Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 89025 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rengga Damayanti
"Penelitian berjudul Perlindungan Konsumen Dalam Kebijakan Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Tahun 2005 ini berisi tentang kondisi pra dan pasca kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak tahun 2005. Penulis ingin mengetahui bagaimana keterlibatan konsumen dalam perumusan kebijakan kenaikan Bahan Bakar Minyak Tahun 2005 ini. Keterlibatan konsumen ini dinilai penting berkait dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen DaIam PasaI 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa : Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Selain itu penulis juga ingin mengetahui landasan hukum yang dijadikan pegangan pemerintah dalam menaikan harga Bahan Bakar Minyak tahun 2005.
Terakhir, penulis hanya berharap agar di kemudian hari pemerintah dapat melibatkan konsumen dalam setiap pembuatan kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak, khususnya kebutuhan harga pokok seperti kenaikan harga bahan bakar minyak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa campur tangan Pemerintah di Indonesia sendiri dapat diketahui dari isi Pembukaan dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta dalam GBHN dan dalam berbagai peraturan perundang-undangan_ yang menjadi aturan pelaksanaannya, termasuk Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara jelas dapat diketahui bahwa perlindungan konsumen diselenggarakan dalam rangka pembangunan nasional, yang menjadi tanggung jawab pemerintah."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16381
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, Sere Saghranie
"Kebijakan perlindungan konsumen belum sepenuhnya menjadi kesadaran masyarakat. Peredaran barang dan/atau jasa yang ditawarkan seringkali merugikan konsumen. Kedudukan konsumen yang lemah, membuat pelaku usaha leluasa melakukan praktek niaga yang tidak jujur dan bertanggung jawab. Sejalan dengan upaya sosialisasi kebijakan, meningkatnya kesadaran masyarakat, muiai mendatangkan pengaduan konsumen. namun kebijakan-kebijakan terkait guna mendukung penanganan masalah perlindungan konsumen belum sepenuhnya tersedia.
Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan perlindungan konsumen oleh pemerintah dalam penanganan pengaduan konsumen, mengidentifikasi faktor faktor penghambat dan pendukung implementasi kebijakan perlindungan konsumen dalam menghadapi serbuan barang-barang impor maupun produk lokal yang tidak memenuhi standar yang menimbulkan pengaduan konsumen dan mendeskripsikan persepsi dan harapan konsumen terhadap pelayanan pengaduan konsumen yang dilakukan pemerintah dalam memberikan rasa nyaman, aman dan keselamatan kepada konsumen. Metoda penelitian yang digunakan adalah penelitian eksploratif dan deskriptif dengan 5 (lima) variabel penelitian implementasi kebijakan dan 50 (limapuluh) responden persepsi dan harapan konsumen.
Hasil penelitian menemukan bahwa dari sisi isi kebijakan, pada penjelasan umum undang-undang ditemukan adanya pengecualian pemberlakuan undang-undang yang dapat menyulitkan penyelesaian pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil dan menengah. Ditemukan adanya sistem perlindungan konsumen yang tidak memberikan penjelasan, mengenai sistem yang dimaksud. Ditemukan adanya isi pasal yang saling bertentangan, pada bab XI. Ditemukan pula beberapa perangkat kelembagaan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang belum terbantuk hingga penelitian ini dilakukan. Dari sisi birokrasi, mekanisme dan prosedur penyelesaian pengaduan konsumen belum baku, kewenangan dan tanggung jawab belum mempunyai batas yang jelas, belum adanya peraturan teknis operasional yang dapat dijadikan acuan, telah menimbulkan dampak keraguan aparat dalam bertindak melaksanakan implementasi kebijakan perlindungan konsumen. Dari sisi karakteristik lembaga, peran dan tugas dijalankan menurut kebiasaan dengan jumlah pelaksana terbatas, membuat penyelesaian pengaduan konsumen beium sepenuhnya mampu ditangani. Dari sisi sumber daya, dana yang tersedia sangat terbatas dibanding kegiatan-kegiatan yang harus dikerjakan, kemampuan sumber daya manusia untuk menangani pengaduan konsumen juga sangat terbatas. Dari sisi kondisi lingkungan, kondisi sosial dan sikap masyarakat pada umumnya memiliki tingkat kesadaran yang rendah akan hak sebagai konsumen. Kondisi ekonomi dengan tingkat pendapatan dan daya beli yang rendah akibat dampak krisis ekonomi yang belum menunjukkan tanda-tanda pulih, membuat masyarakat masih lebih mengutamakan dapat memperoleh atau membeli barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam jumlah yang cukup dan murah dan belum menghiraukan mutu barang danlatau jasa yang dibeli. Kondisi politik menunjukkan belum memadainya keberpihakan pemerintah kepada konsumen, misalnya kesulitan dalam penerapan ketentual label Halal pada produk makanan, minuman dan kosmetik bagi perlindungan konsumen muslim di Indonesia, dan kesulitan dalam penerapan ketentuan standar barang dan/atau jasa. Keamanan yang rawan pada beberapa waktu yang lalu serta penegakan hukum yang lemah, membuat implementasi kebijakan perlindungan konsumen tidak mudah diserap masyarakat.
Dari sisi persepsi dan harapan konsumen, sekalipun konsumen puas atas pelayanan pengaduan konsumen yang dilakukan oleh Direktorat Perlindungan Konsumen, ditinjau dan karakteristik responder, hasil penelitian tidak dapat mewakili persepsi dan harapan masyarakat pada umumnya, terutama tingkat pendidikan responden penelitian dengan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat secara keseluruhan. Temuan persepsi konsumen terhadap penanganan pengaduan konsumen yang kontras sangat dimungkinkan karena konsumen yang tidak memahami/tidak memiliki typologi pelayanan ideal, bisa jadi karena konsumen tidak lagi memfokuskan diri pada penyelesaian kasus, tetapi lebih kepada merasa puas atas pelayanan yang diterima, dapat pula terjadi karena jumlah pengaduan yang relatif masih kecil sehingga setiap pengaduan konsumen dapat dilayani dengan baik dan memuaskan.
Undang Undang Perlindungan Konsumen tetap dibutuhkan termasuk sebagai "payung? dan ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan konsumen yang tersebar dalam berbagai undang undang dan peraturan yang ada.
Agar tujuan pembuatan Undang Undang Perlindungan Konsumen dapat benar-benar tercapai, maka perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap isi kebijakan, terutama terhadap isi pasal-pasal yang tidak sesuai dengan tujuan, isi pasal yang tidak jelas dan isi pasal yang saling bertentangan. Badan Penyelesaian Konsumen Nasional sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Perlindungan Konsumen perlu segera dibentuk, pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Lembaga Perlindungan Kosumen Swadaya Masyarakat pada daerah-daerah yang belum terbentuk, perlu mendapat percepatan. Agar keterbukaan informasi dan akses terhadap informasi perlindungan konsumen dapat tercipta, maka mekanisme dan prosedur penyelesaian pengaduan konsumen pada Direktorat Perlindungan Konsumen yang selama ini telah berjalan, perlu dibakukan dan dituangkan dalam ketetapan tertulis serta dipublikasikan. Peningkatan kesadaran konsumen akan meningkatkan jumlah pengaduan, maka perlu penambahan jumlah petugas pelayanan pengaduan konsumen dengan minat, kemampuan dan keterampilan yang memadai. Guna mempercepat peningkatan kesadaran konsumen, sosialisasi kebijakan perlindungan konsumen tidak hanya dilakukan terhadap konsumen, tetapi juga terhadap pelaku usaha."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13851
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sagala, Darkon M.
"Kebijakan pemerintah menaikkan tarif tol tahun 2007 dalam hal ini Menteri Pekerjaan Umum, Penulis ingin mengetahui bagaimana pengaturan penyelenggara jalan tol yang dikaitkan dengan kenaikan tarif tol dan juga tentang bagaimana pemerintah mengimplementasikan Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol khususnya Pasal 8 mengenai Standar Pelayanan Minimum yang merupakan bagian perlindungan konsumen.Perlindungan konsumen adalah sebagai hal yang paling pokok sebab konsumen merupakan objek penerima dampak kenaikan tarif tol sehingga perlu diketahui bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada konsumen dalam memilih kebijakan menaikkan tarif tol. Perlu diketahui keterlibatan konsumen dalam Pengambilan keputusan untuk menaikkan tarif tol, keterlibatan konsumen dinilai hal yang penting sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa: Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan yang mengatur tentang mekanisme penetapan tarif tol, kenaikan tarif tol berdampak terhadap masyarakat banyak sebagai konsumen untuk itu pemerintah perlu memperkuat posisi dalam pengambilan kebijakan tersebut sebagai upaya melakukan perlindungan konsumen
The government's policy to increase toll rates in 2007 in this case the Minister of Public Works. 38 of 2004 concerning Roads and Government Regulation no. 15 of 2005 concerning Toll Roads, especially Article 8 concerning Minimum Service Standards which are part of consumer protection. Consumer protection is the most basic thing because consumers are the recipients of the impact of the increase in toll rates so it is necessary to know the form of protection provided by the government to consumers in choosing policies to increase toll roads. toll rates. It should be noted that consumer involvement in decision-making to increase toll rates, consumer involvement is considered important as stated in Article 2 of Law no. 8 of 1999 concerning Consumer Protection it is stated that: Consumer Protection is based on benefits, balance justice, consumer safety and security, and legal certainty. Law No. 38 of 2004 concerning Roads which regulates the mechanism for setting toll rates, the increase in toll rates has an impact on the general public as consumers. Therefore, the government needs to strengthen its position in making these policies as an effort to protect consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Srie Agustina
"Penelitian ini bertujuan mencari jawaban mengenal kemandirian konsumen sebagai salah satu ukuran kinerja pelaksanaan kebijakan Pemerintah, yaitu Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kemandirian konsumen tersebut, dilihat dari 2 pendekatan, yaitu pertama, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemandiran konsumen; kedua, kondisi kemandirian yang dilihat dari rata-rata tingkat kemandirian (%) dan klasiflkasi kemandirian. Kondisi tersebut, membawa implikasi kepada analisis lebih lanjut, yaitu upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk lebih meningkatkan kemandirian konsumen sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dalam pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dinyatakan bahwa tujuan diterbitkannya Undang-Undang ini antara lain adalah untuk: meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan jasa; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Tujuan ini terkait erat dengan upaya membentuk konsumen yang mandiri. Konsumen mandiri tersirat dalam Undang-Undang dimaksud yaitu konsumen yang mengerti hak dan kewajibannya dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari selaku konsumen. Dalam Undang-Undang ini terdapat 9 hak dan 4 kewajiban konsumen, yang bila diterapkan dapat diindikasikan sebagai bentuk kemandirian seorang konsumen .
Pelaksanaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah berjalan kurang lebih 5 tahun, selama ini berbagai langkah telah dilakukan Pemerintah terutama oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk mengimplementasikannya. Secara umum langkah tersebut dapat dikelompokkan: penyiapan dan penerbitan berbagai aturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut; peningkatan pengetahuan dan pendidikan kepada konsumen, pemasyarakatan kebijakan dan informasi perlindungan konsumen; peningkatan peran dan kualitas kelembagaan perlindungan konsumen dalam memberikan pelayanan kepada konsumen; upaya pembinaan dan pengawasan terhadap produk yang diperdagangkan pelaku usaha. Namun sampai saat ini belum ada yang mengevaluasi dan meneliti secara komprehensif sejauhmana dampaknya dapat membentuk konsumen menjadi mandiri.
Untuk mengevaluasinya, faktor peran peningkatan pengetahuan konsumen melalui sosialisasi serta peran kelembagaan konsumen, memegang peranan penting, karena merupakan bentuk kegiatan yang dapat berinteraksi langsung dengan konsumen. Faktor-faktor tersebut tentu terkait juga dengan kondisi yang secara inherent ada pada konsumen itu sendiri antara lain tingkat pendidikan konsumen, pekerjaan konsumen serta tingkat pengeluaran konsumsi konsumen.
Faktor-faktor inilah yang kemudian penulis jadikan variabel untuk menguji hubungannya dengan kemandirian konsumen.
Hubungan antara variabel-variabel tersebut dengan kemandirian konsumen, kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik regresi logistik. Beberapa faktor berpengaruh secara signifikan yaitu pengeluaran konsumsi, peran sosialisasi Pemerintah dan peran lembaga perlindungan konsumen. Sedangkan pendidikan dan jenis pekerjaan tidak.
Selanjutnya, didasari pemikiran bahwa ternyata variabel pendidikan tidak berpengaruh terhadap kemandirian konsumen. Ditambah dengan argumentasi bahwa variabel ini telah terwakili dalarn variabel pengeluaran konsumsi, maka model kemudian dimodifikasi tanpa variabel pendidikan.
Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi, sosialisasi pemerintah dan peran kelembagaan secara signifikan masih berpengaruh terhadap kemandirian konsumen.
Tingkat kemandirian konsumen relatif baik, yaitu rata-rata 60,4% diatas batas klasifikasi kemandirian yang ditetapkan, dengan tingkat kemampuan prediksi sebesar 78,2 %.
Berdasarkan hasil analisis efektifitas pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen, diketahui bahwa pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen belum sepenuhnya optimal. Tingkat kemandirian sebesar 60,4% belum dapat mengindikasikan konsumen Indonesia mayoritas telah mandiri, mengingat penelitian ini masih terbatas pada responders di wilayah DKI Jakarta. Responden di wilayah ini dianggap memiliki pengetahuan dan akses informasi yang lebih memadai dibandingkan dengan konsumen di wilayah lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan kebijakan perlindungan konsumen masih perlu ditingkatkan, baik melalui intensitas sosialisasi, penguatan peran kelembagaan konsumen, maupun upaya-upaya lainnya."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15306
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Maria Susan
"Keterbatasan finansial selalu menghambat seseorang untuk memiliki barang konsumsi karena tingginya harga dari barang tersebut. Keadaan ini dapat ditanggulangi melalui perjanjian pembiayaan. Pihak dalam perjanjian ini terdiri dari konsumen, perusahaan pembiayaan dan penyedia barang (supplier). Konsumen akan mendapatkan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan yang dituangkan ke dalam perjanjian pembiayaan.
Isi dari perjanjian pembiayaan memuat sebagian syaratsyarat dan hal-hal pokok yang ditetapkan sendiri secara sepihak oleh perusahaan pembiayaan yang posisinya relatif lebih kuat, sedangkan konsumen secara yuridis mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan perusahaan pembiayaan tetapi tidak diikutsertakan di dalam menentukan isinya. Sehubungan dengan ditetapkannya UUPK, maka penulis mencoba menelaah apakah yang menjadi dasar dari pembentukkan perjanjian pada umumnya, apakah perjanjian pembiayaan sesuai dengan UUPK, bagaimana pelaksanaan dan penyelesaian sengketa perjanjian pembiayaan dalam prakteknya.
Perjanjian pembiayaan sendiri merupakan perjanjian baku yang memuat syarat-syarat yang memberatkan konsumen, yaitu berupa pembebasan tanggung jawab dari perusahaan pembiayaan dan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan ini terjadi akibat tidak adanya bargaining position yang seimbang, sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Dalam Pasal 18 UUPK diberlakukan larangan pencantuman klausula baku bagi 8 (delapan) daftar negatif klausula baku yang pada prinsipnya dapat merugikan konsumen dan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau pengungkapannya sulit dimengerti.
Akan tetapi dalam prakteknya masih banyak perusahaan pembiayaan yang melakukan penyimpangan terhadap Pasal 18 tersebut.
Dalam era perlindungan konsumen ini diharapkan para pelaku usaha lebih mengkaji perjanjian pembiayaan yang dibuatnya. Di sisi lain juga diharapkan konsumen untuk membaca secara detail dan rinci perjanjian pembiayaan tersebut sebelum menandatanganinya."
2004
T36636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mazeedan Reivan Zakiy
"Tulisan ini menganalisis mengenai pelindungan konsumen terhadap manipulasi alat ukur BBM yang dilakukan oleh penyalur sehingga menyebabkan kerugian pada konsumen. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Badan usaha pemegang izin usaha niaga migas seperti Pertamina dapat menunjuk pihak lain sebagai penyalur berdasarkan perjanjian kerja sama. Dalam menyalurkan BBM, penyalur berkewajiban untuk menggunakan alat ukur BBM yang sudah ditera dan ditera ulang serta menjamin keakuratan takaran BBM yang diberikan kepada konsumen. Akan tetapi, dalam praktiknya masih ditemukan penyalur BBM yang memanipulasi alat ukur BBM sehingga jumlah BBM yang diberikan kepada konsumen lebih menjadi lebih sedikit. Padahal, UUPK telah menjamin pelindungan terhadap hak konsumen untuk mendapatkan BBM sesuai takaran yang sebenarnya. Berdasarkan hasil penelitian, penyalur BBM yang memanipulasi alat ukur BBM harus bertanggung jawab jawab baik secara perdata, secara administratif, maupun secara pidana. Tanggung jawab secara perdata dilakukan dengan cara memberikan ganti rugi kepada konsumen, tanggung jawab administratif dilakukan dengan pemberian sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang, sedangkan tanggung jawab pidana dilakukan melalui penjatuhan sanksi pidana apabila telah terbukti bersalah berdasarkan putusan pengadilan. Lebih lanjut, dalam analisis Putusan Nomor 950/Pid.Sus/2022/PN Srg, putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim secara normatif memang telah tepat ditinjau dari UUPK. Namun, pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap terdakwa berupa denda lima puluh juta rupiah subsider tiga bulan kurungan sangat ringan dan tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan. Seharusnya, majelis hakim dalam menjatuhkan pidana harus mempertimbangkan hal-hal lain seperti menjatuhkan pidana denda di atas tuntutan penuntut umum ataupun menjatuhkan pidana penjara guna memberikan efek jera kepada terdakwa maupun penyalur BBM yang lain.

This paper analyzes consumer protection against fuel distributors who manipulate fuel measuring instruments which cause losses to consumers. This paper uses doctrinal legal research. Business entities holding oil and gas trading permits such as Pertamina can appoint other parties as distributors based on cooperation agreements. Distributors are obliged to use fuel measuring instruments that have been calibrated and recalibrated and to guarantee the accuracy of the fuel measurements given to consumers. However, fuel distributors are still found to manipulate fuel measuring instruments so that the amount of fuel given to consumers is less than it should be. In fact, the Consumer Protection Act has guaranteed protection for consumer rights to obtain fuel with the actual measurements. Based on research results, fuel distributors who manipulate fuel measuring instruments are liable both civilly, administratively, and criminally. Civil liability is carried out by providing compensation to consumers, administrative liability is carried out by imposing administrative sanctions by authorized officials, while criminal liability is carried out by imposing criminal sanctions if proven guilty based on a court decision. Furthermore, in the analysis of Decision Number 950/Pid.Sus/2022/PN Srg, the decision of the panel of judges was normatively correct in accordance with the Consumer Protection Law. However, the penalty imposed by the panel of judges on the defendant in the form of a fine of fifty million rupiah, subsidiary to three months imprisonment, was very light and not commensurate with the consequences caused by the defendant's actions. In sentencing the defendant, the panel of judges should consider other things, such as imposing a fine above the demands of the prosecutor or imposing a prison sentence in order to provide a deterrent effect on the defendant and other fuel distributors. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Permelia Fabyanne
"Di antara berbagai Hak atas Kekayaan Intelektual, merek dagang merupakan salah satu hak yang sangat terkait dengan perlindungan konsumen, pelanggaran hak merek akan berdampak secara luas terhadap konsumen, karena merek meliputi segala kebutuhan konsumen. Hal tersebut disebabkan karena konsumen merupakan penggunan suatu produk, dimana suatu produk sangat erat kaitannya dengan merek. Sehingga konsumen yang biasanya sudah terikat menggunakan produk dengan merek tertentu, di mana dalam prakteknya sering terjadi pemalsuan dan menimpa konsumen maka sudah pasti konsumen mengalami kerugian karena mengkonsumsi secara keliru produk tertentu yang kualitasnya berbeda dengan produk yang biasa ia konsumsi. Sehinga di dalam penulisan tesis ini permasalahan yang akan diangkat adalah bagaimana Undang-Undang Merek memberikan perlindungan terhadap konsumen, upaya dan langkah hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen apabila kepentingannya dirugikan serta bagaimana putusan pengadilan niaga dalam hal perlindungan terhadap konsumen.
Sebagai upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen maka di dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dirumuskan mengenai tanggung jawab produk yang menyatakan bahwa "Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan".
Sedangkan apabila dilihat berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, sanksi bagi pelanggar tindak pidana di bidang merek yang tentunya pasti akan merugikan pihak konsumen sebagai pengguna ataupun pemakai suatu produk atau barang, dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana tercatat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, yang tercantum dalam Pasal 90, 91, 92 ayat (1), 92 ayat (2), 92 ayat (3), 93, 94 ayat (I), 94 ayat (2), dan Pasal 95.
Sebagai akibat penegakan hukum yang lemah maka hasil dari kebijakan hukum merek untuk menanggulangi pelanggaran merek yang merugikan konsumen juga tidak akan mencapai hasil yang memadai. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan penegakan hukum yang kuat atas merek untuk mencegah terjadinya pelanggaran di bidang merek yang akan merugikan konsumen dan juga dibutuhkan tanggung jawab yang kuat dari kalangan pelaku usaha dalam memproduksi suatu barang."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15543
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marini Sulaeman
"The Act No. 8 Year 1999 regarding Costumer Protection has brought a new perspective in private law, where the relation between costumer and businessmen is generally under the law of contract. The Customer Protection Act as the element of reinforcement has adapted criminalization, which has not common to be applied on such relation. The main objective to impose punishment as a premium sanction is to protect the society as a whole and particularly customer, from the practice of unfair trade and transactions that are made by businessmen.
The practice of unfair trade and transactions are not only inflicting financial lost, but also immaterial lost. Unfortunately, from time to time recovery of financial lost does not compel appropriately. It does not make businessmen cautious. In fact, the same violation occurs repeatedly.
The thesis discussed on how the implementation of criminal sanction in The Customer Protection Act is applied to Bukit Sentul case. In this case customer reported Bukit Sentul based on the presume fraud, whereas the relation between customer and Bukit Sentul was based on agreement. It has become obvious that not all of contractual relations under agreement are free from criminal sanction. The Customer Protection Act proved that breach of contract can also be reported as a criminal case if there is enough evidence to support the offense."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Medavita Hakim
"Perjanjian baku dalam penjanjian kredit bank mencantumkan klausul-klasusul yang cenderung baku sehingga debitur hanya disuguhi dua pilihan yaitu menolak atau menerima pernjanjian baku tersebut.
Masalah yang dikaji penulis dalam penelitian ini adalah; Bagaimana bentuk dan isi perjanjian baku yang selama diterapkan oleh tiga Bank yaitu Bank Mega, Bank Mandiri serta HSBC, apakah perjanjian perjanjian baku yang diterapkan dalam perjanjian kredit ketiga bank di atas bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta bagaiama praktek dan implementasi perjanjian baku ketiga bank tersebut.
Dengan pendekatan yuridis normative, dimana penulis menitikberatkan penelitiannya pada hukum positif dan data kepustakaan disertai teknik pengumpulan data dengan cara wawancara yang dilakukan oleh penulis di Tiga Bank yaitu Bank Mega, Bank Mandiri serta HSBC, maka penulis menganalisis data di atas dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu penulis menguraikan data dalam bentuk uraian dan konsep hukum dalam prosentase ataupun angka.
Setidaknya ada dua kegunaan dalam penelitian ini secara praktis yakni memebrikan masukan kepada lembaga-lembaga terkait seperti, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan secara teoritis yaitu sebagai koreksi perihal berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam penelitian ini penulis mendapati bahwa Perjanjian baku dalam perjanjian kredit bank mencantumkan klausul-klausul yang isinya sebagai pengalihan tanggung jawab bank kepada debitur, sehingga memberatkan debitur, karenanya bertentangan dengan Pasal 18 Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T15419
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Sutedi
Jakarta: Ghalia Indonesia , 2008
381.34 ADR t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>