Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108742 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nizhar Marizi
"Dengan intensitas perkembangan yang tinggi, salah satu masalah yang dihadapi DKI Jakarta saat ini adalah perubahan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali. Kawasan Kemang di Jakarta Selatan adalah kawasan yang diarahkan sebagai kawasan perumahan pada dokumen Rencana Tata Ruang. Namun pada kenyataannya, kini pola kegiatan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut semakin bergeser menuju ke arah yang lebih komersial.
Perubahan pemanfaatan ruang ini meningkatkan intensitas kegiatan dan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan prasarana pendukung yang pada awalnya ditujukan untuk pelayanan perumahan. Berbagai kegiatan yang berlangsung di wilayah penelitian berlangsung di luar asumsi perencanaan sehingga dampak Lingkungan akibat berubahnya pemanfaatan ruang ditelusuri berdasarkan fenomena yang terjadi dengan adanya perubahan tersebut. Dampak pada Lingkungan fisik yaitu kemacetan lalu lintas, meningkatnya limbah padat dan cair, dan kebisingan. Selain itu, secara sadar pelaku usaha juga menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan usahanya (free riders). Dampak pada Lingkungan sosial ekonomi adalah terjadinya konflik sosial, meningkatnya kesempatan kerja masyarakat dan penerimaan pemerintah dan pajak dan retribusi.
Untuk mengakomodasi munculnya kegiatan-kegiatan usaha di kawasan ini, dengan tetap mempertahankan peruntukan utama Kawasan Kemang sebagai kawasan perumahan, Pemerintah DKI memberlakukan Kawasan Kemang sebagai Kampung Modern, yaitu kawasan permukiman yang terintegrasi dengan kegiatan usaha yang ada, agar kawasan permukiman tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan penghuninya sendiri. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak kegiatan usaha yang kelengkapan izinnya belum memenuhi syarat, masih bermunculannya tempat-tempat usaha Baru, dan masih adanya kegiatan usaha yang berlokasi di Luar kawasan yang diperbolehkan. Hal ini secara langsung melanggar peraturan hasil penyesuaian tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut sangat dibutuhkan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan dapat diandalkan. Mengingat sudah banyaknya dokumen yang mengatur pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini menyangkut keefektifan institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan evaluasi formatif pada keefektifan produk dan proses pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang. Kriteria utama yang digunakan dalam evaluasi adalah kriteria keefektifan yang berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Penelitian dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan by product dan pendekatan by process. Pendekatan by product menilai keefektifan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang melalui evaluasi keefektifan produk yang mengatur pemanfaatan ruang, dan pendekatan by process, menilai keefektifan institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang dengan menganalisis proses dan prosedur pengendalian pemanfaatan ruang yang dijalankan oleh institusi tersebut.
Dari sisi produk, pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang dikatakan efektif, jika ketiga indikator yaitu pemanfaatan lahan, kegiatan penunjang perumahan, dan pemanfaatan ruang di lokasi yang diizinkan dapat dipenuhi. Dari sisi proses, pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang dikatakan efektif, jika keenam indikator yaitu proses pelayanan IMB, proses pelayanan IPB, proses pelayanan izin UUG, proses pelayanan SKM, pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan, serta pelaksanaan tugas dan wewenang penertiban dapat dipenuhi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang di Kemang belum efektif. Untuk penyempurnaan kinerja institusi terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Kemang, maka perlu dilakukan upaya untuk: 1) Melaksanakan up-grading atau peningkatan kualitas (capacity building) aparat institusi, terutama dalam hal pengaktifan monitoring dan pencegahan dampak; 2) Melakukan pemantauan, pendataan, dan pelaporan atas kegiatan pemanfaatan ruang secara menyeluruh dan periodik/rutin untuk mendapatkan basis data dalam melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang; 3) Melakukan penajaman tugas pokok dan fungsi institusi yang terkait atau mengupayakan dibentuknya tim khusus yang secara formal berada dalam struktur kepemerintahan daerah dan resmi berwenang.

With its high intensity development, Jakarta is currently faced with the problem of uncontrolled change of spatial use. South Jakarta's Kemang is an area determined by the city Spatial Planning document for housing. However, facts show that the area had gradually been used for more commercial purposes.
The change in spatial use has resulted in higher level of activities and consequently lower level of service of the supporting facilities initially planned for residences. Various activities in the research area took place beyond what had been settled. Therefore, the environmental impacts due to the change of spatial use in Kemang were measured based on the phenomena resulting from such change. Impacts on the physical environment included traffic jams, increased volume of solid and liquid waste and higher level of noise disturbance. Business owners consciously acted as free riders by intentionally making use of public facilities. Impacts on socio-economic conditions were social conflicts, more employment opportunities for residents in the area and increased government revenues from taxes and levies.
In order to make room for new businesses in Kemang while maintaining its status as a residential area, Jakarta city administration has determined the area as a Kampung Modern (Modem Village), i.e. an area integrated with existing business activities to enable it to meet the needs of its residents. However, there are still many businesses with no proper business licenses, and new ones keep springing up despite the fact that these violate the revised city regulation. People have even set up their businesses outside permitted zones. To solve this problem, it is crucial to have effective and reliable control measures regarding the area spatial use. Since there are already many documents concerning spatial use in Kemang, this research focused on the effectiveness of institutions related to spatial use control in the area.
Using formative evaluation approach, the research assessed the effectiveness of the products and spatial use control in Kemang. The key criterion used was effectiveness. It had to do with whether an alternative had achieved the expected result or had reached the target of the action. By product and by process approaches were used. The by product approach measured the effectiveness of spatial use control by evaluating the product controlling spatial use in Kemang while the by process approach reviewed the effectiveness of institutions dealing with spatial use by analyzing the process and procedure of spatial use control implemented by these institutions.
In terms of product, spatial use control in Kemang would be considered to have been effective when the following three indicators, i.e. land use, housing supporting activities and spatial use in permitted locations had been in place. In terms of process, such control would be effective when six indicators such as building construction permit, building use permit, nuisance law permit and construction certificate applications as well as monitoring and control duties and responsibilities had been properly in place.
It can be concluded from the research results that the institutions dealing with spatial use control in Kemang had not been performing effectively. Improving the performance of institutions concerned with spatial use control in Kemang calls for: 1) Upgrading or building the capacity of the institutions' officers, particularly in monitoring implementation and impact prevention; 2) Monitoring, collecting data and preparing comprehensive and periodic/routine reports of spatial use activities to develop a database to support spatial use monitoring and controlling; 3) Enhancing related institutions' key responsibilities and functions with one institution authorized to monitor the implementation, or establishing a special team which will be within the formal regional government structure and given the official authority to perform spatial use control.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Tagor M.
"Penelitian ini benujuan untuk mengetahui penyimpangan yang teljadi terhadap
kondisi yang diperkirakan (diproyeksikan) dalam penyusunan rencana
kota Cirebon.
Penyirnpangan yang teljadi diketahui berdasarkan evaluasi terhadap Rencana
Induk Kota (RIK). Evaluasi dilakukam terhadap beberapa variable penentu, yaitu
Struktur pemanfaatan mang, stmktur utama tingkat pelayanan kota, system utama
jaringan transportasi dan system utamajadngan utilitas kota.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif berdasarkan
data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat penyimpangan dari kondisi yang diperkirakan (diproyeksikan) dalam
penyusunan Rencana Induk Kota Cirebon Nilai penyimpangan rata-rata (%) dari
Evaluasi Rencana Induk Kota Cirebon adalah 80,61
Berdasarkan ketentuan Departemen Dalam Negeri cq Dirjen Pembangunan
Daerah No. 850/803/BANGDA Maret 1993, tentang penilaian evaluasi RIK
-yaitu apabila penilaian evaluasi PJK menghasilkan angka > 50, maka RIK
tersebut harus ditinjau kembali."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2000
T16800
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Asterina
"Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan pengendalian pemanfaatan ruang pasar modern di Kota Cirebon. Perkembangan pasar modern menimbulkan permasalahan jika tidak mengikuti aturan pengendalian pemanfaatan ruang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan wawancara mendalam, observasi langsung, dan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan implementasi kebijakan belum dapat mengendalikan pasar modern. Faktor penghambat dalam implementasi adalah kepentingan bisnis pengusaha, kurangnya sinergitas pasar modern dan pasar tradisional, kurangnya sosialisasi, pengawasan, dan keterbatasan sumber daya finansial. Faktor pendukung dalam implementasi adalah kesadaran pengusaha, dukungan masyarakat, dan pola pikir pedagang.
Rekomendasi penelitian ini antara lain koordinasi, mempertegas instrumen kebijakan, evaluasi kebijakan, sosialisasi, pengawasan, dan pembinaan.

This research discuss the implementation of land use control policy on modern retail in Municipality of Cirebon. Modern retail’s development causes problems if not comply with the land use control policy. This research used qualitative approach with in-depth interviews, observation and literature study.
The result showed implementation of the policy have yet controlled modern retail. Implementation’s barriers identified in this research were business interest, synergy between modern and traditional retail, lack of socialization, monitoring, and limited financial resources. Supporting factors were retailer's awareness, community support, and retailers mindset.
This research's recommendations are coordination, policy instruments affirmation, policy evaluation, socialization, monitoring, and assistancy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46652
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Indrianingtyas, auhtor
"Penyelenggaraan otonomi daerah di bawah UU No. 32 Tahun 2004 dipandang belum memberikan kejelasan pengaturan mengenai pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah. Perubahan otonomi, dari yang semula sentralistis?yang dipraktekkan selama tiga dasawarsa lebih kekuasaan Orde Baru?menjadi desentralistis, membawa konsekuensi perlunya transisi cara memandang Pusat-Daerah pada konsep otonomi. Artinya dominasi kekuasaan pusat dan ?reflek? untuk menguasai sumber-sumber daya ekonomi masih belum sepenuhnya dilepaskan. Ada ketidakrelaan Pusat dalam desentralisasi sehingga kewenangan-kewenangan strategis yang secara formal diserahkan kepada daerah pada kenyataannya tetap diintervensi oleh Pusat. Salah satu contohnya adalah kewenangan penataan ruang. Walaupun UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penataan ruang merupakan urusan wajib Pemerintah Daerah, namun UU No. 26 Tahun 2007 mensyaratkan adanya uji substansi dari Kementerian Kehutanan yang merupakan tangan Pusat secara sektoral. Uji substansi dimaksud adalah bagian dari proses penyesuaian Perda RTRW terhadap UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penyesuaian Perda RTRW terhadap UU Penataan Ruang yang terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah diwarnai permasalahan yang rumit, yang bersumber dari ketidaksamaan persepsi antara Pusat dan Daerah mengenai dasar acuan kawasan dan fungsi ruang. Hal ini mengakibatkan Perda RTRW tidak dapat disahkan sebagai acuan pengaturan penataan ruang yang berkekuatan hukum tetap. Tawar-menawar perbandingan luas kawasan hutan dan non hutan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah cukup menjelaskan bahwa penyesuaian Perda RTRW Provinsi Kalimantan Tengah bermuatan konflik kepentingan.
Melalui metode deskriptif analitik, penelitian ini ingin memetakan konflik yang terjadi sebagai akibat dari adanya permasalahan penyesuaian Perda RTRW Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan proses penyesuaian Perda RTRW Provinsi Kalimantan Tengah mengandung sejumlah konflik yang sangat kompleks, baik konflik dalam proses penyesuaian itu sendiri maupun konflik yang timbul sebagai ekses akibat belum disahkannya Perda RTRWP. Konflik yang dapat ditengarai adalah konflik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, konflik peran Gubernur sebagai wakil Pusat, konflik antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten, antara Pemerintah Pusat dengan masyarakat, antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten, antara Pemerintah Provinsi dengan masyarakat, dan konflik internasional dengan daerah.

Implementation of regional authonomy under Law No. 32 of 2004 is considered not provide clarity on the division of power between central and local government. The changes of authonomy, from centralized practiced?as more than three decades overthe New Order?to decentralized, have consequences in the need for a transition Central-Regional way of looking at the concept of authonomy.It means the domination of central power and its reflect to control economic resources are still not fully released.There are central government unwillingnessin decentralization so that strategic authorities that formally delegated to the regions in fact is still remain intervented. One example is the spatial planning authority.Although the Law No. 32 of 2004 states that spatial planning is an obligatory function of local government, but Law No. 26 of 2007 requires a substance test from the Ministry of Forestry, which is a hand-sectoral of central government. This substance test is a part of adjustment process of local regulation on spatial planning to the Law No. 26 of 2007.
The adjustment of local regulation to the Law on spatial planning that occuredin the Province of Central Kalimantan contains complicated issue, which come from unequal perception among central and local about basic reference of area and spatial function.It has consequences that local regulation of spatial planning cannot be legitimated as a reference of regulation that bind legally.Bargaining the ratio between area of forest and non forest among central and local government describes that the adjustment contains of interest conflicts.
Through descriptive analytical methode, this research wants to make a conflict map that occured as a consequences of the adjustment problem of local regulation of the Province of Central Kalimantanon spatial planning.The results showed that the problem of adjustment process contains a number of very complex conflict, whether the conflict in the adjustment process itself or the conflict that arise as the excesses because of the local regulation has not passed. Conflicts that can be recognized are conflict among central and local government, Governor's role conflict as a central representative, among central and regency, central government and public, province and regency, province and public, and also international and local."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Rosantika
"Perubahan penggunaan tanah khususnya tanah pertanian menjadi non pertanian di Kabupaten Bekasi dari tahun 2003-2011 telah mencapai 7.575 Ha. Selain berada dalam pemanfaatan ruang pertanian, penggunaan tanah pertanian juga berada pada pemanfaatan ruang industri, pariwisata, permukiman dan kawasan lindung. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas tanah pertanian yang berada di luar pemanfaatan ruang pertanian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penilaian efektivitas tanah pertanian dilakukan dengan metode pengkelasan dan skoring. Variabel yang dipilih sesuai dengan tujuan penelitian ini meliputi kesesuaian tanah pertanian, parameter fisik, biologis, sosial kependudukan dan alokasi pemanfaatan ruang pertanian dalam RTRW.
Hasil penilaian efektivitas tanah pertanian yang dipertahankan adalah seluas 19.311 Ha yang terbagi dalam tiga kelas yaitu (1) efektivitas tinggi (S1) dengan luas sebesar 65% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan terluas adalah Babelan, (2) efektivitas sedang (S2) dengan luas sebesar 20% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan terluas adalah Cikarang Timur dan (3) efektivitas rendah (S3) dengan luas sebesar 15% dari total luas tanah pertanian efektif dengan kecamatan yang terluas adalah Tambun Utara. Dalam keterkaitannya dengan penyusunan tata ruang daerah Kabupaten Bekasi maka efektivitas tinggi tanah pertanian untuk dipertahankan (S1) pada pemanfaatan ruang industri berada di Kecamatan Tarumajaya, sedang pada pemanfaatan ruang pariwisata adalah Kecamatan Muaragembong, pada pemanfaatan ruang permukiman juga berada di Kecamatan Muaragembong dan pada pemanfaatan ruang kawasan lindung adalah di Kecamatan Cikarang Pusat.

The transition in land use, especially the transition from agricultural to nonagricultural land in Bekasi Regency from 2003 to 2011 had reached 7,575 hectares. Agricultural land use exists not only in agricultural area utilization, but also in the utilization of industrial, tourism, residential and protected areas. This research aims to assess the effectiveness of agricultural lands located outside the agricultural area utilization in the Regional Spatial Plan (Rencana Tata Ruang Wilayah-RTRW). The assessment of the effectiveness of agricultural lands is carried out by classification and scoring methods. Variables selected according to the purpose of this study include the suitability of agricultural land, physical, biological, social, demographic parameters and the allocation of agricultural area utilization in the Regional Spatial Plan.
The assessment results of the effectiveness of agricultural lands maintained is an area of 19,311 hectares which is divided into three classes: (1) high effectiveness (S1) which is 65% of the total area of effective agricultural lands with Babelan as the largest district; (2) medium effectiveness (S2), 20% of the total area of effective agricultural lands with Cikarang Timur as the largest district; and (3) low effectiveness (S3), 15% of total area of effective agricultural lands with Tambun Utara as the largest district. In association with Bekasi Regency`s spatial planning, the high effectiveness of agricultural land maintained (S1) in industrial area utilization is located in Tarumajaya District; in tourism area utilization it is located in Muaragembong District; in residential area utilization it is also located in Muaragembong District; and in protected area utilization it is located in Cikarang Pusat District.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T30055
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Desi Susilowati
"Kecamatan Kintamani di Kabupaten Bangli merupakan salah satu daerah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi. Tahun 2000 produksi kopi Kintamani sedang meningkat pesat akan tetapi ditahun 2014 produksi kopi Kintamani ini mulai mengalami penurunan secara signifikan. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil produksi kopi Kintamani pada tahun 2015yang mencapai 2.482,78 ton dimana tergantikan oleh tanaman jeruk Kintamani yang semakin meningkat sampai ke 117.596 ton per tahun.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa produksi kopi Kintamani selalu berubah dan cenderung menurun disetiap tahunnya. Hal ini diduga berkaitan dengan pemanfaatan lahan perkebunan di Kecamatan Kintamani.
Berdasarkan pemaparan tersebut, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisisdinamika spasial perkebunan kopi Kintamanidari tahun 1999-2018 yang kemudian diproyeksikan ke tahun 2033 sesuai dengan kebijakan RTRW pemerintah Kabupaten Bangli tahun 2013-2033.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cellular Automata Markovdengan beberapa faktor pendorongterjadinya perubahan penggunaan lahan antara lain jarak dari hutan, jarak dari jalan, jarak dari sungai, dan jarak dari pemukiman. Penggunaan lahanyg digunakan antara lain ditahun 1999, 2014 dan 2018. Nilai akurasi kappapada model mencapai 87%.
Hasil prediksi menunjukkan bahwa dinamika spasial perkebunan kopi Kintamani tidak menurun secara signifikan karena diprediksi keberadaan kopi Kintamani masih dalam jangka panjang. Penurunan lahan perkebunan ini terus menurun seiring dengan perkembangan lahan permukiman."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petrus Yanto
"Akhir-akhir ini sering sekali terjadi banjir di daerah sekitar sungai Pesanggrahan. Banjir yang dialami oleh wilayah sekitar sungai Pesanggrahan merupakan imbas dari semakin banyaknya lahan yang tertutup oleh bangunan-bangunan baru yang tidak berlandaskan strategi dan perencanaan dari sistem drainase yang ada. Pada musim hujan debit air yang memasuki badan sungai menjadi lebih besar dan berakibat pada tidak mencukupinya kapasitas sungai.
Analisa dilakukan terhadap data-data hidrologi, tata guna lahan dan geometri serta data eksisting lokasi studi. Melalui analisa hidrologi diperoleh debit puncak banjir rencana, yang dilanjutkan dengan analisa hidrolika untuk mengecek kapasitas penampang sungai yang mampu melalukan debit banjir rencana tersebut. Pengolahan data selain dengan metode rasional juga dengan permodelan menggunakan software SMADA.
Dari hasil analisa didapat perhitungan dengan Program SMADA lebih besar daripada metode rasional dan kapasitas sungai tidak mampu menampung debit banjir rencana.

Recently floods happened in Pesanggrahan river and surrounding. The floods caused by the increasing covered land due to the unwell planned development and drainage system design. During raining season the water in high velocity and at the end get over flood in some places because the capacity of the river no longer able to convey the water.
The analysis is done using hydrology, land use and geometry data of the study area. The hydrology data is used to calculate the peak flow to examine the capacity of the river. The calculation is done by using the rational method and SMADA software.
The result shows the calculation SMADA software has greater value of the flow than the rational method.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S50559
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"The utilization of mineral resources needs a land use allocation to benefit the resources optimally as well as to avoid the interest conflict of land use among other sectors. Land use allocated for mining industry consist of three categories. Generally the potential of mineral industries found in Lombok Island is classified into land that could be extended with requirement."
IMJ 1:2 (1996)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Athari Wulan Sari
"[Desa Jayanti yang merupakan bagian dari Estuari Ci Mandiri bagian utara
memiliki penggunaan tanah yang produktif. Hal ini dibuktikan dengan wilayah
pertaniannya yang masih mendominasi. Jumlah penduduk yang kian meningkat
tentunya akan meningkatkan pembangunan dan akan mengurangi jumlah
penggunaan tanah yang produktif sehingga perlu diprioritaskan wilayah mana
yang dapat dimanfaatkan terlebih dahulu. Penentuan prioritas ini dilakukan
berdasarkan valuasi ekonomi penggunaan tanah. Penggunaan tanah pertanian
yang produktif dihitung nilai ekonominya dengan valuasi ekonomi dan dikaitkan
dengan potensi banjir sebagai faktor yang juga mempengaruhi nilai ekonomi
penggunaan tanah. Hasilnya, prioritas utama, prioritas kedua, dan prioritas
terakhir untuk dimanfaatkan berada pada seluruh penggunaan tanah pertanian,
seperti penggunaan tanah sawah 1 kali padi setahun, sawah 1 kali padi setahun
dengan sayuran, sawah 1 kali padi setahun dengan palawija, sawah 3 kali padi
setahun, perkebunan jati dan sengon belum produksi, dan kebun campuran namun
berbeda lokasi pada setiap prioritasnya.;Jayanti village, which is located in the northern part of Ci Mandiri Estuary, has
productive agriculture land use. This is proven by its agriculture's area that
dominates the land use. The increasing number of population will certainly
improve development and decrease productive land use, that particular region
should be prioritized. Determining priority is based on economic valuation of land
use. Productive agriculture's land use is measured by economic valuation and
correlated with flood potency as factor affecting economic value of land use.
Results showed that all priorities (first, second, and last priority) to be used are
located in agriculture's land use, such as annual ricefield, annual ricefield with
vegetable, annual ricefield with horticulture plants, three-time-a-year ricefield,
unharvested teak plantation, silk tree plantation, and mix plantation, but has
different location in each priority.;Jayanti village, which is located in the northern part of Ci Mandiri Estuary, has
productive agriculture land use. This is proven by its agriculture's area that
dominates the land use. The increasing number of population will certainly
improve development and decrease productive land use, that particular region
should be prioritized. Determining priority is based on economic valuation of land
use. Productive agriculture's land use is measured by economic valuation and
correlated with flood potency as factor affecting economic value of land use.
Results showed that all priorities (first, second, and last priority) to be used are
located in agriculture's land use, such as annual ricefield, annual ricefield with
vegetable, annual ricefield with horticulture plants, three-time-a-year ricefield,
unharvested teak plantation, silk tree plantation, and mix plantation, but has
different location in each priority.;Jayanti village, which is located in the northern part of Ci Mandiri Estuary, has
productive agriculture land use. This is proven by its agriculture's area that
dominates the land use. The increasing number of population will certainly
improve development and decrease productive land use, that particular region
should be prioritized. Determining priority is based on economic valuation of land
use. Productive agriculture's land use is measured by economic valuation and
correlated with flood potency as factor affecting economic value of land use.
Results showed that all priorities (first, second, and last priority) to be used are
located in agriculture's land use, such as annual ricefield, annual ricefield with
vegetable, annual ricefield with horticulture plants, three-time-a-year ricefield,
unharvested teak plantation, silk tree plantation, and mix plantation, but has
different location in each priority., Jayanti village, which is located in the northern part of Ci Mandiri Estuary, has
productive agriculture land use. This is proven by its agriculture's area that
dominates the land use. The increasing number of population will certainly
improve development and decrease productive land use, that particular region
should be prioritized. Determining priority is based on economic valuation of land
use. Productive agriculture's land use is measured by economic valuation and
correlated with flood potency as factor affecting economic value of land use.
Results showed that all priorities (first, second, and last priority) to be used are
located in agriculture's land use, such as annual ricefield, annual ricefield with
vegetable, annual ricefield with horticulture plants, three-time-a-year ricefield,
unharvested teak plantation, silk tree plantation, and mix plantation, but has
different location in each priority.]"
2015
S59313
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamrus Angkuna
"Perubahan pemanfaatan lahan di perkotaan yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan perindustrian dan permukiman telah membawa dampak terhadap perubahan rona lingkungan yang mengarah pada degradasi iingkungan. Salah satu tujuan penataan ruang (UU No. 24 /1992 tentang Penataan Ruang) adalah mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Kota Sungai Raya merupakan ibukota Kecamaian Sungai Raya Kabupaten Pontianak, secara administratif terdiri dari 3 (tiga) desa, yaitu: Desa Sungai Raya, Desa Arang Limbung dan Desa Kuala Dua. Luas Kota Sungai Raya sekitar 7.011,7 Ha. Kota Sungai Raya perbatasan langsung dengan Kota Pontianak (ibukota Propinsi Kalimantan Barat). Sepanjang Kota Sungai Raya dibatasi oleh Sungai Kapuas. Kota Sungai Raya merupakan kota industri. Industri dan permukiman penduduk lebih banyak terdapat di sepanjang Sungai Kapuas ruas Kota Sungai Raya.

Land use change in the city, which shows more increasing for area that functions as industrial and housing uses that, already occupy and give impact on the environmental quality. This means environmental degradation ocurred. One of the purposes for spatial planning, is staled law number 24/1992 concerning spatial management in realizing the spatial functions and avoid the adverse effect to environment.
Sungai Raya City as the capital Sungai Raya District, Pontlanak Regency, administratively consists of three villages, namely: Sungai Raya Village, Arang Limbung village and Kuala Dua Village. The area Sungai Raya City is about 7011,7 hectares. Sungai Raya City ls directly neighbourhood or near by Pontianak City (the capital of West Kallmantan Province). Sungai Raya City along Kapuas river. Sungai Raya City ls an industrial city. Industries and housing areas are located along Kapuas river as a part of Sungai Raya City."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10850
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>