Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184993 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ismawati
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Proteasom adalah partikel subseluler yang berperan dalam degradasi protein intrasel. Dari kepustakaan diketahui bahwa konsentrasi proteasom serum pada penderita kanker meningkat dibandingkan individu normal. Belum diketahui apakah konsentrasi proteasom juga meningkat pada tahap prakanker. Telah dilakukan penelitian induksi karsinogenesis hati pada tikus Wistar dengan menggunakan N,2-Fluorenilasetamida (FAA) 40 lag. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati apakah terjadi perubahan konsentrasi proteasom dalam plasma dan jaringan hati pada tahap prakanker dan bagaimana efek pemberian tomat terhadap konsentrasi proteasom. Pada penelitian ini tikus dibagi menjadi 5 kelompok : kelompok kontrol 1(KKl) yaitu kelompok tikus yang hanya diberi akuabides, kelompok kontrol 2 (KK2) yaitu kelompok tikus yang diberi Pulvis Gum Arab (PGA) + minyak kelapa, kelompok kontrol 3 (KK3) yaitu kelompok tikus yang diberi emulsi tomat, kelompok perlakuan 1 (KP1) yaitu kelompok tikus yang diinduksi FAA dan kelompok perlakuan 2 (KP2) yaitu kelompok tikus yang diberi emulsi tomat dan diinduksi FAA. Pengamatan dilakukan dengan mengambil plasma dan jaringan hati setelah perlakuan selama 4 minggu dan 8 minggu. Dilakukan pengukuran konsentrasi proteasom dan pemeriksaan histopatologis jaringan hati untuk menilai derajat kerusakan hati. Pengukuran konsentrasi proteasom dilakukan dengan ELISA. Analisis hasil dilakukan dengan uji statistik Anava 1 arah, kecuali untuk konsentrasi proteasom plasma 4 minggu digunakan uji non parametrik Kruskal Wallis dengan batas kemaknaan p <0,05.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi proteasom plasma KP1 berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol dan KP2 setelah 8 minggu, sedangkan konsentrasi proteasom jaringan hati KP1 telah berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol dan KP2 sejak perlakuan 4 minggu. Pengamatan secara histopatologis menunjukkan adanya perubahan pada tahap prakanker pada perlakuan 8 minggu pada KP1 dan tidak pada kelompok yang lain. Dengan demikian hasil pengamatan konsentrasi proteasom pada tikus menunjukkan, bahwa peningkatan konsentrasi proteasom plasma terjadi pada tahap prakanker sementara peningkatan konsentrasi proteasom hati terjadi lebih dahulu daripada plasma dan kelainan histopatologisnya. Dari penelitian ini ternyata tomat memiliki efek protektif terhadap terjadinya karsinogenesis hati.

Proteasome is subcellular particle, which have role in degradation of intracellular protein. It is known that concentration of proteasome in serum cancer patients is higher than normal subject, but whether proteasome concentration increased at precancer is still unknown. This study was conducted to investigate the alteration of proteasome concentration during hepatocarcinogenesis induced by N, 2-Fluorenilacetamide (FAA) and protective effect of tomato. This research use rats that divided randomly into 5 groups: control group I (KKI), which only received bidistilled water, control group 2 (KK2), received Pulvis Gummi Arabic (PGA) + palm oil, control group 3 (KK3), received tomato emulsion, group of treatment I (KPI), which induced by FAA and group of treatment 2 (KP 2), induced by FAA and received tomato emulsion. The rats were sacrificed in the forth and eights week after treatment. Some parts of the liver were taken for histological examination and the rest were homogenized. Concentration of proteasome was determined from liver homogenats and plasma by ELISA method.
This study showed that proteasome concentration in plasma KP 1 is significantly increase compared to all control groups and KP 2 after 8 weeks, while concentration of proteasome in liver KP 1 significantly increase compared to all control groups and KP 2 after 4 weeks. Histological examinations showed signs of precancer only at KP 1 after 8 weeks treatment and not in other groups. This study suggested that proteasome concentration of rats? plasma were increased in precancer; elevation of liver proteasome were detected before alteration of liver cell occurred; and tomato emulsion has protective effect in liver carcinogenesis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novrida
"Tomat merupakan salah satu sayuran yang telah diketahui banyak mengandung antioksidan terutama likopen. Berdasarkan kepustakaan diketahui likopen merupakan antioksidan yang sangat potensial dalam meredam radikal bebas dan mengurang resiko kanker. Telah dilakukan penelitian tentang hambatan karsinogenesis dengan emulsi tomat pada tikus yang di induksi N-2-Fluorenilasetamida (FAA). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek emulsi tomat dalam menghambat karsinogenesis yang diinduksi dengan FAA. Penelitian ini menggunakan 50 ekor tikus galur Wistar, berumur kurang lebih 3 bulan dengan berat badan berkisar 180 - 200 gram, yang dibagi secara acak dalam lima kelompok. Kelompok pertama (KK1), merupakan kelompok tikus yang hanya diberi aquades saja, kelompok kedua (KK2) diberi bahan pengemulsi terdiri dari pulvis gum arabic (PGA), minyak kelapa dan aquades, kelompok ketiga (KK3) diberi emulsi tomat, kelompok keempat (KPI) diberi FAA dengan dosis 40 ug/mL/hari. Kelompok kelima (KP2) diberi emulsi tomat dan FAA. Pemberian bahan perlakuan dilakukan melalui sonde lambung. Pengamatan terhadap plasma dilakukan setelah 2, 4, 6 dan 5 minggu perlakuan, sedangkan terhadap jaringan hati setelah 4 dan 8 minggu perlakuan. Sebagai parameter karsinogenesis dilakukan pengukuran kadar asam sialat plasma dan hati. Untuk mengetahui keadaan stres oksidatif dilakukan pengamatan terhadap kerusakan akibat radikal bebas serta senyawa antioksidan endogen seperti MDA, senyawa dikarbonil dan GSH plasma dan hati. Data yang diperoleh diolah secara statistik dengan menggunakan uji ANOVA.
Pada KP1 ditemukan peningkatan bermakna kadar asam sialat plasma pada minggu ke-4, peningkatan kadar MDA plasma dan hati pada minggu ke-2, peningkatan kadar senyawa dikarbonil plasma dan jaringan hati pada minggu ke-4 dan penurunau kadar GSH plasma pada minggu ke-4. Pada KP2 ditemukan kadar asam sialat, kadar MDA, kadar senyawa dikarbonil yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan semua kelompok kontrol baik dalam plasma maupun pada jaringan hati. Terdapat korelasi antara peningkatan kadar asam sialat plasma dengan peningkatan kadar MDA dan senyawa dikarbonil serta dengan penurunan kadar GSH plasma. Hal ini menunjukkan bahwa stres oksidatif dapat memicu terjadinya karsinogenesis. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa emulsi tomat dapat menghambat karsinogenesis melalui penghambatan stres oksidatif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Herdian
"Karsinoma kolorektal merupakan salah satu kanker dengan beban penyakit yang tinggi di dunia. Berbagai penelitian mengenai efek anti-tumor vitamin D telah dilakukan sejak hubungannya dengan kanker kolorektal terungkap. Studi ini bertujuan untuk mencari secara sistematis penelitian mengenai efek anti-tumor vitamin D pada kanker kolorektal untuk memahami mekanisme molekuler di balik aktivitasnya. Sebuah tinjauan sistematis dilakukan dengan mencari di database elektronik PubMed untuk penelitian asli yang mempelajari efek pemberian vitamin D pada kanker kolorektal. Studi yang menyelidiki mekanisme di balik efek tersebut memenuhi syarat untuk evaluasi. Dua puluh tujuh studi dimasukkan untuk analisis dengan rentang tanggal publikasi dari 1987 hingga 2017. Studi in vitro dan in vivo mengungkapkan bahwa pemberian vitamin D mampu menekan proliferasi, menginduksi apoptosis, mempertahankan diferensiasi sel, mengurangi respons proinflamasi, menghambat angiogenesis, dan menghambat perkembangan metastasis. Penambahan kalsium ke suplementasi vitamin D juga ditemukan meningkatkan aktivitas anti-tumor vitamin D melalui cross-talk antara jalur pensinyalan mereka. Vitamin D dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kanker kolorektal melalui jalur genomik (mengatur transkripsi gen pro- dan anti-tumor) atau non-genomik (mencegah aktivasi jalur pensinyalan pro-tumor secara langsung).

Colorectal carcinoma is one of the cancers with a high disease burden globally. Since its relationship with colorectal cancer has been revealed, various studies on the antitumor effect of vitamin D have been conducted. This study aims to systematically search for research on the anti-tumor effect of vitamin D on colorectal cancer to understand the molecular mechanism behind its activity. A systematic review was carried out by searching the PubMed electronic database for original research studying the effects of vitamin D administration on colorectal cancer. Studies investigating the mechanism behind these effects are eligible for evaluation. Twenty-seven studies were included for analysis with publication date ranges from 1987 to 2017. In vitro and in vivo studies revealed that administration of vitamin D could suppress proliferation, induce apoptosis, maintain cell differentiation, reduce pro-inflammatory responses, inhibit angiogenesis, and inhibit the development of metastases. The addition of calcium to vitamin D supplementation was also found to increase vitamin D anti-tumor activity through cross-talk between their signaling pathways. Vitamin D can inhibit the growth and development of colorectal cancer through genomic pathways (regulating transcription of pro- and anti-tumoral genes) or non-genomic (directly prevents activation of pro-tumor signaling pathways)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cholid Badri
"Respons tumor terhadap radiasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat digolongkan ke dalam faktor intrinsik yang bersifat genetik dan faktor-faktor lingkungan mikro (microenvirontment) yang disebut faktor epigenetik. Faktor intrinsik dapat ditunjukkan dengan 'predictive assay' yang dapat memperlihatkan sensitivitas individual tumor. Faktor epigenetik terdiri dari berbagai faktor termasuk hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan. Dan berbagai penelitian dapat ditunjukkan hubungan antara beberapa faktor itu dengan respons tumor, maupun antara ketiga faktor tersebut. Dapat diasumsikan bahwa faktor hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan merupakan indikatorindikator Iingkungan tumor yang dapat merupakan prediktor terhadap respons radiasi pada jaringan tumor tersebut. Pada penelitian ini, fraksi pertumbuhan tumor akan diteliti kaitannya dengan respons tumor dan pemanfaatannya dalam pengobatan gabungan untuk meningkatkan respons pada tumor yang mempunyai prognosis buruk. Berdasarkan asumsi bahwa tumor dengan fraksi pertumbuhan rendah relatif hipoksik, maka dilakukan pengobatan gabungan radiasi dengan MMC, suatu sitostatika yang bekerja efektif dalam keadaan hipoksik pada kelompok-kelompok tumor yang sudah digolongkan ke dalam fraksi pertumbuhan yang rendah dan yang tinggi. Pemilahan pasien berdasarkan besarnya fraksi pertumbuhan dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan biopsi segar penderita kanker leher rahim menggunakan antibodi monoklonal Ki-67. Penderita KLR yang diteliti adalah penderita stadium lanjut lokal (stadium II b sampai III b menurut FIGO) yang datang ke Sub Bagian Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM dan kemudian dikirim ke Sub Bagian Radioterapi Bagian Radiologi FKUI/RSCM

Response of tumors toward radiation is affected by various factors that can be classified as intrinsic factors, which are genetic, and epigenetic factors, which are micro environment. The intrinsic factors can be demonstrated through a "predictive assay" which can show the sensitivity of individual tumor.
Epigenetic factors consist of many factors including hypoxia, vascularization, and growth fraction. From results of many studies, can' be shown that there is a relation between these last factors with response of tumor. There is also relation among these three factors. We can assume that hypoxia, vascularization and growth fraction are indicators of tumor's environment which can also be predictors of response to radiation in tumor tissue.
In this study, the rate of tumor growth will be studied in it's relation to tumor's response and the uses in combined treatment to increase the response of tumors with bad prognosis.
Based on an assumption that tumors with low growth fraction are relatively hypoxic, combination of radiation with MMC is used, a cytostatic agent that effectively work on hypoxic condition in groups of tumors which have been classified as having low growth fraction. Patients grouping were performed based on the growth fraction as seen in immunohisto chemistry examination on fresh biopsy tissue of patients with cancer of cervix, using Ki-67 monoclonal antibody. Those patients of cancer of the cervix included in this study were patients in locally advanced stages (stage IIb - IIIb by FIGO classification), who came to Oncology Sub Department of the Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine University of Indonesia/Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, and referred to Radiotherapy Sub Department of the Department of Radiology at the same institute.
After going through inclusion and exclusion criteria, 146 patients were found to be suitable for evaluation with the prescribed protocol. The patients were sorted into 4 groups according the growth fraction and type of treatment to be performed. Group I and Group II were patients with Ki-67 index less than 40% with a difference that Group I underwent radiation therapy only, while Group II was treated with combination of radiation therapy and MMC. Group III and IV were patients with Ki-67 index 40% or higher, with a difference that Group III underwent radiation therapy only, while Group IV was treated with combination of radiation therapy and MMC. The 40 % Ki-67 criterion was determined based on results of preliminary study which set the level around 40%.
The radiation therapy consisted of external radiation to the pelvis area in 28 sessions with a dose of 180 cGy per sessions or 5040 cGy total dose given in around 5.5 weeks. After a 1 - 2 week rest, radiation therapy were continued in the form of intra cavitary radiation using High Dose Rate (HDR) system in 2 sessions, I week apart, each in a dose of 850 cGy, giving a total dose of 1700 cGy. A small number of patients (42 patients) were given with Low Dose Rate (LDR) intra cavitary system in similar session and interval with those patients with HDR system. The dose was 1300 cGy per session or total dose of 2600 cGy being equal to the total dose of 1700 cGy in HDR system. Mitomycin-C was given in the combined treatment groups, with a dose of 15 mglm2, as a bolus injection intravenously, at the first day of external radiation and the first intracavitary insertion.
Routine blood examinations were performed to each patient before treatment and once a week until the radiation therapy were completed. Liver function tests were performed before treatment, at the end of external radiation and after all radiation therapy completion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D79
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soehartati Argadikoesoemo Gondhowiardjo
"Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan di Indonesia.' Data yang diperoleh dari registrasi kanker berdasarkan Patologi di Indonesia pada tahun 1991 menunjukkan adanya 1059 (5,6%) kasus KNF di antara 18,770 kasus keganasan. Hal ini menempatkan KNF pada urutan ke empat setelah karsinoma mulut rahim, payudara, dan kulit.
Di Sub.Bagian Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) I Rumah Sakit Umum Pusat Nasional - Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) dalam kurun waktu 5 tahun, periode 1980 - 1984, terdapat 748 pasien KNF. Angka ini menyatakan bahwa KNF merupakan kasus ke tiga terbanyak setelah keganasan mulut rahim dan payudara. Sejumlah 74,5% kasus datang pada stadium IV, 18,6% kasus pada stadium III dan hanya 6,9% di antaranya yang berada pada stadium I dan 1I.' Data dari Bagian Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT) FKUII RSUPN-CM memperlihatkan bahwa KNF merupakan kasus keganasan terbanyak (71,8%) dari semua jenis keganasan THT yang dijumpai.
Jenis keganasan ini sangat jarang ditemukan di daratan Eropa dan Amerika Utara, yaitu dengan angka kejadian kurang dari 1 di antara 100,000 penduduk. Sebaliknya, di daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi, bahkan angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara, yaitu sebesar 40-50 kasus KNF di antara 100.000 penduduk."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
D43
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Agustina
"This study was carried out to investigate the effect of 4NQO oral induction in oesophagus of male rat. Sixteen male Sprague Dawley rats were divided into three experimental groups and one untreated group as control. The experimental groups were applied with 0.5% 4-nitroquinoline 1-oxide on the dorsal mucosa of tongue thrice weekly for 8, 16 or 24 weeks, one brush stroke per application. At the end of the 36th week, all rats were sacrificed and the tongue and oesophagus were excised and fixed in 10% buffed formalin for 24 hours. The H&E sections were prepared for histological examination. The microscopial assessment showed that all rat tongues whether applied with 4NQO for 8, 16 or 24 weeks were identified having Squamous Cell Carcinoma (SCC). Microscopial examination of oesophagus indicated that 75% or the rats applied with 4NQO for 16 weeks showed hyperkeratosis, and 80% and 20% of the rats applied with 4NQO for 24 weeks showed malignancy changes and hyperkeratosis, respectively. No histological changes were detected either in the tongue or the oesophagus of the control rats. It was concluded that the effect of carcinogenic induction in oral mucosa caused malignant changes in oesophagus."
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, Faculty of Dentistry, 2005
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pretty Trisfilha
"Kanker rongga mulut pada manusia menempati peringkat ke-6 keganasan yang sering terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan lebih dari 90% dari semua kanker mulut adalah karsinoma sel skuamosa (KSS) yang berasal dari epitel oral. Induksi 4 NQO pada tikus sering digunakan sebagai model karsinogenesis oral. Karsinogen ini menghasilkan semua tahap karsinogenesis oral dan telah terbukti mampu menghasilkan perubahan histologis dan molekuler yang sama seperti pada manusia. Clitoria ternatea (CT) merupakan tanaman kaya antosianin dan banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek kemopreventif Clitoria ternatea, melalui hambatan proliferasi dan induksi apoptosis terhadap KSS lidah pada tikus yang diinduksi dengan 4NQO. Ekstrak etanol CT diberikan pada berbagai tingkatan dosis, yaitu 200, 400, 800 dan 1600mg/kg berat badan. Penilaian hambatan proliferasi dan induksi apoptosis dilakukan berdasarkan ekspresi protein Ki-67, Caspase 3, dan p53 pada pewarnaan imunohistokimia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak CT secara signifikan tidak mampu menghambat proliferasi dan menginduksi apoptosis KSS lidah tikus yang diinduksi dengan 4NQO, kemungkinan disebabkan karena dosis yang belum mencukupi serta perbedaan pelarut dan sumber ekstrak yang digunakan. Imunoekspresi p53 tidak ditemukan baik pada kelompok kontrol kanker maupun pada kelompok perlakuan, diduga mutasi yang terjadi pada karsinogenesis lidah tikus yang diinduksi 4NQO tidak melalui jalur p53. 

Human oral cancer is the sixth largest group of malignancies worldwide. It is estimated that more than 90% of all oral cancers are squamous cell carcinoma (KSS) originating from the oral epithelium. Induction of 4 NQO in rats is often used as an animal model of oral carcinogenesis. This carcinogen produces all stages of oral carcinogenesis and several lines of evidences suggest that similar histological as well as molecular changes are observed in the human system. Clitoria ternatea (CT) is a plant rich in anthocyanin and is widely used in traditional medicine. The aim of this study was to evaluate the chemopreventive effect of Clitoria ternatea, through the inhibition of apoptotic proliferation and induction of tongue KSS in rats induced by 4NQO. Ethanol extract of Clitoria ternatea was administered at doses of 200, 400, 800 and 1600/kg body weight. Assessment of the inhibition of proliferation and induction of apoptosis was carried out based on the expression of Ki-67, Caspase 3, and p53 proteins in immunohistochemical staining. The results showed that CT extract was significantly unable to inhibit proliferation and induce apoptosis of rat tongue induced with 4NQO, possibly due to inadequate doses and differences in the solvent and source of the extract used. P53 immunoexpression was not found in either the cancer control group or in the treatment group, it was suspected that a mutation that occurred in the carcinogenesis of rat tongue induced by 4NQO did not pass through the p53 pathway. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaka Renaldi
"Inflamasi kronik adalah proses yang penting dalam patofisiologi adenokarsinoma duktal pankreas (PDAC). Beberapa studi telah meneliti potensi enzim siklooksigenase-2 (COX-2) sebagai faktor prognostik PDAC, dengan hasil yang kontradiktif. Nuclear factor kappa−B (NF−?B), specificity protein 1 (Sp1), dan c−Jun adalah faktor transkripsi gen COX2. Penelitian ini adalah studi observasional eksploratori yang bertujuan untuk mengidentifikasi asosiasi ekspresi protein NF−?B (RelA/ p65), COX−2, Sp1, dan c−Jun dengan kesintasan pasien PDAC. Ekspresi protein tersebut dinilai di jaringan pasien PDAC menggunakan metode imunohistokimia. Diidentifikasi ekspresi keempat protein tersebut dengan overall survival (OS) dan karakteristik klinikopatologis pasien PDAC. Sebanyak 53 jaringan PDAC dari biopsi atau reseksi kanker diikutkan dalam penelitian. Hasilnya terdapat korelasi antara keempat protein di jaringan kanker. Ekspresi NF−?B sitoplasmik (aHR = 0.31; 95% CI 0.11–0.90; p = 0.032) atau nuklear (aHR = 0.22; 95% CI 0.07–0.66; p = 0.007) berhubungan secara independen dengan prognosis pasien yang lebih baik. Protein lainnya tidak berhubungan dengan kesintasan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa peran inflamasi di PDAC lebih kompleks dari yang diperkirakan sebelumnya.

Chronic inflammation is a crucial driver of carcinogenesis in pancreatic ductal adenocarcinoma (PDAC). Several studies have investigated the prognostic significance of cyclooxygenase−2 (COX−2) expression in PDAC patients, obtaining conflicting results. Nuclear factor kappa−B (NF−?B), specificity protein 1 (Sp1), and c−Jun are known as the transcription factors of the COX2 gene. This exploratory observational study investigated the association of the NF−?B, COX−2, Sp1, and c−Jun expressions with patient survival in PDAC. We used the immunohistochemical method to detect the PDAC tissue expressions of NF−?B (RelA/p65), COX−2, Sp1, and c−Jun. The expressions of these proteins were correlated with the overall survival (OS) and other clinicopathological characteristics of PDAC patients. We obtained 53 PDAC specimens from resections and biopsies. There were significant correlations between the four proteins’ expressions in the PDAC tissues. The expression of the cytoplasmic (aHR = 0.31; 95% CI 0.11–0.90; p = 0.032) or nuclear NF−?B (aHR = 0.22; 95% CI 0.07–0.66; p = 0.007) was independently associated with a better prognosis in the PDAC patients. COX−2, Sp1, and c−Jun showed no significant association with a prognosis in the PDAC patients. The PDAC patients who expressed NF−?B had a better prognosis than the other patients, which suggests that the role of inflammation in PDAC is more complex than previously thought."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindini Winda Amalia
"ABSTRAK
Kanker colorektal merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa kedelai memiliki kemampuan kemopreventif dan anti kanker. Penelitian ini menyelidiki hambatan karsinogenesis ekstrak biji kedelai EK dan bungkil kedelai EB yang mengandung lunasin pada model kanker kolon in vivo. Pada penelitian ini menggunakan mencit jantan Swiss Webster berusia 12 minggu yang diinduksi azoxymethane AOM 10 mg/kg dan dextran natrium sulfat DSS 2 . Apoptosis, displasia, hiperplasia dan mitosis merupakan penanda terjadinya karsinogenesis kolon. Hasilnya pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai meningkatkan apoptosis p= 0,001 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK2 150 mg/ 20gr BB p= 0,009 dan EB1 75 mg/ 20gr BB p =0,436 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai menurunkan displasia 0,024 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK3 200 mg/ 20gr BB p=0,0002 dan EB3 200 mg/ 20gr BB p= 0,003 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai menurunkan hiperplasia 0,000 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK3 200 mg/ 20gr BB p=0,000 dan EB3 200 mg/ 20gr BB p= 0,002 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil kedelai menurunkan mitosis 0,008 , dengan efek terbaik ditunjukkan oleh EK3 200 mg/ 20gr BB p=0,003 dan EB1 75 mg/ 20gr BB p= 0,173 . Pemberian ekstrak biji dan bungkil dapat menghambat karsinogenesis kolon ditinjau dari meningkatnya apoptosis serta berkurangnya displasia, hiperplasia, dan mitosis sel.

ABSTRACT
Colon cancer is major public health problems. Many research prove that soybeans shown chemopreventive and anti cancer effect. This study investigates the inhibition of carcinogenesis soybean seed extract EK and soybean meal extract EB containing lunasin in colon cancer models in vivo. In this study use male Swiss Webster mice aged 12 weeks induced azoxymethane AOM 10 mg kg and dextran sodium sulfate DSS 2 . Apoptosis, dysplasia, hyperplasia and mitosis is a marker of colon carcinogenesis. The result is the provision of soybean seed and soybean meal increase apoptosis p 0.001 , with the best effects shown by EK2 150 mg 20gr BB p 0.009 and EB1 75 mg 20gr BB p 0.436 . Soybean seed and soybean meal extract decrease dysplasia p 0.024 , with the best effect shown by EK3 200 mg 20gr BB p 0.0002 and EB3 200 mg 20gr BB p 0.003 . Soybean seed extract and soybean meal extract decrease hyperplasia p 0.000 , with the best effects shown by EK3 200 mg 20gr BB p 0.000 and EB3 200 mg 20gr BB p 0.002 . Soybean seed and soybean meal extract decrease mitosis p 0.008 , with the best effect shown by EK3 200 mg 20gr BB p 0.003 and EB1 75 mg 20gr BB p 0.173 . Soybean seeds and soybean meal extract can inhibit colon carcinogenesis in terms of increase apoptosis and decrease dysplasia, hyperplasia and mitosis."
2017
T47534
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Serlie Fatrin
"Pendahuluan: Berbagai penelitian terdahulu telah membuktikan kemampuan kurkumin untuk menghambat karsinogenesis pada kolorektal. Namun pengembangan kurkumin untuk aplikasi ini terbatas dikarenakan penyerapannya dan bioavailabilitas yang buruk, sifatnya yang kurang stabil, serta tingkat metabolisme, dan eliminasi zat yang cepat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan apakah modifikasi ukuran kurkumin menjadi nanopartikel dapat meningkatkan konsentrasi kurkumin di dalam kolon. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental pada tikus Sprague-Dawley betina yang diberikan kurkumin konvensional dan nano-kurkumin secara oral
500mg/kg/BB. Sampel kolon diambil 3 jam dan 4 jam setelah pemberian kurkumin. Konsentrasi kurkumin diukur dengan menggunakan UPLC-MS/MS. Hasil: Setelah 3 jam dan 4 jam pemberian sampel, ditemukan bahwa konsentrasi kurkumin konvensional cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi nano kurkumin, walau tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05). Rata-rata konsentrasi kurkumin dan nanocurcumin pada usus tikus setelah 3 jam adalah 92,463 ± 10.836 ug/g kolon dan 60.931± 4.774 ug/g kolon masing-masing. Sementara itu, setelah 4 jam, rata-rata konsentrasi curcumin dan nanocurcumin di usus tikus adalah 113.560 ± 12.477 ug/g kolon dan 103.725 ± 12.951 ug/g kolon masing-masing. Kesimpulan/Diskusi: Modifikasi ukuran kurkumin menjadi ukuran nano tidak mempengaruhi tingkat konsentrasi kurkumin dalam jaringan kolon tikus. Beberapa penyebab potensialnya adalah agregasi nano-partikel kurkumin, kedua jenis kurkumin terperangkap di dalam mukus, penetrasi nano-partikel melalui transportasi transeluler di dalam epitelium usus, dan tingginya degradasi nanokurkumin di dalam saluran pencernaan (baik secara biologis maupun kimiawi). Hal ini menyebabkan penurunan kuantitas nanokurkumin yang dapat diserap oleh kolon.
Introduction: Various previous studies have proven the ability of curcumin to inhibit colorectal carcinogenesis. However, the development of curcumin for this application is limited due to its poor absorption and bioavailability, its unstable nature, metabolic rate, and rapid elimination of the substance. Therefore, this study was conducted to prove whether modification of the size of curcumin into nanoparticles can increase the concentration of curcumin in the colon. Methods: This study is an experimental study on female Sprague-Dawley rats given conventional curcumin and nano-curcumin orally.
500mg/kg/BW. Colonic samples were taken 3 hours and 4 hours after curcumin administration. Curcumin concentration was measured using UPLC-MS/MS. Results: After 3 hours and 4 hours of sample administration, it was found that conventional curcumin concentrations tended to be higher than nano curcumin concentrations, although there was no significant difference (p>0.05). The mean concentrations of curcumin and nanocurcumin in the intestines of rats after 3 hours were 92.463 ± 10,836 g/g colon and 60,931± 4.774 g/g colon, respectively. Meanwhile, after 4 hours, the mean concentrations of curcumin and nanocurcumin in the rat intestine were 113,560 ± 12,477 g/g colon and 103,725 ± 12,951 g/g colon, respectively. Conclusion/Discussion: Modification of curcumin size to nano size did not affect the level of curcumin concentration in rat colon tissue. Some of the potential causes are aggregation of curcumin nano-particles, both types of curcumin trapped in mucus, penetration of nano-particles through transcellular transport within the intestinal epithelium, and high degradation of nanocurcumin in the gastrointestinal tract (both biologically and chemically). This causes a decrease in the quantity of nanocurcumin that can be absorbed by the colon."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>