Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 127086 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mahfudin
"Tesis ini mencoba membahas perubahan kebijakan luar negeri Libya terhadap Amerika Serikat. Hubungan antara Libya dan Amerika Serikat pada awal masa pemerintahan Muanunar Qadhafi memburuk. Libya-AS terlibat konflik. Konflik Libya-AS mengalami eskalasi. AS menyerang Libya dengan embargo dan sanksi-sanksi lewat PBB.
Libya mengalami kerugian di berbagai sektor akibat embargo AS dan sanksi PBB itu. Libya terkucil di dunia internasional. Runtuhnya rezim Taliban dan Saddam Hussein merupakan salah satu faktor terjadinya perubahan kebijakan politik luar negeri Libya terhadap Amerika yang dulu anti-Barat kini menjadi mitra kerjasama. Akhirnya pada tanggal 28 Juni 2004, Amerika Serikat juga membuka kembali hubungan diplomatiknya dengan Libya, menyusul dicabutnya embargo dan sanksi PBB atas Libya pada bulan September 2003.
Untuk menganalisa perubahan kebijakan Libya tersebut penulis menggunakan teori perubahan politik dan kepentingan nasional. Menurut J.Barry Jones perubahan dapat dilihat dari 1. Adanya perubahan pada kuantitas dan kualitas, 2. Adanya faktor penyebab, baik simple Causality maupun Systemic dynamics, dan 3. Adanya perbedaan antara konsep sudut pandang perubahan bagi aktor dengan konsep sudut pandang perubahan di mata para analis.
Faktor lain, Libya melakukan modernisasi dan liberalisasi. Maka, tidak ada alasan bagi AS untuk menolak Libya bergabung di dunia internasional. Ditambah dengan kebijakan-kebijakan Libya dalam hal persenjataan dan terorisme yang akomodatif dan kompromis. Hal ini berkaitan dengan keinginan Libya untuk menghilangkan berbagai hambatan politik yang disebabkan oleh program persenjataan, dan tuduhan-tuduhan serta stereotip negatif yang dituduhkan AS pada Libya.
Adapun untuk menganalisa permasalahan faktor-faktor perubahan kebijakan Libya tersebut penulis menggunakan model kepentingan nasional (national interest) yang dikemukakan oleh Hans J. Morgenthau, James N. Rosenau dan George F. Kennan. kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan, bahwa semua kebijakan luar negeri cenderung cocok dengan dan merefleksikan salah satu dari tiga pola aktivitas; memelihara keseimbangan, imperialisme, dan politik prestise.
Kedua negara mendorong perubahan hubungan ke arah kerjasama. Libya menghendaki survive, citra positif dan tidak mau mengalami nasib serupa Irak. Sedangkan kepentingan politik luar negeri AS dalam hal ini adalah kekuasaan, dan suplai pasokan minyak ke AS terjamin.
Adapun tipe penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan sifat penelitiannya adalah case study.

This thesis tries to extend a change of foreign policy of Libya toward United States of America. The relationship between Libya and USA was deteriorates in the early a period of Muammar Qadhafi government. Libya and USA involved a conflict it was escalate. USA attacked Libya with embargo and sanctions trough out United Nations.
Libya gets misfortune in all field caused USA embargo and the sanctions of PBB. Libya was isolated from sight of world. The determination of Taliban and Saddam Hussein caused Libya to change its foreign policy toward USA, from No-Western nowadays open to become closer partner. Finally on 28 of June 2004, USA reopened his relationship with Libya, and decides to cut in touch UN embargo and sanction to Libya on September 2003.
To analyses the change of it's policy, the writer uses politic change and national interests theory. According to Barry Jones analyses, that the change of its policy can be seen from three views; because of quantity and quality change. 2. Cause of Simple Causality and systemic dynamic theory and 3- Existence of different among change viewpoint concept to actor with change viewpoint concept in sight of each analysis.
USA and Libya relation increase while modernization in Libya occurs, no reason for America to refuse Libya joining in International World. When Libya is ready with it's own accommodation in weapons and suspected as terrorism country, the matter relates to desire of Libya to eliminate various resistance of politic and it's damage images.
For analyzing the factors of relationship change of Libya and USA, the author uses the model of national interest that have been told by Hans J, Morgenthau, James N Rosenau and Goerge F Kerman. National interest each country is running after the power, all abroad policy tends compatible and reflect one of three pattern of activities; looking after balance, prestige politic and imperialism.
Both countries push a change of relation up to cooperation. Libya wishes survive, positive image and don't want to suffer as Iraq. But USA policy hopes as diplomacy victory. Then USA consortiums oil able to supply more.
The type of this research is qualitative using method of collecting data trough out study of literatures and it's characteristic of research is study case.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagalung, Maria Renata
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap masalah nuklir Korea Utara, khususnya pada masa pemerintahan Clinton kedua dengan implementasi Kerangka Kesepakatan. Dalam hal ini, penulis ingin melihat bagaimana faktor eksternal, yakni dinamika politik keamanan di Semenanjung Korea dan faktor internal, yakni sikap Kongres AS terhadap isu nuklir Korea Utara mempengaruhi kebijakan luar negeri Clinton.
AS mempunyai kepentingan untuk mempertahankan wilayah Semenanjung Korea yang bebas nuklir. Kapabilitas nuklir Korea Utara tidak hanya membahayakan kawasan regional dengan adanya kemungkinan perlombaan nuklir di Asia Timur; tetapi juga membahayakan rejim non-proliferasi internasional.
Pembahasan permasalahan tesis ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran : Russet dan Starr mengenai konsep kebijakan luar negeri; pemikiran Holsti mengenai pengaruh lingkungan internal dan eksternal terhadap implementasi kebijakan luar negeri; dan pemikiran Kegly dan Wittkopf mengenai peranan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS.
Hasil dan penelitian bahwa kebijakan luar negeri AS adalah mempertahankan kawasan Semenanjung Korea yang bebas nuklir dengan upaya meminimalisir ancaman yang ditimbulkan dengan keberadaan kapabilitas nuklir Korea Utara. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, Kerangka Kesepakatan merupakan upaya yang paling rasional untuk menangani isu nuklir tersebut. Baik Jepang dan Korea Selatan, sebagai sekutu-sekutu AS, maupun kalangan Kongres sebagai faktor politik domestik yang mempengaruhi implementasi Kerangka Kesepakatan, ternyata mendukung implementasi kesepakatan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T2288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Ferdinand
"Penelitian ini berfokus pada analisis kebijakan luar negeri dan keamanan bersama Uni Eropa (Common Foreign and security Policy ) pada tahun 1997-1999. Secara lebih spesifik membahas respons entitas Uni Eropa (UE) terhadap dinamika perubahan lingkungan eksternal maupun internalnya, dengan menggunakan pendekatan sistem kebijakan luar negeri dan model constraints and opportunities.
Variabel independen dalam penelitian ini berasal dari lingkungan eksternal UE, yaitu_ kebijakan burden sharing AS ke UE, dan dari lingkungan internal UE adalah politik identitas Eropa. Keterhubungan logis antarvariabel diperlihatkan melalui pengaruh pemunculan serangkaian peluang dan hambatan yang berasal dari kedua variabel independen, terhadap variabel dependen. Dengan kata lain, kebijakan burden sharing AS-UE dan politik identitas Eropa diduga mempengaruhi pemunculan serangkaian peluang dan hambatan terhadap peningkatan peran internasional LTE pada tahun 1997-1999.
Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa peluang bagi peningkatan peran internasional UE muncul dari adanya interaksi antara kebijakan burden sharing AS-UE yang berjalan selaras dengan fenomena politik identitas UE, dan sama-sama dilandasi oleh pengembangan nilai-nilai peradaban Barat. Kedekatan secara kultural antara kedua entitas tersebut dalam peradaban Barat memungkinkan keduanya melakukan kerjasama yang cukup dalam, hingga hal ini merupakan peluang bagi UE untuk meningkatkan peran internasionalnya.
Di sisi lainnya, hambatan bagi peningkatan peran internasional UE disebabkan karena dari lingkungan eksternal UE terjadi kompetisi antara AS dan LIE, yang mana hal ini juga inheren dalam suatu kerjasama. Dari sisi internal UE, politik identitas UE dapat menjelaskan bagaimana UE sebagai bagian dari peradaban Barat harus berbenturan dengan persoalan identitas kultural.
Peluang dan hambatan di atas kemudian menyebabkan UE pada tahun 1997 harus melakukan reformasi institusional agar CFSP dapat diterapkan secara lebih efektif, dan dengan demikian akan dapat meningkatkan pula peran internasional UE. Perjanjian Amsterdam, menyepakati ditingkatkannya sarana untuk mencapai tujuan berupa peningkatan peran intemasional UE sebagai kolaborator kawasan, kepemimpinan, sekutu, dan promoter of security, mediator, dan independen."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Worang, Toary Ceacer Fransiskus
"Internasionalisme Amerika adalah orientasi dalam politik luar negeri Amerika. Penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia merupakan ciri utama dalam orientasi ini. Internasionalisme Amerika diformulasikan oleh Presiden Amerika Woodrow Wilson. Ia percaya bahwa Amerika memiliki sense of mission dan sense of obligation memperkenalkan demokrasi dan liberalisme kepada masyarakat internasional dalam rangka pembentukan tatanan dunia yang aman, stabil dan makmur. Bagi Wilson upaya membawa demokrasi dan liberalisme pada masyarakat internasional tidak bisa dilepaskan dari bentuk kerjasama dengan institusi intemasional/ multilateral. Pemikiran Wilson inilah yang diangkat kembali dalam politik luar negeri masa Clinton. Ciri utama politik luar negeri Clinton adalah pemanfaatan institusi internasional/multilateral dalam upaya penyebaran demokrasi dan liberalisme ke seluruh dunia lewat strateginya "Enlargement". Tesis ini akan menunjukan bagaimana pemerintah Clinton memanfaatkan institusi internasional/multilateral dalam mendukung terlaksananya strategi `Enlargement'. Pelaksanaan politik luar negeri Amerika Serikat masa Clinton sendiri tidaklah mudah karena perkembangan lingkungan internasional yang mana Neo Cold War Orthodoxy yang semakin membahayakan dan tidak terduga bagi Amerika Serikat. Untuk itu tesis ini jugs akan menunjukan bagaimana sikap pragmatis pemerintah Clinton menyebabkan keberhasilan pemanfaatan institusi internasional/multilateral mendukung strategi "Enlargement".

American Internationalism is an orientation in American Foreign Policy. The main characteristic of American internationalism is the universalism of democracy and liberalism. It was President Woodrow Wilson who formulated American Internationalism since he believed that Americans have sense of mission as well as sense of obligation to introduce democracy and liberalism to international community in order to create a stable, secure, and prosperous world order. According to Wilson, American's effort to promote democracy and liberalism is highly in collaboration with various international and multilateral institutions. In Clinton's administration Wilsonianism has been adopted and become the main element in its foreign policy. In this regard, the use of international/multilateral institutions become prominent in universalizing democracy and liberalism through so called `enlargement strategy'."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T14629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tutuhatunewa, Spica Alphanya
"Dalam kurun waktu 1998-1999 Australia menunjukkan perubahan sikap politik (terlihat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan sikap aktor/elit politiknya) yang cukup drastis ke sisi negatif kepada Indonesia terkait dengan masalah Timor Timur sampai membuat hubungan kedua negara turun pada titik yang terendah untuk masa lebih dari sepuluh tahun terakhir. Perubahan dalam politik luar negeri Australia yang awalnya sangat bersahabat, dapat dikatakan dimulai ketika terjadi pergeseran dalam kebijakan luar negeri Australia yang lebih memprioritaskan hubungan dengan Amerika Serikat daripada negara-negara tetangganya di Asia termasuk Indonesia, seperti yang terlihat dari Buku Putih Kebijakan Luar Negeri dan Perdagangan Australia tahun 1997.
Ketika isu hak asasi manusia (HAM) mulai menjadi topik utama hubungan internasional bahkan pandangan integratif yaitu pandangan yang menyetujui keterkaitan HAM dengan berbagai bidang lainnya lebih mendominasi dunia, dibandingkan dengan pandangan fragmentatif, publik Australia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang demokratis juga makin meningkat kepeduliannya terhadap isu HAM. Dengan letak geografis yang sangat berdekatan, Indonesia dan Timor Timur kemudian menjadi sorotan bagi kampanye HAM Australia.
Perubahan kebijakan luar negeri Australia sebagai suatu entitas terhadap Indonesia dapat dilihat dari perubahan politik luar negeri Australia baik dari kebijakannya (policy) sendiri maupun pernyataan politik aktor-aktornya. Aktor/elit politik yang paling menentukan adalah Perdana Menteri Australia. Secara pribadi, Perdana Menteri Australia John Howard mempunyai kepentingan untuk mengakomodir tuntutan domestik yang diwarnai isu HAM ini terkait dengan ambisinya menjadikan Australia sebagai deputi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Alasan pribadi lainnya adalah untuk menaikkan popularitasnya agar dalam referendum Republik Australia (dilaksanakan tanggal 6 November 1999), pandangannya yang monarkis dapat lebih diperhatikan publik dan Australia tetap menjadi bagian dari Kerajaan Inggris."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Berlianto Pandapotan Hasudungan
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan Iuar negeri Thailand terhadap Vietnam dalam periode waktu tahun 1988-1990 yang ditandai dengan adanya upaya-upaya pendekatan terhadap Vietnam dan kebijakan untuk merubah kawasan Indochina dari medan perang menjadi wilayah perdagangan yang menjadi prinsip dasar kebijakan luar negeri Thailand sejak tahun 1988.
Kebijakan luar negeri Thailand terhadap Vietnam pada masa pemerintahan Perdana Menteri Chatichai Choonhavan, sangat berbeda dengan para pendahulunya yang ditujukan untuk 'menjaga dan menjamin keamanan serta stabilitas wilayahnya dari ancaman komunis Vietnam. Pada era Chatichai, paradigma lama itu justru ditinggalkan dan digantikan dengan kebijakan yang kooperatif, yaitu melalui kerjasama ekonomi. Langkah ini ditempuh Chatichai guna meningkatkan stabilitas keamanan wilayah dan kemakmuran negara Thailand. Perubahan kebijakan tersebut juga dilakukan dalam rangka mengantisipasi perubahan isu global pasta perang dingin.
Tujuan dari peneilitian ini adalah untuk menganalisis bentuk kebijakan Iuar negeri Thailand terhadap Vietnam, terutama dalam mengantisipasi perubahan sistem internasional pada periode menjelang berakhirnya perang dingin serta menganalisis kepentingan dan motivasi yang melatarbelakangi perubahan kebijakan luar negeri Thailand tersebut.
Permasalahan dicoba untuk dianalisa dengan menggunakan pemikiranpemikiran dari Rosseau, yaitu mengenai adanya faktor-faktor dan variabel-variabel yang mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri, sedangkan linkage theory-nya membahas mengenai keterkaitan yang erat antara faktor internal dan eksternal; Kegley dan Wittkopf mengenai komponen kebijakan luar negeri Snyder tentang adanya faktor subyektif dari sudut pandang para pembuat keputusan; dan Frankel serta David Easton mengenai pengaruh eksternal dalam memberikan output bagi kebijakan luar negeri suatu negara. Pembahasan permasalahan ini dilakukan melalui penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi kepustakaan dan internet, berupa data-data sekunder.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa perubahan kebijakan Iuar negeri Thailand dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Tekanan faktor internal didominasi oleh kepentingan ekonomi guna meningkatkan kemakmuran Thailand, sedangkan faktor eksternal merujuk pada perubahan pads isu global pasca perang dingin. Dalak kaitan ini, Perdana Menteri Chatichai Choonhavan menggunakan sektor ekonomi sebagai alat politiknya dalam rangka merubah kawasan Indochina dari medan perang menjadi medan pasar. Hal ini dilakukan mengingat Thailand telah berkembang menjadi negara industrialisasi Baru di Asia dan sebagai kekuatan ekonomi regional. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benny Hermawan
"Krisis nuklir Iran berawal ketika pada Agustus 2002, Dewan Nasional Perlawanan Iran, oposisi pemerintah Iran yang berada di pengasingan, melaporkan tentang adanya fasilitas pengayaan uranium di Natanz dan fasilitas air berat di Arak. Dalam perkembangan selanjutnya, pada Januari 2006 Iran melepaskan segel IAEA dan memulai penelitian bahan bakar nuklir yang kemudian dilanjutkan dengan pengayaan uranium.
Di sisi lain, pasca tragedi 11 September 2001, Amerika Serikat melakukan revisi mendasar tentang strategi keamanan nasionalnya yang tercermin dengan diadopsinya konsep preemption dan prinsip unilateralism dalam National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 merupakan justifikasi bagi Amerika Serikat untuk bertindak secara proaktif dengan menyerang negara lain yang dianggap membahayakan keamanan nasionalnya sebelum negara tersebut menyerang AS. Implikasi dari kebijakan tersebut dapat dilihat dari agresi dan invasi militer AS di Afghanistan dan Irak.
Kebijakan luar negeri AS terhadap krisis nuklir Iran dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi dinamika politik domestik Amerika Serikat yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan terhadap krisis nuklir Iran, sedangkan faktor eksternal merupakan konstelasi politik internasional yang dominan.
Beberapa faktor internal adalah: National Security Strategy 2002, kepentingan strategis (minyak) AS di kawasan Teluk, perubahan persepsi publik AS tentang ancaman dan keamanan nasional, serta menguatnya peran Presiden AS dalam menentukan kebijakan luar negeri AS. Sementara itu untuk faktor eksternal, ancaman terhadap keamanan Israel, serta kebangkitan politik Islam di Timur Tengah merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh AS.Tesis ini mencoba menganalisa faktor strategis yang mendasari kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap krisis nuklir Iran pada masa pemerintahan George Walker Bush, terutama pasca dirumuskannya NSS 2002.

Iran's nuclear crisis began in August 2002, when Board of Iran National Resistance, oposition of Iran Government, denounced evidence of uranium enrichment facility in Natanz and heavy water reactor in Arak. In January 2006 Iran broke IAEA seal and started research on nuclear fuel, followed with uranium enrichment activity.
On the contrary, post of 9/11 aftermath, US revised her fundamental national security, which reflected on adopting concept of preemption dan unilateralism into National Security Strategy (NSS) 2002. NSS 2002 acts as justification for US Government to take any necessary and proactive measure by attacking countries which endanger US interests. Transformation of US national security brings implication of military target and use of force abroad which can be obviously seen in Iraq and Afghanistan invasion.
US foreign policy towards Iran's nuclear crisis is affected by many internal and external factors. Internal factors are characterized by national politics which have significant influence to perception of decision maker, while external factors attribute to dominant international politics.
Some of internal factors are: National Security Strategy 2002, US interests (oil) in gulf, changing of US public opinion on threat and national security, and role of US President in guiding foreign policy. External factors are Israel's national security point of view, and the rise of political Islam in Middle East The thesis tries to analyze strategic factors of US foreign policy responding to Iran's nuclear crisis during George Walker Bush administration, mainly after NSS 2002."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19217
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rossy Verona
"Tesis ini membahas mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Jepang pada era pasca Perang Dingin, khususnya masa Clinton I, dengan memfokuskan pada aliansi keamanan AS-Jepang dan upaya AS mempertahankan komitmennya di kawasan Asia Pasifik. Dalam hal ini penulis menggunakan negara sebagai unit analisa. Tesis ini sangat menarik bagi penulis karena yang dianalisa adalah kebijakan dan perilaku politik AS dan Jepang - dua negara besar di dunia.
Kelangsungan aliansi AS-Jepang penting bagi kawasan. Dalam pandangan AS, aliansi keamanan AS-Jepang adalah kuat dan penting, namun untuk terus menjaga tercapainya kepentingan nasional bersama, aliansi tersebut harus terus berkembang. Khususnya untuk kawasan Asia Timur, AS mencari bentuk aliansi yang dapat terus menjadi insurance policy, yaitu menyediakan pertahanan bagi Jepang dan menjamin stabilitas di Asia Timur dan dapat bertindak sebagai investment policy yaitu dalam hal meningkatkan kontribusi bagi stabilitas regional dan keamanan global. Dalam kaitan ini, ada dua faktor yang mempengaruhi aliansi keamanan AS-Jepang yaitu perubahan pada lingkungan strategis kedua negara dan persepsi yang berbeda dalam berbagi beban, tanggung jawab dan kekuatan diantara mereka.
Pembahasan permasalahan ini dilakukan secara deskriptif-analitis dengan menggunakan berbagai kerangka pemikiran. Dengan menggunakan pendapat Hanrieder yang mengaitkan kebijakan luar negeri dengan sasaran yang hendak dicapai, teori Lentner mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi suatu kebijakan, pendapat Newsom mengenai cakupan politik Iuar negeri, pendekatan sistem politik Almond, teori Kegley dan Wittkopf dan Holsti mengenai komponen kebijakan luar negeri, teori yang dikemukakan oleh Rosenau mengenai variabel yang mempengaruhi formulasi politik luar negeri dan tujuan jangka panjang suatu politik luar negeri, pendapat Gross mengenai kepentingan nasional suatu negara, konsep keamanan Buzan, dan pandangan Viotti dan Kauppi mengenai negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional, penulis mencoba membahas permasalahan tersebut.
Hasil dari penulisan ini adalah bahwa upaya AS untuk tetap mempertahankan komitmen dan keberadaan militernya di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh tarik menarik antara dua faktor, yaitu perubahan persepsi ancaman keamanan eksternal AS dan perubahan sistem internasional pasca Perang Dingin."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulkarnain
"Perubahan kebijakan luar negeri Polandia yang terjadi setelah berakhimya kekuasaan komunis di negara itu pada tahun 1990, merupakan suatu rangkaian yang tidak terlepas dari peristiwa domestik yang ditandai dengan adanya tuntutan-tuntutan ke arah perubahan. Peristiwa politik domestik yang sarat dengan berbagai tuntutan-tuntutan reformatif yang sekaligus telah memperpanjang dan menimbulkan krisis-krisis ekonomi dan politik di negara tersebut telah membuat Polandia berada dalam sebuah situasi yang sangat memprihatinkan. Situasi yang memprihatinkan ini dapat kita lihat dari munculnya instabilitas dalam bidang ekonomi dan politik. Dalam situasi yang demikian inilah, pemerintahan baru Polandia mencoba melakukan berbagai langkah-langkah tertentu agar negara tersebut dapat keluar dari krisis yang menimpanya, yaitu keluar dari instabilitas kehidupan ekonomi dan politik. Langkah-langkah perbaikan itu dilakukan lewat penggunaan kebijakan-kebijakan reformatif, baik pada level ekonomi maupun pada level politik, dan salah satu kebijakan itu dilakukan lewat instrumen kebijakan luar negeri.
Pilihan kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintahan baru Polandia dalam rangka perbaikan-perbaikan kehidupan ekonomi politik domestik negara itu adalah dengan sikap dan pandangan yang "berkiblat ke Barat". Pilihan kebijakan luar negeri yang berkiblat ke Barat ini merupakan suatu sikap dan pandangan Polandia yang sangat berbeda dengan sikap dan pandangan luar negeri pada masa pemerintahan sebelumnya, yakni ketika negara itu masih di bawah kepemimpinan komunis. Sikap dan pandangan baru dari pemerintahan baru Polandia ini dapat kita lihat pada orientasi kebijakan kebijakan luar negerinya. Orientasi kebijakan itu adalah keinginan yang kuat dari pemerintah baru Polandia untuk bergabung dengan NATO dan UE. Orientasi pilihan ini dilakukan dengan tujuan mempercepat pencapaian keinginan-keinginan dometik tadi yang pada dasarnya adalah sekaligus menjadi kepentingan-kepentingan nasionalnya. Kemudian untuk tujuan ini., pemerintahan baru Polandia telah melakukan berbagai persiapan-persiapan, yaitu persiapan yang disesuaikan dengan keinginan-keinginan Barat itu sendiri (NATO dan UE). Kebijakan luar negeri Polandia yang menempatkan Barat sebagai orientasi pilihannya ini tentulah dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan utama dari pengambilan sikap dan pandangan ke Barat ini adalah !arena alasan-alasan ekonomi dan politik serta untuk memperoleh jaminan keamanan. Dengan demikian, dalam pandangan Polandia, Barat adalah satu-satunya pihak yang mampu mengembalikan kondisi instabilitas domestiknya tadi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi Fitriyanti
"Tesis ini membahas politik luar negeri Amerika Serikat yang mengkaji use of force AS terhadap Afghanistan dalam upaya self-defense akibat serangan teroris 1 I September 2001, Analisisnya dilakukan berdasarkan Piagani PBB dan Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001) yang dikaitkan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional.
Unit analisa yang digunakan dalam tesis ini adalah negara (state) yang merupakan bagian dari perspektif Realis. Penulis tertarik pada persoalan serangan udara AS terhadap Afghanistan yang dilakukannya secara sepihak tanpa persetujuan dan perintah dari PBB sehingga AS dapat dikatakan melanggar Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001).
Kerangka berpikir dalam tesis ini berupa kerangka konseptual. Berdasarkan persoalan penelitian, maka konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep politik luar negeri, use of .force, self-defense, terorisme, serta pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, tesis ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa AS berupaya memperluas ruang lingkup perang terhadap terorisme yang tidak hanya ditujukan terhadap Afghanistan saja. Tujuan AS yang sebenarnya adalah mengubah bentuk pemerintahan suatu negara yang dianggapnya dapat membahayakan eksistensi AS sebagai kekuatan tunggal dalam sistem internasional serta yang dapat menghalangi kepentingan nasionalnya. Hal ini dilakukan AS melalui politik Inn negerinya yang semakin agresif, cenderung unilateral, dan bersifat impulsit
Use of.force AS terhadap Afghanistan hanyalah merupakan salah satu bagian dari strategi AS dalam rangka menegakkan demokrasi, pasar bebas, perdagangan bebas, dan sebagainya guna menginfiltrasi urusan dalam negeri anggota PBB yang dilakukan dengan memanfaatkan momentum 11 September.
Oleh karena itu, tujuan politik luar negeri AS melalui operasi militernya terhadap Afghanistan harus dapat dibedakan dengan jelas. Serangan yang dilakukan AS itu benarbenar bertujuan memerangi terorisme internasional ataukah untuk menggulingkan pemerintahan Taliban demi kepentingan nasional AS yang sebenarnya sama sekali tidak berkaitan dengan Tragedi 11 September 2001 .
Dalam hal ini, politik luar negeri AS cenderung memanfaatkan islilah self defense guna membenarkan use of ,force yang dilakukannya demi mengejar kepentingan nasionalnya terhadap suatu negara meskipun negara yang diserangnya tidak mengancam AS.
Kesimpulan ini berkaitan dengan fakta yang ada dalam kasus use of force AS terhadap Afghanistan. Walaupun dalam kenyataannya 14 dari 19 pelaku serangan 11 September yang tertangkap adalah warga negara Arab Saudi, AS justru menyerang Afghanistan. Padahal, teroris adalah nonstate actor sedangkan Afghanistan merupakan state actor.
Berdasarkan Piagam PBB, upaya self-defense hanya ditujukan terhadap aktor negara, yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lainnya. Sehingga, upaya self-defense AS sebagai respon atas serangan 11 September yang menimpanya seharusnya ditujukan terhadap Arab Saudi karena mayoritas pelaku yang berhasil ditangkap merupakan warga berkebangsaan Arab Saudi. Selain itu, dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1368 dan 1373 (2001) sama sekali tidak menyebutkan tentang Afghanistan, Taliban, maupun Al-Qaidah.
Tak ada satupun ketentuan dalam hukum internasional yang membenarkan serangan udara AS terhadap Afghanistan sehingga landasan hukum atas use of force AS terhadap Afghanistan sangat "kabur". Memang, meskipun penggunaan kekerasan oleh suatu negara terhadap negara lainnya sudah dilarang secara resntil oleh hukum internasional dan Piagam PBB, namun ada dua pengecualian scbagaimana yang terdapat dalam Pasul 51 dan 53 Piagam PBB.
Dalam haI ini, AS telah menyalahgunakan konsep right of self-defense untuk kepentingannya sehingga dapat disimpulkan bahwa politik luar negeri AS pasca 11 September 2001 yang berkaitan dengan serangan udaranya terhadap Afghanistan telah melanggar Pasal 2 ayat 1, ayat 3, ayat 4, dan ayat 7) Piagam PBB serta menyimpang dari Resolusi Dewan Keamanan No. 1368 dan 1373 (2001). Padahal, satu-satunya cara dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan internasional adalah melalui jalur hukum internasional, bukan dengan menggunakan kekerasan sebagai upaya balas dendam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>