Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93868 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Monica Dwi Hartanti
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Endometriosis merupakan salah satu masalah yang sering dijumpai pada wanita usia reproduktif. Kelainan ini dapat menyebabkan terjadinya infertilitas. Hormon estrogen memegang peranan penting dalam patogenesis endometriosis. Biosintesis estrogen merupakan rangkaian reaksi yang memerlukan enzim untuk mengkatalisis salah satu reaksi komponennya yaitu aromatase. Sel yang mengekspresi aromatase adalah sel granulosa yang aktifitasnya dikendalikan oleh FSH. Agar dapat menjalankan fungsinya, FSH harus berikatan dengan reseptor spesifiknya, yaitu reseptor FSH. Interaksi FSH dengan reseptor FSH yang merupakan bagian integral membran sel granulosa akan sangat menentukan respon ovarium untuk menghasilkan estrogen melalui aktifitas katalitik enzim aromatase. Respon ovarium terhadap FSH ditentukan oleh genotip reseptor FSH. Hasil skrining mutasi gen reseptor FSH menunjukkan adanya dua polimorfisme pada gen reseptor FSH. Polimorfisme pertama terdapat pada posisi 307 domain ekstraseluler, yang dibaca sebagai kode Alanin (Ala) atau Threonin (Thr). Polimorfisme kedua terdapat pada posisi 680 domain intraseluler, yang dibaca sebagai kode Asparagin (Asn) atau Sarin (Ser). Sensitivitas reseptor FSH terhadap FSH ditentukan oleh kombinasi alel yang terbentuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh polimorfisme gen reseptor FSH pada wanita-wanita dengan endometriosis. Hasil dan Kesimpulan : Analisis pada reseptor FSH dengan PCR-SSCP dalam penelitian ini mendapatkan perbedaan frekuensi alel Mn dan Ser yang bermakna antara wanita dengan endometriosis dengan wanita normal (p < 0,05, chi-square), sedangkan frekuensi alel Ala dan Thr pada kedua kelompok tidak terdapat perbedaan bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar FSH basal antara genotip-genotip pada kedua daerah polimorfik reseptor FSH pada kedua kelompok Genotip SerfSer cenderung memiliki kadar FSH basal yang lebih tinggi, baik pada wanita dengan endometriosis maupun wanita kontrol. Penelitian ini menunjukkan bahwa polimorfisme gen reseptor FSH tidak berperan dalam patogenesis endometriosis walaupun alel Ser cenderung berasosiasi dengan endometriosis. Karena banyaknya penderita endometriosis yang mengikuti program fertilisasi in vitro (FIV), maka disarankan untuk memeriksa polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita endometriosis yang mengikuti program FIV agar dicapai hasil yang optimal."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmi Wingit Ciptaning
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH sangat dipengaruhi oleh fungsi reseptor FSH (FSHR). Genotip FSHR memainkan peranan yang mendasar pada respon fisiologis organ target terhadap stimulasi FSH. Telah diketahui polimorfisme pada gen reseptor FSH mempengaruhi sensitivitas reseptor terhadap FSH. Persentase penderita Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) pada wanita usia reproduksi cukup besar yaitu sekitar 5 -10 % dan dalam penanganannya membutuhkan terapi induksi ovulasi, salah satunya dengan menggunakan FSH eksogen. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan penelitian terhadap polimorfisme gen reseptor FSH pada penderita SOPK di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a). Distribusi genotip dan frekuensi alel FSHR di posisi 307 dan 680 ekson 10 pada kelompok SOPK dan kelompok normal. b). Kadar FSH basal pada wanita penderita SOPK dan wanita normal. c). Hubungan antara distribusi genotip FSHR di posisi 307 dan 680 dengan level FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal. Kesimpulan : Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan distribusi genotip maupun frekuensi alel pada posisi 307 dan 680 pada ekson 10 gen reseptor FSH antara kelompok wanita penderita SOPK dan kelompok wanita normal. Ada perbedaan bermakna antara kadar FSH basal pada kelompok SOPK dan kelompok normal . Tidak terdapat perbedaan kadar FSH yang bermakna pada varian genotip posisi 307 maupun posisi 680 gen FSHR antara kelompok SOPK dan kelompok normal, dengan kadar FSH basal tertinggi pada posisi 307 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Threonin/Threonin dan kadar FSH basal tertinggi di posisi 680 pada kelompok SOPK dimiliki oleh genotip Asparagin/Serin."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 16217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Joko Wahyono
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Respon ovarium terhadap stimulasi FSH (Follicle Stimulating Hormone) pada setiap individu akan bervariasi dari hiporespon sampai hiper-respon yang dapat menyebabkan hiperstimulasi. Diduga hal ini berkaitan dengan adanya polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen reseptor FSH (FSHR). Dengan demikian polimorfisme FSHR ini dapat dijadikan prediktor dalam menentukan dosis preparat FSH untuk induksi folikel ovarium wanita peserta program reproduksi berbantuan. Pada situs polimorfik ini akan mengkode asam amino Asparagin (Asn) atau Serine (Ser), sehingga genotip FSHR yang terbentuk adalah homosigot Asn (NN), heterosigot Asn/Ser (NS), dan homosigot Ser (SS). Metoda Polymerase Chain Reaction - Single Stranded Conformation Polymorphisms (PCR-SSCP) dan Polymerase Chain Reaction - Restriction Fragment Length Polymorphisms (PCR-RFLP) dapat digunakan untuk mendeteksi polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen FSHR. Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan subyek 91 wanita usia reproduktif peserta program reproduksi berbantuan dengan teknik IVF (in vitro fertilization) dan ICSI (infra cytoplasmic sperm injection) dengan informed consent. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan studi tentang perbandingan efektivitas metoda PCR-SSCP dan PCR-RFLP untuk deteksi polimorfisme kodon 680 ekson 10 gen FSHR.
Hasil dan Kesimpulan : Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa hasil uji beda proporsi yang berpasangan nilai p (n = 91) = 0,491 adalah tidak berbeda bermakna, sedangkan uji kesesuaian kappa (x) = 0,795 adalah sangat kuat dengan nilai p (n = 91) < 0,01 adalah sangat bermakna. Kesimpulan penelitian ini adalah Ho diterima karena metoda PCR-SSCP dan PCR-RFLP mempunyai efektivitas yang lama untuk mendeteksi polimorfisme pada kodon 680 ekson 10 gen FSHR. Metoda PCR-SSCP digunakan untuk deteksi polimorfisme kodon 680 ekson 10 gen FSHR pada jumlah sampel besar dan perlu dilakukan klarifikasi dengan metoda PCR-RFLP sebagai pembanding, sedangkan metoda PCR-RFLP untuk jumlah sampel kecil. Klarifikasi genotip FSHR dilakukan dengan analisis sikuensing DNA."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Reseptor follicle-stimulating hormone (FSHR) hanya terekspresi pada sel granulosa ovarium dan sel Sertoli testis. Ekspresinya yang sangat spesifik menunjukkan adanya peristiwa-peristiwa traskripsi khusus pada kedua tipe sel tersebut yang bertanggung jawab untuk aktivasi gen reseptor FSH. Walaupun mekanismenya belum diketahui, namun telah dicapai beberapa kemajuan menyangkut mekanisme yang mengontrol proses transkripsi dan regulasi gen reseptor FSH. Sampai saat ini telah diidentifikasi beberapa elemen regulator penting yang bertanggung jawab untuk proses transkripsi gen reseptor FSH yang tidak mengandung TATA box tersebut seperti elemen E box (CACG(A)TG, –124/–119), elemen GATA (TATC, –88/–85), E2F (TTTCGCG, –45/–39), dan elemen regulator-3 (–197/–171). Studi fungsional menunjukkan bila mutasi terjadi pada elemen regulator tersebut akan menurunkan fungsi promoter secara bermakna dan dampak terbesar terdeteksi bila mutasi terjadi pada elemen E box. Metilasi pada situs CpG spesifik dalam daerah promoter inti tampaknya memegang peranan penting dalam regulasi transkripsi gen reseptor FSH tikus dan mencit. (Med J Indones 2003; 12: 187-93)

Follicle-stimulating hormone receptor (FSHR) is exclusively expressed in granulose cells of the ovary and Sertoli cells of the testis. The highly cell-specific of gene expression revealed that transcriptional events unique to these two cell types are responsible for activation of the FSHR gene. Even though its mechanisms are still unclear, several progress regarding the mechanism that control its basal transcription and regulation has been made. It has been identified several important elements that responsible for the transcription of the TATA-less FSHR gene such as: E box element (CACG(A)TG, –124/–119), an inverted GATA (TATC, –88/–85), E2F (TTTCGCG, –45/–39), and regulator element-3 (–197/–171). The functional studies shown that mutations through these regulatory elements significantly decrease the promoter function with greatest impact detected when mutation was done in E-box element. The site-specific CpG methylation within the core promoter seems play an important role in the regulation of rat and mouse FSHR gene expression. (Med J Indones 2003; 12: 187-93)"
Medical Journal of Indonesia, 12 (3) Juli September 2003: 187-193, 2003
MJIN-12-3-JulSep2003-187
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dheeva Noorshintaningsih
"Usia subur merupakan usia yang paling penting dalam reproduksi perempuan. Usia subur berkisar 15 tahun hingga 46 tahun. Usia memiliki pengaruh terhadap sekresi GnRH, pada saat perempuan menempuh dekade ketiga dan keempat folikel akan mengalami penurunan sehingga sekresi GnRH juga akan terpengaruh, namun menjelang menopause sekresi GnRH akan meningkat karena folikel sudah tidak ada lagi dan tidak akan yang memberikan umpan balik negatif kepada GnRH, maka itu sekresi GnRH pada orang menopause tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kadar LH berdasarkan perempuan dengan usia subur yang mengalami gangguan menstruasi. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional analitik, dalam penelitian ini terdapat 74 perempuan usia subur (15-45 tahun) yang mengalami gangguan menstruasi yang terlibat. Data pada penelitian didapatkan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner SCL-90 pada penelitian ?Peranan Adiponektin terhadap Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) dan Hubungannya dengan Faktor Genetik, Endokrin, dan Metabolik?. Data pada penelitian ini dianalisis dengan menggunakan program SPSS for Windows versi 17.0 dengan analisis chi-square. Berdasarkan analisis, didapatkan hasil bahwa proporsi usia dibawah 30 tahun yang memiliki kadar LH yang tergolong normal lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi usia dibawah 30 tahun yang mempunyai kadar LH abnormal yaitu masing-masing nilainya 60,9% dan 39,1%. Perbedaan proporsi tersebut secara statistic bermakna dengan P sama dengan 0,009. Sementara, tidak terdapat perbedaan bermakna kadar LH pada aktivitas fisik, status gizi, gejala gangguan mental emosional, serta status SOPK perempuan dengan gangguan menstruasi. Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa usia memiliki peran dalam perbedaan kadar LH pada perempuan dengan gangguan menstruasi.

Reproductive age is the most important phase in women?s reproductive cycle. In most women the reproductive age is around 15-46 years old. Age has influence on GnRH secretion, when women take the third and fourth decades of follicles will decrease so the secretion of GnRH may also be affected, but the menopause GnRH secretion will increase as the follicle is no longer there and that will not give negative feedback to GnRH, the GnRH secretion was higher in the menopause. This study aimed to compare the levels of LH by women of reproductive age, especially in women with menstrual disorders. The study design is cross-sectional analytic involving 74 women of childbearing age (15-45 years) who experience menstrual disorders. The study was conducted using secondary data derived from the results of laboratory tests and the SCL-90 questionnaire of study titled "The Role of Adiponection to polycystic ovary syndrome (PCOS) and Its Relationship to Genetic Factors, Endocrine and Metabolic". Data analysis was performed with SPSS for Windows version 17.0 using chi-square analysis. Based on the analysis, showed that the proportion aged under 30 years who have a relatively normal LH levels higher than the proportion aged under 30 years who have abnormal levels of LH values ​​respectively 60.9% and 39.1%. The difference was statistically significant proportion of the P equals 0.009. Meanwhile, there were no significant differences in the levels of LH in physical activity, nutritional status, symptoms of mental, emotional, as well as the status of PCOS women with menstrual disorders. It can be concluded that there are differences in the role of age in LH levels in women with menstrual disorders."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Evelyn Lina, auhor
"Latar Belakang: Prevalensi akne vulgaris (AV) pada perempuan dewasa tinggi dengan morbiditas psikososial bermakna. Akne vulgaris yang timbul saat remaja dan berlanjut hingga umur lebih dari 25 tahun disebut sebagai AV menetap (AVM). Hormon androgen memiliki peranan terpenting dalam patogenesis AVM. Indeks Androgen Bebas (IAB) adalah metode yang bagus untuk mengevaluasi kadar hormon androgen. Perbedaan ras berpengaruh pada variasi kadar hormon androgen antara individu.
Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM dan tanpa AV.
Metode: Penelitian kasus kontrol.
Hasil: Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM memiliki median 1,93 (minimum 0,46 - maksimum 9,88). Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa tanpa AV memiliki median 1,05 (minimum 0,24 - maksimum 2,42). Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM lebih tinggi dibandingkan tanpa AV, dengan perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,014).
Kesimpulan: Nilai IAB dalam darah pada perempuan dewasa dengan AVM lebih tinggi dibandingkan tanpa AV.

Background: The prevalence of acne vulgaris (AV) in adult women is high with significant psychosocial morbidity. Acne vulgaris which occur in adolescence and continue until age more than 25 years is mentioned as persistent acne vulgaris (PAV). Androgen hormone has the most important role in PAV pathogenesis. Free Androgen Index (FAI) is a good methode to evaluate androgen hormone level. Race difference influent the variation of androgen hormone level between individual.
Objective: To investigate the comparison of blood FAI in adult women with PAV and without AV.
Methods: Case control study.
Result: The blood FAI in adult women with PAV has median 1,93 (minimum 0,46 - maksimum 9,88). The blood FAI in adult women without AV has median 1,05 (minimum 0,24 - maksimum 2,42). The blood FAI in adult women with PAV is higher than without AV, with difference which is statisticaly significant. (p=0,014).
Conclusion: The blood FAI in adult women with PAV is higher than without AV.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisnawulan
"ABSTRAK
Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang disertai peningkatan kadar Human Chorionic Gonadotropin (= HCG). Telah dilaporkan terjadinya gejala hipertiroidisme pada panderita mola yang ada kemungkinan berlanjut dengan timbulnya penyulit krisis tiroid yang dapat berakibat fatal. Hiperfungsi tiroid tersebut disebabkan pengaruh keaktifan tirotropik dari HCG. Penelitian ini bertujuan untuk memantau kadar hormon tiroid pada penderita mola hidatidosa.
Dari bulan Maret sampai dengan Agustus 1986 telah diperiksa serum dari 12 penderita MR. Pemeriksaan dilakukan secara serial: sebelum pengeluaran jaringan mola, lalu dilanjutkan pada hari ke 3 - 5, 1 bulan dan 2 bulan sesudahnya.
Dilakukan penetapan kadar hormon tiroksin (= T4) dan ambilan tiroksin (= Ambilan T4) dengan cara "Enzyme Immuno Assay" (=EIA) menggunakan kit ENDAB Irmruno Assay, kemudian nilai Indeks tiroksin babas (= ITB) dihitung. Diperiksa pula kadar "Thyroid Stimulating Hormone" (=TSH) dengan cara Radio Immuna Assay (=RIA) dan kadar hCG urin dengan test aglutinasi.
Sebelum dilakukan pengeluaran jaringan mola ke 12 kasus semuanya menunjukkan tanda tanda hipertiroidisme secara laboratoris (Ti, ambilan T4, ITB) dengan atau tanpa disertai gejala klinia. Setelah pengeluaran jaringan mola kelainan ini akan menurun dan mencapai kadar normal pada kurang lebih 1 bulan sesudahnya. Kadar TSH makin meningkat tetapi masih dalam batas batas normal. Keadaan ini seiring dengan penurunan kadar hCG urin. Hasil-hasil tersebut sesuai dengan yang didapatkan oleh peneliti peneliti terdahulu.
Disarankan untuk memasukkan pemeriksaan kadar hormon tiroid pada protokol panatalaksanaan penderita mola hidatidosa untuk mempertimbangkan pengobatan terhadap kelainan barman ini dan menghindari penyulit yang mungkin terjadi. "
1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Taufiq Soekarno
"Gen tilapia Growth Hormone (tiGH) merupakan gen pengkode hormon pertumbuhan dari ikan nila yang berperan untuk meningkatkan pertumbuhan. Penelitian bertujuan melakukan kloning dan ekspresi gen tiGH untuk memproduksi protein rekombinan hormon pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus). Penelitian meliputi tahapan isolasi gen tiGH dari pMBA_tiGH, ligasi ke dalam pETBlue-2, serta transformasi vektor rekombinan ke dalam sel inang dengan menggunakan elektroporasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa vektor rekombinan dapat ditransformasi ke dalam sel inang E. coli BL2 dengan efisiensi transformasi 1,12x103 cfu/μg. Ekspresi gen tiGH dilakukan menggunakan induksi IPTG 0,4 mM dan dipurifikasi menjadi protein rekombinan growth hormone dengan berat molekul sebesar 22 kDa.

Tilapia growth hormone gene (tiGH) is a gene encoding growth hormone from the tilapia whose folr is to increase the growth. The research objective is to do cloning and expression tiGH gene to produce growth hormone recombinant proteins of tilapia (Oreochromis niloticus). Stages of research include isolation tiGH gene from pMBA_tiGH, ligation into pETBlue-2, and the transformation recombinant vector into host cells by using electroporation.
The result showed that recombinant vectors have been successfully transformed into the host cell E.coli BL21with transformation efficiency reached 1.12 x103 cfu/μg. Expression tiGH gene performed using 0.4 mM IPTG induction and purified recombinant protein growth hormone with a molecular weight of 22 kDa.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S1351
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Ermanto
"Insufisiensi ovarium primer (IOP) adalah sindrom klinik yang ditandai dengan hilangnya aktivitas ovarium sebelum usia 40 tahun, disertai gangguan menstruasi, peningkatan gonadotropin dan rendahnya kadar estradiol. Kondisi tersebut menyebabkan infertilitas. Diagnosis IOP ditegakkan berdasarkan hormon FSH, tetapi memerlukan 2 kali pemeriksaan dalam waktu 4-6 minggu, sehingga digunakan persentil wiweko untuk mengetahui kadar AMH sebagai prediktor cadangan ovarium. Kadar AMH rendah menunjukkan cadangan ovarium juga rendah; diduga karena ada mutasi gen AMH sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara mutasi gen dengan hormon AMH. Penelitian potong lintang ini dilakukan di Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam kurun waktu Juni 2021-Maret 2022. Subjek penelitian adalah pasien yang dikonsulkan ke RSCM untuk masalah gangguan menstruasi. Subjek dibagi tiga kelompok yaitu kelompok IOP, SOPK dan kontrol, kemudian dilakukan uji karyotiping dengan G-banding untuk mengetahui normalitas kromosom. Selanjutnya diperiksa urutan gen AMH dan SNP menggunakan sanger sekuensing, sedangkan kadar AMH diperiksa dengan uji ELISA. Data diolah dengan SPSS versi 20 dan uji statistik yang digunakan adalah Uji Mann Whitney, chi square, exact fisher dan uji korelasi spearman. Dari total 31 subjek penelitian, 8 subjek masuk dalam kelompok IOP, 16 subjek SOPK, dan 7 subjek kontrol. Terdapat 30 mutasi dengan 2 mutasi novel pada promoter gen AMH dan 3 mutasi novel pada struktur gen AMH. Terdapat 14 SNP pada kelompok IOP dan 15 SNP pada kelompok SOPK, dengan nilai LDI > 0,8 yang berarti kemunculan satu mutasi diikuti oleh mutasi di titik lain. Mutasi struktural gen AMH, SNP P247Q, menyebabkan perubahan prolin menjadi glutamin. Mutasi itu mengubah folding pada model prediksi 3D protein AMH. Mutasi pada kelompok IOP memiliki nilai HW 0,014; artinya, mutasi tidak diwariskan ke generasi selanjutnya. Terdapat perbedaan bermakna distribusi frekuensi mutasi promoter gen AMH antara kelompok IOP dengan SOPK, pada titik mutasi 19:g.2249146T>G (p=0,007) dengan rasio prevalens RP (95%CI) = 5(1,6-14,9) terhadap SOPK, sehingga genotipe TG 5 kali lebih besar kemungkinan menjadi IOP. Disimpulkan terdapat mutasi pada promoter dan struktural gen AMH pada semua kelompok, yang menyebabkan perbedaan urutan basa; namun tidak bermakna. Model prediksi struktur 3D AMH menunjukkan perubahan folding di titik P247Q yang mengalami mutasi, sehingga mengakibatkan perubahan struktur protein. Jumlah dan jenis mutasi pada struktural gen AMH tidak berhubungan dengan kadar AMH. Jumlah mutasi di promoter gen AMH tidak memengaruhi kadar AMH pada semua kelompok.

Primary ovarian insufficiency (POI) is a clinical syndrome characterized by the loss of ovarian function before the age of 40, resulting in menstrual irregularities, elevated gonadotropin levels, and decreased estradiol levels. It leads to infertility. Diagnosis of POI requires two FSH hormone tests within a 4-6 week period. To predict ovarian reserve, AMH levels are measured using the Wiweko percentile. Low AMH levels indicate diminished ovarian reserve, possibly due to AMH gene mutations. Hence, a study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) in Jakarta from June 2021 to March 2022.
The study included three groups: POI, polycystic ovary syndrome (PCOS), and control. G-banding karyotyping determined chromosomal normality, while Sanger sequencing examined AMH gene sequence and single nucleotide polymorphisms (SNPs). ELISA was used to measure AMH levels. Statistical analysis employed SPSS version 20, including tests like Mann-Whitney, chi-square, exact Fisher, and Spearman correlation.
Out of 31 subjects, 8 had POI, 16 had PCOS, and 7 were controls. The study identified 30 mutations, including 2 novel promoter mutations and 3 novel missense mutations in the AMH gene structure. The POI group had 14 SNPs, while the PCOS group had 15, with an LDI value > 0.8 indicating multiple mutations. The SNP P247Q caused a proline to glutamine change, impacting the protein structure. The HW value of POI mutations was 0.014, suggesting no inheritance.
There was a significant difference in the distribution of AMH gene promoter mutation frequencies between the IOP and PCOS groups, at the mutation point 19:g.2249146T>G (p=0.007) with a prevalence ratio of RP (95%CI) = 5(1.6-14.9) to PCOS, so that the TG genotype is 5 times more likely to become IOP.. In conclusion, mutations occurred in both promoter and structural regions of the AMH gene but did not significantly impact AMH levels. The 3D model predicted structural changes at the P247Q mutation point. The number and type of structural mutations were unrelated to AMH levels. The number of promoter gene mutations did not affect AMH levels in any group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaima Amalia
"Keamanan pangan merupakan salah satu isu internasional. Bahaya penggunaan antibiotik pada budidaya hewan menjadi salah satu penyumbang timbulnya resistensi pada manusia. DiIndonesia, lazim digunakan antibiotik sebagai growth promotor pada budidaya hewan.Larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan tertulis dalam Undang-UndangNo. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang kemudian diperjelasdengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan. Tesis ini membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kebijakan larangan penggunaan hormon dan antibiotik imbuhan pakan, khususnya faktor kesehatan, hukum, politik, dan ekonomi. Penelitian menggunakan studi deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan menggunakan wawancara mendalam dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ekonomi memiliki pengaruh lebih kuat dibandingkan faktor politik, hukum dankesehatan.

Food safety is an international issue. Using antibiotic in poultry production is dangerous and it could be caused of antibiotic antimicrobial resistance for human. In Indonesia, poultries using antibiotic as growth promoter AGP. The prohibition of hormones andantibiotics as feed additive using written in Act 18 of 2009 on Livestock and Animal Health, which is then clarified by the Regulation of the Minister of Agriculture No.14 Permentan PK.350 5 2017 on Classification of Animal Drugs. This thesis discusses the factors that influence the making policy of prohibiting the use ofhormones and antibiotics as feed additive, especially health, legal, politic, and economicfactors.This is a descriptive study by qualitative approach. The data were collected by of in depthinterview and literature review. The result is the economy factor is more influence thanpolitic, legal and health`s factor."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T47574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>