Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 153629 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ngusman Abdul Manaf
"This study is aimed at describing and explaining the variation of the realization of politeness strategies on the directive in the Indonesian language produced by members of the Minangkabau ethnic group in Padang. The sources of the data are Indonesian speakers who originally belong to the Minangkabau ethnic group. In addition, there are also data taken from documents. The data consist of utterances performing directives in Indonesian produced by members of the Minangkabau ethnic group in Padang. The data were collected using survey questionnaire, interview, participant observation and from documentary sources. The main method of data analysis was quantitative and supported by qualitative analysis.
The results of the study reveal that the cues showing the phenomena are as follows. In the realization of directives in Indonesian, the respondent uses the various types of utterances that can be grouped into five categories as suggested by Brown and Levinson (1987). The frequency distribution among categories is different. The five main speech act categories are (1) bald on record, (2) on record with redressive action using positive politeness, (3) on record with redressive action using negative politeness, (4) off record, and (5) not doing the face-threatening act (FTA).
The use of speech strategies is in-line with the degree of politeness, namely the awareness to show that the speaker saves the face of the participants, specifically the face of the addressee from the acts threatening his face. The respondents of this study (possibly the other speakers as well) minimize the threat to participants' face by mitigating the illocutionary force of the utterance. Basically, they mitigate the illocutionary force in two ways, namely (1) minimizing the distance between speaker and addressee (in-group ness) and (2) maximizing the distance between speaker and addressee (distancing).
The speaker chooses a certain speech strategy based on the potential weight of the threat to the participants face. The weight of the threat is calculated on the basis of two main parameters, namely (1) degree of power differences between speaker and addressee (+ P or -P) and (2) degree of solidarity between speaker and addressee (+S or -S). If the power of the speaker is higher than that of the addressee and the solidarity between the speaker and the addressee is low and other factors remain constant, the weight of the face threat is high. On the contrary, if the power of the speaker is lower than that of the addressee and the degree of solidarity is high while the other factors remain constant, the weight of the face threat is low. If the weight of the face threat is high, the respondents tend to choose more indirect speech strategies. On the other hand, if the face threat is low, the participants tend to choose the more direct speech strategies.
Among the five main speech strategies, the strategy on record with redressive action using negative politeness is the most frequently used for realizing directive in Indonesian. The plausible explanation for this choice is the fact that this strategy contains medium level indirectness; the utterances produced are not too direct as in bald on record, nor is it too indirect as in hints. Bald on record strategy produces a strong illocutionary force that can be perceived by the addressee as imperative. On the other hand, hints are considered as utterances, which are so indirect that the addressee as irony can perceive them. Both imperative and irony might threaten the addressee's face. The selection of speech strategies in the realization of directive speech act in Indonesian by the respondents is influenced by the use of the Minangkabau language that recognizes four types of register so-called longgam kato non ampek (four types of Minangkabau register which functions to differ the level of politeness). The influence of langgam kato nary ampek on the selection of speech strategy can clearly be observed in the use of address terms and the use of indirect speech acts.
The findings show that there are inter-group differences within the Minangkabau ethnic community in Padang in the realization of directives on the basis of age group and social class, but the difference is not significant in terms of gender variable. Respondents who are younger and those who come from lower social class use indirect speech strategies more frequently than those who are older or those who come from the higher social class. The younger respondents and those who come from the lower social class possess higher awareness to save the participants' face, specifically the addressee's face as compared to the older respondents and those who come from the higher social class. The tendency to use indirect speech act in the realization of directives by the younger respondents and those who come from the lower social class results from their evaluation that more indirect speech strategies tend to have a lower probability to threaten the face than direct speech acts.
The differences in the realization of speech strategies by the respondents on the basis of age group and social class show that there is an on-going shift in the way of viewing the politeness principle by Minangkabau ethnic group in Padang. Politeness principle, which used to be adhered to by minimizing the social distance between the speaker and the addressee (in-group ness), is slowly replaced by the politeness principle which is observed by maximizing the social distance between the speaker and the addressee (distancing). The shift is hypothesized to result from the fact that the younger respondents and those from the lower social class feel unsafe when they use on record with redressive action using positive politeness strategy, whose basic principle is to minimize the social distance between the speaker and the addressee."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
D534
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mualimin
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
T4532
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katubi
"Tindak tutur meminta maaf merupakan tindak tutur yang mengemban fungsi perbaikan jika berkaitan dengan permintaan maaf retrospektif. Sementara itu, tindak tutur meminta maaf dapat mengemban fungsi pelunakan jika berkaitan dengan permintaan maaf antisipatoris atau prospektif. Penelitian ini bertolak dari tindak tutur meminta maaf sebagai tindak retrospektif.
Agar penutur dan petutur tidak kehilangan muka, dalam interaksi penutur perlu memilih strategi meminta maaf. Dengan menggunakan parameter solidaritas dan kekuasaan dalam tiga jenis pelanggaran, penelitian ini melihat strategi meminta maaf dan ungkapannya dalam bahasa Indonesia oleh kelompok etnis Minangkabau. Setelah itu, hasil penelitian dianalisis dari perspektif gender.
Responden penelitian ini berjumlah 196 orang yang terdiri atas 102 responden wanita dan 94 responden pria. Semua responden berusia 27--50 tahun dan semuanya staf pengajar di Universitas Bung Hatta, Padang. Hal itu dimaksudkan agar ada kesamaan kelompok usia, latar sosial, dan profesi karena variabel itu turut berperan dalam penelitian bahasa dan gender.
Hasil analisis data menunjukkan adanya perbedaan strategi meminta maaf yang digunakan oleh responden kelompok wanita dan pria. Perbedaan penggunaan strategi itu tampak, baik pada pelanggaran I, II, dan III maupun secara keseluruhan berdasar penghitungan statistik uji F.
Perbedaan penggunaan strategi meminta maaf itu dapat dijelaskan dari perspektif gender. Dalam pandangan adat Minangkabau, wanita dikonstruksi secara berbeda dengan pria dalam konteks sosial budaya. Salah satu aturan dan pantangan yang harus dipatuhi wanita Minangkabau adalah aturan dan pantangan berbahasa. Aturan seperti itu tidak ditemukan pada kelompok pria. Oleh sebab itu, sangat mungkin perbedaan itu berpengaruh terhadap penggunaan strategi berbahasa, termasuk meminta maaf."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T3673
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sisbiyanto
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asim Gunarwan
"ABSTRAK
Pandangan yang berterima di kalangan pakar pragmatik (dan juga di kalangan pakar sosiolinguistik) setakat ini ialah bahwa jika kita berbicara atau mengeluarkan ujaran (apakah ujaran itu berupa kalimat, frase atau kata), apa yang keluar dari mulut kita itu dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itu dapat disebut sebagai tindakan berbicara, tindakan berujar atau tindakan bertutur. Istilah yang sekarang lazim dipakai untuk mengacu ke tindakan itu ialah tindak tutur, yang merupakan terjemahan dari istilah Inggris speech act. Yang lebih penting, yang juga berterima di kalangan pakar pragmatik, adalah pendapat bahwa di dalam melakukan tindak tutur itu, si penutur tidaklah asal buka mulut (kecuali jika ia memang abnormal, gila, sedang mabuk atau tidak radar). Artinya, sebelum melakukan meta tindak tutur, si penutur perlu mempertimbangkan beberapa hal, misalnya bagaimana hubungan sasial di antara si penutur dan si petutur, di mana peristiwa kominikasinya berlangsung, untuk apa tindak tutur itu dilakukan; tentang apa tindak tutur itu; dsb.
Faktor-faktor seperti mitra bicara dan latar komonikasi itulah yang perlu dipertimbangkan penutur sebelum bertutur. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan itu dapat juga bersumber dari prinsip kesantunan bertutur (kesopanan. berbahasa) yang berlaku di dalam masyarakat tutur atau masyarakat bahasa yang si penutur adalah anggotanya Prinsip kesantunan ini tentunya berkaitan dengan nilai-nilai budaya masyarakat itu, dan berdasarkan hal ini dapat kita sebutkan kesamaan pendapat di kalangan sosiolinguis bahwa perilaku berbahasa anggota -anggota suatu masyarakat tutur mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat itu. Dengan perkataan lain, ada hubungan di antara perilaku berbahasa dan nilai budaya atau kebudayaan itu sendiri. Walaupun ini bukan hal yang baru, tampaknya akan menarik untuk mengetahui seberapa jauh hal itu didukung oleh data empiric.
Setakat ini, tampakaya di Indonesia belum ada kajian yang membandingkan perilaku berbahasa dua (atau lebih) kelompok etnis dengan mengaitkannya dengan nosi kebudayaan. Ini dugaan. Yang tampaknya memang benar adalah bahwa setakat ini di Indonesia balum ada tulisan yang dipublikasikan yang melaporkan hasil penelitian mengenai topik tersebut (yakni perbandingan perilaku berbahasa sebagai cerminan perbedaan pandangan hidup) dengan pendekatan pragmatik. Jika asumsi ini benar, penelitian tampaknya mempunyai kemaknawian (significance) yang cukup.
Dipilihnya kelompok etnis Jawa dan Batak sebagai objek penelitian bukanlah tanpa alasan. Pemilihan itu berdasarkan pendapat awam bahwa, pada umumnya, di dalam perilaku berbahasa orang Batak itu lebih langsung (dalam anti lebih berterus terang) daripada orang Jawa Bahwa pendapat itu sudah "berterima" di kalangan masyarakat awam tidak berarti bahwa topik ini tidak boleh Jika kita bersikap ilmiah, pendapat itu perlu dibuktikan dengan mencari data empiris. Yang juga perlu didukung oleh data empiris ialah apakah perbedaan perilaku berbahasa orang Jawa dan orang Batak itu signifikan atau tidak dan, jika signifikan, berapakah derajat signifikansinya lagipula, perlu diketahui kemungkinan adanya keterpengaruhan budaya, yang dapat diinferensikan dengan membandingkan perilaku-perilaku berbahasa kelompok-kelompok Jawa Jakarta vs Batak Jakarta, Jawa Jakarta vs Jawa Semarang & Yogyakarta, Batak Jakarta vs Batak Medan, misalnya Di samping itu perlu dicari data empiris yang mungkin mendukung dugaan bahwa ada penibahan perilaku berbahasa menurut dimensi umur pada kedua kelompok etnis ini.
1.2 Permasalahan
Seperti halnya istilah perkampungan mengacu ke sejumlah kampung (jadi bukan satu kampung), istilah permasalahan di dalam penelitian ini diartikan sebagai merujuk ke sejumlah masalah, yakni sejumlah masalah penelitian. Di dalam hal ini, sesuai dengan uraian di dalam buku-buku penelitian yang baik, permasalahan dibagi menjadi beberapa masalah tambahan, yang kesemuanya berkaitan dengan masalah utama tersebut.
Masalah utama dalam penelitian ini, di dalam bentuk pertanyaan, ialah: adakah perbedaan realisasi tindak tutur melarang di antara orang Jawa dan orang Batak pada umuinnya seperti yang tersirat dari pendapat awam bahwa orang Batak cenderung lebih berterus terang dalam mengungkapkan pikiran mereka daripada orang Jawa? Dengan menggunakan istilah pragmatik, pertanyaan itu dapat diparafrasekan .menjadi: adakah perbedaan di dalam hal kelengkungan/kelurusan garis ilokusi melarang di kalangan orang Batak dan di kalangan orang Jawa?
Masalah (utama) itu dapat dijabarkan menjadi sub-submasalah, yaitu:
1. Jika memang ada, seberapa signifikankah perbedaan itu?
2. Di mana letak perbedaannya (dan juga kesamaannya, jika ada)?
3. Apakah perbedaan itu disebabkan oleh perbedaan di dalam world view yang wujud di dalam perbedaan struktur sosial?
4. Adakah indikasi yang mengisyaratkan adanya pergeseran atau perubahan perilaku berbahasa? "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Asim Gunarwan
"Kajian linguistik di Indonesia banyak didominasi oleh kajian-kajian yang dibuat dengan pendekatan formalisme, yang menelaah bahasa dari sudut pandang bentuk (dan bahan) semata-mata. Penelitian sosiopragmatik-kuantitatif ini dibuat dengan pendekatan fungsionalisme, yang mengkaji bahasa berdasarkan fungsi ujaran. Masalah yang dikaji adalah bagaimana persepsi kesantunan para dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta. Tujuannya adalah mencari bukti apakah dwibahasawan itu monokultural ataukah bikultural. Hipotesisnya adalah bahwa para dwibahasawan Indonesia-Jawa itu bikultural. Pembuktian hipotesis dibuat dengan membandingkan hierarki kesantunan bentuk-bentuk ujaran direktif (yang fungsinya menyuruh) di dalam bahasa Indonesia dengan hierarki padanannya di dalam bahasa Jawa.
Data dijaring dari 106 orang responden di Jakarta dan dari 39 orang responden di Malang yang dijadikan kelompok pembanding. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang dimaksudkan untuk "menyadap" persepsi kesantunan responden atas sembilan pasang bentuk ujaran direktif Indonesia dan Jawa dengan menggunakan skala penilaian 1 s.d. 9, mirip skala Likert. Hasil kuantifikasi data dipakai untuk menyusun hierarki, satu untuk bahasa Indonesia dan satu lagi untuk bahasa Jawa. Salah satu temuan penelitian ini adalah bahwa para dwibahasawan Indonesia - Jawa di Jakarta itu adalah dwibahasawan yang monokultural, dan di dalam hal ini mereka monokultural di dalam kebudayaan Jawa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1992
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
"Cinta dan harga diri merupakan kebutuhan dasar siswa yang dapat dipenuhi guru melalui strategi tindak tutur direktif guru (STTDG). Untuk menjaga perasaan siswa agar merasa dicintai dan dihargai, guru perlu menggunakan STTDG yang dapat memunculkan respons warna efektif positif siswa (RWAPS) sehingga pembelajaran berlangsung kondunsif dan menyenangkan. Kenyataannya, masih ada kekerasan verbal yang dilakukan guru dan berdampak pada psikis siswa (rendah diri, trauma, malas). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memeriksa STTDG yang be-RWAPS sebagai basis dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP. Oleh karena itu, kajian STTDG yang ber-RWAPS sangant penting dilakukan. Berdasarkan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan STTDG dalam pembelajaran dan RWAS terhadapnya. Sejalan dengan tujuan penelitian . metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-fenomenologis. Data penelitian dikumpulkan dengan teknik observasi, teknik catat, sadap rekam, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa fungsi komunikasi tindak tutur direktif guru (TDG) terdiri atas memerintah, meminta, melarang, menyarankan, menanya, dan mengajak ; realisasi TDG dengan strategi direct/langsung dan/direct tidak langsung."
JURPEND 15:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Titien Diah Soelistyarini
"ABSTRAK
Sehubungan dengan semakin pentingnya peran bahasa Inggris di dalam era globalisasi ini semakin banyak orang Indonesia mempelajari bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang digunakan oleh para pembelajar ini menjadi fokus di dalam skripsi saya, yang khususnya membahas tentang tindak tutur permintaan maaf di dalam bahasa Inggris yang direalisasikan oieh penutur bahasa Indonesia sebagai pembelajar bahasa Inggris. Bentuk ujaran yang digunakan untuk merealisasikan tindak tutur ini akan dikaitkan dengan strategi-strategi tertentu (Olshtain dan Cohen, 1983) yang diterapkan sebagai sebuah upaya untuk melindungi keterancaman muka para peserta tutur serta dalam kaitannya dengan prinsip kesantunan dan prinsip keseimbangan dalam hubungan antarpeserta tutur (Brown and Levinson, 1992). Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang dibagikan langsung kepada responden. Dipilih sebagai responden adalah para mahasiswa dari jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, yang sedang atau telah menempuh tahun ketiga. Berdasarkan hasil analisis dari data yang terkumpul, saya sampai pada kesimpulan bahwa para responden mempunyai kecenderungan untuk menggunakan IFID (Illocutionary Force Indicating Device) di dalam tindak tutur permintaan maaf yang mereka lakukan, atau dengan kata lain mereka cenderung untuk mengungkapkan permintaan maaf secara eksplisit dengan verba-verba tertentu yang menjadikan daya ilokusioner ujaran-ujaran tersebut jelas. Satu temuan yang menarik dari penelitian ini adalah munculnya sebuah strategi dalam meminta maaf secara tidak langsung yang tidak ada dalam penelitian Olshtain dan Cohen yang terdahulu, yakni penutur menyatakan harapannya agar petutur bersedia untuk menerima permintaan maafnya, seperti dalam ujaran I hope you're not angry with me. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh latar belakang budaya responden sebagai orang Indonesia yang cenderung untuk menjunjung norma-norma kesopanan. Miskinnya khazanah tutur (repertoire) yang tampak dari pilihan kata untuk mengungkapkan permintaan maaf dapat dikaitkan dengan kompetensi komunikatif yang dimiliki responden. Hal ini juga mengandung implikasi bahwa perlu adanya perbaikan dan peningkatan mutu pengajaran bahasa Inggris sehingga pengajaran bahasa Inggris pada masa-masa mendatang lebih berlandaskan pada aspek-aspek sosiologis dan komunikatif bahasa.

"
1996
S14229
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Husna Jaya
"Skripsi ini mencoba menjelaskan mengenai variasi fonologis dan leksikal bahasa Minangkabau di Kota Padang melalui kajian dialektologi. Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan metode pupuan lapangan, yaitu dengan mendatangi informan dan merekamnya. Selain itu, dalam pengolahan data, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk melalukan penghitungan dialektometri, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk menjelaskan peta dan temuan-temuan yang diperoleh. Penelitian ini dilakukan di Kota Padang dengan 22 titik pengamatan yang dipilih sebanyak dua kelurahan di tiap-tiap kecamatan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya ada satu bahasa di Kota Padang dengan satu titik pengamatan yang mempunyai kekhasan secara fonologis.

This thesis tries to explain the phonological and lexical variations of the Minangkabau language in Padang City through the study of dialectology. This research is a field research using field pupil method, that is by going to the informant and recording it. In addition, in data processing, this research uses quantitative and qualitative methods. Quantitative methods are used to pass dialectometric calculations, while qualitative methods are used to explain the maps and findings obtained. This research was conducted in Padang City with 22 points of observation selected by two sub districts in each sub district. The results of this study indicate that there is only one language in Padang City with a single point of observation that has a phonological uniqueness."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S68943
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yan Mujiyanto
"Penelitian ini berlatar belakang asumsi bahwa novel mengandungi berbagai tindak tutur disektif (TTD) yang strategi pengujarannya dapat mengusik muka mitra tutur dan bahwa penerjemahan TTD dapat disertai dengan berbagai bentuk penggeseran kebahasaan yang pada gilirannya mungkin menimbulkan perbedaan derajat kesantunan TTD itu-Berdasarkan asumsi tersebut, penelitian ini mengedepankan masalah penggeseran kebahasaan di dalam pengindonesiaan TTD, pengubahan derajat kesantunan TTD sebagai akibat penerjemahan, dan kaitan penggeseran itu dengan derajat kesantunannya. Tujuannya adalah memperoleh gambaran mengenai (1) hal-hal yang berkaitan dengan penggeseran tadi, (2) dampak penggeseran itu terhadap derajat kesantunannya, dan (3) kaitan penggeseran itu dengan kesantunan tersebut.
Novel yang beriudul A Farewell to Arms karya E. Hemingway (1929) beserta teriemahannya Pertempuran Penghabisan oleh T.S. Bachtiar (1976) dijadikan sumber data. Hasil kajian terhadap sumber data ini digunakan sebagai dasar penyusunan angket yang dimaksudkan untuk memperoleh gambaran tentang perbedaan derajat kesantunan TTD tadi antara BSu dan BSa. Responden ditarik secara acak dari populasi yang terdiri atas penutur BSu dan penutur BSa. Data yang diperoleh diolah menggunakan beberapa uji statistik yang semuanya terdapat di dalam SPSS for Windows Release 6. Variabel utama penelitian ini adalah (1) TTD di dalam BSu dan BSa, yang dikelompokkan menurut faktor bahasa dan jenis penutur, dan (2) perbedaan derajat kesantunan TTD antara kedua bahasa tersebut. Variabel lainnya adalah jantina, kelompok usia, dan tingkat pendidikan responder.
Uji ANOVA sate-jalur yang digunakan untuk mengolab data di atas mengungkapkan adanya perbedaan derajat kesantunan antara TTD di dalam kedua bahasa. Walaupun secara statistik perbedaan ini signifikan, perbedaan harga-harga yang diperoleh dari uji tersebut sangat kecil sehingga uji komparasi ganda (uji Duncan) mengungkapkan bahwa di antara tiga puluh enam pasang kelompok data yang disusun menurut jenis penutur hanya sepuluh pasang yang menunjukkan perbedaan itu. lni menyiratkan bahwa penerjemah memilih strategi melakukan berbagai penggeseran dengan akibat pengubahan derajat kesantunan TTD yang diterjemahkannya.
Penelitian ini menyisakan pextanyaan yang menyangkut kaitan antara fitur suprasegmental dan kesantunan, kewajaran TTD di dalam novel, dan hubungan kesantunan dengan jarak sosial serta perbedaan status antara penutur dan petutur sebagaimana tertuang di dalam novel. Selain itu, kajian replikatif dapat pula dilakukan untuk mengulangtegaskan hasil penelitian ini.

This research is based on the assumptions that novels contain various types of directive speech acts (DSA's for short) which may threaten the hearer's face and that the translation of such DSA's may result in various types of shifts that, in turn, can lead to differences in their degrees of politeness. Based on the assumptions, this study puts forward questions on the shifts in translating English DSA's into Indonesian, the changes of their degrees of politeness as a result of the translation, and the relationship between such shifts and the degrees of politeness. This study aims at (1) revealing aspects related to the variety of shifts; (2) the impacts of such shifts on their degrees of politeness; and (3) the relationship between the shifts and the politeness.
A novel entitled A Farewell to Arms by E. Hemingway (1929) along with its translation, i.e. Pertempuran Penghabisan by T.S. Bachtiar (1976), is the source of data on the DSA's. The results of the study on it are used as the basis of compiling the questionnaire which has been designed to obtain pictures on differences in the degrees of politeness between the DSA's in the source language (Sr..) and their counterparts in the target language (TL). The respondents were randomly drawn from the population consisting of speakers of the SL as well as ones of the TL.
The data obtained from the sample are analyzed using a number of statistical tests contained in the SPSS for Windows Release 6. The major variables of this research are (I) the DSA's in the SL and their counterparts in the TL, which are categorized in accordance with the language and types of respondents, and (2) the differences in the degrees of politeness of the two languages. The other variables are the sexes, the age groups, and the levels of education of the respondents.
The one-way ANOVA employed to analyze the data reveals the differences in the degrees of politeness between the DSA's in the two languages. Despite the significance of the differences, the distinctions of values obtained from the analyses are so small that the multiple comparative (Duncan) tests reveal that among the thirty six pairs of data grouped on the basis of the types of respondents there are only ten pairs showing such distinctions. This implies that the translator has chosen the strategy of making shifts in the translation, resulting in changes in the degrees of politeness of the DSA's that he translates.
This study leaves behind questions on the connection between the suprasegmental features and politeness, the naturalness of DSA's within novels, and the relations between politeness and social distance as well as differences in social status among interlocutors in novels. Besides, replicative study could also be carried out in order to reconfirm the findings of this research.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>