Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5599 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Ablasi AV junction terbukti efektif pada pasien atrial fibrillasi (AF) yang refrakter dengan isolasi vena pulmonalis maupun antiarimia."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Yuniadi
"Ablasi A V junction terbukti efektif pada pasien atrial flbrilasi (AF) yang refrakter dengan isolasi vena pulmonalis inaupun antiaritmia. Akan tetapi pada hampir 15% kasus ablasi AV junction dengan teknik konvensional (sisi-kanan) gagal. Penelitian ini berinjuan mempelajari karakterislik potensial berkas His pada ablasi AV junction secara konvensional inaupun dengan teknik sisi-kiri. Dua puluh pasien AF yang simtomatik dan refrakter terhadap antiarimia (rerata umur 60,539,28 tahun, 11 wanita) dilakukan ablasi AV junction dengan teknik konvensional. Bila 10 kali aplikasi energi frekuensi-radio tidak dapat menyebabkan blok A V total, maka ablasi dilakukan melalui sisi-kiri. Amplitud berkas His yang terekam pada tempat ablasi dianalisa. Seluruh pasien berhasil diablasi, 17 dengan cam konvensional dan 3 pasien degan teknik sisi-kiri setelah teknik konvensional gagal. Amplitud berkas His pada sisi-kiri lebih besar daripada sisi-kanan yang berkesesuaian (16,0 ±4,99 mm vs. 6,9 ±4,02 mm, p = 0,001, 95% IK -14,0 to -4,3). Dengan nilai titikpotong amplitude berkas His sisi-kanan > 4,87 mm didapatkan sensitifitas 8!.3% dan spesiftsitas 53,8% untuk keberhasilan ablasi pada sisi yang bersangkutan. Teknik sisi-kiri pada ablasi AV junction efektif bila teknik konvensional gagal. Pada pasien dengan amplitud berkas His sisi-kanan yang rendah (< 4, 87 mm) dianjurkan untuk ablasi dengan teknik sisi-kiri untuk menghindari pemberian energi frekuensi-radio yang tidak perlu. (MedJ Indones 2006; 15:109-14)

AV junction ablation has been proven effective to treat symptomatic atrial fibrillation refractory to antiarrhythmias or fail of pulmonary vein isolation. However, about 15% of conventional right-sided approach AV junction ablation failed to produce complete heart block. This study aimed to characterize His bundle potential at ablation site during conventional or left-sided approach of AV junction ablation. Twenty symptomatic AF patient (age of 60.5 ±9.28 and 11 are females) underwent conventional AV junction ablation. If 10 applications of radiofrequency energy are failed, then the ablation was performed by left-sided approach. Seventeen patients are successfully ablated by conventional approach. In 3 patients, conventional was failed but successfully ablated bv left-sided approach. The His bundle amplitude at ablation site was significantly larger in left-sided than correspondence right-sided (16.0 ±4.99 mm vs. 6.9 ±4.02 mm respectively, p = 0.001, 95% Cl -14.0 to -4.3). ROC analysis of His bundle potential amplitude recorded from right-sided revealed that cut off point of > 4.87 mm given the sensitivity of 81.3% and specificity of 53.8% for successful right-sided approach of AV junction ablation. In case of failed conventional approach, the left-sided approach is effective for AV junction ablation. An early switch to the left-sided approach may avoid multiple RF applications in patients with a low amplitude His-bundle potential (< 4.87 mm). (MedJIndones 2006; 15:109-14)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-2-AprilJune2006-109
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Michiko Watanabe
"ASBTRACT
Purpose: Very few studies have investigated the efficacy of ganglionated plexus ablation during the conventional maze procedure. In this study, we sought to evaluate its additive effect in reducing recurrent atrial fibrillation after concomitant maze surgery.
Methods: A retrospective study was conducted of 79 patients who underwent Cox maze IV concomitantly with open-heart surgery with (GP group) or without (Maze group) ganglionated plexus mapping. All active ganglionated plexuses were ablated. The two groups were compared and their follow-up data were analyzed.
Results: Active ganglionated plexuses were found in 81% of patients who underwent ganglionated plexus mapping. The rates of freedom from atrial fibrillation at 1 year in the GP and Maze groups were 77 and 75%, respectively. The cumulative freedom from atrial fibrillation at follow-up (27.7 ± 17.3 months) was comparable in the two groups (p = 0.427). A multivariate analysis revealed that persistent atrial fibrillation for more than 90 months was an independent predictor of recurrent atrial fibrillation.
Conclusion: Ganglionated plexus ablation with Cox maze IV did not reduce the incidence of recurrent atrial fibrillation in comparison to Maze alone."
Tokyo: Springer, 2018
617 SUT 48:9 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan: AF merupakan aritmia yang paling banyak ditemukan dalam praktek klinis dan berkaitan dengan peningkatan risiko stroke jangka panjang, gagal jantung dan segala sebab kematian. Ablasi kateter pada AF merupakan modalitas yang relatif baru untuk konversi AF ke irama sinus. Studi ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas ablasi kateter pada tipe AF campuran. Metode: 30 pasien (umur 52 ± 8 tahun) yang terdiri dari 19 paroksismal and 11 AF kronik dilakukan ablasi kateter radiofrekuensi dipandu oleh sistem pemetaan elektroanatomikal CARTO?. Digunakan pendekatan ablasi bertahap dengan isolasi vena pulmonalis (IVP) sebagai intinya. Tambahan ablasi berupa garis atap, garis mitral isthmus, complex fractionated atrial electrogram (CFAE), garis septal dan sinus koronarius dilakukan secara bertahap bila diperlukan. Pengamatan terhadap rekurensi AF dilakukan selama 1 tahun. Hasil: IVP sirkumferensial berhasil dilakukan pada semua pasien kecuali 1 orang. Rata-rata masa pengamatan 11,5 bulan. Lebih dari 80% pasien masih dalam irama sinus pada akhir masa pengamatan dengan 62% di antaranya bebas dari obat anti-aritmia. Tidak terjadi komplikasi mayor pada serial pasien dalam studi ini. Kesimpulan: Ablasi radiofrekuensi kateter yang dipandu oleh sistem pemetaan electroanatomikal efektif dan aman pada tipe AF campuran.

Abstract
Aim: AF is the most common arrhythmia in clinical practice and associated with an increased long-term risk of stroke, heart failure, and all-cause mortality. Catheter ablation of AF is relatively new modality to convert AF to sinus rhythm. This study was aimed to elaborate efficacy of catheter ablation in mixed type of AF. Methods: Thirty patients (age of 52 ± 8 yo) comprised of 19 paroxysmal and 11 chronic AF underwent radiofrequency catheter ablation guided by electroanatomical CARTO? mapping system. We used step wise ablation approach with circumferential pulmonary vein isolation (PVI) as a cornerstone. Additional ablation comprised of roof line, mitral isthmus line, complex fractionated atrial electrogram (CFAE), septal line and coronary sinus ablation was done respectively if indicated. All patients were followed up to 1 year for AF recurrence. Results: Circumferential PVI was successfully performed in all patients but one. Average follow up period was 11.5 months. More than 80% of all patients remain in sinus rhythm at the end of follow period which 62% of them were free from any anti-arrhythmic drug. No major complication in all patients series. Conclusion: Radiofrequency ablation guided with electroanatomical mapping is effective and safe in mixed type of AF."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Dinar Putrinarita
"Latar Belakang: Isolasi vena pulmonalis merupakan strategi utama dalam tindakan ablasi fibrilasi atrium (FA). Namun, angka kekambuhan pasca ablasi FA masih signifikan. Substrat atrial seperti low voltage zone (LVZ) menggambarkan perubahan struktur dari atrium kiri. Low voltage zone berhubungan erat dengan kekambuhan pasca ablasi FA. Terdapat beberapa sistem skoring yang dapat memprediksi kekambuhan FA pasca ablasi FA yang menggunakan diameter atrium kiri, namun belum ada sistem skoring yang menggunakan indeks volume atrium kiri sebagai prediktor kekambuhan FA pasca ablasi. Skor ZAQ menggunakan IVAK MSCT, jenis kelamin perempuan dan usia ≥ 65 tahun untuk mempredikisi adanya LVZ.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kekambuhan lambat pasca ablasi FA antara kelompok skor ZAQ < 2 dibandingkan dengan ≥2.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohor retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari pasien FA yang dilakukan isolasi vena pulmonalis pertama kali di RSJPDHK pada periode Januari 2015 sampai Agustus 2020. Dilakukan rekonstruksi IVAK dengan MSCT untuk menghitung skor ZAQ masing – masing pasien dan dilakukan evaluasi elektrokardiogram (EKG) 12 lead atau holter dalam waktu 3 sampai dengan 12 bulan pasca tindakan ablasi untuk melihat kekambuhan lambat.
Hasil: Terdapat 77 pasien ablasi FA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Selama periode observasi, didapatkan 23 pasien (30%) yang mengalami kekambuhan lambat pasca ablasi. Dari hasil analisis regresi logistik multivariat, skor ZAQ bukan merupakan prediktor kekambuhan lambat pasca ablasi FA (OR 3.31; IK 95% 0.065 – 17.011; p=0.551). Yang menarik adalah kami menemukan dua variabel yang merupakan prediktor independen kekambuhan lambat pasca ablasi FA, yaitu IVAK MSCT ≥65.5 ml/m2 (OR 3.91; IK 95% 1.140-13.393; p=0.030) dan tipe FA non paroksismal (OR 5.00; IK 95% 1.552-16.150; p=0.007), sedangkan pemberian amiodarone pasca tindakan dapat memberikan efek protektif (OR 0.13; IK 95% 0.024-0.719, p=0.019).
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kekambuhan lambat pasca ablasi FA antara kelompok skor ZAQ <2 dengan ≥2.

Background: Pulmonary vein isolation (PVI) is the main target for AF ablation. Unfortunately, the recurrence rate remains significant. Atrial substrate such as low voltage zones reflect the structural change of the left atrium. This LVZ is strongly associated with recurrence. There have been some scoring systems that predict AF reccurence after ablation using left atrial diameter, however there is no scoring system using left atrial volume index (LAVI) as a predictor for AF recurrence. ZAQ score employed MSCT LAVI, female sex, and age ≥ 65 years to predict the presence of LVZ.
Objective: This study aims to investigate the difference of late recurrence after AF ablation between ZAQ score <2 and ≥2.
Method: This study was a retrospective cohort study using secondary data collected from AF patients who underwent their first PVI during the period of January 2015 to August 2020 in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. LAVI reconstruction with MSCT was conducted to calculate ZAQ score of each patients. Twelve leads electrocardiogram (ECG) evaluation or Holter monitor within 3 to 12 months after ablation was conducted to evaluate late reccurence.
Result: There were 77 patients who met the inclusion and exclusion criteria. During the observation period, 23 patients (30%) experienced late recurrence post ablation. From multivariate logistic regression analysis, ZAQ score is not a predictor of late recurrence after AF ablation (OR 3.31; CI 95% 0.065 – 17.011; p=0.551). Interestingly, we found two variables which were independent predictors of late recurrence after AF ablation, i.e. MSCT LAVI ≥ 65.5 ml/m2 (OR 3.91; CI 95% 1.140-13.393; p=0.030) and non paroxysmal AF (OR 5.00; CI 95% 1.552-16.150; p=0.007), while amiodarone administration post-ablation had protective effect toward late recurrence (OR 0.13; CI 95% 0.024-0.719; p=0.019).
Conclusion: There was no difference in late recurrence after AF ablation between the ZAQ score group <2 and ≥2.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wega Sukanto
"Latar belakang: Fibrilasi atrium meningkatkan morbiditas pasien dengan penyakit katup mitral. Insidens fibrilasi atrium pada pasien dengan penyakit katup mitral cukup tinggi karena proses pembesaran atrium dan remodelling. Semakin besar atrium, semakin lanjut juga proses remodelling, keberhasilan bedah ablasi-pun semakin kecil. Populasi pasien di Indonesia memiliki dimensi atrium kiri yang sudah besar. Kami mencoba melakukan penelitian untuk melihat pengaruh dimensi atrium kiri terhadap keberhasilan bedah ablasi di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia.
Metode: Penelitian kohort retrospektif dengan mengambil seluruh data 59 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dari 85 pasien yang menjalani bedah ablasi pada Januari 2012 sampai dengan Oktober 2016 di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Nasional Harapan Kita, Indonesia. Data diambil dari rekam medis pasien yang menjalani operasi koreksi katup mitral dengan atau tanpa koreksi katup trikuspid dengan bedah ablasi set lesi bilateral, alat tunggal radiofrekuensi bipolar. Pengamatan irama jantung dilakukan pada minggu pertama, bulan ketiga, dan bulan keenam pascaoperasi. Analisis data menggunakan Mann-Whitney U test dan logistik regresi.
Hasil: Diameter atrium kiri preoperasi pada kedua kelompok keluaran hasil bedah ablasi bulan ketiga dan bulan keenam berbeda bermakna nilai p 0,05 , bulan ketiga nilai p >0,05 , dan bulan keenam nilai p >0,05 pascaoperasi. Analisis multivariat seluruh variabel perancu pada tiap waktu pengamatan tidak didapatkan hubungan yang secara statistik bermakna. Pada kelompok pasien dengan diameter atrium kiri ge;60mm, angka konversi irama menjadi sinus 69,22.
Kesimpulan: Semakin besar diameter atrium kiri preoperasi, semakin tinggi angka rekurensi AF pada pasien penyakit jantung katup mitral. Bedah ablasi tetap dapat menjadi suatu pertimbangan terapi pada pasien dengan diameter atrium kiri yang besar diameter ge;60mm .

Backgrounds: Atrial fibrillation causing many thromboemboli complications. Incidence of atrial fibrillation is high among patients with mitral valve disease. The proccess of enlargement and remodelling of atria were believed to increase failure in ablation surgery. Patients population in Indonesia had enormous size of atria in the time of surgery. We report the correlation between preoperative left atrial dimension with the outcome of the surgery.
Methods: This is a cohort retrospective study. We collected data from medical records of all 59 patients underwent modified Cox Maze IV with single device radiofrequency bipolar and biatrial lesion with mitral valve with or without tricuspid valve intervention throughout January 2012 to October 2016. We observed the outcome in first week, third month, and sixth month after the surgery. This study based on Mann Whitney U test and logisctic regression.
Results: There is significant difference in the preoperative left atrial diameter between two outcome groups AF and non AF at third month and sixth month p value 0.05. Multivariate analysis reveals no significant correlation among confounding factors at all observation time. The successful sinus rhythm conversion among patients with preoperative left atrium diameter greater than 60mm is 69,22.
Conclusions: Preoperative left atrial diameter affects the outcome of ablation surgery. The bigger the diameter, less success rhythm conversion. But in our population, ablation surgery still can be considered among patients with big left atrial size.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Yuniadi
"Tujuan penelitian ini untuk melihat karakteristik elektrofisiologi dan hasil ablasi frekuensi radio (AFR) pada flutter atrium (FLA) yang belum tersedia hingga saat ini di Indonesia. Tiga buah kateter elektroda multipolar dimasukkan perkutan ke dalam jantung lalu ditempatkan di sinus koronarius (SK), berkas His dan mengitari anulus trikuspid. Kateter ablasi 8 mm digunakan untuk AFR linier cavotrikuspid isthmus (CTI) pada FLA tipikal dan kebalikan tipikal. Blok bidireksional ditentukan atas dasar pemanjangan waktu konduksi dinding lateral bawah ke ostium SK dan sebaliknya lebih dari 90 mdet, dan/atau dengan cara pemacuan diferensial. Terdapat 27 subyek dengan 30 FLA terdokumentasi yang terdiri dari 19 tipikal, 5 tipikal terbalik dan 6 atipikal. Hanya 9 pasien yang tidak mempunyai penyakit jantung struktural. Rerata panjang siklus takikardia (PST) adalah 261,79 ± 42,84, 226,5 ± 41,23, dan 195,4 ± 9,19 mdet masing-masing untuk FLA tipikal, kebalikan tipikal dan atipikal (p = 0,016). Konduksi CTI menempati 60% dari PST atau rerata 153,0 ± 67,37 mdet. Aktivasi SK terbagi menjadi 3 jenis yaitu proksimal ke distal, distal ke proksimal dan fusi. AFR pada FLA tipikal dan tipikal terbalik sukses sebanyak 96 % dengan tingkat kekambuhan 4,5 % pada rerata masa pengamatan 13 ± 8 bulan. Pada populasi penelitian ini jenis FLA terbanyak adalah FLA tipikal. Kebanyakan subyek menderita penyakit jantung struktural. AFR sangat efektif menyembuhkan FLA tipikal dan kebalikan tipikal. (Med J Indones 2007; 16:151-8)

This study aimed to elaborate the electrophysiology characteristics and radiofrequency ablation (RFA) results of atrial flutter (AFL) which has not been established in Indonesia. Three multipolar catheters were inserted percutaneously and positioned into coronary sinus (CS), His bundle area and around tricuspid annulus. Eight mm ablation catheter was used to make linear ablation at CTI of typical and reverse typical AFL. Bidirectional block was confirmed by conduction time prolongation of more than 90 msec from low lateral to CS ostium and vice versa, and/or by means of differential pacing. Thirty AFL from 27 patients comprised of 19 typical AFL, 5 reverse typical AFL and 6 atypical AFL enrolled the study. Mean tachycardia cycle length (TCL) were 261.8 ± 42.84, 226.5 ± 41.23, and 195.4 ± 9.19 msec, respectively (p = 0.016). CTI conduction time occupied up to 60% of TCL with mean conduction time of 153.0 ± 67.37 msec. CS activation distributed to three categories which comprised of proximal to distal, distal to proximal and fusion activation. Only nine of 27 patients had no structural heart disease. RFA of symptomatic typical and reverse typical AFL demonstrated 96% success and 4.5 % recurrence rate during 13 ± 8 months follow up. Typical AFL is the predominant type of AFL in our population. The majority of AFL cases suffered from structural heart disease. RFA was highly effective to cure typical and reverse typical AFL. (Med J Indones 2007; 16:151-8)"
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-3-JulySept2007-151
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Zulmiyusrini
"Latar Belakang. Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering terjadi pada orang dewasa dan menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang besar di dunia. Terdapat >60% pasien FA memiliki gangguan kualitas hidup yang signifikan. Kualitas hidup merupakan luaran baru yang penting dalam pelayanan kesehatan. Salah satu alat ukur kualitas hidup spesifik untuk pasien FA yang memiliki nilai psikometrik yang baik adalah The Atrial Fibrillation Effect on Quality-of-Life (AFEQT). Kuesioner ini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan digunakan secara luas di negara lain. Karena kuesioner ini belum pernah diterjemahkan dan divalidasi ke dalam bahasa Indonesia, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji validasi kuesioner AFEQT ke dalam bahasa Indonesia.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan pengambilan subjek penelitian yang memenuhi kriteria, bertempat di poliklinik Pelayanan Jantung Terpadu RSCM dari Desember 2021 hingga Maret 2022. Penelitian diawali dengan proses adaptasi budaya dan bahasa sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Guillemin dan Beaton. Sebanyak 30 subjek diikutsertakan pada proses adaptasi budaya dan bahasa dan 102 subjek diikutsertakan dalam proses validasi. Proses validasi meliputi uji validitas (validitas konstruk) dan uji reliabilitas (konsistensi internal dan test-retest).
Hasil. Penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh item pertanyaan dalam kuesioner AFEQT bahasa Indonesia memiliki korelasi negatif yang kuat (r >0,6) terhadap domainnya masing-masing (r -0,639–-0,960) dan memiliki korelasi positif dengan seluruh domain SF-36 dengan rentang korelasi lemah hingga kuat (r 0,325–0,740). Pada uji reliabilitas didapatkan konsistensi internal yang baik (Cronbach’s ± untuk skor keseluruhan 0,947, masing-masing domain: Gejala 0,818, Aktivitas Sehari-hari 0,943, Kekhawatiran terhadap Terapi 0,894, dan Kepuasan terhadap Terapi 0,865) dan reliabilitas test-retest yang sedang hingga baik (0,521–0,828).
Kesimpulan. Kuesioner AFEQT bahasa Indonesia memiliki validitas dan reliabilitas yang baik untuk menilai kualitas hidup pasien fibrilasi atrium di Indonesia.

Background. Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia in adults and causes great mortality and morbidity worldwide. There are >60% of patients with AF have a significant health related quality of life (HRQoL) impairment. Quality of life is an important new outcome in health services. AFEQT is one of the specific HRQoL questionnaires for AF patients which have good psychometric properties. This questionnaire has been translated into various languages ​​and is widely used in other countries. Since this questionnaire has never been translated and validated into Indonesian, this study aims to test the validity and reliability of the Indonesian version of AFEQT questionnaire.
Method. This cross-sectional study was conducted in Poliklinik Pelayanan Jantung Terpadu RSCM from December 2021 to March 2022. The study began with the translation and adaptation process according to the guidelines by Guillemin and Beaton. A total of 30 subjects were included in pre-testing process and 102 subjects were included in the validation process. The validation process includes validity tests (construct validity) and reliability tests (internal consistency and test-retest).
Results. This study shows that all question items in the Indonesian AFEQT questionnaire have a strong negative correlation (r > 0.6) towards their respective domains (r -0.639–-0.960) and have a positive correlation with all SF-36 domains with a weak to strong correlation (r 0.325–0.740). In the reliability test, there was good internal consistency (Cronbach's for overall score: 0.947, Domains: Symptoms: 0.818, Daily Activities: 0.943, Treatment Concern: 0.894, and Treatment Satisfaction: 0.865) and moderate to good test-retest reliability. (0.521–0.828).
Conclusion. The Indonesian version of AFEQT questionnaire has good validity and reliability to assess the quality of life of atrial fibrillation patients in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ardhona Irani
"Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Teknis Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan kegiatan yang meliputi pemastian terapi pengobatan yang efektif, aman, dan rasional bagi pasien dan pencegahan terhadap kejadian reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang dilakukan oleh Apoteker di rumah sakit. Kegiatan ini dilakukan untuk pengobatan kasus penyakit yang memerlukan perhatian khusus dengan mengevaluasi masalah terkait obat. Stenosis mitral, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium dan insufisiensi trikuspid dengan komplikasi aki serta peningkatan transaminase merupakan salah satu kasus penyakit di RSUD Tarakan Jakarta. Metode analisis pemantauan terapi obat menggunakan kombinasi PCNE dan Hepler-Strand. Berdasarkan hasil analisis, masalah terkait obat yang diidentifikasi yaitu interaksi obat, efek samping, dan dosis obat berlebih. Masalah terkait obat yang muncul dapat direkomendasikan penyelesaian berupa pemberian obat yang sesuai, pemantauan efek terapi obat melalui hasil laboratorium dan gejala yang ditimbulkan, pemberian jeda konsumsi obat, dan penyesuaian dosis sesuai tatalaksana dan kondisi pasien.

In the Regulation of the Minister of Health Number 72 of 2016 concerning Technical Standards for Pharmaceutical Services in Hospitals, Drug Therapy Monitoring is an activity that includes ensuring effective, safe and rational medication therapy for patients and prevention of unwanted drug reaction performed by pharmacists in hospitals. This activity is carried out for the treatment of disease cases that require special attention by evaluating drug-related problems. Mitral stenosis, congestive heart failure, atrial fibrillation and tricuspid insufficiency with battery complications and increased transaminases are one of the cases of disease in Tarakan Hospital, Jakarta. The analytical method for monitoring drug therapy uses a combination of PCNE and Hepler-Strand. Based on the results of the analysis, drug-related problems were identified, namely drug interactions, side effects, and drug overdosage. Drug-related problems that arise can be recommended for solutions in the form of administering appropriate drugs, monitoring the effects of drug therapy through laboratory results and the symptoms caused, giving pauses in drug consumption, and adjusting doses according to the management and condition of the patient."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fridyan Ratnasari
"Latar Belakang: FA merupakan salah satu masalah aritmia yang paling umum terjadi dengan prevalensi yang terus meningkat seiring dengan penuaan populasi dan peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular. Manajemen FA dengan ablasi mampu mengurangi gejala pasien, namun angka rekurensi FA yang masih tinggi (10- 30%) pasca ablasi terus menjadi bahan penelitian dengan mekanisme yang masih belum dipahami. Remodelling atrial memiliki peran penting dalam progresi FA. Ketebalan dinding atrium kiri yang bervariasi menyebabkan adanya perbedaan propagasi dan penetrasi dari tindakan ablasi, sehingga penilaian ketebalan dinding atrium kiri penting dalam proses tindakan ablasi FA.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara ketebalan atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi FA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data pasien ablasi fibrilasi atrium di RSJPD Harapan Kita pada periode Januari 2018- Januari 2023. Evaluasi rekurensi aritmia atrial dilakukan dengan EKG 12 sadapan, pemeriksaan Holter monitoring 24 jam. Penilaian ketebalan dinding atrium kiri dilakukan dengan pemeriksaan CT scan kardiak. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat antara ketebalan dinding atrium kiri dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.
Hasil: Dari 127 pasien pasca ablasi FA, didapatkan rata-rata pasien berusia 55 tahun dengan jenis kelamin laki-laki 64%. Berdasarkan tipe FA didapatkan 65% merupakan FA paroksismal. Ketebalan dinding atrium kiri (OR 1,56; IK 95% 1,20-2,03; p value < 0,001) dan diameter atrium kiri berdasarkan ekokardiografi (OR 1,07; IK 95% 1,00- 1,14; p value 0,0038) berhubungan secara signifikan dengan rekurensi aritmia atrial pasca ablasi.

Background: Atrial fibrillation (AF) is the most common arrhythmia and its prevalence increases with age. Management of catheter ablation is effective in reducing symptom burden but its recurrence rate is still considered high (10-30%) with unclear mechanism. Atrial remodeling plays important role in AF progression. The left atrial wall thickness (LAWT) is heterogenous which cause different propagation and penetration of ablation power. Recurrence of arrhythmia atrial after catheter ablation for atrial fibrillation (AF) has been considered as a common phenomenon but its mechanism and implication in long-term outcome has not been fully understood.
Objective: We aimed to clarify the relation between left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurences after ablation
Metode: A total of 127 patients with history of catheter ablation for AF were consecutively recruited from period of January 2018- January 2023. Recurrences was defined as recurrence of atrial tachyarrhythmia using surface electrocardiogram and Holter monitoring. LAWT was assessed using cardiac CT scan. The statistical analysis was performed to find the relationship between the left atrial wall thickness and arrhythmia atrial recurrences.
Results: From 127 patients post catheter ablation for AF, patients included mean age of 55 years old and 64% patients are male. Based on type of AF, most of patients (65%) are paroxysmal AF. The mean left atrial wall thickness (OR 1,56; IK 95% 1,20- 2,03; p value < 0,001) and diameter of left atrium from echocardiography (OR 1,07; IK 95% 1,00-1,14; p value 0,0038) were significantly associated with arrhythmia atrial post catheter ablation.
Conclusion: Left atrial wall thickness assessed with CT cardiac increased 4.4 times arrhythmia atrial recurrences post catheter ablation of AF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>