Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3203 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta : Pusat Dokumentasi Informasi Aktual, 2005,
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Heru Suyatmiko
"Tidak ada standar universal dalam membangun dan mengoperasikan lembaga anti korupsi (ACA) yang ideal. Sejak 2013, Transparency International (TI) telah mengembangkan alat pengukuran yang mampu menangkap efektivitas kinerja ACA sesuai dengan mandat UNCAC dan Prinsip-prinsip Jakarta. Salah satu aspek utamanya adalah apakah ACA berada di dalam lingkungan yang mendukung atau berada dalam situasi kebijakan yang menghambat implementasi undang-undang anti-korupsi. Studi ini secara khusus berupaya mengkaji kekuatan dan kelemahan ACA di Indonesia, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan alat pengukuran TI melalui 6 dimensi yang tersebar dalam 50 indikator selama periode 2016-2019. Studi ini menemukan bahwa KPK memiliki faktor lingkungan yang kuat dan mendukung, baik secara internal maupun eksternal; tetapi memiliki sejumlah pengecualian dalam aspek independensi. Pengukuran kinerja bagi ACA, baik yang dilakukan secara internal atau eksternal, signifikan untuk memperkuat independensi ACA dan penegakan hukum dalam jangka panjang"
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Green, Penny
Jakarta: Komnas HAM, 2008
345.023 GRE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rozy Brilian Sodik
"Pada tahun 2019 telah dilakukan pengesahan UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu poin substansial perubahan tersebut adalah berkaitan dengan dibentuknya suatu badan baru bernama Dewan Pengawas KPK. Pembentukan tersebut dilatarbelakangi pandangan yang menyatakan bahwa saat ini belum ada pengawasan maksimal pada KPK sehingga berpotensi besar melakukan kesewenang-wenangan. Tetapi ada hal yang dinilai kontroversial yakni Dewan Pengawas KPK dapat memiliki kewenangan untuk memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Adapun metode yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah metode yuridis normatif. Kewenangan Dewan Pengawas KPK yang menggantikan lembaga peradilan ini juga dinilai problematis, terlebih lagi tidak ada norma pengecualian dalam keadaan mendesak. Selain itu, eksistensi dari Dewan Pengawas KPK ini menimbulkan beberapa implikasi seperti halnya bertambahnya prosedural yang harus dijalani penyidik sebelum melakukan upaya paksa dan besar kemungkinan hilangnya bukti serta kebocoran data. Jika dibandingkan dengan institusi lainnya seperti Badan Narkotika Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, pemberian izin upaya paksa kepada penyidiknya dilakukan oleh lembaga peradilan. Begitupun jika dibandingkan dengan upaya paksa penyidik di negara lain seperti Belanda dan ICAC di Hong Kong, pemberian izin upaya paksa sebagai bentuk pengawasan juga dilakukan oleh lembaga peradilan.

In 2019, the enactment of Law No. 19 of 2019 on the Second Amendment to Law Number 30 of 2002 on the Corruption Eradication Commission. One of the substantial points of this change is related to the formation of a new body called the Corruption Eradication Commission Supervisory Board (KPK Supervisory Board). This formation was motivated by the viewpoint that currently there is no maximum oversight of the KPK so that it has great potential to commit arbitrariness. However, there are things that are considered controversial, namely the KPK Supervisory Board can have the authority to grant or not permit wiretapping, searches and confiscation. The method used by the author in this thesis is a normative juridical method. The authority of the KPK Supervisory Board to replace this judicial institution is also considered problematic, moreover there is no exception norm in an urgent situation. In addition, the existence of the KPK Supervisory Board has several implications, such as additional procedures that investigators must undergo before making forced attempts and the possibility of loss of evidence and leakage of data. When compared with other institutions such as the National Narcotics Agency (BNN) and the National Counter-Terrorism Agency (BNPT), the judicial institutions give permission for forced attempts to investigator. Likewise, when compared with the forced efforts of investigators in other countries such as the Netherlands and the ICAC in Hong Kong, the granting of forced attempts as a form of supervision is also carried out by the judiciary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Harlina
"Korupsi bukanlah kejahatan yang baru, melainkan kejahatan yang lama yang sangat pelik. Di Indonesia korupsi sudah ada sejak dulu. Korupsi bertentangan dengan konsep negara hukum, Menurut Sri Soemantri unsur negara hukum salah satunya adalah jaminan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu negara harus mengatasi korupsi karena korupsi tidak hanya meruugikan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak ekonomi dan hak sosial masyarakat luas. Untuk mengatasi korupsi, pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan membentuk lembaga untuk membantu mengatasi korupsi. Lembaga yang sampai saat ini masih melakukan pemberantasan korupsi adalah Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi ini dibentuk karena pemberantasan korupsi oleh lembaga konvensional (kepolisian dan kejaksaan) belum dapat mengatasi permasalahan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dan merupakan lembaga negara independen dan mempunyai kewenangan yang sangat luas. Oleh karena itu masyarakat berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dapat memberantas korupsi.
Kewenangan yang luas meliputi Koordinasi dangan instansi lain, supervisi, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pencegahan dan monitoring. Sebagaimana diketahui secara umum para ahli membagi dua lembaga negara yaitu Lembaga negara utama (main State?s organ) dan Lembaga negara pembantu (auxiliary State?s organ). Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara pembantu yang bersifat independen, hal ini akan menimbulkan masalah yaitu tentang kedudukan dalam struktur ketatanegaraan. Ada sebagian besar yang beranggapan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga ekstra konstitusional. Masalah lain yang muncul adalah apakah Komisi Pemberantasan Korupsi harus ada terus atau hanya sebagai Problem solving saja. Untuk mengetahui hal tersebut maka dilakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian normatif didukung dengan metode penelitian empiris. Di samping itu juga didukung dengan pendekatan sejarah dan komperatif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga negara independen, namun bukan lembaga negara utama tetapi lembaga negara pembantu. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dijelaskan berada diranah kekuasaan manapun baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dimasukkan kedalam kekuasaan ke empat. Komisi Pemberantasan Korupsi sebaiknya terus ada, karena korupsi tidak mungkin dapat hilangkan, hanya dapat diminimalkan. Namun Kewenangannya tidak lagi luas, hanya mencakup penindakan, pencegahan dan monitoring, sedangkan untuk penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
D1084
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Australia: Crawford School of Economics and Government, 2008
AUI
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Beridiansyah
"ABSTRACT
Tujuan pembangunan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Upaya untuk mencapai tujuan itu dengan melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana yang dilakukan melalui proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan prinsip efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil dan tidak diskriminatif serta akuntabel. Sistem pengadaan barang jasa yang ada saat ini terus dilakukan revisi terhadap regulasi yang mengatur sistem tersebut. Salah satunya, kualifikasi orang yang berwenang dan cakap menurut undang-undang untuk melaksanakan pengadaan barang dan jasa tersebut. Penulis berpendapat bahwa sistem yang baik harus didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang qualified, pengalaman serta moral dan etika yang baik. Penulisan ini akan mengkaji dua permasalahan, yaitu pertama peranan lembaga-lembaga dalam sistem pengadaan barang dan jasa untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Kedua, pertanggungjawaban pidana terhadap penyalahgunaan wewenang pada pengadaaan barang dan jasa. Penelitian mempergunakan metode yuridis normatif, hasil penelitiannya diharapkan mencapai tujuan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, serta tidak terjadi kebocoran pada anggaran negara oleh oknum-oknum yang menyalahgunakan kewenangan."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2017
364 INTG 3:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Agie Nugroho Soegiono
"ABSTRACT
Esai ini mendiskusikan partisipasi masyarakat ataupun pemangku kepentingan nonpemerintah dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia. Mendeklarasikan
diri sebagai salah satu pemerintah terbuka (Open Government) di dunia, Pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah melakukan berbagai macam inisiatif keterbukaan guna merealisasikan peran riil masyarakat dalam mengawal pemerintahan yang transparan, akuntabel, responsif, dan bersih. Esai ini secara khusus mendiskusikan implementasi data terbuka (Open Data), salah satu inisiatif pemerintah untuk membuka informasi ataupun data pemerintah kepada publik sebagai kunci penting pencegahan dan pemberantasan korupsi. Selanjutnya, dalam esai ini dibahas dataset apa saja yang sekiranya harus dirilis oleh pemerintah, yang berpotensi untuk memaksimalkan penyelidikan kasus korupsi. Terakhir, esai ini memberikan empat rekomendasi yang ditujukan untuk perbaikan tata kelola penyelenggaraan open data di Indonesia sebagai langkah nyata dalam memberantas korupsi."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2017
364 INTG 3:2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suha Qoriroh
"Keberadaan lembaga anti-korupsi dinilai penting untuk menanggulangi persoalan korupsi yang hampir terjadi di setiap negara. Penelitian ini akan mengkaji tentang mengapa diperlukan integrasi kewenangan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia dan bagaimana model kelembagaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di masa yang akan datang. Metode penelitian ini berbentuk penelitian hukum normatif melalui studi kepustakaan dan komparasi dengan lima negara: Singapura, Hong Kong, Lithuania, Latvia dan Korea Selatan. Hasil penelitian menunjukkan ada dua urgensi untuk mengintegrasikan kewenangan lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu: Pertama, tidak efektifnya sistem the multi agency yang melibatkan lembaga pemerintah (Kepolisian dan Kejaksaan) dalam pemberantasan korupsi. Salah satunya disebabkan karena tumpang tindih kewenangan penyidikan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK. Kedua,kegagalan badan antikorupsi yang pernah ada yang melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi sejak pasca kemerdekaan sampai era reformasi dan tingginya angka korupsi di indonesia yang melibatkan kedua lembaga tersebut. Penelitian ini mengusulkan model pemberantasan korupsi the single agency, dengan menjadikan KPK sebagaisatu-satunya lembaga yang berwenang dalam memberantas korupsi. Perbandingan dengan 5 negara lain menunjukkan model the single agency bukan hal yang baru dan sudah diterapkan oleh Singapura, Hong Kong dan Korea Selatan. Performa model ini terbukti dapat meningkatkan CPI masing-masing negara sehingga lebih efektif dalam memberantas korupsi. Lembaga antikorupsi adalah lembaga negara penunjang dalam cabang kekuasaan eksekutif yang independen, hal ini dapat dilihat berdasarkan fungsi, wewenang dan pertanggungjawaban lembaga antikorupsi tersebut. Penelitian ini memberikan tiga catatan terhadap perbaikan KPK di masa yang akan datang dengan menguatkan independensi structural, fungsional dan administrasi KPK. Saran kepada MPR agar mulai mengkaji dan menjadikan KPK sebagai lembaga negara penunjang yang independen dalam konstitusi dan bagi pembentuk undang-undang untuk menyelaraskan dan melengkapi instrument hukum yang mumpuni dalam pemberantasan korupsi.

The existence of an anti-corruption agency is considered important to overcome the problem of corruption that occurs in almost every country. This research will examine why it is necessary to integrate the authority of corruption eradication agencies in Indonesia and how the institutional model for the Corruption Eradication Commission will be in the future. This research method is in the form of normative legal research through literature studies and comparisons with five countries: Singapore, Hong Kong, Lithuania, Latvia, and South Korea. The results of the study show that there are two urgencies to integrate the authority of corruption eradication agencies in Indonesia, namely: First, the ineffectiveness of the multi-agency system involving government agencies (the Police and the Attorney General's Office) in eradicating corruption. One reason is the overlapping investigative powers between the police, prosecutors, and the KPK. Second, the failure of anti-corruption agencies that have involved the police and prosecutors in eradicating corruption from the post-independence era to the reform era and the high rate of corruption in Indonesia involving these two institutions. This study proposes the single agency model of eradicating corruption, by making the KPK the only institution authorized to eradicate corruption. Comparison with 5 other countries shows that the single-agency model is not new and has been implemented by Singapore, Hong Kong, and South Korea. The performance of this model is proven to be able to increase the CPI of each country so that it is more effective in eradicating corruption. The anti-corruption agency is a supporting state institution in the independent branch of executive power, this can be seen based on the function, authority, and accountability of the anti-corruption agency. This research provides three notes on future improvements to the KPK by strengthening the structural, functional, and administrative independence of the KPK. Suggestions to the MPR to start reviewing and making the KPK an independent supporting state institution in the constitution and for legislators to align and complement qualified legal instruments in eradicating corruption."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>