Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 1940 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Herz, John H.
Chicago: The University of Chicago Press, 1959
320.01 Her p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Adian Husaini
Jakarta: Dea Press, 2000
297.272 ADI y
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Griffiths, Martin
[place of publication not identified]: [publisher not identified], 1992
327.11 Gri r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Syaifullah
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
297.272 SYA g
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Griffiths, Martin
New York: Routledge, 1992
327.11 GRI r (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Insan Fahmi
"Perjalanan politik Masyumi - sejak didirikan pada tanggal 7 Nopember 1945 sampai dibubarkan pada tahun 1960 -- penuh dengan dinamika, baik di dalam internal Masyumi sendiri maupun ketika berhubungan dengan partai politik dan Presiden Sukarno. Hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno misalnya, pernah juga mengalami hubungan yang harmonis, terutama pada masa revolusi. Hubungan itu mengalami pergeseran hingga menjurus kepada konflik. Konflik antara Sukarno dengan Masyumi semakin tajam, terutama sejak adanya keinginan Sukarno mengubur partai politik pada bulan Oktober 1956, dan Konsepsi Presiden pada tahun 1957. Konflik terus berlanjut hingga masa Demokrasi Terpimpin.
Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keluarnya Dekrit tersebut semakin memperkuat dan memperbesar kekuasaan Sukarno di satu pihak, sementara di pihak lain semakin melemahkan posisi dan peran Masyumi sebagai partai politik. Bukan hanya peran politik Masyumi yang semakin merosot, tetapi eksistensi Partai Masyumi pun diakhiri Sukarno melalui Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Sukarno membubarkan Masyumi. Pertama, Sukarno ingin merealisasikan pemikiran dan obsesinya yang sudah lama terkubur, terutama mengenai partai politik, demokrasi dan revolusi. Kesimpulan ini didasarkan atas beberapa pernyataan dan pemikiran Sukarno yang sudah berkembang sejak masa pergerakan nasional sampai masa awal Demokrasi Terpimpin. Kesatu, sejak masa pergerakan nasional Sukarno menginginkan partai politik cukup satu. Bahkan pada bulan Oktober 1956 Sukarno menyatakan partai politik adalah penyakit, sehingga hams dikubur. Kedua, Sukarno menginginkan demokrasi yang diterapkan adalah Democratisch-centralisme, yakni suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap penyelewengan, dan menendang bagian partai yang membahayakan massa.
Konsep ini disampaikan Sukarno pada tahun 1933. Konsep ini kemudian Sukarno terapkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Ketiga, Sukarno berkeyakinan revolusi belum selesai. Setiap revolusi mempunyai musuh. Dalam logika revolusi hares ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Perilaku politik Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin - menurut Bernhard Dahm -- dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki tokoh Bima dalam cerita pewayangan, seperti sifat Bima yang tidak mengenal kompromi dengan lawan yang datang dari luar keIuarganya.
Faktor kedua, adanya konflik yang berkepanjangan antara Sukarno dengan Masyumi. Konflik itu mulai muncul ketika Perdana Menteri M. Natsir menolak usul Presiden Sukarno tentang cara penyelesaian Irian Barat. Selain itu, Natsir juga mengingatkan Presiden Sukarno supaya jangan mencampuri urusan pemerintah, dan kalau Sukarno terus-terusan mencampuri kebijaksanaan pemerintah maka perdana menteri bisa menangkapnya. Kasus ini menimbulkan dendam pribadi Sukarno kepada M. Natsir. Selain dendam pribadi, Sukarno juga menyimpan dendam sejarah kepada Partai Masyumi. Partai Masyumi seringkali mengkritisi dan menentang gagasan dan kebijaksanaan Sukarno. Adanya penentangan dan perlawanan Masyumi yang tidak putus-putusnya kepada Presiden Sukamo yang semakin mendorong dan meyakinkan Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Faktor ketiga adalah untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan melestarikan kekuasaannya. Sukamokhawatir kalau Masyumi tetap dibiarkan hidup, maka akan mengancam kekuasaannya, dan menghambat jalannya Demokrasi Terpimpin.
Dengan demikian, Masyumi dibubarkan bukan karena terlibat PRRI. Hal ini diakui sendiri oleh Sukarno kepada Bernhard Dahm pada tahun 1966. Sukarno mengatakan tidak dapat menyalahkan suatu partai karena kesalahan beberapa orang. Kalau begitu, keluarnya Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 merupakan bentuk sikap kesewenang-wenangan Sukarno terhadap Partai Masyurni.
Konflik Masyumi dengan Presiden Sukarno disebabkan beberapa hal. Pertama, masalah kedudukan dan kekuasaan dalam pemerintahan. Kedudukan dan kekuasaan Masyumi dalam pemerintahan sangat besar pada masa Demokrasi Parlementer, sementara pengaruh dan kekuasaan Presiden Sukarno sangat keciI. Mengingat kedudukan seperti itu, maka Presiden Sukarno ingin merebut kedudukan itu, dan terlibat secara langsung dalam pemerintahan. Sebab kedua, adanya perbedaan yang prinsipil mengenai demokrasi. Sukarno menginginkan Demokrasi Terpimpin, sementara Masyumi menolak dan menentang Demokrasi Terpimpin. Sebab ketiga, adanya perbedaan ideologi. Presiden Sukarno menggalang kerjasama dengan PKI yang berhaluan komunis.
Sementara itu, Partai Masyumi mempunyai ideologi Islam yang tidak mau bekerjasama dengan PKI, dan sangat kerns menentang komunisme. Adanya pcrbcdaaan ideologi antara PKI dan Masyumi, berimplikasi terhadap hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno. Sukarno lebih memilih PKI, dan konsekuensinya Sukarno hams menyingkirkan Masyumi.
Usaha Sukarno untuk menyingkirkan Masyumi dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan politik, dengan cara mengurangi dan menghilangkan peran politik Masyumi dalam pemerintahan dan legeslatif. Kedua, pendekatan hukum, dengan membuat beberapa peraturan yang menjurus kepada pembubaran Partai Masyumi.
Partai Masyumi menghadapi Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 dengan dua cara. Pertama, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan Masyumi bubar, melalui suratnya No. 1801BNI-25/60 tanggal 13 September 1960. Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai terlarang, dan korban yang tidak perlu, baik terhadap anggota Masyumi dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi. Kedua, menggugat Sukarno di pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Sukarno terhadap pengadilan.
Keputusan Pimpinan Partai Masyumi yang membubarkan diri, temyata bisa diterima anggota Masyumi. Anggota Masyumi tidak melakukan pembangkangan terhadap Pimpinan Masyumi. Meskipun Partai Masyumi sudah bubar secara material, namun di kalangan anggota Masyumi masih merasa Masyumi tetap hidup dalam jiwa mereka. Oleh karena itu, mereka tetap memandang para pemimpin mantan Masyumi sebagai pemimpin mereka. Dengan demikian, pernyataan Faith mengenai sifat Bapakisme dalam kepemimpinan partai di Indonesia terbukti, setidaknya untuk kasus Partai Masyumi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T7205
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdiana
"Partai Bulan Bintang (PBB) adalah partai Islam. Sebagai partai Islam, PBB melandaskan perjuangan pada ajaran-ajaran Islam yang universal dan bersifat "rahmatan lil alamin' yaitu rahmat bagi seluruh alam. Sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur'an : Universalisme ajaran Islam, terutama tentang asas keadilan, kejujuran, kebenaran, pemihakan kepada kaum lemah dan tertindas, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia apapun agama yang mereka peluk, adalah asas perjuangan PBB. Segenap warga PBB wajib menjunjung tinggi akhlak yang mulia, wajib menjunjung tinggi norma-norma etik Islam yang universal. Politik adalah bagian dari dakwah untuk mengajak manusia ke arah kebajikan dan menolak kemungkaran. Tidak ada pihak yang dirugikan dengan prinsip-prinsip ini.
PBB dibangun dengan suatu cita-cita dan telah meletakkan Islam sebagai asas dari pada partai ini. PBB mempunyai program yaitu ingin menegakkan syariat Islam , ini adalah prinsip dan pendirian partai. Tujuan PBB adalah mewujudkan masyarakat yang beriman, bertaqwa adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT. Hai yang sama juga terdapat pada tujuan Masyumi. Maka dari perumusan di atas, partai hendak berjalan di atas ajaran dan hukum Islam. PBB akan memperjuangkan ajaran dan hukum Islam. Segenap warga partai hendak melakukan jihad perjuangan pekerjaan bersungguh-sungguh hendak menegakkan Islam dalam dirinya, masyarakat dan negara, menuju keridhaan Ilahi.
PBB memang memperjuangkan tegaknya syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita menjunjung tinggi kemajemukan masyarakat Indonesia. Syariat Islam daiam arti pribadatan seperti shalat, puasa dan haji, dapat dilaksanakan menurut Islam seluas-luasnya, tanpa sedikilpun kewenangan negara untuk mencampuri atau menghalanginya. Di bidang hukum privat kita tetap menghargai adanya kemajemukan hukum, sesuai dengan kemajemukan masyarakat kita ini, yaitu prinsip-prinsip Islam. Syariat Islam dalam kehidupan pribadi dan keluarga seperti perkawinan dan kewarisan dijamin untuk dilaksanakan bagi umat Islam, sebagaimana umat beragama lain juga tunduk kepada ketentuan-ketentuan agama mereka. Perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaan itu jika dia orang Islam maka sah perkawinannya itu apabila tunduk pada kaedeh-kaedah hukum Islam. Syariat dalam kehidupan lebih luas yang berkaitan dengan hukum publik, adalah sumber hukum yang universal, yang dapat ditransformasikan ke dalam hukum nasional atau peraturan di daerah-daerah. Kalau sudah selesai di transformasikan, maka namanya bukan lagi syariat Islam, melainkan hukum nasional Republik Indonesia atau Peraturan Daerah, atau peraturan lainnya yang merupakan hukum negara RI.
Dalam negara demokrasi orang boleh memperjuangkan apa yang menjadi cita-cita dan aspirasi mereka. Menurut hukum dan konstitusi, maka berhak dan setiap partai politik untuk memperjuangkan aspirasi politiknya.PBB dalam sidang-sidang MPR yang lalu telah empat kali melakukan amandemen konstitusi. PBB sebenarnya tidak mau mengamendemen UUD 1945 dengan Piagam Jakarta, PBB hanya menuntut perubahan pasal 29 dikembalikan kepada rumusan awal, bukan pada pembukaan. Teks Piagam Jakarta adalah teks Proklamasi yang disiapkan. Namun tidak jadi dibaca dan kemudian teks itu dicoret pada tanggal 18 Agustus 1945, khususnya kata-kata Syariat Islam dijadikan sebagai pembukaan UUD. Fraksi PBB di MPR pada waktu, itu hanya menginginkan mengamendemen pasal 29 sesuai dengan teks aslinya yang merupakan kompromi antara golongan Islam dengan golonga kebangsaan, sebelum kita memperoklamsikan kemerdekaan Indonesia.
Dua kompromi tujuh kata adalah rumUsan syarat Presiden yang dinyalakan bahwa Presiden RI ialah seorang Indonesia asli dan beragama Islam. Pada waktu itu di MPR, PBB memperjuangkan agar kata-kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikembalikan. Bukan hanya syariat Islam sebagai sumber hukum yang PBB transformasikan, asas-asas hukm privat, dan hukum kolanial Belanda yang telah diterima masyarakat, juga konvensi-konvensi internasional yang telah PBB ratifikasi, semua adalah sumber hukum, disamping UUD negara Republik Indonesia tahun 1945. Asas dan cita-cita perjuangan PBB sejalan dengan kemajemukan bangsa Indonesia. Tidak perlu umat Islam menjalankan perintah agamanya itu karena diperintah oleh konstitusi. Tetapi meskipun PBB tidak berhasil memperjuangkannya, namun kita tetap berkenyakinan kembali atau tidak kembali tujuh kata itu adalah kewajiban kita umat Islam untuk memperjuangkan asas-asasnya, syariat itu berlaku dalam masyarakat bangsa dan negara Republik Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
T26091
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurdiana
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2008
T37873
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>