Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143490 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta: Inter Parliamentary Union, 2005
355 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Centre For Strategic and International Studies, 2003
355 PEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Buzan, Barry
England: The Harvester Press Ltd, 1983
355.033 BUZ p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Broto Wardoyo
Jakarta: Nugraha Media, 2015
327 BRO p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Uus Usman
"Bentuk dasar strategi kebijakan luar negeri Turki yang tertuang dalam program kerja pemerintahan koalisi DSP-MI-IP-ANAP maupun pemerintahan AKP sebagai penggantinya tetap mengutamakan kebijakan politik luar negeri yang bebas dan aktif serta diorientasikan untuk berintegrasi dengan negara-negara Barat. Prinsip dasar "peace at home, peace in the world" yang merupakan motto Bapak pendiri Turki Kemal Ataturk secara konsisten tetap menjadi landasan utama dalam implementasi kebijakan politik luar negerinya tersebut. Dalam hal ini, Turki telah mengalami sejarah yang cukup panjang dalam hal kerjasama dengan negara-negara Barat dan Amerika. Seperti pada awal terjadinya krisis di kawasan Teluk, Turki telah mengambil sikap yang tegas sejalan dengan sikap negara-negara barat dan Amerika.
Selain itu, AS secara intensif turut membantu dalam hal menekan negara-negara Eropa terhadap proses keanggotaan Turki di EU dan berusaha memfasilitasi proses perdamaian dalam persengketaan di Pulau Siprus, serta membantu Turki dalam upaya menekan aksi-aksi pemberontakan suku Kurdi (PKK) di perbatasan. Gambaran situasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa bentuk kebijakan politik luar negeri yang dihasilkan oleh pemerintahan Turki dan AS mengarah pada sebuah bentuk konformitas dan saling memberikan dukungan pada politik luar negeri masing-masing kedua negara.
Akan tetapi, perbedaan pendekatan dalam menyikapi masalah krisis Irak yang semakin menonjol pada akhir tahun 2002 lalu, menjadi titik balik dalam hubungan kedua negara. Kampanye perang AS terhadap Irak yang ditanggapi secara hati-hati oleh pemerintah baru Turki (AKP), semakin memperlebar jurang pemisah dalam hubungan strategis kedua negara. Seperti diketahui, parlemen Turki menolak membuka front utara dari Turki bagi pasukan AS untuk kepentingan penyerangan ke Irak.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi para pembuat kebijakan Turki (Parlemen) hingga memutuskan untuk menolak draft penempatan pasukan AS di wilayah Turki untuk kepentingan invasi ke Irak ketimbang mendukungnya. Gambaran tentang pergeseran arah kebijakan politik luar negeri tersebut di atas ditinjau dari sisi persepsi sebagian besar anggota Parlemen sebagai sekelompok pemegang kebijakan, yang memberikan tanggapan dan penilaian pada realitas invasi AS sesuai dengan apa yang mereka ketahui.
Temuan dalam tesis ini antara lain menyebutkan bahwa dengan Keputusan Parlemen Turki (TGNA) yang menolak kedatangan 62.000 pasukan militer AS yang akan ditempatkan di tapal batas dengan Irak, merupakan sebuah akibat dari persepsi negatif yang terbentuk dikalangan mayoritas anggota Parlemen terhadap rencana invasi Amerika. Terbentuknya persepsi negatif tersebut disebabkan oleh serangkaian citra tentang realitas invasi yang ternyata dianggap telah melanggar nilai-nilai dan prinsip-prinsip Dewan Keamanan PBB, tidak sesuai dengan sikap mayoritas mayarakat Turki yang menentang perang, memperbesar kekhawatiran akan terjadinya destabilisasi suku Kurdi di wilayah perbatasan serta membangkitkan kembali kenangan masa lalu dimana Turki mengalami kerugian ekonomi setelah bersekutu dengan Amerika Serikat pada krisis Teluk Persia 1991.

Basic strategy of the Turkish foreign policy mentioned in its action plan of coalition government among Democratic Left Party (DSP) Nationalist Movement Party (MI-IP) Motherland Party (ANAP) as well as Justice and Development Party (AKP)'s government as the subsequent administration mainly exercises "Free and Active" policy and western-orientation. "Peace at home, peace in the world" as the basic principle developed by Turkish founding father, Kemal Attaturk, consistently remains the major foundation in implementing its foreign policy. In this regard, Turkey has a long history in building a close relationship with West and United States of America (US). At the beginning of the taking place a crisis in Gulf region, for the example, Turkey adopted a firm behavior, which was in harmony with the policy taken by West countries and US.
In addition, US intensively supports Turkey in giving pressure toward European Union (EU) related with Turkey's membership in EU and mediates peace process concerning Cyprus dispute as well as helps Turkey to press rebel actions of Kurds in the border line. The condition mentioned above indicates that resulting foreign policy between Turkey and US tends to form conformity one and support each other.
However, different approach in responding Iraqi crises dominantly at the end of 2002 became a turning point in the relationship of both countries. War campaign of US against Iraq responded carefully by the new administration in Turkey (AKP) widened some discrepancy concerning a strategic relationship of the countries. As we know, Turkish parliament refused to provide its land for US troops to attack Iraq from north front.
This research aims to describe factors influencing the decision makers of the Turkish parliament so that it decided to refuse a draft of the US troop deployment in Turkish Land for the sake of attacking Iraq rather than supporting it. The writer describes that shift in Turkish foreign policy from the perception of major Turkish parliament member's point of view as a group of decision makers providing respond and judgment on US invasion.
Findings of his research conclude that Decision of Turkish Parliament (TGNA) opposing the deployment of 62.000 US military troops positioned in Turkey's border line with Iraq was a result of negative perception of Turkish Parliament member majority regarding US attack plan. That perception is due to a set of images on US invasion having been regarded in violation of US Security Council values and principles, disagreement with the majority of Turks aspiration who opposed the invasion, enlarging fear of destabilization among Kurds in the border line as well as reviving past experience in which Turkey got a loss when the country allied US during Gulf Crises of 1991.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14770
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press , 1996
320.12 KET
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gajah Mada University Pers, 1999
320.12 KET
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2013
R 327.598 IND s
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Chronika
"Kebijakan nasionalisasi pada dasarnya merupakan suatu bentuk anomali di tengah trend perkembangan dunia yang menuju pada permbukaan persaingan secara bebas. Skripsi ini meneliti salah satu fenomena nasionalisasi tersebut dalam kasus kebijakan nasionalisasi Bolivia 2006, dengan mempertanyakan ketidakadaan konflik ketika semua perkembangan situasi cenderung mengarahkan pada tendensi pecahnya sebuah konflik diplomatik.
Permasalahan ini akan dijawab dengan menggunakan metode kualitatif, dengan kerangka konsep nasionalisasi, konflik, sektor hidrokarbon dan alur pemikiran bargaining theory sebagai penjelas proses negosiasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa esensi nasionalisasi dan juga faktor kepentingan masing-masing negara pada dasarnya telah menjadi insentif yang mendorong terjadinya kompromi dalam proses tawar-menawar sehingga menyebabkan kerjasama dapat dilanjutkan dan konflik dapat terhindari."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sinulingga, Carolyn
"Skripsi ini membahas interaksi antara Perancis dan Komisi Eropa dalam pelaksanaan prosedur merger antara GDF dan Suez. Permasalahan muncul ketika KE menyatakan penolakannya terhadap merger, dikarenakan potensi merger menghalangi kompetisi pada pasar-pasar UE. Interaksi tersebut dilakukan di dalam tiga tahap yang pada akhirnya menghasilkan keputusan KE mengizinkan dilanjutkannya proses merger.
Dilatarbelakangi oleh analisa atas berbagai pendekatan integrasi internasional yang menunjukkan peran dominan negara, penelitian ini pada akhirnya memberikan suatu studi kasus yang mengetengahkan supranasionalisme institusi internasional terhadap negara. Temuan penelitian ini dipandang menghadirkan karakteristik baru hubungan antara negara dengan institusi internasional yang secara khusus tercermin di dalam studi kasus interaksi antara Perancis dan Komisi Eropa. Dengan landasan tiga peraturan UE, yakni Competition Regulation, Merger Regulation, dan Gas Directives, ditunjukkan bahwa pemerintah Perancis merupakan suatu aktor subordinat tehadap Komisi Eropa. Sehingga, dalam upayanya mencapai kepentingan nasional, Perancis harus melakukan berbagai penyesuaian sebagai bentuk compliance terhadap otoritas KE.

This thesis elaborates the interaction between France and the European Commission during the implementation of merger procedure for Gaz de France and Suez. Conflict emerged when the European Commission objected the merger and concluded that it raises serious doubts as to its compatibility with the common market. The interaction happened in three stages and ended by EC?s permission for the continuation of the merger.
Against the conventional approaches on international integration as its theoretical backdrop, this thesis provides an elaboration of a case study where international institution plays a supranational role in its relations with state. Therefore, this thesis is considered to offer a new characteristic of relations between international institution and member state, especially in the case of EC and France. With Competition Regulation, Merger Regulation, and Gas Directives constrained its behavior, France is positioned as a subordinate actor vis à vis EC. Therefore, in order to achieve its national security, France is obliged to comply with authority exerted by EC.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>