Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140736 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ellya Thaher
"LATAR BELAKANG
Sklera merupakan jaringan ikat padat kuat yang saling berpotongan dalam berbagai arah. Susunan yang kuat ini menyebabkan sklera dipergunakan oleh banyak ahli untuk memperbaiki. keadaan patologis sklera yang lain. Sklera yang dipergunakan, seperti dianjurkan oleh Fred M. Wilson dapat berupa sklera yang segar atau sklera yang dipreservasi. Namun oleh karena sulit untuk memperoleh sklera yang segar, maka perlu dipikirkan bagaimana caranya melakukan preservasi sklera agar sklera itu dapat disimpan dengan baik dan tahan lama sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan. Yang dimaksud dengan preservasi sklera ini adalah suatu sistem penyimpanan sklera yang bertujuan untuk menjamin kualitas jaringan dan memperpanjang waktu penyimpanan maksimum. Sistem penyimpanan ini hendaknya dapat memudahkan transportasi dan mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi jaringan yang dipreservasi. Sulitnya mendapatkan sklera yang segar menyebabkan para Ahli berusaha melakukan berbagai cara preservasi seperti :
a) Preservasi dengan menggunakan gliserin dan molekul sieve yang dilakukan menurut metode King,
b) Preservasi dengan alkohol,
c) Preservasi dengan pembekuan,
d) Preservasi dengan silica-gel.
M. Nakazuma (1984) berhasil mengobati stafiloma sklera pasca trauma dengan sklera yang sangat tipis pada seorang pasien Ehlers Danlos Syndrome, tipe V1 dengan sklera yang dipreservasi. Von Payrau dan Remky {1961) melaporkan keberhasilan mereka menggunakan sklera yang dipreservasi dengan silica gel untuk operasi sklerektasi, skleritis, dan skleromalasia serta operasi ablasi retina secara aman. Penggunaan lain sklera yang dipreservasi adalah untuk :
a) penghambat miopia tinggi,
b) operasi retraksi kelopak mata,
c) sebagai implan sekunder pada beberapa kasus yang menunjukkan terjadinya ekstruksi implan pada pasien pasca enukleasi,
d) perforasi sklera pada skleromalasia.
Melihat banyaknya kegunaan sklera yang dipreservasi untuk tujuan klinis, maka perlu diusahakan bagaimana caranya agar sklera yang berasal Bari donor mata Srilangka atau donor lokal dapat dimanfaatkan untuk tujuan klinis tersebut. Hal ini tentu dapat dicapai apabila sklera tersebut dapat dipreservasi dengan baik sehingga pada waktu diperlukan dapat diambil dari Bank Mata.
Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa sklera segar sukar diperoleh sehingga perhatian harus diarahkan kepada usaha-usaha untuk melakukan preservasi sklera sehingga jaringan sklera itu dapat disimpan untuk sewaktu-waktu diperlukan dapat digunakan bagi berbagai keadaan patologis sklera yang memerlukan "graft sclera". Untuk itu penulis merancang suatu eksperimen untuk melakukan preservasi sklera terhadap sklera yang berasal dari mata donor Srilangka dan donor local
Dari berbagai cara preservasi sklera yang dapat dilakukan, penulis membatasi pada cara preservasi dengan menggunakan alkohol dan dengan cara pendinginan. Selanjutnya, dari kedua cara preservasi sklera yang dilakukan itu, penulis merumuskan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu : Apakah ada perbedaan hasil preservasi sklera yang dilakukan dengan penggunaan alkohol dengan hasil preservasi sklera yang dilakukan dengan penggunaan larutan ampisilin pada suhu L0C.
"
1989
T 9094
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desharty Eka Putri
"ABSTRAK
Dehidrasi alkohol melalui katalis pasangan asam basa kuat sudah banyak dilakukan. Salah satunya adalah dengan penggunaan katalis alumina, 7-AI2O3. y-AbOa sering dipilih sebagai katalis karena mempunyal sifat-slfat seperti titik leleh yang tlnggl, konduktlvltas llstrik yang rendah dan tahan terhadap suhu yang tlnggl. Pada penelltlan Inl, digunakan dua katalis yaitu y-AbOs dan y-AbOa-TlOa- Penelltlan Inl bertujuan melakukan reaksl dehidrasi alkohol dengan katalis y-AbOs dan y-AbOs-TiPa menggunakan kromatografl gas on-line. Pembuatan katalis y-AbOs dislntesis darl gel boehmlte yang dihasllkan darl penambahan Ab(S04)3 dengan larutan NH4OH. Untuk katalis y-Ab03-TI02, mencampurkan larutan Ab(S04)3 dengan 3 gram TIO2 sampal terbentuk sol lalu ditambahkan larutan NH4OH. Produk reaksl dehidrasi alkohol dianallsa menggunakan kromatografl gas on-line. Kromatografl gas on-line merupakan modiflkasi darl kromatografl gas yang dipasang seperangkat reaktor. Kedua katalis tersebut dianallsa dengan difraksl sInar-X, spektrofotometri FT-IR dan anallsa luas permukaan dengan metode BET. Reaksl dehidrasi alkohol dilakukan pada varlasi suhu 200°,225°, 250°, 275°, 300°, 325°, 350°, 375° dan 400°C. Produk darl konversi metanol menggunakan kedua katalis berupa dimetll eter, sedangkan produk darl konversi etanol berupa dietll eter dan etilen. Pada ujl katalrtik kedua katalis menggunakan metanol didapatkan hasll konversi berupa dimetll eter sebesar 100 % untuk katalis Y-AI2O3 dan katalis y-Al203-Ti02. Pada uji katalitik kedua katalis menggunakan etanol didapatkan has!! konversi berupa dietil eter sebesar 35,24 % dan etilen sebesar 19,27 % untuk katalis Y-AI2O3 sedangkan pada katalis Y-Al203-Ti02 didapatkan basil konversi berupa dietil eter sebesar 42,84 % dan etilen sebesar 11,12 %."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Kurniawan
"Cairan pendingin sangat panting dan berpengaruh pada proses pembubutan, karena selama pembubutan panas yang dihasilkan sangat tinggi. Selama proses pembubutan, panas yang terjadi dihasilkan dari gesekan pahat dengan benda kerja dan deformasi plastis dari logam selama pemotongan logam. Panas tersebut menyebabkan logam benda kerja akan menempel pada ujung pahat, yang menyebabkan ujung pahat menjadi rusak; hasilnya adalah permukaan benda kerja yang kasar.
Pemilihan dan aplikasi yang tepat dari cairan pendingin akan mencegah hal tersebut yang secara efektif akan mengurangi gesekan dan mendinginkan panas yang terjadi selama pembubutan. Dengan pemilihan metode pendinginan yang tepat selama proses pembubutan diharapkan dapat menghasilkan permukaan benda kerja yang lebih halus dan akurat.
Dari uji coba yang dilakukan pada mesin bubut Celtic-14 yang menggunakan cairan pendingin Symtilo 5, pahat HSS dengan material uji coba S45C dan kecepatan mesin 290, 515 dan 1000 [rpm], metode pendinginan flood dengan debit cairan pendingin tetap yang dialirkan oleh mesin tersebut sebanyak I0 [cc/det] - akan menghasilkan permukaan benda keija yang Iebih halus dibandingkan dengan metode pendinginan mist - dengan debit cairan pendingin 1 [cc/det]."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002
S37675
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1993
S36715
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Adiningsih
Surabaya : Universitas Airlangga, 1980
614.47 ADI e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari-Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.

Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.
Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients' medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.
Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.
Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ande Fachniadin
"Latar Belakang. Salah satu komplikasi pada teknik kraniotomi ini adalah cedera pada saraf nervus fasialis cabang frontal sehingga terjadi paralisis pada otot frontal dan orbikularis oris. Komplikasi ini terjadi pada 30% kasus pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal. Masih terdapat perdebatan bagiamana melakukan preservasi yang baik pada nervus fasialis cabang frontal. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghindari komplikasi ini seperti teknik seperti teknik miokutan, interfascialis, dan subfascialis. Penelitian ini memiliki tujuan mengetahui insiden terjadinya cedera nervus fasialis pada teknik interfascialis dan subfascialis.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang dilakukan kraniotomi frontotemporal pada Januari - Juli 2018. Dilakukan penelusuran rekam medis dalam menilai teknik dan luaran cedera subjek.
Hasil. Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 20 (dua puluh) subjek pasien yang dilakukan preservasi nervus fasialis cabang frontal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 15% subjek mengalami cedera nervus fasialis cabang frontal pada saat segera setelah tindakan. Pasca 3 bulan tindakan cedera didapatkan 5% subjek masih didapatkan cedera. Seluruh cedera didapatkan pada Teknik interfascialis.
Kesimpulan. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal pada pasien yang menjalani kraniotomi frontotemporal sebanyak 15%. Insiden cedera nervus fasialis cabang frontal menggunakan teknik interfascialis sebanyak 15% dan dengan teknik subfascialis sebanyak 0%.

Background. One of the major complications on frontotemporal craniotomy technique is injury to the frontal facial nerve, inducing paralysis to the frontal and orbicularis oris muscle. This complication occurs in 30% of patients with frontotemporal craniotomy. There are still some lively debates regarding proper preservation on frontal branch of the facial nerve. Some techniques have been developed in order to avoid this complication such as Miocutanenous, interfascialis and subfascialis techniques. This research aims to find the incident of injury to facial nerve on interfascialis and subfascialis techniques.
Method. This is a retrospective cross-sectional research performed in Neurosurgery Department of FKUI-RSCM on patients with frontotemporal craniotomy on January to July 2018. All suitable patients medical record was inspected and studied for the techniques and the occurrence of post-operative side effects.
Results. Within the time limit, we found 20 (twenty) subject patients with frontal branch of facial nerve that matched the inclusion and exclusion criterias. It was found that 15% of the subjects have had their frontal branch of facial nerve injured immediately after surgery, and 5% after 3 months of recuperation. All injuries was found in interfascialis technique.
Conclusion. The incident of injury on the frontal branch of the facial nerve after frontotemporal craniotomy was 15%, with the interfacialis technique contributing to the whole 15% while the subfascialis technique with 0%
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>