Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 135178 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Purba, Priza Audermandi
"Kerangka berpikir dikotomis, generalisasi berlebihan, kontaminasi subjektivitas pemikiran Barat atau pengabaian adanya variasi individual masih mewarnai produk-produk komunikasi yang melibatkan aspek budaya. Hal ini tampak pada kreativitas periklanan, pernyataan politisi, bahkan dari analisa para pakar budaya atau komunikasi. Padahal, berbagai penelitian memperlihatkan adanya orientasi psikologis dan budaya individual yang berbeda di tengah dominasi kecenderungan budaya tertentu, terutama pada diri kelompok pelajar atau mahasiswa. Fenomena perbedaan orientasi ini juga terjadi di kota besar di Indonesia, khususnya pada individu dari kelompok cohort human capital generation.
Salah satu variasi individual yang kerap diabaikan itu adalah self-construal. Konsep ini telah menjadi perhatian para komunitas peneliti internasional di bidang psikologisosial dan komunikasi satu dekade terakhir. Self-construal telah diaplikasikan ke berbagai area komunikasi antar pribadi, pemasaran dan organisasi. Dalam perkembangannya, lahir berbagai teori tentang self-construal. Satu dari sekian banyak teori self-construal itu adalah teori Gudykunst et al. yang menjelaskan pola hubungan antara variabilitas budaya sosialisasi individual, identitas budaya, perubahan generasi dengan self-construal. Mempertimbangkan kelayakan teoritis dari aspek kontekstual (struktural dan kultural), karakteristik psikologis dan kepentingan praktis, penelitian ini dilakukan untuk menguji keberlakuan teori Gudykunst dengan mengambil mahasiswa dan cohort capital generation sebagi subjek penelitian.
Menggunakan metode survai, pengumpulan data dengan penyebaran kuesioner, dan data dianalisis menggunakan metode analisis lajur (path analysis), penelitian ini menemukan beberapa fakta empirik. Pertama, efek hubungan langsung antara variabilitas budaya dengan self-construal lebih tinggi dari efek hubungan tidak langsungnya. Efek hubungan langsung antara perubahan generasi yang dipersepsikan dengan self-construal lebih tinggi dari efek hubungan tidak langsungnya. Efek hubungan langsung dan tidak langsung antara identitas budaya dengan self-construal diabaikan, sebab jejak hubungan (path coefficient) tidak signifikan. Sementara, sosialisasi individual hanya berhubungan secara langsung dengan self-construal. Kedua, efek total semua hubungan langsung pada path model lebih tinggi dari efek total hubungan tidak langsung. Ketiga; akibat path coefficient identitas budaya dengan self-construal tidak signifikan, maka model dasar (path model) harus disesuaikan. Nilai uji fit coefficient menunjukkan bahwa model yang disesuaikan (fit model) lebih baik dari model dasar (path model).
Penelitian ini menyimpulkan beberapa bal. Pertama, hasil penelitian ini memperlihatkan konseptualisasi, operasionalisasi dan pengukuran kelima konsep yang diteliti yang berbeda dari Gudykunst. Kedua, penelitian ini mengintegrasikan hubungan keempat konsep yang diteorikan Gudykunst ke dalam sebuah skematisasi model lajur yang integratif dan menerapkan metode analisis lajur (path analysis). Di mana dalam teorinya Gudykunst belum mengintegrasikannya ke dalam sebuah model dan metode analisi yang umum digunakan adalah mutivariate analysis of covariates (MANCOVA). Ketiga, hasil penelitian juga menghasilkan model yang disesuaikan (fit model) yang lebih baik dari model dasar (hasil kerangka teori Gudykunst). Implikasi teoritis adalah penelitian ini telah melakukan eksplikasi konseptual, replikasi dan modifikasi kerangka konseptual dan kerangka teori self-construal yang dikembangkan oleh Gudykunst.
Bila ingin melakukan replikasi teori Gudykunst, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal. Pertama, untuk meningkatkan derajat validitas eksternal perlu dipertimbangkan: (1) kelayakan teori dari segi kontekstual (struktural dan kultural), (2) kelayakan teoritis menyangkut adanya perbedaan orientasi psikologis dan budaya subjek riset yang ditetapkan dengan orientasi psikologis dan budaya dominan (tidak berdasarkan asumsi), (3) kelayakan teoritis menyangkut jumlah kelompok yang dianggap penting oleh subjek penelitian (tidak berdasarkan asumsi) dan (4) kelayakan teoritis untuk penetapan subjek penelitian untuk kepentingan praktis program komunikasi pemasaran. Kedua, dengan pertimbangan kecukupan teoritis pertama, perlu dilakukan riset-riset segmentasi khalayak berbasis self-conslrual untuk program-program komunikasi praktis (antar pribadi, pemasaran, organisasi, dan politik).

Western biases, over generalization dichotomized conception, still exists in various communication products, especially if refers to cross-cultural communication. We can get in advertising creativities, politician statements and unfortunately, also from analysis of communication scholars. In the other words, it reflects the efforts for throwing out the individual variations within culture. Meanwhile, there is a segregation cultural tendency in dominant culture, mainly for students. In Indonesia context, we can see it in cohort of human capital generation.
One of individual variation is self-construal, which had been an interesting subject for international social-psychology and communication scholars since 1991. This concept had been widely applied to communication practices. The most famous of self construal theory came from Gudykunst et al. They contended that there are four concepts correlates (direct and indirect) to self construal. They are cultural variability, individual socialization, cultural identities and generational change. This study tries to replicate it with individual from cohort human capital generation as research subjects.
Using survey method, questionnaires data collection and path analysis method, the study isolated three important results. Firstly, direct effect scores of cultural variability with self-construal greater than its indirect effect. Direct effect scores of generational change perceived with self-construal greater than its indirect effect. Cultural identity has insignificance correlation to self-construal. Meanwhile, individual socialization just has a direct correlation with self-construal. Secondly, scores of total direct effects greater than indirect total effects. Third, cause of all the insignificance correlations to self-construal that was contributed by cultural identities, so path model has to be adjusted by fit model test. Fit coefficient indicated that fit model was better model than path model.
This study also isolated three decisions: Firstly; this study resulted a different conceptualization, operationally, measurement with Gudykunst's concept. Secondly, study has integrated Gudykunst's self-construal theory into a path model and using path analysis method. Thirdly, this study result a better model than Gudykunst's self-construal theoretical framework. These three decisions implies to explication of Gudykunst's self-construal concept, replication of Gudykunst's self-construal theories and modification of Gudykunst's self-construal theoretical framework.
This study also suggests two recommendations for next research. Firstly for increasing external validity degrees, subsequent researcher ought to take a careful examination of theoretically requirements, such as: context (structure-culture), limitation of psychology and culture orientation of research subjects, number and degree of groups that is important to subjects and practices needs. Secondly, for communication practices research, it's time for communication practitioners (marketing, organization and politics) to redefine and focuses their segmentation concepts base on self-construal concept.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T21657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Maulina
"ABSTRAK
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya suku bangsa yang terdapat di Indonesia. Pada masa sekarang interaksi
antar suku bangsa yang ada cukup besar, karena banyak suku bangsa yang hidup
bersama dalam suatu daerah. Untuk itu dibutuhkan pengertian satu sama lain agar
tidak teijadi konflik dalam pergaulan, misalnya dalam hubungan persahabatan
maupun dalam perkawinan antar suku bangsa. Pemahaman ini penting karena
tingkah laku individu dipengaruhi oleh kebudayaan dalam masyarakat. Walaupun
telah teijadi interaksi yang lama antar kelompok budaya, namun perbedaan tiap
budaya tetap ada. Oleh sebab itu penelitian ini mengambil dua suku bangsa di
Indonesia untuk diteliti, yaitu Jawa dan Batak, yang dianggap cukup banyak
masyarakat pendukungnya di Indonesia.
Tingkah laku individu yang terutama ingin diteliti dalam kaitannya dengan
budaya adalah kehidupan keluarga. Latar belakang budaya keluarga perlu
diketahui oleh individu, karena pengalaman yang diperoleh individu dari
keluarganya dapat mempengaruhi sikap individu ketika berinteraksi dalam
masyarakat. Penanaman nilai-nilai budaya telah dilakukan sejak kecil pada
individu, dan dapat dilihat paling jelas dari kehidupan keluarganya. Sebagai
kesatuan sosial yang terkecil dalam masyarakat, keluarga merupakan media yang
paling tepat dan efektif dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan pada individu.
Keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan pembentukan
kepribadian individu, dan bagaimana keluarga mempengaruhi tingkah laku
individu akan ditentukan oleh latar belakang budaya dimana keluarga menjadi
bagian.
Penelitian ini mengambil empat aspek kehidupan keluarga untuk diteliti,
yaitu peran-peran dalam keluarga, nilai-nilai keluarga, family bonds, dan self
construal. Peran dalam keluarga berkaitan dengan posisi atau kedudukan individu
dalam keluarga. Nilai keluarga merupakan sesuatu yang dianggap bemilai oleh
keluarga. Family bonds merefleksikan kekuatan dan bentuk ketergantungan
individu terhadap keluarga. Sedangkan self-construal menggambarkan bagaimana
individu memandang dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Keempat aspek
keluarga tersebut diambil dengan dugaan akan menghasilkan perbedaan dalam
suku bangsa yang diteliti, yaitu Jawa dan Batak. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan peran dalam keluarga, nilai keluarga, family bonds, dan selfconsirual
antara individu dengan latar belakang budaya Jawa dan individu dengan
latar belakang budaya Batak.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dan metode yang
digunakan adalah metode kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa,
terdiri dari 115 orang yang mewakili suku bangsa Jawa dan 128 orang yang
mewakili suku bangsa Batak. Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan teknik incidental sampling. Alat pengumpul data adalah empat
buah kuesioner yang masing-masing mengukur peran dalam keluarga, nilai
keluarga, family bonds, dan self-construal. Peran dalam keluarga yang diteliti
mencakup peran ayah, ibu, kakek, nenek, dan paman/bibi. Family bonds dilihat
berdasarkan ikatan emosional subyek terhadap anggota keluarga inti dan anggota
keluarga luas. Sedangkan pengukuran self-construal terdiri dari pengukuran
terhadap independent self-construal dan interdependent self-construal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada peran dalam keluarga, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan dalam peran ayah dan peran nenek antara
subyek dengan latar belakang budaya Jawa dan Batak. Perbedaan yang signifikan
terdapat pada peran ibu dalam pengasuhan anak, peran paman/bibi dalam menjaga
hubungan dan meneruskan nilai-nilai, serta peran paman/bibi dalam pengasuhan
anak. Pada nilai keluarga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan
antara subyek dengan latar belakang budaya Jawa dan Batak. Pada ikatan
emosional terhadap anggota keluarga inti dan anggota keluarga luas juga tidak
ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara subyek dengan latar belakang
budaya Jawa dan Batak. Sedangkan pada self-construal perbedaan yang signifikan
hanya terdapat pada independent self-construal.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan umum
bahwa banyak hasil penelitian ini yang berlawanan dengan dugaan semua.
Walaupun terdapat perbedaan, namun perbedaan tersebut tidak sebesar yang
diperkirakan secara teoritis. Dari hasil tersebut diduga bahwa mungkin bagi
masyarakat Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan keluarga tidak jauh berbeda
antara satu budaya dan budaya lain. Keluarga masih dianggap penting bagi sctiap
individu, sehingga variasi yang terdapat dalam kehidupan keluarga di budayabudaya
Indonesia tidak terldu banyak. Secara umum falrtor-faktor yang mungkin
merupakan penyebab tidak ditemi^annya banyak perbedaan dalam penelitian ini
antara lain lokasi penelitian yang sama-sama merupakan kota kecil, subyek
penelitian yang termasuk spesifik, serta tingkat pendidikan orangtua subyek yang
tergolong tinggi. Dari hasil tersebut penulis mengajukan beberapa saran yang
berguna bagi penelitian selanjutnya. Saran yang diajukan antara lain melakukan
penelitian tidak hanya di kota kecil tapi juga di kota besar, kemudian melakukan
penelitian pada budaya-budaya lain untuk memastikan apakah memang tidak
terdapat variasi yang banyak dalam kehidupan keluarga di Indonesia. Selain itu
penulis juga menyarankan untuk memperluas tingkat pendidikan subyek sehingga
mungkin dapat diperoleh perbedaan yang lebih banyak dalam membandingkan
kehidupan keluarga di dua budaya."
2002
S2829
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Detricia Tedjawidjaja
"Tahap perkembangan remaja seringkali ditandai dengan peningkatan kecemasan sosial. Meskipun Social Anxiety Disorder (SAD) merupakan gangguan yang umum terjadi pada remaja, SAD cenderung sulit untuk diidentifikasi. Faktor budaya diduga berpengaruh terhadap batasan antara tingkat kecemasan sosial yang normal dan patologis. Penelitian ini menggunakan explanatory sequential design (kuantitatif-kualitatif) untuk (1) menguji pengaruh self-construal terhadap kecemasan sosial melalui peran mediasi emosi malu pada remaja etnis Jawa dan (2) menjelaskan penghayatan kecemasan sosial remaja etnis Jawa yang dibandingkan dengan gejala SAD dalam DSM-5. Dalam penelitian kuantitatif, pengukuran terhadap kecemasan sosial, self-construal, dan emosi malu melibatkan 37 remaja berusia 14-17 tahun dengan kedua orang tua beretnis Jawa dan berdomisili di Provinsi DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hasil uji mediasi menggunakan causal steps approach menunjukkan bahwa emosi malu tidak berperan dalam hubungan antara self-construal dengan kecemasan sosial. Selain itu, independent construal secara signifikan berpengaruh negatif dan emosi malu berpengaruh positif terhadap tingkat kecemasan sosial. Selanjutnya, empat partisipan dengan kecemasan sosial yang tinggi berdasarkan pengukuran pada penelitian kuantitatif diikutsertakan dalam wawancara mendalam tentang gejala kecemasan sosial yang mereka alami. Hasil dari inductive analysis menunjukkan bahwa tingginya kecemasan sosial tidak selalu mengarah pada penegakan diagnosis SAD. Norma dalam budaya Jawa yang cenderung menerima gejala kecemasan sosial menyebabkan dampak negatif tidak muncul terhadap fungsi sehari-hari remaja. Implikasi dari hasil penelitian ini menekankan pada pentingnya mempertimbangkan konteks budaya remaja dalam menegakkan diagnosis SAD.

Adolescence is often marked by increased social anxiety. Even though Social Anxiety Disorder (SAD) is one of the most common disorders among adolescents, SAD is likely to be difficult to recognize. Cultural factors may influence the boundary between the normal and pathological level of social anxiety to be ambiguous. Using an explanatory sequential design (quantitative-qualitative), the aims of this study were to (1) examine whether self-construal influence social anxiety through mediating role of and (2) explore the meaning and experience of social anxiety symptoms among Javanese adolescents by comparing them with SAD symptoms in DSM-5. For quantitative study, measurement of social anxiety, self-construal, and shame involved 37 adolescents aged 14-17 year-old with both parents are Javanese and settle in DI Yogyakarta, Central Java, and East Java Province. The result of mediation analysis using causal steps approach indicated that there is no mediation effect of shame in the relationship between self-construal and social anxiety. In addition, only independent construal have a negative effect and shame have a positive effect significantly on social anxiety intensity. Furthermore, four participants with high social anxiety based on measurement in the quantitative study were joined an in-depth interview about their social anxiety symptoms. Results of the inductive analysis indicated that high social anxiety does not necessarily lead to the diagnosis of SAD. Norms in Javanese culture that tends to tolerate social anxiety symptoms causes no negative impact on adolescents' functions of daily life. The findings suggest that considering adolescent cultural context is essential for diagnosing SAD."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Nina Chrisnawati
"Markus dan Kitayama (1991) mengklaim bahwa self-construal merupakan konsep yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Di sisi lain, Triandis (1995) menyatakan bahwa individualisme-kolektivisme merupakan konsep yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Sampai saat ini masih terjadi perdebatan di antara Para ahli untuk mengetahui dan menemukan penjelasan pasti, mana dari antara kedua konsep tersebut yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan perilaku individu. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk menguji kekuatan kedua konsep tersebut dalam menjelaskan perilaku individu, yang dalam penelitian ini akan diuji pada kasus memilih pasangan pada kelompok etnik Batak. Selain menggunakan self-construal dan individualisme-kolektivisme, peneliti juga menggunakan identitas etnik sebagai variabel penelitian. Hipotesis yang diajukan adalah (1) Self-construal, individualisme-kolektivisme, dan identitas etnik mempengaruhi kecenderungan individu dalam memilih pasangan; (2) self-construal memiliki pengaruh dan daya prediksi paling besar dibandingkan individualisme-kolektivisme, dalam menjelaskan kecenderungan individu ketika memilih pasangan. Hasil penelitian menunjukkan kesesuaian dengan hipotesis yang diajukan. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara self-construal laki-laki dengan selfconstrual perempuan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2007
T 17835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titik Pudjiastuti
Jakarta: UI-Press, 2010
PGB 0253
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Novianti
"Muara dari semua persoalan-persoalan empiris kekaryawanan adalah lahirnya ketidakpuasan kerja (job unsatisfaction) yang dirasakan karyawan terhadap perusahaan. Pola representasi dan ketidakpuasan kerja itu beragam. Bisa dalam bentuk keluar (exit) dari organisasi, menyuarakan ketidakpuasan pada perusahaan (voice), melalaikan tugas (neglect) dan juga bisa dalam bentuk loyalitas (loyalty) pada perusahaan. Studi menunjukkan bahwa bila karyawan yang mempersepsikan perusahaan memberikan kepuasan baginya, ia akan bekerja lebih efektif dibandingkan perusahaan yang dipersepsikan tidak memberikan kepuasan. Bila perusahaan dipersepsikan akan memberikan kepuasan pada karyawan, maka tingkat absensi karyawan tersebut akan rendah. Hubungan negatif juga terjadi antara kepuasan kerja dengan tingkat keluarmasuknya karyawan pada perusahaan.
Beragam realitas variasi perilaku individu karyawan yang merugikan perusahaan (tampak pada kasus di atas) setidaknya menggambarkan pada kita bahwa perusahaan perlu menyadari, mengetahui dan memahami pola keragaman perilaku karyawan, baik di level individu atau kelompok untuk kepentingan kordinasi, adaptasi dan integrasi dalam sebuah organisasi. Tidak cukup sekedar memahami diversitas latar belakang karyawan saja, misal aspek demografis (usia, orientasi seksual, pendidikan, etnisitas dan sebagainya), aspek nilai-nilai psikologis (kepribadian) saja atau latar belakang budaya. Namun, aspek-aspek lain dari individu karyawan juga perlu dipahami.
Berpijak pada pendekatan yang memandang budaya dalam komunikasi sebagai pendekatan yang diaplikasikan dalam penelitian ini, peneliti mencoba mendapatkan penjelasan proses munculnya salah satu variabel komunikasi, yakni communication apprehension yang diartikan sebagai kecemasan ayau ketakutan dalam berkomunikasi dalam diri individu karyawan ketika dikaitkan dengan budaya dan faktor-faktor lain.
Ada beberapa konsideran isu setelah penulis melakukan penelusuran pada berbagai literatur sehingga penulis tertarik pada analisis atau kerangka teoritik yang menjelaskan hubungan communication apprehension dengan budaya dan faktor-faktor lainnya.
Dan berbagai literatur dibidang komunikasi organisasi dijelaskan bahwa perlu dipahami kondisi awal yang meunculkan keragaman perilaku seorang karyawan yang merugikan perusahaan diluar aspek-aspek diatas. Kondisi itu adalah munculnya ketakutan, kecemasan, keengganan, kegugupan atau rasa mall untuk mengkomunikasikan ide atau pendapatnya kepada rekan sekerja, bawahan maupun atasannya, sehingga menghambat proses komunikasi dalam sebuah organisasi. Komunikasi tersebut dalam berupa komuniaksi langsung atau pun yang dilakukan secara tidak langsung (melalui media). Secara konseptual hambatan komunikasi ini disebut sebagai communication apprehension.
Berbagai literatur juga mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang melahirkan communication apprehension dalam diri seorang karyawan tersebut. Faktor-faktor itu adalah budaya organisasi yang dipersepsikan karyawan, iklim komunikasi yang dipersepsikan karyawan, gaya kepemimpinan pada organisasi yang dipersepsikan karyawan, serta variabilitas budaya nasional yang dipersepsikan karyawan.
Berangkat dari paradigma positivistik klasik penulis menggunakan penelitian kuantitatif yang bersifat eksplanatif untuk menggambarkan faktor-faktor yang berhubungan terhadap pembentukan communication apprehension pada diri individu atau karyawan dalam suatu organisasi, dalam hal ini organisasi yang menjadi objek penelitian penulis adalah PT. Terminal Petikemas Koja (PT. TPKK). Organisasi PT. TPKK adalah suatu anak perusahaan dari sebuah BUMN yang bekerjasama dengan pihak asing melalui proses privatisasi. Penulis tertarik untuk melihat lebih jauh proses-proses komunikasi organisasi dengan mengacu kepada berbagai literatur seperti yang telah dijelaskan diatas.
Dari hasil penelitian didapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik bahwa pertama, masalah communications apprehension ditemukan pada diri karyawan PT.TPKK dengan kecenderungan ke arah trait apprehension. Kedua, semua hubungan bivariat yang terlibat dalam model lajur (path model) menunjukkan hubungan yang signifikan. Ketiga, pola hubungan antara budaya perusahaan, variabilitas budaya nasional, iklim komunikasi, gaya kepemimpinan dengan communication apprehension bersifat langsung dan tidak langsung. Keempat, terdapat empat tahap pengujian model, balk dari hubungan langsung atau tidak langsung. Kelima, hubungan tidak langsung antara budaya perusahaan, variabilitas budaya nasional, iklim komunikasi, gaya kepemimpinan dengan communication apprehension memiliki bobot efek yang lebih kuat (lebih baik) daripada hubungan tidak langsung. Keenam, ketika budaya perusahaan, variabilitas budaya nasional, iklim komunikasi, gaya komunikasi diagregatkan (diuji secara simultan) untuk memprediksi variansi communication apprehension, ternyata gaya kepemimpinan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan communication apprehension. Ketujuh, kemampuan prediksi atau menjelaskan budaya perusahaan, variabilitas budaya nasional, iklim komunikasi, gaya kepemimpinan diagregatkan (diuji secara simultan) untuk memprediksi variansi communication apprehension sebesar 64%, sisanya (36%) dijelaskan oleh faktor lain. Kedelapan, ketika model diuji kembali dengan tidak melibatkan gaya kepemimpinan, kemampuan budaya perusahaan, variabilitas budaya nasional, iklim komunikasi, mprediksi variansi communication apprehension sebesar menurun menjadi 20%. Sisanya (80%) dijelaskan oleh faktor lain.
Terakhir, hash uji fit coefficient menunjukkn bahwa model yang disesuaikan (fit model) lebih baik dari model dasar. Artinya, model tanpa menyertakan faktor gaya kepemimpinan lebih baik dari model yang menyertakan faktor gaya kepemimpinan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Any Rufaedah
"Studi hubungan self-construal (SC) dan subjective well-being (SWB) belakangan ini banyak menarik perhatian para ilmuwan psikologi. Studi terkini (Chang dkk, 2011) menemukan perbedaan pengaruh SC ke SWB ketika diujikan pada etnis Singapura-China dan Singapura-Malaysia. Pada budaya pertama, hubungan SC interdependen dengan SWB signifikan, sementara pada budaya kedua adalah sebaliknya.
Perbedaan hasil ini menarik minat peneliti untuk melakukan studi lebih lanjut pada budaya yang berbeda. Dalam hal ini, budaya yang dimaksud adalah Jawa. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi prediktor SWB pada orang Jawa, memahami kecenderungan SC, dan memahami hubungan SC dan SWB. Penelitian dilakukan dalam dua tahap: Studi 1 dan Studi 2. Studi 1 bertujuan untuk menemukan ranah-ranah kebahagiaan orang Jawa. Studi 2 bertujuan untuk mengetahui kecenderungan SC, SWB, dan memahami hubungan antara keduanya.
Jumlah responden pada Studi 1 adalah 54 orang. Pasa Studi 2 472 orang, yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun yang dapat dihitung datanya hanya 428 (148 laki-laki, 278 perempuan, 2 tidak mengisi jenis kelamin). Rata-rata usia responden adalah 19,82 tahun. Seluruh responden adalah mahasiswa, berasal dari IAIN Surabaya, IAIN Semarang, Univeritas Katolik Soegijapranata Semarang, dan Universitas Negeri Semarang.
Hasil studi menunjukkan adanya tiga ranah yang berpengaruh pada SWB responden, yaitu prestasi, hubungan dengan orang lain, dan keluarga. SC interdependen responden lebih tinggi dibanding SC independennya, serta ada korelasi signifikan antara SC dengan SWB. SC interdependen tidak berkontribusi signifikan terhadap SWB, sedangkan SC independen berkontribusi secara signifikan terhadap SWB.

The correlation between self-construal (SC) and subjective well-being (SWB) recently attracted much attention from scientists of psychology. A recent study (Chang et al, 2011) found differences in the influence of SC to SWB when tested in Singaporean-Chinese and Singaporean-Malaysian ethnic. In the first ethnic, interdependent SC correlate with SWB significantly, while in the second ethnic is opposite.
This difference results attract researcher to conduct further studies on different cultures. In this case, the subject of the reseacrh is Javanese. The objective of study are to determine the factors which correlate with SWB, understand the tendency of SC, and to understand the correlation between SC and SWB. The study was conducted in two phases: Study 1 and Study 2. Study 1 aims to find happiness domains of the Javanese. Study 2 aims to identify trends of SC, SWB, and understand correlation between the SC dan SWB.
Total respondents in Study 1 are 54 peoples. In Study 2 are 472 peoples, who came from East Java and Central Java. However, data that can be counted only 428 (148 male, 278 female, 2 missing). The average age of respondents was 19.82 years. All respondents were graduate students from IAIN Surabaya, IAIN Semarang, Catholic University of Soegijapranata-Semarang, and Semarang State University.
The result of study shows that there are three domains which influence on SWB, i.e achievement, relationship with others, and family. Interdependent SC of respondents is higher than their independent SC, and there is significant correlation between SC and SWB. Interdependent SC did not contribute significantly to SWB, while the independent SC contribute significantly.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T31177
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain di Indonesia, pemahaman mengenai aspek sosial dan budaya masyarakat Timor-Timur dapat dikatakan masih belum memadai karena keterbatasan data etnografis yang tersedia hingga sekarang. Ditinjau dari perspektif disiplin ilmu antropologi, masyarakat Timor Timur terdiri dari sejumlah kelompok etnik yang berarti pula memiliki keragaman kebudayaan. Penelitian-penelitian antropologis maupun kajian-kajian mendalam mengenai keanekaragaman kebudayaan masyarakat Timor Timur, dalam kenyataannya belum banyak dilakukan oleh para ahli ilmu sosial khususnya ahli antropologi Indonesia sejak proses integrasi tahun 1976. Masyarakat dan kebudayaan orang Dawan adalah salah satu diantaranya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami secara mendalam kebudayaan orang Kemak yang menjadi salah satu segmen masyarakat Timor Timur. Pemahaman tersebut dilakukan melalui proses identifikasi aspek sosial dan budaya kelompok etnik tersebut, dalam bentuk sejumlah data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian antropologis. Deskripsi etnografis ini mencakup sistem mata pencaharian/kehidupan ekonomi, organisasi sosial, sistem kekerabatan, kependudukan dan sistem sosial serta sistem religi. Data etnografis akan dijadikan data dasar untuk merumuskan strategi intervensi bagi program-program pembangunan, dalam hasil penelitian Tahap II.
Data kualitatif yang diperoleh dari kegiatan penelitian ini bersumber dari sejumlah informan dan informan kunci (key informant), yang terdiri dari tokoh masyarakat/ tokoh adat / tokoh keagamaan, para warga masyarakat, maupun mereka yang dikategorikan sebagai pemimpin formal yaitu aparat Pemda setempat serta aparat Pemerintah lainnya yang berdinas dalam Kabupaten Ambeno. Selain itu data etnografis juga diperoleh berdasarkan hasil observasi selama kegiatan penelitian berlangsung, balk yang terlibat (participation observation) maupun tak terlibat atau pengamatan sambil lalu dalam berbagai aspek kehidupan.
Timor-Timur merupakan suatu wilayah dengan luas kurang lebih 14.609 KM2 yang terdiri atas berbagai macam kelompok etnis, dengan berbagai budaya dan bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga kadang kadang mereka tidak saling memahami antara satu suku dengan suku lainnya. Oleh karena itu Timor-Timur terdapat 16 bahasa bagi penutur monolingual dan masing-masing bahasa merupakan jenis bahasa yang saling tidak terpahami (mutually unintelligible). Karena keenambelas bahasa itu merupakan rumpun bahasa daerah yang masih memiliki dialek dan subdialek, Dialek yang keseluruhannya berjumlah 36 bahasa. Jumlah bahasa dalam, hal ini kurang lebih sama banyaknya dengan jumlah kelompok etnis. Keanekaragaman tersebut merupakan ciri sosial dan budaya serta heterogenitas etnis di Timor-Timur.
Dalam kenyataannya, perbedaan sejarah bahasa, kelompok etnis dan budaya seperti di atas, menunjukkan bahwa terdapat kelompok etnis, bahasa dan budaya suku bangsa tertentu di Timor-Timur hampir punah. Sedangkan suku bangsa lainnya terus berkembang dengan pesat. Hal ini antara lain, ditentukan oleh perkembangan masyarakat pemakai dan/ pemilik bahasa, etnis dan budaya. Adanya migrasi masuk maupun migrasi keluar sangat besar pengaruhnya, maupun kurang adanya perhatian terhadap kelompok etnis.
Setiap golongan sosial di Timor-Timur yang menggunakan bahasa yang sama dapat dikatakan sebagai satu suku bangsa. Penggunaan bahasa yang sama ini merupakan salah satu aspek pembeda budaya di Timor-Timur. Kesamaan ini terwujud berdasarkan kesamaan simbol-simbol, kosakata, aturan-aturan, cara melakukan suatu serimoni ritual dan sebagainya yang digunakan bersama-sama oleh anggota masyarakat. Suku bangsa Kemak tersebar di wilayah Kabupaten Ermera, Kabupaten Ainaro, Kabupaten Bobonaro dan Kabupaten Suai itu sendiri. Selain itu suku bangsa Kemak terdapat pula di Kabupaten Belu NTT (Atambua).
Walaupun wilayah persebaran kelompok etnis budaya dan bahasa Kemak tersebar di lima kabupaten (NTT dan Timor-Timur seperti di atas, tetapi terdapat keunikan antara sub-sub kelompok etnisnya, seperti Kemak Leosibe (Maliana), Kemak Cailaco (di Kec. Cailaco secara keseluruhan), Kemak Balobo (di Balibo), Kemak Atabai (di Atabai), Kemak Atsabe, Obulo (di Atsabe - Ermera), Kemak Marobo (di Bobonaro), Kemak Hauba (di Bobonaro), Kemak Uskai, Daru (di Ainaro) dan Kemak Mape Zumalain (di Zumalain - Suai Kovalima). Walaupun secara umum, kebudayaan Kemak adalah sama, tetapi masing-masing sub kelompok etnik ini mempunyai keunikan tersendiri. Kenyataan sosial dan budaya seperti tersebut di atas dapat dijadikan acuan untuk menyusun rencana maupun tahapan-tahapan pelaksanaan program pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan strategi intervensi program-program pembangunan itu sendiri."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
306 IDE
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>