Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113648 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhadjir
"Dialek Melayu Jakarta, bahasa Melayu yang dipakai di. wilayah ibukota Republik Indonesia, merupakan "pulau bahasa" di kawasan bahasa Sunda yang umumnya dipakai di daerah Jawa Barat. Di sebelah barat dan selatan, dialek Jakarta berbatasan dengan bahasa Sunda. Hanya di daerah pantai di batas sebelah timer, dialek Jakarta berbatasan dengan bahasa Jawa dialek "lokal" (Budhisantoao, 1976).
Luas pemakaian dialek Jakarta, secara geografis, melebihi daerah administratif Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di sebelah timur, dialek ini dipakai hingga di kecamatan Tambun, kabupaten Bekasi; di sebelah selatan sampai di Gisalak, kabupaten Bogor; dan di sebelah barat hingga di Tanggerang (Jawa Barat).
Di luar Tambun, Ciselak, dan Tanggerang, luas wilayah Jakarta adalah 577 km2 (terletak pada 68° lintang selatan, 11° 15° lintang selatan, 94°45° bujur timur, 04005° bujur laut (Jake dalam Ranks). Serta jumlah penduduk 4.546.492 jiwa.
Berlainan dengan bahasa-bahasa daerah dan dialek Me1ayu lainnya seperti Melayu Medan, Riau, dan Palembang, dialek Melayu Jakarta tidak didukung oleh kelompok etnik yang homogen. Komposisi penduduk, sejak abad ke-17 selalu terdiri dari kelompok-kelompok etnis yang beragam-ragam. akibat migrasi dari dalam maupun dari luar Indonesia (Castles, 1967). Dan migrasi penduduk hingga kini terus berlangsung, bahkan makin beragam latar belakang sosial dan kebudayaannya.
Ketika Jan Pieterezoon Coan berhasil menduduki kota Jakarta pada tehun 1619, sebagian penduduk melarikan diri ke arah Banten. Coen kemudian berusaha menutup kota Jakarta dari penduduk pedalaman, yang dilakukannya demi alasan keamanan; menghalau setiap usaha penduduk asli yang hendak memasuki kembali deerah pertaniannya yang ditinggalkan (Leiriasa , 19731).
Sejak itu kota Jakarta "bersih" dari penduduk asli. Beberapa tahun kemudian Coen membiarkan orang Gina menjadi penduduk kota, menyusul orang-orang Banda. Pedagang rempah-rempah Jepang sampai tahun 1636 juga merupakan unsure penting penduduk kota Jakarta. Penduduk merdeka lainnya adalah suku-suku Melayu, Bali, Bugis, Ambon, serta bangsa "wore", yakni bangsa India Selatan yang beragama Islam. (Castles, 1967: 155). Tetapi penduduk terbesar saat itu hingga abad ke-19 adalah para budak yang diangkut dari berbagai tempat pada masa permulaan zaman itu budak-budak yang diangkut ke Jakarta adalah budak-budak deri pentai Koromandel, dari Malabar, Benggali, dan dari Indonesia sebelah Timur: dari Flores, Sumbawa, Sumba, Timor, Bias, Kalimantan, dan pulau Luzon. Tetapi sumber tetap untuk budak adalah Bali dan Sulawesi Selatan.
Pada akhir abad ke-19 kelompok etnis yang beraneka asalnya itu teleh menjelma menjadi penduduk asli Jakarta yang kemudian dikenal dengan nama "Anak Betawi" termasuk di dalamnya 5 ribu penduduk pinggir kota yang berasal dari Jawa den Sunda.
Penduduk merdeka dari berbagai kelompok etnis itu, pada umumnya, tinggal di kampung-kampung secara terpisah-pisah. Sisa nama kampung mereka hingga kini masih melekat nama kampung seperti: kampung Jawa, kampung Bugis, kampung Ambon, den sebagainya.
Setelan perdagengan budak dihapuskar, pulau Jawa merupakan sumber migrasi penduduk ke kota Jakarta. Menurut senaus 1930 (Castles, I967:166), kurang lebih 50 % penduduk Jakarta adalah kelahiran Betawi {778.953 jiwa), dengan 50% lainnya kelahiran luar Jakarta, yang kelompok terbesarnya berasal dari suku Sunda dan Jawa. Sejak zaman Republik Indonesia, arus urbanisasi ke ibu kota Jakarta ini makin menderas. Pendatang baru itu bukan saja makin banyak jumlahnya, tetapi juga makin beraneka ragam dan status sosialnya"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1977
D219
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Keraf, Gregorius
"Tujuan penelitian untuk disertasi ini adalah mencoba mengungkapkan morfologi Dialek Lamalera, sebuah dialek yang dipergunakan penduduk desa Lamalera, yang terletak di pantai Selatan pulau Lembata. Persiapan-persiapan berupa penelitian pendahuluan telah diadakan di Jakarta pada pertengahan tahun 1973 dengan mempergunakan informan penutur asli yang berada di Jakarta. Penelitian dilanjutkan dengan penelitian lapangan selama empat bulan dari bulan Desember 1974 hingga bulan Maret 1975.
Dialek Lamalera sebagai obyek penelitian hanya akan bisa dilihat lebih jelas, bila statusnya di antara dialek/bahasa sekitarnya sudah diungkapkan secara lebih pasti. Sebab itu sudah dilakukan pula pencatatan tambahan berupa pengumpulan kosa kata dasar (basic vocabulary} dari 36 desa di Flores Timur. Data-data tersebut menghasilkan suatu klasifikasi linguistis sebagai yang terlihat dalam Lampiran VI. Di sana dapat dilihat dengan jelas di mana tempat dialek Lamalera di antara bahasa-bahasa sekitarnya, yang lazimnya disebut sebagai bahasa Soler. Uraian singkat sebagai latar belakang mengenai bahasa di Flores Timur ini akan dikemukakan dalam no. 4 dan 5.
Mengambil sebuah aspek yang lebih sempit dari morfologi Dialek Lamalera kami hindari dengan suatu alasan bahwa literatur mengenai bahasa Solor sangat kurang, sehingga aspek yang lebih sempit ini akan ketiadaan landasan yang lebih kuat. Sebab itu sebagai suatu karya awal yang mencoba melihat aspek bahasa-bahasa ini secara linguistis, kami menganggap perlu mengambil suatu topik yang lebih luas yaitu morfologi. Dengan landasan ini diharapkan akan muncul karya karya baru yang mencoba menganalisa dan mengupas aspek-aspek yang lebih sempit atau lebih khusus pada masa-masa mendatang.
Mengapa justru dialek Lamalera? Sebagai alasan pertama dapat dikemukakan bahwa dialek ini merupakan salah satu dari bahasa Lamaholot (istilah yang sekarang dikenal adalah bahasa Solar) sebagai yang pernah diselidiki oleh P.A. Arndt SVD. Dengan demikian hasil penelitian yang dikemukakan dalam uraian ini dapat kiranya dibandingkan dengan kesimpulan-kesimpulan atau deskripsi yang pernah dilakukan itu.
Dari sekian banyak dialek/bahasa Lamaholot, dialek Lamalera memperlihatkan identitas sendiri berupa fonem﷓fonem tertentu (i./f/ dan /.f } di samping struktur morfologis dan perbendaharaan kata yang khas, bila dibandingkan dengan dialek-dialek atau bahasa-bahasa yang ada di sekitarnya.
Ketiga, dalam sejarah Lamalera sudah disebut dalam berita mengenai perkembangan agama Katolik, yaitu mengenai pembunuhan dua orang pastor dalam tahun 1662. Sesudah itu Lamalera perlahan-lahan berkembang menjadi pusat pengembangan keagamaan di pulau Lembata, yang secara resmi ditetapkan sebagai satu paroki pada tahun 1921, dengan pusatnya di Lamalera. Penyampaian pengajaran agama, ibadahibadah keagamaan dilakukan dengan dialek Lamalera ke seluruh pulau ini. Dalam tahun 1937 disusunlah sebuah buku kebaktian Soedoe Horinat yang dipakai pula di semua gereja di seluruh Lembata, dengan mempergunakan dialek Lamalera. Semua kotbah dan injil juga disampaikan dengan dialek ini kepada penganut agama katolik di seluruh pulau Lembata. Sehingga dengan demikian, walaupun tidak menjadi bahasa standar untuk kabupaten Flores Timur, namun sekurang-kurangnya selama puluhan tahun dialek ini memegang peranan yang sangat penting sebagai bahasa ?resmi? dalam bidang keagamaan, termasuk daerah Kedang di ujung timur Lembata, yang secara linguistis sudah termasuk dalam keluarga bahasa yang lain.
Alasan lain adalah bahwa dalam waktu yang terbatas tidak akan dicapai hasil yang memuaskan bila peneliti tidak mengenal dan tidak mengetahui semua latar belakang masyarakat yang dapat mempengaruhi analisa bahasa ini. Penulis sendiri adalah seorang penutur asli dialek ini."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1978
D166
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yus Rusyana, 1938-
"Masalah yang diteliti adalah masalah interferensi di bidang morfologi pada penggunaan bahasa Indonesia oleh anak-anak yang barbahasa pertama bahasa Sunda, murid sekolah dasar di daerah propinsi Jawa Barat.
Menurut Mackey, kedwibahasaan merupakan masalah ilmu linguistik yang paling panting, tetapi juga yang paling dlabaikan. Penelitian yang ada tentang hal ini, terutama mengenai interferensi dan peminjaman, dari masa sabelum tahun 50-an, menunjukkan pandangan unsuriah terhadap bahasa. Penelitian tentang kedwibahasaan dengan konsep yang lebih luas dalam hubungan dengan faham struktural, mulai pada tahun 50-an, terutama ditandai oleh karya-karya U.Weinreich (1953, 1958), dan L.Haiigen (1950, 1953, 1956). Beberapa paper yang penting karya Hans Vogt (195i), W.F. Mackey (1956), Robert A.Hall Jr. (1952), dan lain-lain, telah memberikan arah mengenai konsep kedwibahasaan, dan telah melahirkan keperluan akan metodologinya.
Perhatian terhadap kedwibahasaan tercermin dari kepustakaan yang ada tentang hal itu, riisalnya seperti yang disusun r1aftarnya oleh U.Weinreich, E.Haugen, dan Els Oksaar.
Berkenaan dengan masalah kedwibahasaan itu, yang terutama menarik perhatian ahli linguistik, ialah gejala-gejala penyimpangan yang terjadi pada setiap bahasa, sebagai akibat kontak bahasa, Berta pengaruhnya terhadap norma setiap bahasa itu. Masalah kontak bahasa dan gejala interferensi telah dijadikan pokok yang aangat penting untuk penelitian kedwibahasaan.
Penelitian yang akan dilakukan sekarang, yaitu tentang masalah interferensi di bidang morfologi pada tuturan dwibahasaan, kiranya cukup beralasan ditinjau dari segi ilmu linguistik, lebih-lebih mengingat masalah yang diajukan belum pernah diteliti. Disamping itu, sehubungan dengan pokok penelitian yang berupa tuturan anek-anak, penelitian ini semakin besar alasan kepentingannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1975
D280
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiawati Darmojuwono
Jakarta: UI-Press, 2014
PGB 0251
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
A. Chaedar Alwasilah
Bandung : Angkasa , 1989
401 CHA b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhadjir
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Azis Anwar Fachrudin
Yogyakarta: DIVA Press, 2021
410.9 AZI l
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sheddy Nagara Tjandra
"Jika kita membuka koran Jepang, mata akan bertemu dengan huruf-huruf kanji (tulisan bahasa Cina). Itu sudah wajar dan tidak aneh lagi. Selanjutnya mata akan disambut oleh huruf-huruf Jepang. Bagi mereka yang tahu bahasa Jepang, segera mengetahui bahwa hurur-huruf itu adalah hiragana dan katakana. Selain itu, meskipun tidak banyak, mata masih akan bertemu dengan beberapa huruf Latin berikut angka Arab. Itulah wujud bahasa Jepang tertulis. Di antaranya ternyata penggunaan katakana tidak sedikit. Aksara katakana digunakan terutama untuk menulis kata-kata pinjaman yang diserap dari bahasa asing dan ada yang menyebutnya menjadi katakanago (" kata-kata serapan ditulis dengan aksara katakana").
Katakanago yang tampil pada koran antara lain dapat disaksikan dari acara televisi yang dimuat pada koran Asahi Shimbun (salah satu surat kabar nasional di Jepang) tanggal 18 Nopember 2001. Acara TV itu ada dua, dua-duanya diambil dari NHK (Nippon Hoosoo Kyookai "Televisi Jepang"); satu adalah siaran televisi dengan pemancar dari satelit dan satu lagi adalah siaran televisi dengan pemancar biasa (Gambar 1)."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
D484
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lilis Marliani
"ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis di antara dua buku ajar internasional Interchange 3 dan buku ajar lokal Look Ahead 2, manakah yang lebih mengejawantahkan prinsip-prinsip ancangan komunikatif (CLT) dan sejauh mana kedua buku ajar tersebut dapat membekali siswa dengan kompetensi komunikatif dengan latar pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian ini menunjukkan Interchange 3 mengejawantahkan CLT lebih baik dari Look Ahead 2 dalam hal rancangan, bahan ajar, dan latihan yang disajikan dalam buku ini. Meskipun Interchange 3 secara metodologis lebih mengakomodasikan ancangan komunikatif dan sesuai dengan tujuan pemebaajarn dalam KTSP 2006, pengajar masih enggan menggunakannya karena ketidakpahaman mereka akan pentingnya ancangan komunikatif dalam pembelajaran. Look Ahead 2 digunakan lebih sering oleh pengajar, meskipun buku ini mengandungi banyak kekurangan. Selain itu, asumsi pengajar bahwa buku internasional mengandungi muatan budaya yang bertentangan dengan nilai edukasi sekolah, tidak terbukti dalam Interchange 3. Sebaliknya, buku lokal Look Ahead 2 mengandungi bahan ajar yang brutal dan merendahkan perempuan. Kesesuaian bahan ajar dengan prinsip-prinsip ancangan komunikatif tidak menjamin buku ini akan digunakan oleh pengajar di kelas. Kekurangpahaman pengajar terhadap ancangan komunikatif dapat menghambat keberhasilan penggunaan buku ajar yang dilandasi oleh ancangan ini.

ABSTRACT
This study analyzed two textbooks, Interchange 3, an internationally published textbook, and Look Ahead 2, a locally published one. This study aimed to find out which of the two implements the principles of CLT and which one has a methodology which was more suitable to equip learners with communicative competence in the given school setting. The findings show us that Interchange 3 better implements CLT in terms of its design, learning materials, and activities than Look Ahead 2. However, when each book is seen against the school circumstance, both textbooks could not equip learners with communicative competence. Interchange 3 was not used appropriately to equip learners with communicative competence. Teachers could not see the benefits of using Interchange 3, despite its suitability to the principles of CLT and KTSP 2006. Look Ahead 2, on the other hand, was used more frequently than Interchange 3 although it did not implement many principles of CLT. (3) Moreover, the assumption that internationally published textbooks contain materials against the school educational values was not proven. On the opposite, the locally published textbook represents some culturally sensitive materials; brutality and degrading women. In general, this study found out that there is no guarantee that a communicative-based textbook will be used appropriately to equip learners with communicative competence. Teachers? lack of knowledge of communicative approach may hamper the successful use of the textbook."
2009
T25940
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Fridolin
"ABSTRAK
Penelitian ini adalah mengenai puisi dan pembacaannya. Jenis pembacaan yang dimaksudkan adalah pembacaan aktual, yaitu yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman pembacaan sebagai tindak estetik, memiliki aturan-aturannya. Aturan-aturan baca terwujud dalam proses pembacaan yang aktual. Dengan demikian permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana atau apa yang seharusnya kita lakukan dalam membaca puisi.
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan berbagai pertimbangan umum penafsiran dengan menempatkan puisi sebagai teks non-fiktif, dan kemudian mengembangkan sejumlah aturan pokok untuk suatu cara baca yang berhubungan dengan jenis teks tersebut.
Penelitian ini mengambil dasar pemikiran bahwa puisi bukanlah teks fiktif. Dalam hubungan inin pengertian fiksionalitas dan konsep puisi teks non-fiktif dibahas. Kemudian diberikan uraian mengenai cara baca yang terkait dan menerapkannya atas sejumlah sajak pilihan.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa subjek pengarang adalah unsur yang tidak dapat diabaikan dalam sistem dan proses sastra. Dalam rangka penafsiran sastra umumnya, pengkajian sastra, dengan memastikan langkahnya untuk mengembalikan peran subjek pengarang dalam karnyanya, dapat mengambil manfaat dari tawaran alternatif yang diajukan dalam penelitian ini."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>