahwa suatu pemidanaan harus dapat memberi manfaat baik bagi pelaku maupun masyarakat, dan jika tidak mampu memberi manfaat maka suatu pemidanaan menjadi tidak bernilai. Selanjutnya berdasarkan penelilian yang dilakukan terungkap banyak hambatan yang menghalangi tercapainya tujuan pemidanaan melalui pidana penjara jangka pendek.
Menghargai hak asasi manusia dan menghormati martabat manusia harus berlaku bagi setiap orang atau setiap anggota masyarakat, termasuk anggota masyarakat yang sedang menjalani pidana penjara ataupun yang sedang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu dalam rangka melindungi hak asasi manusia dan martabat manusia, mengurangi kebebasan manusia haruslah menjadi bahan pemikiran sedalam-dalamnya sekalipun dengan alasan untuk menghukum seseorang yang melakukan tindak pidana. Pemidanaan yang lebih merugikan daripada tindak pidana yang dilakukan merupakan penindasan terhadap hak-hak asasi terpidana, karena walaupun memang pidana mengandung suatu penderitaan akan tetapi janganlah pidana membawa seseorang pada jurang kesengsaraan.

This research is aimed at conducting a research in perspective of human rights as regards to what extent the short term imprisonment brings the accomplishment of the purpose of criminal punishment.
This research employing a qualitative methodology of research with location of research in Kalianda District Court and Kalianda Penitentiary Institution.
Imprisonment sentence exercised in penitentiary institution in essence is addressed to conduct a mental up-building to the accused during the criminal sentence nonetheless it turns out that mental up-building can not be realized to the accused sentenced to the short term imprisonment in the light of limited time for the criminal sentence and up-building. Therefore the short term imprisonment as a media of criminal sentence in term of bringing the accomplishment of the criminal sentence calls for further review particularly in the perspective of the criminal's human rights. Commencing from the Utilitarian Theory emphasized on the usefulness aspects place a criminal sentence oriented to contributed a benefit either to the actor or community, and when it fails to contribute a benefit, a criminal sentence shall became valueless. Henceforth the research reveals many barriers which impede the accomplishment of criminal sentence through a short term imprisonment.
Respecting Human Rights and the Human Dignity must be awarded to every body or every member of community including member of community who are in imprisonment or in face of conflict in the laws. Therefore, in term of protecting the human rights and human dignity, relieving freedom of human being shall serve as a deep analysis despite it is aimed at sentencing a person who commits criminal act. A criminal sentence which inflicts more losses rather than a criminal act committed constitutes an oppression to the human rights of the criminal despite an imprisonment bears the essence of suffering but the crime should not bring a person into misery.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Muhammad Arif Setiawan
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang "Proses Peradilan Pidana di Indonesia dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Secara khusus tesis, ini lebih menitikberatkan kajian terhadap masalah perlindungan HAM bagi tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan. Penelitian ini .bertujuan untuk menjawab masalah-masalah sebagai berikut: (I) Sejauhmana KUHAP telah memberikan dasar-dasar normatif terhadap jaminan perlindungan HAM bagi tersangka dalam proses pemeriksaan pendahuluan, (2) Apakah secara normatif KUHAP telah memenuhi syarat sebagai dasar penyelenggaraan proses peradilan pidana yang adil (due process of law) khususnya dalam tingkat pemeriksaan pendahuluan.; (3) Sejauhmana para petugas penegak hukum pidana di tingkat pemeriksaan pendahuluan telah melaksanakan proses peradilan pidana yang menghargai dan melindungi HAM khususnya bagi para tersangka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktek pemeriksaan di tingkat pendahuluan yang dilakukan oleh para petugas penegak hukum masih dijumpai adanya pelanggaran HAM yang merendahkan harkat dan martabat tersangka, masih terjadi pemeriksaan dengan cara kekerasandan ancaman kekerasan baik yang bersifat fisik maupun nonfisik,dan juga diabaikannya pemberian hak-hak yuridis yang dimiliki oleh tersangka seperti hak memperoleh penasehat hukum, hak mendapat kunjungan sewaktu-waktu oleh penasehat hukum tersangka untuk kepentingan pembelaan dan lain sebagainya. Namun demikian dari segi yuridis normatif KUHAP sebenarnya telah memberikan jaminan perlindungan HAM bagi tersangka, dan telah pula memenuhi persyaratan sebagai dasar hukum penyelenggaraan peradilan pidana yang adil (due process of law). Namun ironisnya ternyata KUHAP justru tidak mengatur akibat atau konsekuensi yuridis berupa pembatalan, penyidikan, dakwaan, atau penolakan bahan pembuktian apabila .terjadi pelanggaran hak-hak yuridis tersangka. Disediakannya lembaga Pra Peradilan ternyata tidak cukup menjamin perlindungan HAM tersangka seperti yang dimaksud oleh asas ubi jus ihi rerrudium dan asas ubi rerrtidium ibi jus, yang bermakna jika ada hak yang diberikan hukum maka harus ada keinungkinan untuk menuntut dan memperoleh hak tersebut, dan hanya apabila ada proses hukum untuk menuntutnya dapat dikatakan adanya hak tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tongat
Malang: UMM Press, 2004
345 TON p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The implementation of penal facility is aimed to prevant criminal acts. Imposing penal facility is one of the authorities of judges and shall not be incompatible with both national and international law. One of the implementation of Penal facilities is imposing an additional penalty of retraction of a corruptor's political rights as contained in the Decision Number 537K/Pid.Sus/2014 and Number 1195K/Pid.Sus/2014. The application is not time constrained as provided on Article 38 of the Criminal Code. As a result, there is a controversy from the viewpoint of humant rights, as the crime committed is corruption. The right to vote and be elected is one of the human rights that must be preserved. The questions discussed in this analysis are: 1) why is the implementation of penal policy of retraction of a corruptor's political rights necessary? ; and 2) what are the criteria of the implementation of penal policy of retraction of corruptor's political rights in the perspective of human rights? The analysis uses normative research method by legislation and study case approach. In brief, there is an urgency of implementing additional penalty of retraction of political rights when the criminal act is detrimental to the public welfare, such like the crime of corruption committed by state officials who have access to political and executive incumbents. More to the point, there should be a set time limitation of the convict's retraction of the political rights in the implementation."
JKY 8:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1981
S6123
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufan Rachmadi
"Dewasa ini isu tentang Hak-hak Asasi Manusia atau HAM terus berlangsung dan bahkan menyangkut kehidupan bernegara. Isu ini diangkat oleh berbagai negara Barat yang standartnya seringkali kontradiktif dengan negara Muslim, Hak-hak Asasi Manusia sering kali digunakan tidak pada tempatnya dan terlalu dipolitisir dan terlalu cenderung memfonis bahwa negara-negara muslim telah melanggar eksistensi manusia ada Asasi Hanusia, tetapi konsep Islam tidak sama dengan pandangan oriental is Barat, Sebab Tslam lebih mengutamakan keseimbangan antara kewajiban dan hak yang diterimanya, sedangkan pandangan sekularisme Barat lebih mengutamakan kepentingan hak dari kewajiban yang diembannya. Konsep Islam tentang Hak-hak Asasi pada prinsip yang terdapat al-Quran dan Meskipun demikian Islam tidak melupakan arti untuk melakukan ijtihad."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
T32453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Choirul Muttaqin
"Untuk mengetahui siapasajakah yang berhak menjadi warga negara Indonesia maka kita harus melihat konsep awal kewarganegaraan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana dalam sejarah pemahasa pembuatan Undang-Undang Dasar, dimana dalam UUD 1945 disebutkan bahwa 'yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia Asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga Negara' Perubahan Konsep 'Indonesia Asli' dilatarbelakangi dimana terjadinya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tertentu warga negara dengan adanya pembedaan antara warga negara asli dan orang asing (tidak asli) berdasarkan ikatan primordial (ras dan etnis).
Pada saat ini berdsarkan UU No. 12 Tahun 2006 dianut konsep 'Indonesia asli' yang berbeda dengan konsep 'warga negara asli' sebagaimana dituangkan di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Pasal 2 dan Penjelasannya adalah adalah 'yang dimaksud dengan 'bangsa Indonesia asli' adalah orang Indonesia yang menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri'. Jadi pembedaan 'Indonesia asli' dan 'Indonesia tidak asli' sekarang ini dasarnya bukan pada perbedaan ras, melainkan pada status kewarganegaraan yang diperoleh saat lahir. Siapapun yang sejak lahir menjadi warga negara Indonesia dan tidak pernah menjadi warga negara lain atas kehendaknya sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang penerapan asas kewarganegaraan ganda terbatas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan untuk mengetahui apakah penerapan kewarganegaraan ganda terbatas dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia itu sudah memenuhi aspek perlindungan hak asasi manusia bagi warga negara atau belum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.
Dalam penelitian hukum normatif ini, penulis menggunakan jenis data sekunder. Data sekunder tersebut diperoleh dari sejumlah fakta atau keterangan yang terdapat di dalam Dokumen, Bukubuku, Artikel-artikel, dan Perundang-undangan yang terkait dengan topik penelitian. Penulis memperoleh data sekunder dalam penelitian hukum normatif ini melalui studi dokumen yaitu dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat buku-buku, artikel-artikel dari internet serta peraturan perundang-undangan yang erat kaitannya dengan pokok-pokok permasalahan yang ada dalam penulisan hukum ini.
Penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa kewarganegaraan ganda terbatas pada batas usia 21 tahun atau sudah menikah kurang tepat karean pada usia tersebut anka belum bisa menetukan pilihan sendiri dengan pemikiran yang matang. Penulis menyarankan Pertimbangan hingga usia 30 tahun hal ini didasarkan pada pemikiran pemberian perlindungan kepada anak tersebut, misal apabila anak yang berkewarganegaraan ganda tersebut hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 2, akan lebih menguntungkan bagi yang bersangkutan, karena di usia 30 tahun pada umumnya sudah bekerja dan mapan sehingga sudah mampu untuk mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa harus dibiyai oleh kedua orang tuanya. Selain dari pada itu pada usia ini seseorang telah mencapai kematangan jiwa sehingga mampu untuk mampu untuk menentukan pilihannya sendiri. dan jika memungkinkan kewarganegaraan ganda sepatutnya bisa secara sepenuhnya yang sejalan dengan prinsip dasar Hak Asasi Manusia.

In order to know who has the right to be Indonesian citizen, we should take a look at the early citizenship concept at Indonesian Constitution where it's written that 'the people that consider as Indonesian citizen are the Indonesian natives and other country's people that are legalized by UUD 1945 as the citizens. Concept change of 'Indonesian Natives' is caused by the discrimination of some specific groups, it is between Indonesian natives and people which are non natives based on racial and ethnicity.
At the moment, based on the Law No 12, 2006, we have different concept between 'Indonesian Native' and 'Native Citizens', as found on the Law No 12, 2006, Section 2, and the explanation is 'the people that consider as Indonesian natives are the Indonesians that become Indonesian Citizen since the born and never willing to accept other citizenship'. So the difference between 'Indonesian native' and Indonesian non native' at the moment is not based on the racial, but based on the citizenship status which is received at the moment of the born, whoever that is and never been willing to become other country's citizen.
This research aims to notice the background of the limited two citizenships base application at the Law no.12, 2006 about either has Indonesian Citizenship fulfilled the human rights protection or hasn't it. This research is a normative kind of law research. Normative law research is doctrinaire law research, also called as library research or document study.
In this normative kind of law research, the writer uses secondary kind of data. The secondary kind of data is gained by some facts that are written at the documents, books, articles, and laws related to the research topic. The writer got the secondary data of this normative law research through the document study, specifically by reading, learning, noting books and articles from the internet, and the state laws / regulations which closely related to the main problems at this law writing.
The writer can conclude that limitation two citizenships in the age of 21 or marriage status is not exactly right, because at that age, people can not really make their own decision with the mature thought. The writer suggests the reconsideration to the age of 30, this suggestion is based on the protection given to the person, as an example, the person which has two citizenships wants to continue studying at the higher level ( Strata 2 is the common example), it will be more advantage. Because at that age, people usually already able to fulfilled their own necessary instead of depend on their parents. In spite of that, people at that age are mature enough to make their own decision, and if it's possible, two citizenships can be absolutely suitable to the human rights principle.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28672
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>