Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23595 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Edison Hulu
"ABSTRAK
Ada beberapa masalah dalam mengaplikasikan model I-O sebagai model perencanaan perekonomian negara, antara lain yaitu (i) kurang akurat penggunaannya dalam jangka panjang karena koefisien I-O diasumsikan tetap (ii) tidak terpakai untuk kebutuhan yang mendesak karena laporan penelitian untuk memperoleh data I-O sering terlambat dan penelitian dilakukan hanya sekali dalam beberapa tahun karena biayanya sangat mahal, (iv) kurang relevan dalam menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi karena data yang ada biasanya menurut harga berlaku.
Dari beberapa studi yang ada diketahui bahwa metode non-survey dapat diaplikasikan untuk mengatasi masalah tersebut di atas. Oleh karena itu, penuots tertarik mempelajari beberapa metode non-survey yang ada, dengan harapan, setelah diuji validitas hasil estimasi masing-masing metode, akan ditemukan sebuah metode yang memiliki daya estimasi mendekati data I-O survey.
Sehubungan dengan terbatasnya fasilitas kepustakaan, waktu, dan dana, maka dalam studi ini dibatasi kepada empat buah metode, tepatnya yaitu metode RAS, RAS-Lagrangian, RECRAS, dan RECRAS-Lagrangian. Metode-metode tersebut diteliti daya estimasinya menggunakan data I-O Indonesia menurut harga produsen klasifikasi 66 sektor dari hasil survey Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 1971, 1975, 1980, dan 1985.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa metode RAS-Lagrangian dan RECRAS-Lagrangian tidak terpakai karena koefisien I-O hasil estimasinya memungkinkan negatif, kasus seperti ini tidak memenuhi persyaratan yang berlaku dalam tabel I-O dan yang metode terpakai ialah metode RAS den RECRAS, Tetapi, daya estimasi metode RECRAS mendekati data I-O survey dibandingkan dengan metode RAS karena hasil estimasinya memiliki koefisien U Thell dan penyimpangan rata-rata terkecil. Di samping itu, metode RECRAS mampu menaksir transaksi masukan antara dan masukan primer secara serentak, sedangkan metode RAS hanya mampu menaksir transaksi masukan antara di dalam tabel I-O.
Metode RECRAS adalah metode yang memiliki daya estimasi terbaik. Oleh karena itu metode ini yang diaplikasikan untuk merubah data I-O Indonesia dari harga berlaku menjadi harga konstan tahun 1980 klasifikasi 66 sektor periode 1971-1985 dan menaksir transaksi I-O tahun 1990 dengan bantuan beberapa metode ekonometri, Berhubung dengan data I-O tahun 1971 kelihatannya kurang akurat karena diperkirakan data tersebut tidak sepenuhnya diperoleh dari survey, maka gambaran perekonomian Indonesia yang akan dipaparkan pada uraian berikut yaitu dimulai tahun 1975 dan proyeksi tahun 1990 atas dasar harga konstan tahun 1980.
Komposisi produk domestik bruto PDB di Indonesia berdasarkan data estimasi non-suvey dalam periode 1975-1990, terdiri dari (i) sektor pertanian tahun 1975 sebesar 29,7 persen dan tahun 1990 23,9 sebesar persen, (ii) sektor pertambangan tahun 1975 sebesar 28,3 persen dan tahun 1990 sebesar 19,73 persen, (iii) sektor industri tahun 1975 sebesar 7,6 persen dan tahun 1990 sebesar 9,62 persen, (iv) sektor Industri ringan tahun 1975 sebesar 3,8 persen dan tahun 1990 sebesar 5,4 persen, (v) sektor Industri berat tahun 1975 sebesar 3,80 persen dan tahun 1990 sebesar 4,2 persen, (vi) sektor bengunan tahun 1975 sebesar 5,3 persen dan tahun 1990 menjadi 5,7 persen, (vii) sektor jasa perhubungan dan komunikasi tahun 1975 sebesar 4,5 persen dan tahun 1990 sebesar 5,1 persen, (viii) sektor jasa lainnya tahun 1975 sebesar 24,6 persen dan tahun 1990 sebesar 35,9 persen. Struktur sektor industri manufaktur terdiri dari (i) industri ringan sebesar 50,4 persen, 57,1 persen, 56,1 persen, dan 56,2 persen, dan (ii) sektor Industri berat yaitu 49,6 persen, 42,9 persen, 43,9 persen, dan 43,87 persen, masing-masing menunjukkan keadaan tahun 1975, 1980, dan 1990.
Perubahan komposisi PDB menurut estimasi non-surrey dan studi Kuznets terdapat beberapa perbedaan, antara lain, (i) dalam perlode 1975-1980 peranan sektor Industri ringan cenderung naik terhadap nilai tambah sektor industri yaitu dart 50,4 persen menjadl 57,1 persen, data ini tidak sesuai dengan studi Kuznets seharusnya menurun, dan pada periode berikutnya sesuai dengan studi Kuznets, (2) dalam perlode 1975-1980 peranan sektor industri berat menurun terhadap nilai tambah sektor industri yaitu dari 49,6 persen menjadi 42,9 persen, menurut studi Kuznets seharusnya naik, tetapi pada periode berikutnya sesuai dengan studi Kuznets. Terlambatnya penurunan peranan Industri ringan dalam nilai tambah sektor industri di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yang mendorong peningkatan produksi sektor tersebut dalam periode 1975-1985, antara lain yaitu (i) bergesernya cara pengolahan padi menjadi beras dari proses pertumbuhan ke arah pengolahan padi dengan penggilingan menggunakan "hailer" dan didorong juga oleh cepatnya pertumbuhan padi (ii) bergesernya dari Impor tepung terigu ke arah Impor gandum yang kemudian diproses di dalam negeri menjadi tepung terigu, (iii) sangat meningkatnya pengolahan minyak kelapa menjadi minyak goreng, (iv) meningkatnya cukai rokok, pada gilirannya nilai tambah Industri rokok semakin besar, (v) adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dalam eskpor kayu gelondongan guna meningkatkan pengolahan kayu di dalam negeri. Sejalan dengan itu terlambatnya peningkatan sumbangan sektor Industri berat terhadap nilai tambah sektor Industri, sangat dipengaruhi oleh tumbuhnya Industri pengolahan minyak dan gas bumi yang diperkirakan pertumbuhan produksinya mulai pada tahun 1977. Oleh karena itu, mulai periode 1980-1990 menunjukkan kecenderungan peningkatan peranan sektor Industri berat terhadap terhadap nilai tambah sektor industri yaitu dari 42,9 persen menjadi 43,8 persen.
Komposisi permintaan dalam negeri di Indonesia berdasarkan data estimasi non-survey dalam periode 1975-1990 terdiri dari (1) sektor pertanian 11,10 persen pada tahun 1975 dan 10,43 persen pada tahun 1990, (2) sektor pertambangan pada tahun 1975 sebesar 0,02 persen, tahun 1980 sebesar 0,03 persen, tahun 1985 tetap sebesar 0,03 persen, dan tahun 1990 sebesar 0,05 persen, (3) sektor Industri sebesar 22,4 persen pada tahun 1975 dan 28,2 persen pada tahun 1990, (4) sektor Industri ringan sebesar 8,9 persen pada tahun 1975 dan 15,5 persen pada tahun 1990, (5) sektor industri berat sebesar 13,5 persen pada tahun 1975 dan 12,77 persen pada tahun 1990, (8) sektor jasa sebesar 88,4 persen pada tahun 1975 dan 61,4 persen pada tahun 1990.
Perubahan komposisi permintaan dalam negeri menurut studi Chenery den menurut data estimasi terdapat beberapa perbedaan, antara lain (1) peranan sektor Industri ringan terhadap permintaan dalam negeri cenderung naik menurut data estimasi non-suvey, dan menurut studi Chenery cenderung menurun, (2) peranan sektor jasa terhadap permintaan dalam negeri cenderung menurun menurut data estimasi non-survey dan menurut studi Chenery cenderung naik.
Komposisi konsumsi rumah tangga di Indonesia berdasarkan data estimasi non-survey dalam periode 1975-1990 terdiri dari (1) sektor pertanian sebesar 32,9 persen pada tahun 1975 dan 25,15 persen pada tahun 1990, (2) sektor pertambangan sebesar 0,07 persen pada tahun 1975 dan 0,10 persen tahun 1980, dan 0,08 persen tahun 1985 dan 0,08 persen pada tahun 1990, (3) sektor Industri sebesar 30,66 persen pada tahun 1975 dan 36,33 persen pada tahun 1980, dan 29,97 persen pada tahun 1985, dan 23,30 persen pada tahun 1990, (4) sektor lndustri ringan sebesar 23,91 persen pada tahun 1975, menjadi 28,38 persen pada tahun 1980, dan 23,50 persen tahun 1985, dan 23,30 persen pada tahun 1990, (5) sektor Industri sebesar 6,75 person pada tahun 1975 dan menjadi 7,92 persen pada tahun 1980 dan 6,47 persen pada tahun 1985, dan monied 6,42 persen pada tahun 1990, (6) sektor Jasa sebesar 36,3 persen pada tahun 1975 dan menjadi 45,1 person pada tahun 1990.
Perubahan komposisi konsumsi rumah tangga menurut data estimasi non-survey dan data SUSENAS, terdapat beberapa perbedaan antara lain, (1) menurut data SUSENAS peranan Industri manufaktur dalam konsumsi rumah tangga cenderung menaik, sedangkan menurut data estimasi non-survey cenderung menurun, (2) menurut data SUSENAS, peranan sektor Industri ringan dalam konsumsi rumah tangga cenderung menaik, sedangkan menurut data estimasi non-survey cenderung menurun, (iv) menurut data SUSENAS peranan sektor Industri berat cenderung menaik, sedangkan menurut data estimasi non-survey cenderung menurun.
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa ada perbedaan perubahan komposisi beberapa variabel ekonomi antara data estimasi non-survey dan beberapa studi empiris. Dengan adanya perbedaan tersebut, tidak berarti bahwa metode non-survey tidak terpakai karena kurang akurat dibandingkan dengan studi empiris, tetapi ada beberapa faktor yang memungkinkan studi empiris tersebut tidak selalu relevan sebagai pedoman dalam menunjukkan pola normal perubahan struktur ekonomi tiap-tiap negara, antara lain (i) perubahan struktur ekonomi tiap-tiap negara dimungkinkan menyimpang dari studi Kuznets dan Chenery karena pengaruh jumlah penduduk, pendayagunaan sumber kekayaan alam dan kebijaksanaan pemerintah, (ii) data konsumsi rumah tangga dari SUSENAS masih belum mencakup yang sebenarnya karena diperkirakan bahwa pengeluaran konsumsi yang terjangkau hanya kebutuhan rutin, (iii) pengelompokkan sektor dalam tabel I-0 di Indonesia kelihatannya kurang akurat, terutama untuk sektor Industri manufaktur, (iv) data indeks harga yang digunakan kelihatannya kurang akurat.
Perkiraan pertumbuhan beberapa variabel ekonomi di Indonesia berdasarkan data estimasi metode non-survey dalam periode 1985-1990, yaitu (i) PDB sebesar 5,48 persen, (ii) konsumsi rumah tangga 4,23 persen (iii) konsumsi pemerintah 6,88 persen, (v) investasi 4,81 persen, (vi) ekspor 8, 7 persen, (vii) Impor 7,42 persen. Kemudian, pertumbuhan ekonomi menurut sektoral yaitu (i) sektor pertanian 5,53 persen, (ii) sektor pertambangan 5,24 persen, (iii) pertumbuhan sektor Industri 5,52 persen, (iv) pertumbuhan sektor Industri ringan 5,55 persen, (v) pertumbuhan sektor Industri berat 5,48 persen, (vi) pertumbuhan sektor bangunan 5,49 persen, dan (vii) ppertumbuhan sektor Jasa 5,57 persen. Angka perkiraan pertumbuhan beberapa variabel ekonomi tersebut di atas kelihatannya tidak jauh menyimpang dibandingkan dengan angka target pertumbuhan ekonomi yang telah disusun pemerintah dalam REPELITA V, dengan demikian metode non-survey dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk keperluan menyusun target rencana pembangunan,
Metode non-survey dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan untuk mengatasi beberapa masalah dalam mengaplikasikan model I-0 untuk kepentingan perencanaan pembangunan. Tetapi, metode non-survey tidak mampu untuk menaksir perubahan kuantitas transaksi I-0 dalam periode tertentu. Dalam kenyataan, kasus seperti ini sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, disarankan mencari sebuah pendekatan yang mampu menaksir perubahan kuantitas transaksi I-0 menurut tiap-tiap sektor dalam jangka waktu tertentu. Jika metode tersebut telah ditemukan, maka aplikasi model I-0 untuk kepentingan perencanaan dan pembuatan kebijaksanaan pembangunan dapat dilakukan dengan makin akurat."
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christofel Datu Birru
"Titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) diletakkan pada bidang ekonomi yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia dan didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional (Anonymous, 1998).
Pembangunan sebagai suatu proses multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental yang sudah melembaga, dan lembaga-lembaga nasional termasuk dalam akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan absolut (Todaro, 1978).
Menyoroti sudut pandang aspek ekonomi dikatakan Sjahrir (1997) bahwa pembangunan adalah proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan-perubahan yang menyertai proses pertumbuhan itu. Perubahan atau transformasi ini mencakup banyak hal, mulai dari struktur produksi, kebijakan dan juga dinamika masyarakat.
Untuk melewati proses itu serta mencapai tujuan yang dapat diharapkan maka tentu perlu dilakukan pembangunan dalam hal ini pembangunan ekonomi."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rustian Kamaluddin
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1989
338.9 RUS b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Budiasih
"Tesis ini menjelaskan bagaimana variabel fiskal (pajak/tax) dan moneter (tingkat bunga rill/real interest rate) mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam suatu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate). Disamping itu, tesis ini mengulas bagaimana perubahan variabel-variabel seperti : real exchange rate yang ditunjukan oleh rasio antara indeks harga luar negeri dikali dengan nilai tukar, dengan indeks harga domestik (QF*E/CPI), serta besarnya tingkat bunga rill (RI), besarnya impor dunia (MWR), defisit anggaran pemerintah (G-T), obligasi pemerintah (L) clan output perekonomian domestik setahun lalu (Y(-1)), akan mempengaruhi perubahan pada output (Y) tahun berjalan. Data yang digunakan adalah data tahunan periode 1969-1997. Perangkat ilmiah yang digunakan adalah ekonometrika, menggunakan sistem persamaan simultan clan merupakan penerapan dari teori IS-LM dalam perekonomian kecil dan terbuka dengan sistem nilai biker tetap. Secara spesifik, model ini merupakan model Mundell-Fleming. Semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini menggunalkan harga konstan 1993 (serous dalam nilai riil). Untuk simulasi output periode 1998-2003, diasumsikan bahwa pemerintah menerapkan paket kebijakan makro (fiskal dan moneter) pads tahun 1998. Ada 9 skenario yang diaplikasikan yaitu : skenario pertains, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal dan moneter, keduanya bersifat longgar; skenario kedua, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal bersifat longgar dan kebijakan moneter bersifat netral; skenario ketiga, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal bersifat longgar namun kebijakan moneter bersifat ketat; skenario keempat, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal bersifat netral dan kebijakan moneter bersifat longgar, skenario kelima, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal manpun moneter bersifat netral; skenario keenam, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal netral dan moneter bersifat ketat; skenario ketujuh, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ketat namun kebijakan-moneter bersifat longgar, skenario kedelapan, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter bersifat netral; sedangkan skenario kesembilan, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal maupun moneter yang bersifat ketat Dari basil simulasi dapat disimpulkan bahwa secara umum kebijakan fiskal lebih efektif di dalam mendorong kegiatan ekonomi. Selanjutnya, dengan asumsi tingkat pertnmbuhan harga konstan, kebijakan fiskal dan moneter yang longgar akan memberikan tingkat pertumbuhan ekonomi yang maksimal."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wasudi
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, -
S16255
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Win Konadi
"Hubungan antara mobilitas penduduk dan pembangunan sangat erat sekali. Sebagaimana dikemukakan oleh Saefullah (1996), maupun Tjiptoherijanto (1998), gerak pembangunan akan mempengaruhi angka, bentuk dan arah mobilitas penduduk. Sebaliknya, mobilitas penduduk mempunyai dampak terhadap proses pembangunan. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa mobilitas penduduk akan terus ada selama proses pembangunan masih mengalami ketimpangan antar wilayah-terutama sekali ketimpangan antara wilayah perdesaan dan perkotaan.
Kecenderungan perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain, seperti urbanisasi menurut beberapa teori (model Lee, teori Todaro) ada kaitannya dengan pertumbuhan pembangunan bidang ekonomi. Mereka secara jelas mengungkapkan bahwa faktor ekonomi memang memberi kontribusi besar dalam mempengaruhi orang untuk bermigrasi. Berkaitan dengan itulah maksud dan tujuan penelitian ini ingin lebih menjelaskan hubungan migrasi, urbanisasi dan pembangunan ekonomi dalam formula model matematik, berangkat dari bentuk atau model pertumbuhan variabel pengamatan tersebut.
Yadava and Yadava (1995) dan Keyfizt's (1978) telah mencoba memformulasikan hubungan migrasi, urbanisasi dan pembangunan ekonomi dalam pemodelan matematis, yaitu dengan mengusulkan bahwa fungsi urbanisasi dinyatakan dalam proporsi total penduduk perkotaan dari waktu ke-waktu mengikuti fungsi logistik dan terkait dengan fungsi pertumbuhan ekonomi menurut waktu. Sedangkan model estimasi migrasi neto keluar dan perdesaan diperhitungkan dari laju perubahan perbandingan penduduk perkotaan dan perdesaan dan selisih pertumbuhan alamiah penduduk desa-kota.
Pokok pikiran penelitian dalam tesis ini adalah kajian model Yadava dan Keyfitz serta Stupp yang diaplikasikan pada kondisi Indonesia dengan beberapa skenario yang dibangkitkan. Skenario yang dimaksud diperlakukan pada pola pertumbuhan ekonomi (diambil skenario linier, eksponensial, geometrik dan skenario Agung dari pola GNP per-kapita). Kemudian dibuat pra skenario untuk perbedaan pertumbuhan alamiah penduduk perdesaan dan perkotaan (natural increase rural-urban).
Hasil pembahasan diperbandingkan ke semua skenario tersebut, berdasarkan data observasi yang bersumber dari Statistik Indonesia, Sensus Penduduk dan SUPAS, serta diperbandingkan dengan hasil proyeksi yang pernah dipublikasikan oleh beberapa demografer Indonesia, yaitu Ananta & Anwar (1994) serta Tjiptoherjanto & Hasmi (1998). Proyeksi Model Yadava dengan skenario eskponensial misalnya, tahun 2000 menghasilkan angka urbanisasi 42,08 persen dan tahun 2010 sebesar 54,14 persen. Sedangkan dengan skenario Agung-3 (asumsi : bahwa pertumbuhan GNP 1998-1999 = +2 %) menghasilkan angka proyeksi urbanisasi tahun yang sama, masing-masing sebesar 34,05 persen, dan 48,68 persen. Sementara flu Tjiptoherijanto & Hasmi memproyeksikan tahun 2000 sebesar 36,46 persen dan menjadi 44,48 persen tahun 2010 serta proyeksi Ananta & Anwar, sebesar 41,80 persen tahun 2000 menjadi 49,55 persen tahun 2010.
Berdasarkan skenario model pertumbuhan ekonomi dan secaral langsung berhubungan dengan pertumbuhan angka urbanisasi, maka angka migrasi neto keluar dari perdesaan dapat diestimasi serta proyeksi beberapa tahun ke depan. Estimasi dan proyeksi yang dilakukan, di kontrol oleh angka perbedaan pertumbuhan alamiah penduduk perdesaan dan perkotaan yang diambil tetap sepanjang waktu pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi perbedaan pertumbuhan alamiah penduduk perdesaan dengan perkotaan berkorelasi positif terhadap angka migrasi neto keluar dari perdesaan."
2000
T11098
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidik Budiono
"Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran performance yang sangat penting suatu bangsa. Penelitian ini membuktikan peranan investasi modal manusia, modal fisik, dan beberapa variabel demograli dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data pada tingkat propinsi dan hasil estimasinya (koefisienkoefisien) merupakan hasil estimasi nasional.
Model pertumbuhan yang digunakan adalah Model Kubo-Lee dan Model Denison. Kedua model menitikberatkan peranan modal manusia dan modal fisik. Hasil-hasil penelitian dengan Model Kubo-Lee adalah sebagai berikut : Panama, rate of return tiap tahun untuk tenaga kerja tingkat sekolah dasar cukup tinggi. Secara empiris, kemungkinan pada pendidikan tingkat dasar bagi tenaga kerja ada loncatan drastis rate of return antara lama sekali tidak dapat membaca dan menulis (no schooling) dengan keadaan tenaga kerja dapat membaca dan menulis sehingga tenaga kerja pada level tersebut lebih mudah menyerap informasi dan menerapkan teknologi yang lebilt baik. Kedua, rate of return untuk sekolah menengah lebih rendah daripada tingkat sekolah dasar. Ketiga rate of return pendidikan. tinggi lebih tinggi daripada rate of return pendidikan menengah. Keempat, pendapatan perkapita awal periode mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Kelima, pertumbuhan penduduk memang merupakan beban bagi pertumbuhan ekonomi. Keenam, penulis memasukkau variabel prosentase penduduk urban telah membuktikan bahwa ada dugaan keterkaitan antara 3 unsur pertumbuhan ekonomi yaitu ekspansi pendidikan, kecenderungan yang besar tenaga kerja bertempat tinggal di daerah urban dan akumulasi Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB). Taman selanjutnya bahwa ekspansi pendidikan di Indonesia tidak mengikuti hukum ekonomi "The Law of Diminishing Returns", hal ini mendukung hasil-hasil temuan beberapa penelitilekonom sebelumnya. Terakhir Hasil estimasi dengan Model Denison membuktikan bahwa tenaga kerja efektif dan akumulasi modal fisik mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jadi, Model Kubo-Lee dan Model Denison dapat diterapkam
Implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini adalah prioritas kebijakan investasi
somber daya manusia pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi dilakukan di daerahdaerah dan sekaligus membuka lapangan kerja barn. Dengan demikian masalah kepadatan, polusi, kebutuhan-kebutuhan pokok di daerah urban dapat di-eliminasi. Juga pemerintah perlu membangun fasilitas infrastruktur daerah rural untuk menunjang kegiatan-kegiatan ekonomi dan lapangan kerja bare. Pada akhimya kebijakan kebijakan tersebut tidak hanya mempercepat pertumbuhan ekonomi tetapi juga mengatasi ketimpangan-ketimpangan. "
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20639
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinuhaji, Roberto
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1993
S18020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wan Ruslan Abdul Ghani
"Seiring dengan perkembangan pembangunan, dirasakan model ekonomi agregat menjadi tidak terlalu banyak manfaatnya bagi perencanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan apabila kegiatan tersebut masuk ke dalam suatu dimensi ruang. Oleh karena itu yang dibutuhkan sekarang adalah suatu model yang bukan saja dapat menggambarkan jenis, lokasi dan pelaku kegiatan ekonomi tetapi juga mampu memberikan analisis tentang dampak langsung, tidak langsung dan terimbas (induced effects) dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang direncanakan. Model seperti ini sebenarnya tidak hanya dibutuhkan oleh para perencana dan pengawas pembangunan, tetapi juga oleh para politisi. Analisis inter-regional input-output merupakan salah satu alat yang sangat tepat dan bersifat komprehensif jika dipakai untuk menjelaskan dan rnenganalisis hubungan keterkaitan antar daerah dan antar sektor dalam suatu perekonomian.
Penelitian ini lebih menekankan pada tujuan membuat tabel input-output antar daerah (IOAD, Inter-Regional Input-Output) Propinsi Lampung atas dasar harga produsen tahun 1997 dengan menggunakan metode non-survey, dimana diuraikan secara rinci tentang proses dan tahapan sejak dari awal hingga penyusunan tabel akhir. Disamping itu sebagai analisis tambahan, juga dilihat pola keterkaitan antar sektor; ketergantungan antar daerah; besarnya efek multiplier; analisis dampak; serta dilihat pula prioritas sektor unggulan dengan memperhatikan keterkaitan antar kabupaten/kota di Propinsi Lampung.
Pola keterkaitan dan ketergantungan antar sektor dan antar daerah di Propinsi Lampung dilihat dengan menggunakan pola keterkaitan ke depan (Forward Linkage), dimana suatu sektorldaerah berperan sebagai pemasok bahan bake ke sektorldaerah lainnya yang bergerak di industri bilk; serta pola keterkaitan kebelakang (Backward Linkage), dimana suatu sektor / daerah sangat berperan sebagai pengguna / pembeli produk / output yang dihasilkan suatu sektor / daerah yang bergerak di industri hulu. Besarnya efek multiplier dan analisis dampak dilihat dengan menggunakan inners matrik teknologi leontief. Sedangkan prioritas sektor unggulan di Propinsi Lampung dilihat dengan memperhatikan kemampuan sektor / daerah tersebut dalam memasok industri-industri hilir, kemampuan menyerap produksi industri-industri hulu serta kemampuan sektor tersebut dalam menghasilkan output, yang kesemuanya diukur dengan menggunakan indeks prioritas.
Manfaat penelitian ini disamping dapat merberikan solusi baru bagi penyusunan perencanaan pembangunan daerah terutama yang berkaitan dengan aspek keterkaitan antar sektor dan antar daerah di Propinsi Lampung yang selama ini belum pernah dilakukan, juga sebagai penerapan pendekatan akademis dan pengembangannya dalam menyusun perencanaan regional khususnya di Propinsi Lampung.
Tabel akhir IOAD Propinsi Lampung dapat diperoleh setelah melakukan penyesuaian dengan menggunakan metode RAS melalui prosedur itterasi dengan kontrol matrik R dan. S, dimana Tabel tersebut berhasil disusun setelah melakukan itterasi sebanyak 269 kali.
Berdasarkan nilai indeks Forward Linkage dan Backward Linkage terlihat bahwa nilai indeks Forward Linkage tertinggi adalah 4,46 pada sektor 28 (perdagangan) di Kebupaten Lampung Selatan dan terendah adalah 0,67 pada sektor 13 (Kehutanan) di Kota Bandar Lampung. Sedangkan nilai indeks Backward Linkage tertinggi adalah 1,65 pada sektor 22 (industri semen dan kapur) di Kabupaten Lampung Tengah dan terendah adalah 0,67 pada sektor 13 (kehutanan) di Kota Bandar Lampung.
Berdasarkan Keterkaitan ke depan, Kabupaten Lampung Selatan merupakan daerah dengan kemampuan tertinggi dalam menunjang produksi industri-industri hilir baik yang berada di daerahnya maupun di daerah lain, diikuti Lampung Utara, Lampung Tengah, Bandar Lampung dan Lampung Barat. Kegiatan produksi di Kabupaten Lampung Selatan tersebut sangat berdampak terhadap peningkatan produksi di Kota Bandar Lampung, Lampung Utara, Lampung Tengah dan Lampung Barat.
Berdasarkan keterkaitan ke belakang, Kabupaten Lampung Selatan merupakan daerah dengan kemarnpuan tertinggi dalam menunjang produksi industri-industri hulu baik yang berada di daerahnya maupun di daerah lain, diikuti Lampung Tengah, Bandar Lampung, Lampung Utara dan Lampung Barat. Kegiatan produksi di Kabupaten Lampung Selatan sangat berdampak terhadap peningkatan produksi di Kabupaten Lampung Barat, Bandar Lampung, Lampung Tengah dan Lampung Utara.
Berdasarkan urutan prioritas dari 1 s/d 25, ternyata Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah memiliki 7 sektor, Kota Bandar Lampung memiliki 6 sektor, Kabupaten Lampung Utara memiliki 4 sektor dan Kabupaten Lampung Barat memiliki 1 sektor. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Kota Bandar Lampung memiliki peranan yang cukup tinggi dalam meningkatkan output Propinsi Lampung, serta memiliki daya dukung yang besar terhadap pengembangan sektor-sektor lainnya di bagian hilir dan di bagian hulu yang terdapat tidak hanya di dalam Kabupaten/Kota itu sendiri tetapi juga di daerah lain dalam Propinsi Lampung.
Dampak konsumsi masyarakat terhadap pembentukan NTB terbesar pada NTB Kabupaten Lampung Selatan, dampak konsumsi pemerintah terbesar pada NTB di Kota Bandar Lampung, dampak PMIDB terhadap NTB terbesar pada Kota Bandar Lampung, dampak perubahan stok terhadap NTB terbesar di Kabupaten Lampung Selatan, sedangkan dampak ekspor netto terhadap NTB terbesar di Kota Bandar Lampung."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T1986
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoko Sunarjanto
"Selama ini kebijakan perencanaan sampai dengan pengawasan kegiatan dalam suatu wilayah pertambangan belum dilengkapi kebijakan yang didasari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kutub pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan hanya mengembalikan lahan bekas tambang seperti saat belum ditambang, tentu akan merugikan masyarakat setempat dan akibat selanjutnya merugikan generasi akan datang yang hanya mendengar cerita dan melihat bekas kegiatan perekonomian waktu tambang masih aktif. Contoh kasus seperti ini adalah bekas kegiatan pertambangan Timah di Pulau Bangka Sumatra Selatan, ataupun sisa peralatan sumur minyak bumi di daerah Cepu dan sekitarnya Jawa Tengah.
Untuk menghindari dampak negatip yang timbul akibat kegiatan pertambangan tersebut salah satu upaya menciptakan wilayah tambang tetap tumbuh walau kegiatan pertambangan berakhir, dan diharapkan menjadi bahan kajian perencanaan dan pengambilan kebijakan publik yang perlu dipersiapkan pemerintah sebagai regulator dan penentu kebijakan.
Berawal dari pemikiran tersebut dan selaras dengan era perubahan yang sedang terjadi di Indonesia saat ini, suatu perencanaan yang selama ini banyak diterapkan pada perencanaan regional akan diterapkan pada perencanaan suatu wilayah pertambangan yang merupakan wilayah ekonomi, dengan studi pada Unit Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor Jawa Barat.
Hasil analisis komparatif PDRB Kecamatan Nanggung dan kecamatan yang berdekatan (Kec.Cigudeg dan Leuwiliang), menunjukkan bahwa semua sektor cenderung mengutub pada masing-masing kecamatan. Khusus pada Kecamatan Nanggung tahun 1997 mempunyai 3 sektor basis yaitu pertambangan, pertanian dan pengangkutan.
Dengan metode AHP dilakukan perencanaan forward dan backward process, dihasilkan skenario kebijakan mengembangkan sektor pertanian dengan PT. Aneka Tambang sebagai prioritas pertama pelaku yang dipandang mampu melaksanakannya. Dari forward-backward process ditindak lanjuti pembuatan proyeksi menghasilkan hirarki yang tidak sensitif akan perubahan-perubahan, dengan skenario yang dihasilkan proyeksi inipun tetap dengan skenario mengembangkan sektor pertanian, diikuti pengembangan perdagangan dan pariwisata.
Berdasar pengalaman selama masa transisi pemerintahan (Tahun 1998-1999) banyak perubahan kebijakan yang diperbarui atau bahkan diganti, hal itu menjadi salah satu pertimbangan adanya perubahan-perubahan pada sektor pertambangan, yang tentunya berpotensi memicu terjadinya kompetisi atau konflik kepentingan berbagai pihak. Konflik yang kemungkinan akan terjadi antara Pemda Kab.Bogor yang akan menerapkan UU No.22 dan UU No.25 Tahun 1999 pada satu pihak, dan PT. Aneka Tambang sebagai pemegang ijin pengusahaan pertambangan emas Daerah Pongkor pada pihak lain. Analisis game theory dengan AHP dapat menunjukkan tercapainya keseimbangan antara strategi Pemda Kabupaten Bogor untuk mengkoodinasikan penyelesaian Pertambangan Tanpa Ijin (PETI) dan strategi PT. Aneka Tambang mengembangkan penambangan bawah tanah. Pihak manapun yang berinisiatif lebih dulu, prioritas pilihannya pada kedua strategi itu.
Kompilasi hasil analisis masing-masing tahapan dapat lebih menekankan skenario kebijakan yang sesuai dengan keinginan responden adalah; Prioritas utama skenario kebijakan untuk Daerah Pongkor ke depan adalah, mengembangkan penambangan bawah tanah agar tetap menjaga kelestarian lingkungan dan tetap mengembangkan sektor pertanian sehingga tercipta kutub pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dari diskusi dengan berbagai pihak khususnya dengan responden dari Pemda Kabupaten Bogor, PT Aneka Tambang, LSM dan Swasta yang bekerja di Daerah Pongkor, perencanaan kutub pertumbuhan ekonomi pada wilayah pertambangan dapat dan perlu dilakukan. Diharapkan perencanaan yang telah dilakukan pada Unit Pertambangan Emas Pongkor dalam karya akhir ini dapat diimplementasikan di lapangan dan disarankan dapat dijadikan model percontohan untuk dikembangkan pada wilayah pertambangan lain di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T7353
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>