Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 115480 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Pinckey Triputra
"ABSTRACT
Penelitian bertujuan mengungkap bagaimana ideologi neoliberalisme mempengaruhi struktur dan perilaku industri penyiaran, dalam hal ini televisi, baik pada masa orde baru maupun pada pasca revolusi Mei 1998. Dengan pendekatan ekonomi politik penelitian menyimpulkan bahwa pendirian industri penyiaran didorong semangat neoliberalisme alih-alih demokratisasi yang mengutamakan keberagaman isi dan kemajemukan kepemilikan"
Departemen Ilmu Komunikasi, FISIP UI, 2005
MK-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
B. Nugroho Sekundatmo
"Ranah penyiaran Indonesia pasca 1998 telah mengalami perubahan mendasar dengan keluarnya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, di mana sebelumnya merupakan domain kewenangan pemerintah (Departemen Penerangan) menjadi domain kewenangan masyarakat yang direpresentasikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI merupakan lembaga negara yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Tetapi konstestasi Negara, industri, dan masyarakat sipil di ranah penyiaran belum selesai dan berlarut-larut dalam Peraturan Pemerintah tentang penyiaran.
Tujuan penelitian ini adalah membongkar akar penyebab kontestasi tersebut dan memberikan rekomendasi kepada KPI, baik lembaga maupun anggotanya/termasuk saya sendiri, untuk mengelola kontestasi berhadapan dengan industri dan pemerintah dalam rangka mengatur penyiaran Indonesia sehingga memberi manfaat bagi masyarakat. Proses penelitian ini diabdikan untuk mencapai tujuan akhir, yaitu perubahan sistem penyiaran nasional yang tersentralisasi menuju sistem penyiaran lokal berjaringan.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa akar kontestasi masalah ini adalah pertarungan rezim Market Regulation melawan Public Regulation. Siapa sesungguhnya yang dimenangkan dan diuntungkan dalam kontestasi tujuh PP Penyiaran tersebut? Jawabnya adalah para pemilik modal TV/radio yang sudah mapan di industri penyiaran Indonesia. Bagaimana dengan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo)? Depkominfo hanyalah kaki-tangan para pemilik modal yang sudah mapan di industri penyiaran itu. Dan KPI? KPI masih belum berhasil, kalau tak sopan jika dikatakan telah gagal, menjadi instrumen pelopor untuk menegakkan kepemilikan publik atas ranah liar Indonesia. Tapi kontestasi tetap belum selesai. Public Regulation masih mempunyai peluang untuk terus hidup, tesis ini ditutup dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mendorong public regulation tersebut.
Participatory Action Research ini juga menemukan terjadinya bipolarisasi aktor di ranah penyiaran, yakni Depkominfo dan Industri di satu pihak, berhadapan dengan DPR, KPI, dan Masyarakat Sipil di lain pihak. Bipolarisasi aktor tersebut berdialektika dengan terjadinya diskrepansi/patahan dalam struktur ekonomi politik penyiaran di mana Peraturan Pemerintah tentang Penyiaran kemudian menjadi tidak sinambung dengan Undang-Undang Penyiaran.

Indonesia broadcasting landscape in the post 1998, has basically changed after the deliberation of the new Broadcasting Law (UU Nomor 32 Tahun 2002). Under the previous law, the power to regulate TV and radio belongs to The Department of Propaganda (Departemen Penerangan). Nowadays, it belongs to the public which is represented by the Indonesian Broadcasting Commission (KPI). By law, KPI is a state body to regulate the broadcasting matters. But the ministry of communication and information and also the established broadcasting capitalists do not satisfied with the law. The contestation among the state, industry, and civil society in the broadcasting landscape has not finished yet. It's still continuing till the Government Regulations on Broadcasting signed by the President Susilo Bambang Yudhoyono.
The purpose of this research is to find out the roots of the contestation and to formulate the recommendations for KPI, as an institution and also for the commissioner/including myself, to manage the contestation facing the broadcasting industry and government. However, the broadcasting landscape must be regulated so that it can give the benefit for public. The Process of this research will be dedicated to reach the final purpose, i.e. to change the centralized broadcasting system to local network system.
The finding of this research is that the contestation between the Market Regulation vis a vis Public Regulation. Who is really got the benefit of the government regulations on broadcasting? The answer is the established broadcasting capitalists in Indonesia. How about the Department of Communication and Information (Depkominfo)? Depkominfo is just a slave of the established broadcasting capitalist. And KPI? KPI has not been successful yet as a frontier soldier to uphold the public ownership on broadcasting arena. Actually, the contestation is to be continued. The Public Regulation still has the opportunity to survive. This research provides recommendations to enforce the public regulation.
This Participatory Action Research has also found the bipolarization of the actors in the broadcasting landscape, i.e. government and the industry on one faction against parliament (DPR), KPI, and civil society. This bipolarization runs dialectically with the discrepancy in the broadcasting political economy structure so that the Government Regulations on Broadcasting doesn't obey the Broadcasting Law.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21228
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Utami
"Industri penyiaran televisi merupakan industri yang sangat diregulasi. Baik karena kelangkaan spektrum maupun karena dampak informasi yang ditayangkan terhadap sikap dan perilaku masyarakat. Tujuan dart penulisan tesis ini yaitu mengetahui dan menganailsis instrumen regulasi di industri penyiaran televisi serta kebijakan persaingan yang diberlakukan di industri penyiaran televisi.
Metode yang digunakan dalam penelitlan ini adalah metode penelitian deskriptis analitis yaitu dengan membuat analisis secara sistematis faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah di industri penyiaran televisi dan implikasinya. Masalah yang dibahas dalam tulisan ini dibatasi hanya pada Industri penyiaran televisi di Jawa. Periode pembahasan masalah yaitu pada kurun waktu 2002-Juli 2003.
Hasil anallsis terhadap UU NO. 32 tentang penyiaran Tahun 2003 memperlihatkan bahwa instrumen yang digunakan untuk meregulasi industri penyiaran televisi Indonesia adalah melalui Pembatasan Lisensi dan kepemilikan, Pembatasan kepemilikan terhadap media lain, Pembatasan Iklan, Pembatasan Program, Pengaturan Institusi, dan Penyediaan waktu untuk slaran ikian layanan masyarakat. Instrumen Regulasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut sama dengan instrumen regulasi yang dilakukan oleh beberapa negara di Eropa (seperti Inggris, Perancis, Jerman, Itali dan Spanyol) serta Australia. Bedanya di industri penyiaran televisi Eropa dan Australia tidak ada kewajiban untuk menyediakan waktu guna siaran ikian layanan masyarakat.
Di Indonesia regulasi mengenai kepemilikan dan kepemilikan silang belum ada penjelasannya secara rinci sementara di negara Eropa dan Australia hal tersebut telah dlbatasi secara rinci dan pelaksanaan regulasi tersebut telah diatur oleh lembaga yang sudah exist. Di Indonesia Komisi Penyiaran Indonesia yang ditugaskan untuk melaksanakan tugas tersebut baru dalam proses pembentukan karena memang UU penyiaran Indonesia relatif masih baru yaitu disahkan pada tanggal 28 Desember 2002.
Tentang ketentuan berjaringan bagi lembaga penyiaran swasta yang sudah memiliki stasiun relay sebelum adanya UU penyiaran, maka Anteve sudah siap mengantisipasinya dengan sistem waralaba. TPI bekerjasama (berjaringan) dengan Jawa Pos TV. Sementara Metro TV bekerjasama dengan TV Manado dan Jawa Pos Tv.
Kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi Indonesia berdasarkan UU NO. 32 Tahun 2002 menetapkan membatasi lisensi dan kepemilikan di industri penyiaran televisi juga melarang adanya kepemilikan silang media. Realitasnya saat ini ada kepemilikan silang media yaitu PT Bimantara pemilik televisi swasta RCTI juga menjadi pemilik radio Trijaya FM. PT RCTI juga menjadi salah satu pemilik dan Lembaga Penyiaran Beriangganan INDONUSA. Televisi swasta PT SCTV juga menjadi pemilik Metro TV. Realitas tentang kepemilikan silang Inilah yang harus segera ditindaklanjuti begitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terbentuk nantinya. Namun terlebih dahulu KPI harus membuat aturan yang jelas dan menerapkan aturan tersebut secara tegas seperti di Australia.
Kebijakan persaingan di Industri penyiaran televisi Eropa lebih ditujukan untuk membatasi merger dan kepemilikan diantara perusahaan di industri penyiaran televisi dan antara perusahaan televisi dengan produsen program televisi Masyarakat Eropa. Di Amerika Serikat kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi juga ditujukan untuk mengatur dan mengawasi merger dari perusahaan yang memiliki posisi dominan di pasar atau memiliki share pasar terbesar. Kebijakan persaingan di industri penyiaran televisi Australia mengatur mengenai pembatasan kepemilikan silang media (sama seperti di Indonesia)."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T12568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Amry Daulat
"Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran terkait status dan tantangan
peralihan penyiaran digital di Indonesia saat ini. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Indonesia menghadapi beberapa tantangan di sisi regulasi, yaitu UU Penyiaran saat ini
yang belum mengatur penyiaran digital secara spesifik dan permasalahan hukum
terkait regulasi penyiaran digital yang berdampak tenggat waktu peralihan dari analog
ke penyiaran televisi digital tahun 2018 tidak dapat dipenuhi."
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan SDPPPI Kementrian Komunikasi dan Informatika, 2018
302 BPT 16:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pinckey Triputra
"Belajar dari kegagalan Soekarno yang administrasi pemerintahannya relatif tidak stabil disertai indikator ekonomi yang makin memburuk, Rezim Orde Baru memprioritaskan kestabilan politik yang dijadikan dasar untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua strategi ini dipromosikan kepada negara Barat yang sedang kuat sentimen anti-komunismenya guna menarik modal asing. Bagi rezim Soeharto, pengintegrasian struktur ekonomi nasional ke dalam pasar bebas dengan spirit Neoliberalisme (ekspansi modal global yang agresif dengan tuntutan membebaskan pasar dari segala intervensi), dilakukan dalam upaya meningkatkan legitimasi (pencapaian) ekonomi Orde Baru. Namun pada masa itu pun telah terdapat dilema, berupa upaya melindungi modal nasional dalam industri media yang antara lain dilakukan secara sepihak oleh Harmoko selaku Menteri Penerangan; serta terlibatnya bagian dari elite yang berkuasa dalam permodalan industri media (integrasi vertikal). Lebih jauh, pengintegrasian ke dalam pasar bebas ini juga membawa dilema berupa kerentanan terhadap arus informasi dan perubahan persepsi, misalnya (atau utamanya) terhadap perpindahan modal asing.
Penekanan pada kestabilan politik mendorong pemerintah Orde Baru melakukan kontrol preventif dan korektif yang menyeluruh terhadap pers di Indonesia, dalam bungkus hegemoni "Pers yang bebas dan bertanggung jawab", "Pers Pancasila" dan lain lain. Di luar TVRI, kelima stasiun TV swasta pertama dimiliki oleh anggota atau kroni bisnis Keluarga Cendana. Kontrol ini justru membuat mereka tidak dapat mengidentifikasi atau mengevaluasi berbagai persoalan yang mengancam kelangsungan rezim tersebut tepat pada waktunya. Krisis ekonomi yang menimpa Asia pada tahun 1997, meningkatnya intensitas gerakan mahasiswa dan aktivis dengan alur informasi dari media alternatif (internet, jaringan berita kampus dan LSM) membantu aksi sosial jurnalis secara bertahap guna mengatasi hambatan struktural di ruang-ruang redaksi media cetak, radio dan TV. Perpindahan modal sebagai konsekuensi logis dari kerentanan pengintegrasian ke dalam pasar bebas, akhirnya ikut berkontribusi pada terjadinya the unthinkable Revolusi Mei 1998.
Jatuhnya Soeharto memulai suatu pemerintahan baru yang relatif lemah karena masih terasa kuatnya perlawanan elemen-elemen Civil Society menuntut perubahan di segala bidang. Pembubaran Departemen Penerangan oleh Abdurrahman Wahid membuat terdapatnya semacam kondisi lawlessness pada industri penyiaran, karena eksekutor dari Undang-Undang Penyiaran No 24/1997 tidak lagi eksis. Di tengah tuntutan akan demokratisasi sistem media, yang muncul kemudian hanyalah 5 stasiun TV komersial yang masih berlabel nasional, juga dengan prinsip-prinsip Neoliberalisme.
Sejalan dengan advokasi dari elemen-elemen Civil Society untuk menghasilkan Undang-Undang Penyiaran yang baru, bermunculanlah stasiun-stasiun TV lokal. Hal ini antara lain banyak dikaitkan dengan spirit desentralisasi sebagaimana yang tercermin pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Rancangan Undang-Undang Penyiaran pun mengedepankan prinsip Diversity of Ownership dan Plurality of Content yang mendorong lahirnya stasiun-stasiun TV lokal, dan mengubah secara prinsipil istilah stasiun TV nasional menjadi sistem berjaringan.
Untuk memberikan dimensi historical situatedness, analisis disertasi ini dilakukan dalam konteks historis spesifik pada zaman Orde Baru hingga pascareformasi. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif terutama berdasarkan studi literatur dan wawancara mendalam di lapangan dengan nara sumber dari berbagai kalangan yang relevan pada industri penyiaran Indonesia dalam jumlah cukup besar.
Figure (Model) untuk menggambarkan Theoretical Framework (Kerangka Teori) dalam penelitian ini memperlihatkan bahwa baik di Masa Orde Baru maupun Reformasi terdapat sejumlah dilema dalam industri penyiaran Indonesia yang terkait dengan spirit Neoliberalisme, pada 3 level, yakni: level struktur, organisasi, dan individu. Pada level struktur, baik di masa Orde Baru maupun Reformasi, keinginan mengintegrasikan atau membuka diri pada pasar bebas umumnya diikuti oleh keinginan melindungi modal nasional dari penetrasi dan ancaman modal global. Hal ini pada gilirannya juga menimbulkan dilema berupa monopoli oleh pemain nasional. Untuk mengimbanginya, Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran yang lahir di masa reformasi, mendorong keberagaman kepemilikan pada TV-TV lokal sekaligus membatasi area jangkauan sebuah stasiun televisi pada ambang yang akan ditentukan kemudian. Pada level organisasi, di masa Orde Baru, dilema antara fungsi ekonomis dan ideologis, umumnya dimenangkan oleh fungsi ekonomis sejalan dengan kuatnya kontrol politik oleh pemerintah. Hal tersebut, berimbas pada level individu yang membuat praktisi atau pekerja media relatif lebih menjadi "buruh industri media" yang tunduk pada seluruh keinginan dan kepentingan modal yang overlapped dengan kepentingan kontrol pemerintah.
Sekalipun TV-TV lokal di Masa Reformasi relatif tidak memiliki hubungan langsung dengan modal global, namun mereka juga termakan imbas kekuatan Neoliberalisme. Misalnya, pada level organisasi, mereka juga relatif tergantung pada dominasi produk-produk yang dianggap sebagai sebuah super culture terhadap produk-produk lain, baik itu dengan melakukan peniruan atau adaptasi dari produk global, yang pengenalan atau popularitasnya dijembatani oleh TV-TV besar yang telah lebih dulu bersiaran di Jakarta. Selain soal selera global ini, standar keberhasilan TV lokal pun umumnya didasarkan pada fungsi-fungsi ekonomis, yang mengacu pada spirit Neoliberalisme seperti rating. Begitu pula dalam pengembangan sumber daya manusia dan teknologi, referensi terhadap keahlian dan kebaruan, serta pembelian dan perawatan alat-alat juga mengacu pada ukuran-ukuran dan pasar global.
Di sisi lain, harapan akan munculnya TV Publik Lokal dan TV Komunitas yang dapat menjadi alternatif untuk memutus terkaman imbas kekuatan modal global dalam berbagai level tersebut, masih belum menjadi sebuah realitas yang menjanjikan. Untuk itulah diperlukan sebuah intervensi politik dari publik, melalui Komisi Penyiaran Indonesia.
Jika tidak terdapat contoh-contoh praktek alternatif seperti itu, maka pada level individu, atau lebih spesifik dalam dunia jurnalistik, maka jurnalis Indonesia dikhawatirkan tidak lagi merupakan insan kreatif, namun hanya merupakan one-dimensional man yang dalam segala arah tunduk pada keinginan dan kepentingan pemodal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
D587
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenita Jenne
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25070
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Interseksi, 2005
305.859 8 HAK
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Fenomena pekerja migran Indonesia yang merantau kerja di berbagai negara selalu melahirkan dan memunculkan beragam kisah bahagia dan kisah menyedihkan.Kisah bahagia sebagai bukti bahwa eksistensi pekerja migran sangat membeantu mengatasi pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan keluarga
"
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Broadcasting digitalization can increase efficiency of broadcasting infrastructure management which can result in maximum audio and audio visual broadcasting. Therefore, choice of models of broadcasting digitalization management cannot be separated from principles of efficiently and goals for attaining maximum digital dividend. Broadcasting digitalization moreover provides various opportunities for people to choose its dissemination technology and the ways its substances can be received. The essay says that broadcasting digitalization in Indonesia must be regulated in low regarding broadcasting. "
POL 6:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>