Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198857 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iqbal Mustafa, supervisor
"Tujuan: Menilai pengaruh pernn khusus pintas jantung pore (PR) pada metabolisme laktat pasta bedah pintas koroner (BPK)
Tempat: Unit Tempi Inlensif Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, Indonesia.
Subyek Penelitian: 40 pasien BPK dengun PJP (BPK-PJP), 20 pasien off pump coronary artery bypass (OPCAB) (n=20), dan 20 pasien yang akan menjalani BPK.
Intervensi dan pengukuran: telaah metabolisme laktat dilakukan dengan uji infus natrium laktat (2,5 mmol Natrium laktat 11.2 %/kg BB dalam waktu 15 menit) pada kelompok BPK-PJP(n=20), OPCAB, dan kelompok Pra bedah. Sebagai kontrol pada BPK-PJP(n=20) di-infus natrium klorida 6%(Ionisitns sama dengan natrium laktat 11,2%, 2,5 mmol Natrium klorida dalam waktu 15 menit). Laktat darah arteri diperiksa pada semua kelompok; pada waktu (t) -15, 0, 5, 10, 20, 30, 60, 90, dan 120 menit sesudah infus berakhir. Pada kelompok BPK-PJP laktat darah juga diperiksa pada saat yang bersamaan dari 2 tempat lain yaitu a. pulmonalis dan v. femoralis sehingga dapat dihitung gradien luktat dari otot skelet dan paru-paru. Analisis gas darah ateri dan a. pulmonulis diperiksa sebelum dan sesudah akhir infus pada kelompok BPK-PJP dan OPCAB,dan kemudian dengan termodilusi diukur curah jantung sehingga dapat dihitung indeks kardiak, hantaran oksigen, konsumsi oksigen, rasio ekstraksi oksigen sebelum dan sesudah akhir infus Natrium laktat dan Natrium klorida. Natrium dan glukosa diperiksa pada t-15, t0, dan t120 menit sesudah akhir infus. Bersihan laktat dun produksi laklat endogen tubuh dihitung dari area di buwah kurva (area under the curve) dengan piranti lunak khusus (Kaleidagrrph ®).
Kesesuaian bieksponensial memungkinkan untuk membuat model penurunan kurva laktat dalam dua kompartemen (oksidasi laklat di luar hati dan daur ulang laktat),sehingga dengan piranti lunak yang lama dihitung dua waktu paruh (WP1 dan WP1) yang masing-masing merepresentasikan kedua jalur metabolisme laklat tersebut.
Hasil: sesudah uji infus natrium laklat tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari parameter metabolisme laktat (laktat basal, bersihan laktat. produksi laktat endogen, WP1 dan WP2) antara OPCAB dan pra-bedah. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada laktat basal dan produksi laklat endogen antara BPK-PJP dengan Prabedah, tetapi pada BM-HP bersihan laktat menurun, WP1 memendek bermakna (p<0,05) dan WP2 (p<0,05) memanjang bermakna. Natrium laklat dan natrium klorida meningkatkan indeks kardiak dan hantaran oksigcn. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kenaikan indeks kardiak antara kedua kelompok tersebut, tetapi kenaikan hantaran oksigen akibat natrium laktat (29 ,6%) lebih tinggi bermakna (p<0,001) dibandingkan kenaikan hantaran oksigen akibat natrium klorida (15,13%). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pengaruh natrium laktat dan natrium klorida pada konsumsi oksigen dan ekstraksi oksigcn.
Infus natrium laktat menyebabkan peningkatan pH yang bermakna (p<0,0001) dan infus natrium klorida menyebabkan penurunan pH yang bermakna (p<0,0005). Bikarbonat meningkat bermakna (p<0,05) pada kelompok pasien yang diinfus natrium laktat dan menurun bermakna pada kelompok pasien yang dinfus natrium klorida. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna antara gradien luktat di paru-paru dan a. pulmonalis dan antara gradien otot skelet dan laktat arteri pada BPK-PJP.
Kesimpulan: Bersihan laktat pada kelompok BPK-PJP yang mengalami perlakuan uji infus natrium laktat menurun bermakna. Di lain pihak tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada parameter metabolisme laktat antara kelompok OPCAB dan Prabedah yang diteliti.
Waktu paruh 2 memanjang bermakna, sehingga dengan memperhatikan penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa: pintas jantung paru dapat mcnyebabkan disfungsi hati (gangguan metabolisme laktat di hati) meskipun dilakukan pada bedah jantung berisiko rendah dan tidak mengalami komplikasi.
Natrium laktat meningkatkan hantaran oksigen lebih baik daripada natrium klorida dan berlawanan dengan natrium klorida. pH darah akibat infus nalrium laktat meningkat bermakna.

Objective: To evaluate the effects of the specific rule of cardiopulmonary bypass (CPH) on lactate metabolism after coronary artery bypass grilling (CABG).
Setting: Intensive Care Unit. National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia.
Subjects: Coronary artery bypass grating patients with CPB (n=40) off pump coronary artery bypass (OPCAB) (n=20) and patients who would undergo CABG (n-2020).
Interventions and Measurements: lactate metabolism was investigated by an exogenous lactate challenge lest (ELCT. 2.5 mmol Na-lactate 11,2% /kg body weight in 15 minutes) in the groups of CABG-CPB, OPCAB and Pre surgery. The control group of CABG-CPB (n 20) was investigable with Na-chloride (2,5 mmol Na-chloride 6 % with identical tonicity in 15 minutes). Arterial blood lactate was determined in all groups: T (time)-15. 0.5, 10, 20, 30,60, 90, and 1211 minutes after completion of infusion.
In the group of CABG-CPB blood lactate was examined simultaneously at two other sites. i.e. pulmonary artery and femoral vein such 1l1:11 the gradient of Wide from skeletal muscles and the lungs could be calculated. Blood gas analysis of artery end pulmonary artery was examined before and after infusion in the groups of CABG-CPB. and OPCAB and cardiac output was measured using thermodilution method such that cardiac index, oxygen delivery oxygen consumption, oxygen extraction ratio before and alter infusion of Na-lactate and Na-chloride could be determined. Sodium and glucose were examined at T-I5, 0, and 120 minutes alter completion of infusion. The area under the curve was determined from blood lactate allowing the calculation of lactate clearence and endogenous production. Moreover a hi-exponential titling permitted the modeling of the lactate decay into two compartments (lactate oxidation outside the liver and lactate recycling). Thus, two half-lives (HL1 and HL2) could be calculated using the same software well of which represents both pathways of lactate metabolism.
Results: There was no significant difference after ELCT from the parameters of lactate metabolism (basal tactile, lactate clearance, endogenous production, HL1, and HL2,) between OPCAB and Pre-surgery. No significant difference was found in basal Instate and endogenous production between CABG-CPB and Pre-surgery. However, Instate clearance and HL1 significantly decreased (p< 0.05), while HL2, increased (p<0.05).
Infusion of sodium lactate and sodium chloride increased cardiac index and oxygen delivery. No significant difference was found in the increase of cardiac index between the two groups: however, the increase of oxygen delivery due to sodium lactate (29±2.6%) was significantly higher (p<0.001) than the increase of oxygen delivery due to sodium chloride (15±3.5%). There was no significant difference between the effect of sodium lactate and sodium chloride on oxygen consumption and oxygen extraction ratio.
Infusion of sodium lactate resulted in the significant increase of pH (p< 0,0001) and infusion of sodium chloride resulted in the significant decrease of pH (p<0,0005). Bicarbonate increased significantly (p
There were no significant correlations between lactate gradient of the lung with mixed venous lactate and lactate gradient of the skeletal muscle and arterial lactate.
Conclusions: Lactate clearance in the group of CABG-CPB decreased significantly. On the other hand, parameters of lactate metabolism in the groups of OPCAI3 and Pre-surgery studied did not show ally significant differences. 1-Ialf-life 2 were found to increase significantly. Thus, in view of the previous studies, it can be concluded that cardiopulmonary bypass is responsible for liver dysfunction (disturbance of lactate metabolism) even in uncomplicated elective surgery.
Infusion of sodium lactate increased oxygen delivery better than sodium chloride and in contrast to sodium chloride, blood pH due to sodium lactate infusion increased significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
D485
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kartika Murni
"[ABSTRAK
Latar belakang: Luaran pasca-bedah jantung penting diketahui untuk menilai kinerja pelayanan bedah jantung anak, sehingga kualitas pelayanan dapat ditingkatkan.
Tujuan: Mengetahui luaran jangka pendek (mortalitas, komplikasi pasca-bedah berat lain, dan komplikasi pasca-bedah yang berat) pada anak yang dilakukan bedah jantung. Selain itu, ingin mengetahui faktor risiko terjadinya komplikasi berat pasca-bedah jantung dan membuat sistem skor dari faktor-faktor risiko tersebut.
Metode: Setiap anak dengan penyakit jantung yang dilakukan operasi jantung di RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta sejak April 2014 sampai Maret 2015 diikuti setiap hari sampai pasien pulang atau meninggal. Data demografis, mortalitas, morbiditas atau komplikasi pasca-bedah jantung, dan faktor risiko terjadinya morbiditas pasca-operasi yang berat diambil dari rekam medis. Pasien yang sudah pulang dari rumah sakit, dalam waktu 30 hari pasca-operasi dihubungi untuk mendapatkan data kondisi pasien dalam waktu tersebut (hidup atau meninggal).
Hasil: Selama penelitian didapatkan 258 anak dilakukan bedah jantung. PJB terbanyak yang dilakukan bedah jantung adalah ventricle septal defect (28,7%) dan tetralogy of Fallot (24,4%). Komplikasi pasca-bedah jantung terjadi pada 217 (84,1%) anak dan komplikasi berat terjadi pada 49 anak (19%). Komplikasi pasca-bedah jantung terbanyak adalah hipokalsemia pada 163 (63,2%) anak, hiperglikemia 159 (61,6%), low cardiac output syndrome 52 (20,2%), aritmia 48 (18,6%), sepsis 45 (17,4%), dan efusi pleura 39 (15,1%). Komplikasi berat meliputi in-hospital mortality terjadi pada 33 (12,7%) anak dan mortalitas dalam waktu 30 hari pasca-bedah jantung terjadi pada 35 (13,6%) anak, henti jantung 13 (5%), operasi jantung ulang 10 (3,9%), dan gagal organ multipel 19 (7,4%). Faktor risiko yang berhubungan dengan meningkatnya komplikasi pasca-bedah jantung yang berat adalah peningkatan kadar laktat darah [OR 30,7 (IK 95% 8,1-117,6)], PJB sianotik [OR 4,4 (IK 95% 1,2-15,8), dan pemakaian inotropik yang tinggi [OR 7,8 (IK 95% 1,6-38,9)]. Skor faktor risiko ≥ 3 mampu memprediksi anak yang mengalami komplikasi berat pasca-bedah jantung dengan sensitivitas skor 93,9% dan spesifisitas skor 84,2%, dan area di bawah kurva receiver operating characteristic (ROC) adalah 0,94.
Simpulan: Mortalitas di rumah sakit pasca-bedah jantung anak sebesar 12,7% dan mortalitas 30 hari pasca-bedah 13,6%. Komplikasi berat lain pasca-bedah 13,6%. Faktor risiko yang berhubungan dengan meningkatnya komplikasi pasca-bedah jantung yang berat adalah peningkatan kadar laktat darah, PJB sianotik, dan pemakaian inotropik tinggi pasca-bedah jantung. Skor faktor risiko ≥ 3 mampu memprediksi anak yang mengalami komplikasi berat pasca-bedah jantung dengan sensitivitas skor 93,9% dan spesifisitas skor 84,2%.

ABSTRACT
Background: Outcome of children with cardiac surgery is important to evaluate the performance of cardiac surgery program. Identifying the risk factors for major adverse events after cardiac surgery is also important to improve patient care.
Objective: To evaluate the incidence of short-term outcome in children after cardiac surgery, including mortality, complication or morbidity, major complications, and the risk factors associated with major adverse events (major complications) at the Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: A prospective observational study was conducted from April 2014 until March 2015. All children conducted cardiac surgery, were monitored from the time the cardiac surgery performed until patients were discharged or deceased. During the follow up of all recruited patients, factors associated with the risk of developing major adverse events were identified.
Results: A total of 258 patients were recruited during the study period. Of the total, 134 (51.9%) were female. The mean age of the patients was 53.3±3.8 months. Among the patients, 217 (84.1%) had complications. The most complications occurred after cardiac surgery were hypocalcaemia in 163 (63.2%), hyperglycemia in 159 (61.6%), low cardiac output syndrome in 52 (20.2%), arrhythmia in 48 (18.6%), sepsis in 45 (17.4%), and pleural effusion in 39 (15.1%) children. Further, 49 (19%) of recruited patients had major adverse events (major complications), including in-hospital mortality in 33 (12.7%) and 30-day mortality in 35 (13.6%), cardiac arrest in 13 (5%), the need for re-operation in 10 (3.9%), and multiple organ failure in 19 (7.4%) children. Factors associated with the occurrence of major complications were increase in blood lactate [OR 30.7 (95% CI 8.1-117.6)], cyanotic congenital heart disease [OR 4.4 (95% CI 1.2-15.8), and high inotropes on leaving operating room [OR 7.8 (95% CI 1.6-38.9)]. Risk factor score ≥3 could predict major complications after cardiac surgery with sensitivity of 93.9% and specificity of 84.2%, and area under receiver operating characteristic (ROC) curve was 0.94.
Conclusion: In-hospital mortality after paediatric cardiac surgery at Dr Cipto Mangunkusumo hospital is 12,7% and 30-day mortality is 13,6%. Increase in blood lactate, cyanotic congenital heart disease, and high inotropes on leaving operating room are associated with mortality and other major complications in children following cardiac surgery. Risk score ≥ 3 can predict the development of major complication in children after cardiac surgery with sensitivity 93,9% and specificity 84,2%.;Background: Outcome of children with cardiac surgery is important to evaluate the performance of cardiac surgery program. Identifying the risk factors for major adverse events after cardiac surgery is also important to improve patient care.
Objective: To evaluate the incidence of short-term outcome in children after cardiac surgery, including mortality, complication or morbidity, major complications, and the risk factors associated with major adverse events (major complications) at the Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: A prospective observational study was conducted from April 2014 until March 2015. All children conducted cardiac surgery, were monitored from the time the cardiac surgery performed until patients were discharged or deceased. During the follow up of all recruited patients, factors associated with the risk of developing major adverse events were identified.
Results: A total of 258 patients were recruited during the study period. Of the total, 134 (51.9%) were female. The mean age of the patients was 53.3±3.8 months. Among the patients, 217 (84.1%) had complications. The most complications occurred after cardiac surgery were hypocalcaemia in 163 (63.2%), hyperglycemia in 159 (61.6%), low cardiac output syndrome in 52 (20.2%), arrhythmia in 48 (18.6%), sepsis in 45 (17.4%), and pleural effusion in 39 (15.1%) children. Further, 49 (19%) of recruited patients had major adverse events (major complications), including in-hospital mortality in 33 (12.7%) and 30-day mortality in 35 (13.6%), cardiac arrest in 13 (5%), the need for re-operation in 10 (3.9%), and multiple organ failure in 19 (7.4%) children. Factors associated with the occurrence of major complications were increase in blood lactate [OR 30.7 (95% CI 8.1-117.6)], cyanotic congenital heart disease [OR 4.4 (95% CI 1.2-15.8), and high inotropes on leaving operating room [OR 7.8 (95% CI 1.6-38.9)]. Risk factor score ≥3 could predict major complications after cardiac surgery with sensitivity of 93.9% and specificity of 84.2%, and area under receiver operating characteristic (ROC) curve was 0.94.
Conclusion: In-hospital mortality after paediatric cardiac surgery at Dr Cipto Mangunkusumo hospital is 12,7% and 30-day mortality is 13,6%. Increase in blood lactate, cyanotic congenital heart disease, and high inotropes on leaving operating room are associated with mortality and other major complications in children following cardiac surgery. Risk score ≥ 3 can predict the development of major complication in children after cardiac surgery with sensitivity 93,9% and specificity 84,2%., Background: Outcome of children with cardiac surgery is important to evaluate the performance of cardiac surgery program. Identifying the risk factors for major adverse events after cardiac surgery is also important to improve patient care.
Objective: To evaluate the incidence of short-term outcome in children after cardiac surgery, including mortality, complication or morbidity, major complications, and the risk factors associated with major adverse events (major complications) at the Dr Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia.
Methods: A prospective observational study was conducted from April 2014 until March 2015. All children conducted cardiac surgery, were monitored from the time the cardiac surgery performed until patients were discharged or deceased. During the follow up of all recruited patients, factors associated with the risk of developing major adverse events were identified.
Results: A total of 258 patients were recruited during the study period. Of the total, 134 (51.9%) were female. The mean age of the patients was 53.3±3.8 months. Among the patients, 217 (84.1%) had complications. The most complications occurred after cardiac surgery were hypocalcaemia in 163 (63.2%), hyperglycemia in 159 (61.6%), low cardiac output syndrome in 52 (20.2%), arrhythmia in 48 (18.6%), sepsis in 45 (17.4%), and pleural effusion in 39 (15.1%) children. Further, 49 (19%) of recruited patients had major adverse events (major complications), including in-hospital mortality in 33 (12.7%) and 30-day mortality in 35 (13.6%), cardiac arrest in 13 (5%), the need for re-operation in 10 (3.9%), and multiple organ failure in 19 (7.4%) children. Factors associated with the occurrence of major complications were increase in blood lactate [OR 30.7 (95% CI 8.1-117.6)], cyanotic congenital heart disease [OR 4.4 (95% CI 1.2-15.8), and high inotropes on leaving operating room [OR 7.8 (95% CI 1.6-38.9)]. Risk factor score ≥3 could predict major complications after cardiac surgery with sensitivity of 93.9% and specificity of 84.2%, and area under receiver operating characteristic (ROC) curve was 0.94.
Conclusion: In-hospital mortality after paediatric cardiac surgery at Dr Cipto Mangunkusumo hospital is 12,7% and 30-day mortality is 13,6%. Increase in blood lactate, cyanotic congenital heart disease, and high inotropes on leaving operating room are associated with mortality and other major complications in children following cardiac surgery. Risk score ≥ 3 can predict the development of major complication in children after cardiac surgery with sensitivity 93,9% and specificity 84,2%.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58651
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anas Alatas
"LATAR BELAKANG: Pendarahan merupakan komplikasi berbagai prosedur operasi, terutama operasi jantung terbuka. Penggunaan mesin pintas jantung-paru mengganggu koagulasi dan menyebabkan pendarahan pascaoperasi. Asam traneksamat sebagai antifibrinolitik sintetik digunakan secara luas untuk mengurangi konsumsi koagulasi sehingga dapat menurunkan jumlah pendarahan dan penggunaan produk darah. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keefektifan antara pemberian asam traneksamat 1gram bolus sebelum CPB dilanjutkan dengan drip 1gram dalam 8 jam dibandingkan dengan bolus 1gram sebelum CPB dan 1gram saat priming dalam mengurangi pendarahan pascaoperasi pada operasi jantung dewasa dikamar operasi pusat jantung terpadu RSCM.
METODE: Data dikumpulkan secara konsekutif pada 31 pasien operasi jantung terbuka menggunakan mesin pintas jantung-paru, usia 18-65 tahun dan ASA 1-3. Kelompok 1 (15 pasien) mendapatkan asam traneksamat bolus 1gram sebelum CPB dan 1gram saat priming, kelompok 2 mendapatkan asam traneksamat 1gram bolus sebelum CPB dilanjutkan 1gram drip dalam 8jam. Pendarahan dihitung dari drain mediastinal terhitung sejak off-pump CPB. Dilakukan juga pencatatan penggunaan produk darah, indeks lisis bekuan 30 (TEG), d-dimer dan fibrinogen, serta lama rawat ICU.
HASIL: Produksi drain 6jam, 12 jam dan 24jam pada kelompok 2 (171, 252, 386cc), lebih rendah dibandingkan dengan kelompok 1 (325, 409, 555cc) dan bermakna secara statistik pada 3 kali pengukuran (p<0,05). Terdapat penurunan penggunaan produk PRC namun tidak dengan FFP. Sementara dari hasil pemeriksaan laboratorium terdapat perbedaan bermakna pada penurunan indeks lisis bekuan dan peningkatan d-dimer, namun tidak dengan laju penurunan fibrinogen. Lama rawat ICU kedua kelompok tidak bermakna secara statistik.
SIMPULAN: Pemberian asam traneksamat 1gram bolus dilanjutkan dengan 1gram drip dalam 8jam lebih efektif dibandingkan dengan 1gram bolus dan 1gram dalam cairan priming dalam mengurangi pendarahan pascaoperasi jantung terbuka dewasa.

BACKGROUND: Bleeding is a complication of various surgical procedures, especially open-heart surgery. The use of heart-lung bypass machine interfere with coagulation and cause postoperative bleeding. As a synthetic antifibrinolytic tranexamic acid is widely used to reduce the consumption of coagulation so it can reduce the amount of bleeding and the use of blood products. This study is aimed to compare the effectiveness of the administration of tranexamic acid 1gram intravenous bolus before CPB followed by 1gram continous intravenous infusion within 8 hours compared with 1gram intravenous bolus before CPB and 1gram whithin priming solution in reducing postoperative bleeding in adult cardiac surgery at integrated cardiac centers (PJT) Cipto Mangunkusumo hospital.
METHOD: Data collected consecutively in 31 patients who underwent open-heart surgery using the cardiopulmonary bypass machine, age between 18-65 years and ASA 1-3. Group 1 (15 patients) received 1gram intravenous bolus of tranexamic acid before CPB and 1gram whithin priming solution, group 2 (15 patients) received 1gram intravenous bolus of tranexamic acid before CPB followed by 1gram continous intravenos infusion within 8 hours. Bleeding is calculated from the mediastinal drain starting from the off-pump CPB. The use of blood products, clot lysis index 30 (TEG), d-dimer, fibrinogen, and length of stay in ICU also recorded.
RESULTS: Production of 6 hours, 12 hours and 24 hours drain in group 2 (171, 252, 386cc), was lower compared with group 1 (325, 409, 555cc) and statistically significant at 3 times of measurement (p <0.05). There is a decrease in the use of the PRC, but not with FFP. Meanwhile from the results of laboratory testing, there are significant differences in the decrease in clot lysis index and increase in D-dimer, but not with the rate of decrease in fibrinogen. ICU length of stay both groups was not statistically significant.
CONCLUSION: Administration of tranexamic acid 1gram intravenous bolus followed by 1gram continous intravenous infusion within 8 hours is more effective than 1gram intravenous bolus and 1gram within priming solution in reducing postoperative bleeding due to adult open cardiac suregry.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Gina Adriana
"Latar Belakang: Kecemasan praoperasi selalu menjadi perhatian bagi pasien maupun dokter anestesiologis dan dokter bedah. Pasien-pasien yang dihadapkan pada kenyataan harus menjalani operasi khususnya operasi jantung mungkin akan mengalami kecemasan yang lebih tinggi karena keadaan jantung mereka yang tidak baik, konsep operasi jantung yang menakutkan dan ketidakpastian terhadap hasilnya. Kecemasan akan mengaktifkan stres respon yang menyebabkan stimulasi sistem saraf simpatis yang kemudian akan menstimulasi kardiovaskular dengan meningkatkan jumlah katekolamin darah yang menyebabkan takikardi, hipertensi, iskemik dan infark miokardial. Respon tersebut mungkin mempunyai efek merugikan pada sirkulasi koroner, yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Berbagai penanganan telah dikembangkan, salah satunya adalah dengan pemberian informasi (edukasi). Dengan pemberian edukasi melalui komunikasi efektif, informatif dan empati diharapkan terjadi penurunan tingkat kecemasan pasien sebelum menjalani pembiusan dan pembedahan. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui pengaruh edukasi pra-anestesia terhadap tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji kuasi eksperimen pada pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan ijin komite medik dan informed consent, sebanyak 36 subyek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Maret 2016. Sebelum dilakukan penilaian tingkat kecemasan sebelum edukasi dengan menggunakan instrumen APAIS, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tanda vital, kemudian dilanjutkan dengan pemberian edukasi dan diskusi. Jika subyek tidak mengalami gaduh gelisah dan atau tanda bahaya kardiovaskular, maka keesokan hari sebelum subyek dibawa ke ruang operasi, akan dilakukan penilaian ulang tingkat kecemasan subyek dengan menggunakan instrumen yang sama.
Hasil: Uji Wilcoxon menunjukkan terdapat penurunan bermakna rerata tingkat kecemasan sebelum edukasi dibandingkan dengan sesudah edukasi (p<0,001).
Simpulan: Edukasi pra-anestesia menurunkan tingkat kecemasan pasien dewasa yang akan menjalani operasi jantung terbuka di Instalasi PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo.

Background: Preoperative anxiety is always a concern for patients, anesthetist and surgeon. Patients are faced with the reality had to undergo surgery, especially heart surgery may experience higher anxiety because their heart condition is not good, scary concept of heart surgery and uncertainty of the results. Anxiety will activate the stress response that causes stimulation of the sympathetic nervous system, which then stimulates the cardiovascular by increasing the amount of blood catecholamines that cause tachycardia, hypertension, ischemia and myocardial infarction. The response may have detrimental effects on the coronary circulation, which leads to increase morbidity and mortality. Various handling have been developed, one of which is the provision of information (education). With the provision of education through effective and informative communication with empathy are expected to decline the level of anxiety of patients before undergoing anesthesia and surgery. The objective of this study is to determine the effect of preanesthesia education to the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
Methods: This study used a quasi-experimental trials of adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo. After getting permission from the medical committee and getting informed consent, a total of 36 subjects is obtained by consecutive sampling in March 2016. Prior to the assessment of the level of anxiety before education using APAIS instrument, first performed measurements of vital signs, and then continued with education and discussion. If the subject is not experiencing restless and rowdy or cardiovascular distress signal, then the next day before the subject is taken to the operating room, the level of anxiety of the subject will be reassessed using the same instrument.
Results: Wilcoxon test showed that there was a significant decrease in the average level of anxiety before education compared with after education (p<0.001).
Conclusion: Preanesthesia education lowers the level of anxiety in adult patients undergoing open heart surgery in the Installation of PJT Cipto Mangunkusumo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alfan Arief
"Latar belakang. Kejadian demam pascabedah jantung sering ditemukan akibat tindakan pembedahan maupun penggunaan mesin pintas jantung paru (PJP), demam tersebut sulit dibedakan antara demam akibat infeksi atau inflamasi. Penegakan diagnosa infeksi dengan pemeriksaan kultur membutuhkan waktu lama dan kadang tidak tumbuh bakteri. Prokalsitonin (PCT) diharapkan sebagai penanda infeksi tanpa harus menunggu hasil kultur.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan menilai kadar PCT dapat membedakan demam infeksi dengan demam inflamasi pada pascabedah jantung.
Metode. Penelitian ini dikerjakan di Unit Pelayanan Jantung Terpadu RSCM, dengan subyek pasien dewasa pascabedah jantung terbuka dengan menggunakan mesin PJP diikuti selama lima hari adanya demam dengan suhu ≥ 37,8° C, tanda dan gejala infeksi. Semua subyek diperiksa PCT dan kultur darah sebelum pembedahan, hari pertama, kedua dan kelima pascabedah. Pemeriksaan kultur dikerjakan atas indikasi klinis adanya infeksi.
Hasil. Sebanyak 59 subyek pascabedah jantung menggunakan mesin PJP, terdapat dua subyek dropout (meninggal pada hari pertama dan kedua), 22 (37,28%) tidak demam, 32 (54,24%) demam inflamasi dan 5 (8,48%) demam infeksi. Infeksi ditemukan dari kultur sputum (Klebsiella pneumonie), hasil kultur darah, luka operasi, dan urin tidak ditemukan pertumbuhan bakteri. Didapatkan kadar PCT demam infeksi 13,48 ng/ ml dan demam inflamasi 6,90 ng/ ml.
Simpulan. Kadar PCT demam infeksi (13,48 ng/ ml) lebih tinggi daripada demam inflamasi (6,90 ng/ ml). Tidak ada beda kadar PCT demam infeksi dan demam inflamasi secara statistik dengan p adalah 0,371.

Background. Post cardiac surgery fevers usually caused by surgery itself or cardiopulmonary bypass (CPB). Difficulties to differentiated fever caused infection or inflammation. Bacterial culture to prove infections take a long time and sometimes the result is negative. Procalcitonin is sugested infection marker without wait for culture.
Goal. The aim of this study is to know procalcitonin level can differentiate fever cause infectious or inflammation.
Methods. This study performed at Integrated Cardiovascular Unit in RSCM, on adult patients who had open cardiac surgery with CPB, observed for temperature ≥ 37,8° C, sign and symptoms of infections, for 5 days. PCT levels and blood culture performed before surgery, first, second and 5th day after surgery. Culture from other sites performed as indicated.
Results. There are 59 have cardiac surgery with CPB, There are two subject dropout (died on 1st and 2nd days), 22 had no fever (37,28%), 32 had inflammation fever (54,24%) and 5 had infectious fever (8,48%). Infection confirmed by bronchial wash culture (Klebsiella pneumonie), no surgical wound infection, blood and urine culture were negative. We have PCT levels infectious group 13,48 ng/ ml and inflammation group 6,90 ng/ ml.
Conclussion. PCT levels infectious group (13,48 ng/ ml) higher than inflammation group (6,90 ng/ ml). Non parametric diagnostic Mann Whitney U test there are no significant differences of PCT levels between infectious and inflammation group, p=0,371.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Faisal Adam
"Latar belakang: EuroSCORE II (European System for Cardiac Operative Risk Evaluation) banyak digunakan sebagai model prediksi resiko mortalitas intrahospital dan juga mulai diteliti sebagai prediktor kesintasan jangka panjang untuk operasi jantung. Namun penggunaannya pada pembedahan katup jantung memilki nilai uji validasi yang buruk. TAPSE (Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion), sebagai salah satu parameter fungsi ventrikel kanan diketahui menjadi salah satu prediktor pasien yang menjalani pembedahan jantung.
Tujuan: Mengetahui perbandingan kemampuan prediksi mortalitas intrahospital dan kesintasan jangka panjang antara EuroSCORE II dengan kombinasi EuroSCORE II dan TAPSE (EuroSCOREII+TAPSE) dan kombinasi modifikasi variabel EuroSCORE II+TAPSE (Modified Euro-TAPSE-Score) pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap 1842 pasien yang menjalani pembedahan katup jantung pada periode 2018-2021. Analisis bivariat dan multivariat antara nilai EuroSCORE II, variabel EuroSCORE II, dan TAPSE untuk mortalitas intrahospital dan kesintasan 4,5 tahun. Uji validasi dilakukan terhadap semua model prediksi resiko.
Hasil: Mortalitas intrahospital yang diobservasi adalah 9,0 % dan untuk mortalitas jangka panjang adalah 18,8%. Sebagai prediktor mortalitas intrahospital, Modified Euro-TAPSE Score dan EuroSCOREII+TAPSE memilki nilai uji validasi yang lebih baik [(AUC 0,730; uji H-L p:0,988) vs (AUC 0,681; uji H-L p:0,065)] dibandingkan EuroSCORE II saja (AUC 0,686; uji H-L p:0,028). EuroSCORE II secara signifikan berhubungan dengan kesintasan jangka panjang (p<0,0001), namun TAPSE tidak dapat digunakan sebagai prediktor (p: 0,643) sehingga modifikasi EuroSCORE II dengan TAPSE tidak dapat dilakukan.
Kesimpulan: Modified Euro-TAPSE-Score dan EuroSCOREII+TAPSE memiliki nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan EuroSCORE II untuk mortalitas intrahospital pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.

Background: EuroSCORE II (European System for Cardiac Operative Risk Evaluation) is widely used as a risk predictive model for intrahospital mortality and has been studied as a predictor of long-term survival for cardiac surgery. However, its use in valvular heart surgery (VHS) has poor validation test values. TAPSE (Tricuspid Annular Plane Systolic Excursion), as a parameter of right ventricular function is known to be one of the predictors of patients undergoing cardiac surgery
Objective: To compare the predictive ability of intrahospital mortality and long-term survival between EuroSCORE II with EuroSCORE II and TAPSE combination (EuroSCOREII+TAPSE) and EuroSCORE II variable modification with TAPSE (Modified Euro-TAPSE-Score) in patients undergoing VHS.
Metds: A retrospective cohort study was conducted on 1842 patients undergoing VHS in 2018-2021 period. Bivariate and multivariate analyzes of EuroSCORE II, EuroSCORE II variables, and TAPSE for intrahospital mortality and 4,5 year survival. Validation tests were carried out on all risk prediction models.
Results: The observed intrahospital mortality was 9,0% and long-term mortality was 18,8%. As predictors of intrahospital mortality, Modified Euro-TAPSE Score and EuroSCOREII+TAPSE have better validation test values [(AUC 0,,730; H-L test p:0,988) vs (AUC 0,681; H-L test p:0,065)] compared to EuroSCORE II (AUC 0,686; H-L test p:0,028). EuroSCORE II was significantly associated with long-term survival (p<0.0001), but TAPSE could not be used as a predictor (p:0,643) so EuroSCORE II modification with TAPSE could not be performed.
Conclusion: Modified Euro-TAPSE-Score and EuroSCOREII+TAPSE have a better prognostic value than EuroSCORE II for intrahospital mortality in patients undergoing VHS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Girisamudra Wikanta
"Latar Belakang: Oklusi total kronik (OKT) adalah salah satu lesi paling sulit untuk ditangani dalam intervensi koroner perkutan (IKP). Menurut studi, kesintasan pasien yang telah melalui IKP bergantung kepada beberapa faktor resiko. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan pasien OKT yang telah melalui IKP. Metode: Riset ini menggunakan desain penelitian kohort retrospektif dengan kriteria sampel pasien OKT yang telah dilakukan tindakan IKP di Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional Dr, Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2017 sampai 2019. Observasi melalui analisis Kaplan-meier dan cox regression dilakukan untuk menentukan kesintasan satu tahun. Hasil: Terdapat 204 sampel yang telah dikumpulkan dalam studi ini. Kesintasan satu tahun yang didapatkan adalah 88,2%, dengan mayoritas kematian terjadi di bulan pertama. Rata-rata pasien merupakan 58,46 + 11,06 ciri ciri pasien lebih banyak di kelompok umur <60 tahun (62,7%) dan laki-laki (87,7%). Rasio hazard menunjukkan pasien OKT setelah IKP lebih beresiko untuk kematian bila merupakan laki-laki, lebih tua dari 60 tahun, memiliki komorbiditas diabetes dan penyakit ginjal kronis, dan memiliki lesi di LAD, LCX dan RCA. Sedangkan pasien yang memiliki hipertensi dan dislipidemia lebih tidak berisiko untuk kematian. Kesimpulan: Pasien OKT setelah IKP memiliki kesintasan 88,2% setelah satu tahun, fator resiko yang ditemukan tidak signifikan secara statistik untuk menentukan faktor resiko kematian.

Background: Chronic total occlusion (CTO) lesion is considered one of the most technically challenging intervention in percutaneous coronary intervention (PCI). The survival of patients who have undergone the procedure varies among research and is affected by several risk factors. This research aims to determine the risk factors and 1 year survival of CTO patients post-PCI. Method: This research uses a retrospective cohort study design with samples of CTO patients that had undergone PCI at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital between 2017 to 2019. The one-year survival of the patients was observed through Kaplan-Meier analysis and cox regression. Result: From 204 samples included in this study, the one-year survival was 88.2%, with the majority of death occuring in the first month. The mean age of the patients was 58.46 + 11.06, with more patients in the <60 age group (62.7%) and males (87.7%). The hazard ratio shows that CTO patients were more likely to experience mortality after PCI when they were older than 60 years old, males, had diabetes, CKD, occlusion on the LAD, LCX and RCA. In contrast, patients were less likely of death when they had hypertension and dyslipidemia. Conclusion: CTO patients that had undergone PCI had a survival rate of 88.2% after one year, and risk factors were statistically insignificant in determining risk factors leading to mortality."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suprohaita
"Latar belakang: Penurunan curah jantung merupakan masalah yang penting dalam penatalaksanaan pasca-bedah jantung terbuka karena penurunan curah jantung ini meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Modalitas untuk pemantauan curah jantung bergeser dari invasif ke non-invasif. Alat ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) dan ekokardiografi menjadi alat baru yang non-invasif. Bila dibandingkan dengan alat ekokardiografi yang membutuhkan keahlian khusus, alat USCOM dapat dijadikan alat pengukuran indeks curah jantung alternatif secara intermiten oleh tenaga medis terlatih.
Tujuan: Untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan pintasan jantung paru.
Metode: Studi potong lintang (cross sectional) pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP dengan metode pengukuran simultan indeks curah jantung dengan alat USCOM dan ekokardiografi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dari bulan Juni-Juli 2014.
Hasil: Tiga belas pasien yang menjalani bedah jantung terbuka berhasil diukur dengan alat USCOM dan ekokardiografi secara simultan. Subyek terdiri atas 8 laki-laki dan 5 perempuan dengan median usia 3 tahun (1-12 tahun). Median berat badan, tinggi badan, dan luas permukaan tubuh berturut-turut 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32- 0,98 m2). Diagnosis terbanyak berturut-turut adalah tetralogi Fallot (5 subyek), defek septum ventrikel (3 subyek), dan DORV (2 subyek). Pada analisis Bland-Altman indeks curah jantung yang diukur dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi didapatkan perbedaan rerata sebesar 0,115 L/menit/m2 (IK95% -0,536 hingga 0,766) dan batas kesesuaian -3,616 hingga 3,846 L/menit/m2. Hasil tambahan penelitian ini berupa perbedaan rerata indeks isi sekuncup 0,03 mL/m2 (IK95% -5,002 hingga 5,065) dan batas kesesuaian -28,822 hingga 28,885 mL/m2. Perbedaan rerata diameter LVOT -0,017 cm (IK95% -0,098 hingga 0,064) dan batas kesesuaian -0,285 hingga 0,251 cm. Perbedaan rerata nilai VTI didapatkan sebesar -2,991 cm (IK95% -4,670 hingga -1,311) dan batas kesesuaian -12,616 hingga 6,635 cm.
Kesimpulan: Pengukuran indeks curah jantung dengan alat USCOM dibandingkan ekokardiografi pada anak pasca-bedah jantung terbuka dengan PJP didapatkan perbedaan rerata kedua pengukuran kecil dan batas kesesuaian 95% yang lebar. Pada pengukuran indeks curah jantung yang makin rendah, perbedaan atau selisih rerata semakin kecil dan memiliki kesesuaiannya lebih baik.

Background: Low cardiac output is important problem in post-open heart surgery management because this condition increase morbidity and mortality. Modality of cardiac output monitoring shifted from invasive to non-invasive. Ultrasonic cardiac output monitor (USCOM) and echocardiography are new non-invasive tools. Echocardiography needs special skill, but USCOM can used by trained user because of fast learning curve of skill.
Objectives: To determine the agreement of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery with cardiopulmonary bypass.
Methods: Cross sectional study using simultaneous measurement of cardiac index by USCOM and echocardiography on post-open heart surgery patient in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta, from Juni-Juli 2014.
Results: Thirteen post-open heart surgery of pediatric patient were enrolled (8 male and 5 female, median of age 3 years old (1-12 years old). Median of body weight, height, and body surface area respectively were 11 kg (5,5-29 kg), 82 cm (63-133 cm), dan 0,53 m2 (0,32-0,98 m2). Diagnosis of patient were tetralogi Fallot (5 subject), ventricular septal defect (3 subject), dan double outlet right ventricle (2 subject). This study using Bland-Altman analysis of cardiac index measurement by USCOM and echocardiography. Mean bias was 0,115 L/minute/m2 (95%CI -0,536 to 0,766) and limit of agreement was -3,616 to 3,846 L/minute/m2. Secondary outcome of this study was mean bias of stroke volume index 0,03 mL/m2 (95%CI -5,002 to 5,065) and limit of agreement was -28,822 to 28,885 mL/m2. Mean bias of LVOT diameter was -0,017 cm (95%CI -0,098 to 0,064) and limit of agreement was -0,285 to 0,251 cm. Mean bias of VTI was -2,991 cm (95%CI -4,670 to -1,311) and limit of agreement -12,616 to 6,635 cm.
Conclusion: Cardiac index measurement by USCOM and echocardiography in children after open heart surgery has narrow mean bias and wide limit of agreement. Mean bias was narrower and good agreement in patient with low cardiac index."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arinto Bono Adji Hardjosworo
"ABSTRAK
Objektif: infark miokard perioperatif merupakan salah satu komplikasi pada CABG. Prediksi untuk terjadinya komplikasi tersebut dan deteksi dini pada fase paska operasi sangat penting dilakukan untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas. Penelitian kaii ini dilakukan untuk mencari Faktor-faktor predisposisi terjadinya infark miokard perioperatif serta peran troponin T sebagai biomarker prediktor dan deteksi dini komplikasi tersebut.
Metoda: empat puluh enam pasien yang akan menjalani CABG saja dan untuk pertama kali secara elektif diobservasi secara prospektif. Data faktor predisposisi, faktor intraoperasi dan paska operasi pada periode perioperatif dicatat. Diagnosis infark perioperatif ditegakkan berdasarkan EKG dan nilai CK-MB. Nilai troponin T diambil pada 24 jam preoperasi, 1 dan 6 jam setelah total revaskularisasi.
Hasil : enam pasien (13%) teridentifikasi mengalami infark. perioperatif. Mortalitas terjadi pada 1 orang (2,1%) yaitu pada kelompok infark. Faktor preoperasi yang mempunyai hubungan bermakna untuk terjadinya infark adalah EuroSCORE dan angina tidak stabil. Pada fase intraoperasi, faktor yang teridentifikasi bermakna adalah konversi OPCAB ke on pump karena gangguan hernodinamik dan adanya gangguan hemodinamik signifikan preinsisi. Walaupun kurang bermakna, teknik CABG on pump memiliki prosentase infark yang lebih tinggi (19%) dibandingkan dengan teknik OPCAB (7%). Pada CABG on pump, penggunaan CPB, klem silang aorta, waktu iskemia lebih lama pada kelompok infark dan kardioplegia juga lebih sering diberikan. Morbiditas berupa penambahan lama waktu intubasi (p=0,009) dan lama penggunaan inotropik juga terjadi pada kelompok infark (61 jam) dibandingkan non infark (15 jam). Troponin T pada infark sudah berbeda secara bermakna 6 jam setelah revaskularisasi dengan nilai rerata 1 ng/ml (p=0,002). Nilai troponin T preoperatif juga sudah berbeda preoperasi antara kelompok infark dan non infark (0,01 vs 0,02 ng/ml) walaupun secara statistik kurang bermakna. Kenaikkan troponin T juga berkorelasi positif dengan lama pemakaian inatropik, lama intubasi, dan kadar CK-MB paska operasi.
Kesimpulan: infark miokard perioperatif meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas pada fase perioperatif. Empat faktor teridentifikasi sebagai faktor resiko. Trapanin T mampu mengidentifikasi terjadinya infark perioperatif 6 jam paska operasi dengan nilai 1 ng/ml. Terdapat kemungkinan untuk memprediksi resiko terjadinya infark perioperatif dengan pemeriksaan troponin T preaperasi apabila terjadi kenaikkan di alas 0,02 ng/ml."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21187
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Ariyanti
"Latar Belakang : Model prediksi risiko mortalitas dan morbiditas pascapembedahan jantung digunakan untuk penjelasan kepada pasien mengenai risikoperioperasi, pemilihan tatalaksana, perbandingan hasil pascaoperasi dan alokasidana oleh penjamin kesehatan nasional. Husink dkk mengembangkan suatu sistemskor prediksi mortalitas dan morbiditas pasca pembedahan katup jantung yaitu skorHarapan Kita pada tahun 2015. Sistem skor model prediksi mortalitas memilikidaya kalibrasi dan diskriminasi yang baik sedangkan model prediksi morbiditasmemiliki daya kalibrasi baik dan daya diskriminasi sedang. Sampai saat ini belumada validasi eksternal pada sistem skor Harapan Kita tersebut, sehingga perludilakukan untuk dapat selanjutnya diimplementasikan secara klinis.
Tujuan : Memvalidasi secara eksternal sistem skor Harapan Kita sebagai prediktormortalitas dan morbiditas di rumah sakit pasien yang menjalani pembedahan katupjantung.
Metode : Penelitian merupakan studi potong lintang dengan metode validasieksternal temporal yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan KedokteranVaskular Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita, menggunakan data sekunder Januari 2015 hingga September 2016,yang diambil secara total sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkannilai kalibrasi dan diskriminasi.
Hasil : Sampel akhir berjumlah 789, kejadian mortalitas di rumah sakit 8.6 68dari 789 sampel dan prediksi mortalitas dengan skor Harapan Kita 11.9 .Kejadian morbiditas di rumah sakit 34.7 dan prediksi morbiditas dengan skorHarapan Kita 19.1 . Setelah dilakukan penghitungan skor Harapan Kita padasemua sampel studi, didapatkan nilai kalibrasi prediksi mortalitas p = 0.169 dandiskriminasi/AUC sebesar 0,761 95 IK; 0.702-0.821 sedangkan prediktormorbiditas kalibrasi p = 0.689 dan AUC 0.753 95 IK; 0.716-0.789.
Kesimpulan : Sistem skor Harapan Kita secara eksternal valid untuk memprediksimortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.

Background: Mortality and morbidity risk prediction model after cardiac surgeryis used to explain perioperative risk, choice of treatment, comparation of surgeryresults, and for financial allocation consideration by national health insurance.Harapan Kita score was developed in 2015. This scoring system had a goodcalibration and discrimination for predicting mortality also a good calibration butmoderate discrimination for predicting morbidity. However this score never beenexternally validated.
Objective: To validate externally the Harapan Kita scoring system as an inhospitalmortality and morbidity predictor in patients who is undergoing valvular heartsurgery.
Methods: This is a cross sectional study with temporal external validation methodthat performed at the Department of Cardiology and Vascular Medicine,Universitas Indonesia National Cardiovascular Center Harapan Kita, usingsecondary data from January 2015 until September 2016, which taken by totalsampling method. Data analysis is intended to develop the calibration anddiscrimination level.
Results: The final samples were 789, with 8.6 68 from 789 samples mortalityevent and a mortality predictor of Harapan Kita Score 11.9. The Odds Ratio OR of all variables were similar with the OR of Harapan Kita score previous study. Callibration value for mortality predictor were p 0.169 with a discrimination AUC 0.761 95 CI 0.702 0.821 meanwhile calibration value formorbidity predictor were p 0.689 and AUC 0.753 95 CI 0.716 0.789.
Conclusion: Harapan Kita scoring system valid externally to predict in hospitalmortality and morbidity in patients undergoing valvular heart surgery
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55651
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>