Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114238 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Rasyid A. Ambo Sakka
"ABSTRAK
"Lahan saya adalah lahan dunia!" demikian ungkapan para eksportir kopra Makassar, ketika perkapalan internasional Rotterdamsche Lloyd tiba di Makassar untuk mengangkut kopra. Ungkapan itu sebenarnya memberikan gambaran bahwa kopra dari Makassar telah terintegrasi dengan pasaran dunia. Para eksportir yang berdiam di Makassar menampung kopra dalam gudang-gudang penimbunan, sehingga merupakan suatu hal yang wajar bila seorang eksportir memiliki lebih dari dua gudang ekspor kopra. Laporan perdagangan Makassar menunjukkan bahwa pada tahun 1895 Makassar memiliki tujuh tempat tujuan ekspor kopra, kemudian naik menjadi dua puluh tempat tujuan ekspor kopra pada tahun 1920.
Selama kurang lebih "delapan dasawarsa" (1883-1958), komoditas ekspor Makassar banyak tergantung dari kopra (Bugis: kaloko) yang berasal dari "emas hijau". Bagaimana pun penduduk Indonesia bagian timur, khususnya Sulawesi Selatan, kopra telah menjadi komoditi dagang yang penting, sejak tahun 1880-an yaitu, ketika bangsa-bangsa Eropa menggunakan kopra sebagai bahan dasar yang penting dalam pembuatan sabun dan mentega. Sekitar 60 persen jumlah ekspor kopra Timur Besar berasal dari kopra yang pada umumnya diekspor melalui pelabuhan Makassar.5 Karena itu bukannya tidak beralasan jika J.C. Westermann dan W.C. Houck mengatakan bahwa pada dekade kedua abad ke-20 Makassar tampil sebagai kekuatan perdagangan di Asia Pasifik, bahkan pada fase tersebut Makassar dapat mengurangi laju perkembangan Singapura sebagai kota dagang karena menghasilkan kopra.
Di sejumlah daerah di luar Makassar, kopra juga mempunyai arti penting sebagai komoditi ekspor bagi penduduknya. Di Pulau Toedjoeh Riau pada tahun 1908, sekitar 24 ribu orang mata pencahariannya tergantung dari kopra. Pada umumnya kopra didominasi oleh para keluarga bangsawan. Beberapa keluarga bangsawan memiliki pohon kelapa hingga mencapai 20 ribu pohon. Itulah sebabnya para bangsawan Pulau Toedjoeh, mendatangkan buruh dari Singapura untuk bekerja di kebun mereka. Untuk membatasi lonjakan buruh masuk ke Pulau Toedjoeh, maka Pemerintah Belanda menerapkan biaya imigrasi tinggi yaitu sekitar f 25 setiap orang. Dalam tahun 1919 ekspor kopra dari Pulau Toedjoeh mencapai 12.283 ton dengan nilai f 3,8 juta. Dari ekspor tersebut dapat diperoleh pajak senilai f. 207.000. Tiga puluh lima persen dari hasil itu (f 60.000) digunakan untuk membangun daerah Pulau Toedjoeh.
Mata pencaharian utama penduduk Kalimantan Barat adalah kopra. Kopra di daerah itu banyak dikuasai oleh pedagang-pedagang Cina. Para petani mendapat kredit dari pedagang-pedagang Cina. Di Singkawang, petani kelapa pada umumnya pendatang. Mereka menyewa tanah pada suku-suku Dayak dan Banjar untuk membuka?."
Depok: 2003
D479
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Asba
"ABSTRAK
Produksi dan kebijakan ekspor kopra di Makassar merupakan jawaban dalam rangka memenuhi kebutuhan ekspor dunia, baik pada masa Kolonial Hindia Belanda maupun pasca awal pembentukan ekonomi nasional Negara Indonesia. Harapan ini dimungkinkan setelah adanya kebijakan Makassar pada tahun 1927 sebagai satu-satunya pengekspor kopra untuk Wilayah Timur Besar.
Karena itu lahirnya kebijakan tersebut membawa transformasi bagi terbentuknya kekuatan ekonomi kolonial. Transformasi ini membuat eksportir masuk Makassar. Pada waktu itu kesadaran petani untuk berproduksi semakin meningkat, bahkan melahirkan enterpreneurship lokal dalam membentuk sistem ekonomi Kolonial. Dalam pandangan ini paradigma teori Clifford Geertz dan J.H. Boeke kiranya kurang relevan untuk diterapkan di Makassar karena masyarakat Pribumi (tradisional) telah mampu berakumulasi pada perubahan dinamis dalam kehidupan ekonomi tanpa dikotomi dualisme ekonomi antara Barat dan Timur.
Pada awal kemerdekaan proses perkopraan terus berlangsung, kepentingan lokal maupun pusat mulai melibatkan diri dalam tata-niaga perkopraan. Eksportir dan produsen yang terbentuk sebelum perang dielakkan. Pemerintah mulai mengambil alih secara langsung dalam politik perkopraan. Di ujung sistem kebijakanaan itu Militer dan para Veteran mulai mengatur tata-niaga perkopraan. Akibatnya berbagai wilayah produsen kopra mengeluh bahkan terhimpit hutang, karena militer dan veteran pelaku ekonomi itu mengutamakan kekuasaan (keamanan) tanpa modal. Kopra yang telah diambil banyak yang tidak terbayar, akibatnya melahirkan keresahan bahkan sebuah pemberontakan. Landasan teoretis ini memberikan gambaran bahwa pada pasca awal kemerdekaan betapa dominannya pemerintah mengatur prekonomian dan itulah sebabnya perekonomian kita hingga kini masih merupakan sebuah masalah yang belum terselesaikan.

ABSTRACT
Production and the policy of copra ex/port in Makassar were the answer to fulfill the needs of world export, in Dutch Colonial era and early formation of National Economy of Indonesia. This hope was possible after Makassar policy in 1927 as the one of copra export for Region Timur Besar.
The birth of policy brought transformation for economy development of the Dutch Colonial. At that time, the peasants consciousness to make the production more increased, even gave birth of lokal entrepreneurial in Dutch economy. In this point Clifford Geertz and J.H. Boeke theory are not relevant to implement in Makassar, because the natives have ability to adopt changes in economy without dualism-dichotomy between West and East World.
In the early of Indonesia independence (1945) the importance of local and center government began involved in copra trade. Exporter and producer which formatted before the war, was avoided. Government began to take over directly copra trade. Finally some regions of copra production were complaint, even wedged in debt, because both, Military and Veterans gave priority to power and security without capital . Copra which had been taken a lot were not paid, and it caused chaos and revolt. This paradigme, gives the answer that in the early of independence government had power to arrange economy structure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Asba
"Kajian tentang perdagangan kopra Makassar hingga kini belum banyak mendapat perhatian di kalangan sejarawan Indonesia, meskipun disadari bahwa komoditas tersebut menjadi bagian yang penting dalam dunia perdagangan. Kajian ini merupakan suatu sumbangan untuk melengkapi kekurangan dalam bidang ini, yaitu menyoroti secara khusus terintegrasinya pulau-pulau di Indonesia bagian timur, baik hubungannya dengan Makassar maupun pasar dunia. Fokus kajiannya adalah ditujukan pada ekspor kopra Makassar, sedangkan jangkauan temporalnya di batasi pada periode tahun 1883-1958 Dalam kajian ini, ekspor kopra Makassar dibagi dalam dua tahap perkembangan, pertama adalah masa ekspansi dan yang kedua adalah masa kontraksi. Dalam masa ekspansi, ekspor kopra Makassar menunjukkan kemajuan yang gemilang dan mengagumkan, sedangkan masa kontraksi Ekspor kopra Makassar menunjukkan kemunduran, kesuraman dan hilangnya harapan.

The study on Macassar Copra to date has not got much concern from Indonesian Historians, though it is realized that the commodity was the urgent in the world trading. This study constitutes a contribution to complement the shortcoming in this field, that is, in special manner, by spotlighting the integration of the islands in the eastern part of Indonesia, their relation with both Macassar and the world market. The focus of this study was the export of Macassar copra while its period limit was within 1883-1958. In this study, Macassar copra export was divided into two development stages. First, the expansion period and the second was contraction period. During the expansion period, the export of Macassar copra indicated a bright and amazing progress, while the contraction period showed the decline, vague and hopeless."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Wahyono
"ABSTRAK
Kopra merupakan produksi rakyat Minahasa dan menjadi mata pencarian utama masyarakat petani daerah tersebut selama periode 1870-1942.
Penelitian tentang pembudidayaan dan perdagangan kopra di Minahasa dalam kurun waktu 1870-1942 ini secara khusus menyoroti struktur pertanian dan pola pembudidayaan serta sistem perdagangan kopra, dengan menggunakan bahan-bahan arsip, laporan-laporan sezaman baik yang diterbitkan maupun tidak, serta literatur yang berkaitan dengan tema tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan pola pertanian di Minahasa karena adanya tuntutan pasar. Minahasa pada abad ke-17 sampai ke-18 merupakan lumbung padi bagi daerah Sulawesi dan Maluku. Adanya tanaman wajib kopi pada pertengahan abad ke-19 membuat sebagian petani Minahasa beralih menjadi penanam kopi. Kemudian setelah terjadi boom kopra sejak akhir abad ke-19 sebagian petani Minahasa beralih menanam kelapa.
Pola perdagangan kopra dilakukan melalui tiga golongan,yaitu produsen, perdagang perantara, dan pedagang besar/ekspor. Pola jual-belinya tidak dilakukan di dalam pasar (dalam arti fisik) secara terbuka tetapi melalui sistem kontrak.
Jual beli dengan sistem kontrak ini lebih merugikan petani. Untuk melindungi petani dari jeratan pedagang perantara yang sebagian besar dikuasai pedagang Cina, berbagai upaya dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah, misalnya dengan mendirikan volksbauk Taa rsea Producferr Verkoop Central,dan yayasan Kopra.
"
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T10190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ode Zulkarnain Sahji Tihurua
"Artikel ini mengambil “komoditas” sebagai isu utama, dengan fokus pada dinamika produksi komoditas kopra di Yainuelo, pulau Seram. Mengikuti Escobar (1995) dan Tsing (2005), saya melihat dinamika produksi komoditas sebagai “arena produksi budaya”. Sebagai komoditas, kopra bukanlah entitas material yang statis seperti dibayangkan oleh ilmu ekonomi moderen. Artikulasi dan pemaknaan komoditas kopra oleh pengelola kopra selalu berubah-ubah dalam lintasan sejarah komoditas pada level produksi. Artikel ini memposisikan kopra seperti Rudyansjah melihat “kekuasaan”. kopra seperti kekuasaan, tidak pernah terperagakan dalam wujud yang final dan selalu di-dialog-kan oleh berbagai aktor dengan kepentingannya masing-masing pada bentangan ruang dan waktu yang panjang. Artikel ini berupaya mengungkapkan transformasi dan kontinuitas budaya yang muncul dalam lintasan sejarah produksi komoditas pada rentang waktu - yang dalam istilah Braudel disebut “conjuncture” (satu abad). Mengikuti logika konseptual “lanskap budaya” yang diajukan oleh Rudyansjah untuk melihat kopra, saya melihat fenomena transformasi dan kontinuitas budaya muncul secara berkelindan dalam kehidupan komoditas di Yainuelo. Dalam kajian ini, saya juga berusaha memahami “friksi” yang menjadi bingkai dari proses transformasi dan kontinuitas budaya pada dinamika komoditas kopra di Yainuelo.

This article examines “commodity” by focusing on the dynamics of producing copra commodity in Yainuelo, Seram Island. Following Escobar (1995) and Tsing (2005), I see the dynamics of copra production as “cultural production arena”. As a commodity, copra is not an unchanging material as imagined by modern economics. Its meaning and articulation always changes under the historical trajectory of its production. This article positions copra the way Rudyansjah sees power: never enacted in final form and always under dialogical interactions of various actors in their respective interest crossing a range of space and time. This article attempts to reveal cultural transformation and continuity that appears on a historical trajectory of commodity production under a certain range of time - termed by Braudle as "conjuncture" (a century). Using conceptual logics of "cultural landscape" /"landscape of culture" proposed by Rudyansjah to understand copra, I see the phenomenon of transformation and continuity appear entangled in the life of commodity in Yainuelo. In this study, I also attempt to understand "friction" that frames the process of cultural transformation and continuity within the dynamics of copra commodity in Yainuelo."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhi Ratna Kurniawan
"ABSTRAK
Produk hasil olahan kelapa Indonesia yang scbagian besar produknya masih
didominasi oleh kopra merupakan produk yang berorientasi ckspor. Kopra masih
dipandang sebelah mata olch pebisnis maupun pcmerintah sehingga perkembangan
produknya sangatlah lamban.
Tujuan penelitian ini adalah : (i) mengidentiiikasi dan menganalisis berbagai
faktor yang mempengaruhi ekspor kopra Indonesia khususnya ke Bclanda, (ii) untuk
mengctahui apakah ada hubungan kointegrasi antara penawaran ekspor kopra dengan
harga ekspor, nilai tukar riil dan pendapatan riil negara mitra dagang (Bclanda), (iii)
mengestimasi dan menganalisis hubungan jangka panjang dan jangka pendek atas
penawamn ekspor kopra Indonesia ke Bclanda.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah adopsi dari beberapa
penclitian terdahulu tentang iimgsi penawaran ekspor, dengan variabel volwne ekspor
(X), harga ckspor (P), nil/ai tukar riil (RER) dan pendapatan riil negara miua dagang
(GDP), dengan mengglmakan data kuarlalan periode 1990 sampaj dengan 2005
dengan menggunakan pendekatan analisis kointegrasi dan model koreksi kesalahan,
yang kemudian discsuaikan dengan keadaan Indonesia. Penelitian ini memfokuskan
pada komoditi ekspor komoditi kopra Indonesia ke Bclanda dengan Harmonized
System (HS) sampai pada level empat digit 1513.
Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa variabelwariabel bebas yaitu harga
ekspor (P), nilai tukar riil (RER) dan pendapatan riil negara mitra dagang (GDP)
memiliki pengamh yang positif dan signitikan terhadap penawaran ekspor kopra
Indonesia ke Belanda.

"
2007
T34473
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurnia Achmadin
1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novan Akhiriyanto
"ABSTRAK
Kepulauan Selayar sebagai salah satu Kabupaten penghasil kelapa beserta kopra terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki potensi energi dari limbah industri kopra yang cukup besar berupa tempurung dan sabut kelapa. PLTD berbahan bakar BBM merupakan satu-satunya pemasok energi listrik di Selayar, sehingga biaya pembangkitan listrik relatif lebih mahal dibanding dengan menggunakan bahan bakar fosil lainnya dan juga menimbulkan permasalahan emisi gas buang. Pemanfaatan limbah industri kopra sebagai bahan bakar pembangkitan listrik merupakan alternatif yang ditawarkan dalam studi ini. Pembangkit listrik tenaga gasifikasi biomassa PLTGBm dengan reaktor downdraft gasifier menghasilkan gas mudah terbakar yang digunakan sebagai bahan bakar generator mesin gas untuk menghasilkan energi listrik diterapkan dengan 2 dua skenario pengoperasian, yaitu untuk membantu memikul beban siang 16 jam operasi dengan faktor kapasitas CF sebesar 66,67 dan beban malam 8 jam operasi dengan CF sebesar 33,33 . Potensi daya listrik dengan CF 66,67 sebesar 730 kW dari PLTGBm tempurung mempunyai kontribusi pembangkitan listrik mencapai 12,47 dalam memikul beban listrik pada April 2017 dengan potensi penghematan biaya bahan bakar menggantikan biaya pengadaan BBM untuk pembangkitan listrik sebesar Rp. 29.101.125,80 dan 1.470 kW dari PLTGBm sabut mempunyai kontribusi mencapai 25,10 dengan potensi penghematan sebesar Rp. 58.618.416,79. Sedangkan potensi daya listrik dengan CF 33,33 sebesar 1.470 kW dari PLTGBm tempurung mempunyai kontribusi mencapai 14,14 dengan potensi penghematan sebesar Rp. 19.462.180,74 dan 2.950 kW dari PLTGBm sabut mempunyai kontribusi mencapai 28,38 dengan potensi penghematan sebesar Rp. 39.063.083,22. Analisis kelayakan ekonomi juga diperhitungkan dalam studi, ditemukan bahwa PLTGBm tempurung 730 kW dan PLTGBm 1.470 kW layak untuk dikembangkan untuk memikul beban siang sedangkan PLTGBm tempurung 1.470 kW dan PLTGBm 2.950 kW tidak layak secara keekonomian.54

ABSTRACT
Selayar Islands as one of the largest copra producing district in South Sulawesi province has large enough the potential of energy from copra industry waste in the form fo coconut shell and husk. Diesel generator is the primary supplier of electricity in Selayar, so that the cost of power generation is relatively more expensive than using other fossil fuels and also raises the problem of emissions. Utilization of copra industry waste as fuel for electricity generation is an alternative offered in this study. Biomass gasification power plant PLTGBm with reactor downdraft gasifier produce flammable gas used as fuel gas engine generator to generate electrical energy is applied to the 2 two scenarios of operation, which is to help carry the day load 16 operation hours by a capacity factor CF of 66.67 and night load 8 operation hours with CF of 33.33 . Electric power potential with CF 66.67 amounting to 730 kW of PLTGBm shell contributes power generation to 12.47 in the burden of electricity load in April 2017 with the potential fuel cost savings offset the cost of procurement of oil fuel for electricity generation amounted to Rp. 29.101.125,80 and 1,470 kW from PLTGBm husk have contribution to 25,10 with the potential of savings amount Rp. 58.618.416,79. While the potential of electric power with CF 33.33 of 1470 kW from PLTGBm shell has a contribution to 14.14 with a potential savings of Rp. 19.462.180,74 and 2,950 kW from PLTGBm husk have contributed to 28.38 with a potential savings of Rp. 39.063.083,22. Economic feasibility analysis is also taken into account in the study, it was found that the shell PLTGBm 730 kW and 1,470 kW PLTGBm are feasible to be developed to carry the load during PLTGBm shell while 1,470 kW and 2,950 kW PLTGBm unfeasible economically.55"
2017
T47936
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Asba
"Kajian tentang perdagangan kopra Makassar hingga kini belum banyak mendapat perhatian di kalangan sejarawan
Indonesia, meskipun disadari bahwa komoditas tersebut menjadi bagian yang penting dalam dunia perdagangan. Kajian
ini merupakan suatu sumbangan untuk melengkapi kekurangan dalam bidang ini, yaitu menyoroti secara khusus
terintegrasinya pulau-pulau di Indonesia bagian timur, baik hubungannya dengan Makassar maupun pasar dunia. Fokus
kajiannya adalah ditujukan pada ekspor kopra Makassar, sedangkan jangkauan temporalnya di batasi pada periode
tahun 1883-1958 Dalam kajian ini, ekspor kopra Makassar dibagi dalam dua tahap perkembangan, pertama adalah
masa ekspansi dan yang kedua adalah masa kontraksi. Dalam masa ekspansi, ekspor kopra Makassar menunjukkan
kemajuan yang gemilang dan mengagumkan, sedangkan masa kontraksi Ekspor kopra Makassar menunjukkan
kemunduran, kesuraman dan hilangnya harapan.
The study on Macassar Copra to date has not got much concern from Indonesian Historians, though it is realized that
the commodity was the urgent in the world trading. This study constitutes a contribution to complement the
shortcoming in this field, that is, in special manner, by spotlighting the integration of the islands in the eastern part of
Indonesia, their relation with both Macassar and the world market. The focus of this study was the export of Macassar
copra while its period limit was within 1883-1958. In this study, Macassar copra export was divided into two
development stages. First, the expansion period and the second was contraction period. During the expansion period,
the export of Macassar copra indicated a bright and amazing progress, while the contraction period showed the decline,
vague and hopeless."
Makasar: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Syaherman R. Thaher
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>