Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 116003 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laurentia L. Pudjiadi
"Penisilin merupakan salah satu obat yang paling tidak toksik bagi kebanyakan orang, mengingat Cara kerjanya dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri yang terdiri dari polimer mukopeptida, sedangkan sel manusia tidak mempunyai dinding tersebut sehingga tidak terganggu oleh penisilin. Tapi bagi sebagian kecil populasi yang hipersensitif, penisilin dapat menjadi sangat berbahaya, beberapa miligram atau bahkan mikrogram saja dapat menimbulkan reaksi alergi yang hebat, termasuk syok anafilaktik dan kematian.
Hasil Monitoring Efek Samping Obat Nasional tahun 1981-1985 menunjukkan bahwa Penisilin merupakan jenis antibiotik yang paling sering dilaporkan- menyebabkan syok anafilaktik, sedangkan antibiotik merupakan penyebab tersering dari efek samping obat (Suharti dan Darmansyah, 1985).
Mengingat belum adanya angka mengenai rate syok anafilaktik akibat penisilin di Indonesia, pada penelitian ini dilakukan survai untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat suntikan penisilin-G (benzilpenisilin) di puskesmas Jakarta dalam kurun waktu satu tahun secara retrospektif. Penelitian dibatasi pada benzilpenisilin, karena selain merupakan preparat suntik penisilin yang paling murah dan paling banyak dipakai, juga merupakan satu-satunya jenis preparat suntik penisilin yang tersedia di puskesmas.
Kadang-kadang reaksi alergi penisilin tidak disebabkan oleh obatnya sendiri, melainkan oleh hasil urai / produk degradasinya. Penisilin yang paling banyak dipakai sebagai suntikan yaitu benzilpenisilin; dalam larutan dapat terurai secara spontan menjadi asam benzilpenisilenat yang sebagian besar akan bereaksi dengan protein tubuh membentuk kelompok ?Major Antigenic Determinant?. Sebagian kecil akan terurai lagi menjadi asam benzilpenisiloat, yang bersama hasil urainya membentuk kelompok ?Minor Antigenic Determinant?. Reaksi alergi yang terjadi dalam waktu kurang dari 1 jam setelah pemberian penisilin (immediate type) antara lain syok anafilaksis, umumnya disebabkan oleh ?Minor Antigenic Determinant? ini (Bellanti, 1971).
Dari penelitian pendahuluan di beberapa puskesmas ternyata preparat benzilpenisiliri yang sudah dilarutkan dan tidak habis terpakai kadang-kadang disimpan lagi (di kulkas maupun diluar kulkas) untuk dipakai lagi keesokan harinya. Mengingat penguraian penisilin dapat terjadi spontan didalam larutan, dan terdapatnya beberapa merk dagang benzilpenisilin (penisilin-G) yang kemungkinan tidak sama mutunya / kecepatan degradasinya maka dalam penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap kadar asam penisiloat dari beberapa macam merk dagang penisilin-G baik ketika baru dilarutkan maupun setelah didiamkan beberapa hari di kulkas dan diluar kulkas untuk melihat perubahannya. ditanyakan juga merk dagang penisilin-G yang dipakai kepada puskesmas-puskesmas yang didatangi untuk menghitung rate syok anafilaktik akibat penisilin-G.
Untuk melihat hubungan antara terdapatnya asam penisiloat dalam preparat penisilin-G dengan syok anafilaktik akibat penisilin, dilakukan pemeriksaan kadar asam penisiloat pada sisa preparat yang menyebabkan syok anafilaktik (diminta dari puskesmas). Untuk mencegah terjadinya reaksi yang tidak diinginkan pada penyuntikan penisilin, sering dilakukan skin-test pada pasien yang akan disuntik. Sebagai bahan skin-test dipakai larutan benzilpenisilin yang diencerkan berhubung bahan skin-test lain tidak tersedia, dan benzilpenisilin sendiri merupakan Minor Antigenic Determinant, sehingga hasil yang positif dapat membantu meramalkan kemungkinan terjadinya syok anafilaktik bila penisilin disuntikkan. Pada penelitian ini diadakan kuesioner untuk mendapatkan gambaran mengenai prosedur skin-test di puskesmas (pengenceran bahan yang dipakai, kriteria penilaian hasil skin-test, dan lain-lain)."
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Kesehatan, 1989
616.97 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Euntong Army
"Penelitian ini membahas mengenai pemantauan ketersedian obat syok anafilaktik di setiap poli di puskesmas Kramat Jati. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode non-eksperimental yang dilakukan secara observasional yang bersifat kualitatif dengan cara pengamatan dan wawancara. Hasil penelitian ini menyarankan untuk mengubah waktu pemesanan obat-obat syok anafilaktik menjadi awal tahun agar tidak terjadi kekososngan obat. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan ketersediaan obat-obatan syok anafilaktik di puskesmas sudah sangat baik sesuai dengan formularium nasional serta distribusi obat yang sudah menyeluruh disetiap poli di puskesmas.

This study discusses the monitoring of the availability of anaphylactic shock drugs in each poly at the Kramat Jati health center. The method used in this study is a non-experimental method conducted in an observational manner that is qualitative in nature by means of observations and interviews. The results of this study suggest changing the time of ordering anaphylactic shock drugs to the beginning of the year to avoid drug shortages. Based on observations that have been made, the availability of anaphylactic shock drugs at the puskesmas is very good in accordance with the national formulary and the distribution of drugs that have been thoroughly distributed in every poly at the puskesmas.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Ramadhanti
"Syok anafilaktik, preeklampsia berat, dan perdarahan pascapersalinan merupakan contoh kasus kegawatdaruratan dimana keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan primer yang menjadi kontak pertama dengan masyarakat. Oleh karena itu, pentingnya untuk menyusun sebuah panduan sebagai gambaran dalam menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana yang tepat kepada para tenaga kesehatan yang diharapkan dapat mengurangi kejadian kegawatdaruratan. Penyusunan panduan dilakukan dengan cara penelusuran literatur kemudian menyaring informasi yang terpercaya dan menyusunnya dengan baik. Sehingga dihasilkan tiga sebuah panduan dalam penanganan syok anafilaktik, preeklampsia berat, dan perdarahan pascapersalinan yang masing-masing memuat informasi tentang penegakkan diagnosis, tanda dan gejala, tatalaksana terapi, dan juga upaya pencegahan yang dapat dilakukan. Panduan ini diharapkan dapat meningkatkan kolaborasi dalam menjalankan peran puskesmas promotif dan preventif.

Anaphylactic shock, severe preeclampsia, and postpartum hemorrhage are examples of emergency cases where the patient's clinical condition requires immediate medical action to save life and prevent disability. Subdistrict Health Center (Puskesmas) is a primary health care facility that is the first contact with the community. Therefore, it is important to develop a guide as an illustration in making a diagnosis and providing appropriate treatment to health workers which is expected to reduce the incidence of emergencies. The preparation of the guide was carried out by searching the literature, then filtering reliable information and compiling it well. As a result, three guidelines were produced for treating anaphylactic shock, severe preeclampsia, and postpartum hemorrhage, each of which contains information about making a diagnosis, signs and symptoms, therapeutic management, and also preventive measures that can be taken. It is hoped that this guide can increase collaboration in carrying out the promotive and preventive role of community health centers.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa Gozali
"Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan mengupayakan kesehatan masyarakat tingkat pertama secara promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Keadaan kegawatdaruratan medis memungkinkan pasien menunjukkan gejala yang ringan namun memburuk dengan cepat hingga mengancam nyawa. Emergensi kit dibutuhkan oleh puskesmas untuk penanganan kegawatdaruratan pasien yang mengalami syok anafilaktik, preeklamsia berat, dan hemorragic post partum. Tujuan penyusunan tugas khusus ini untuk mengevaluasi penggunaan obat dan BMHP dalam syok anafilaktik kit, preeklamsia berat set, dan hemorragic post partum set di Puskesmas Kecamatan Matraman periode April 2023 dibandingkan dengan standar pedoman di puskesmas. Metode penelitian ini menggunakan sampel berupa daftar obat dan BMHP syok anafilaktik kit, preeklamsia berat set, dan hemorragic post partum set yang tersedia di Puskesmas Kecamatan Matraman periode April 2023. Kebutuhan minimum dalam syok anafilaktik kit yang disediakan yaitu ringer laktat, NaCl 0,9%, epinefrin, difenhidramin HCl, deksametason, infus set, IV, dan spuit. Kebutuhan minimum dalam preeklamsia berat set yang disediakan yaitu ringer laktat, MgSO4 40%, kalsium glukonat 10% injeksi, transfusi set, IV catheter, folley catheter, kantong urin dewasa, spuit, aquabidest, film IV dressing/Tegaderm, dan sarung tangan steril. Kebutuhan minimum obat dan BMHP dalam hemmoragic post partum set yang disediakan oleh yaitu ringer laktat, NaCl 0,9%, aquabidest, transfusi set, infuset dewasa, IV catheter no. 18, folley catheter no. 16, kantong urin dewasa, film IV dressing/Tegaderm, kondom kateter, sarung tangan steril, dan spuit. Kesimpulan yang diperoleh yaitu sebagian besar daftar obat dan BMHP dalam emergensi kit sudah sesuai dengan standar pedoman PONED dalam penanganan kegawatdaruratan pasien.

Health center, as a health service facility, strives for first-level public health in a promotive, preventive, curative, and rehabilitative manner. A medical emergency allows patients to show mild symptoms but quickly worsen to the point of being life-threatening. Emergency kits are needed by health centers to treat patients experiencing anaphylactic shock, severe preeclampsia, and postpartum hemorrhage. The purpose of this assignment is to evaluate the use of drugs and BMHP in anaphylactic shock kits, severe preeclampsia kits, and postpartum hemorrhagic kits at the Matraman District Health Center for the period April 2023 compared to the standard guidelines at the health center. This research method uses samples in the form of a list of drugs and BMHP anaphylactic shock kits, severe preeclampsia sets, and hemorrhagic postpartum sets available at the Matraman District Health Center for the period April 2023. The minimum requirements for the anaphylactic shock kits provided are Ringer's lactate, NaCl 0.9%, epinephrine, diphenhydramine HCl, dexamethasone, infusion set, IV, and syringe. The minimum requirements for severe preeclampsia are the sets provided Ringer's lactate, MgSO4 40%, calcium gluconate 10% injection, transfusion set, IV catheter, Folley catheter, adult urine bag, syringe, aquabidest, IV dressing/Tegaderm film, and sterile gloves. The minimum requirements for the hemorrhagic postpartum set are provided Ringer's lactate, NaCl 0.9%, Aquabidest, transfusion set, adult infusion set, IV catheter no. 18, Folley catheter no. 16, adult urine bag, IV dressing/Tegaderm film, catheter condom, sterile gloves, and syringe. The conclusion obtained is that the majority of the list of drugs and BMHP in the emergency kit is in accordance with the standard PONED guidelines for handling patient emergencies.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Sadikin
"Pendahuluan
Masalah terpenting sekarang ialah, bagaimana mengembangkan suatu teknik kuantitatif untuk mengukur konsentrasi asam folat dalam darah, dengan menggunakan sarana yang ada di kebanyakan laboratorium diagnostik di Indonesia. Secara lebih spesifik, hal tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : bagaimana caranya mengukur kadar asam folat dalam derah secara spektrofotometris ?
Tujuan dari penelitian yang dikerjakan ini ialah mengembangkan suatu cara untuk mengukur kadar asam folat dalam darah secara spektrofotometris, dengan menggunakan teknik Competitive Enzyme Ligand Binding Assay, yang analog dengan teknik Competitive Radio Ligand Binding Assay. Hanya saja, dalam teknik yang akan dikembangkan ini, alih-alih senyawa radioaktif, digunakan enzim tertentu yang dapat diukur secara spektrofotometer biasa sebagai senyawa penanda, yang diikatkan ke suatu kompetitor yang berupa asam folat. Dengan demikian, secara teoritis pengukuran kadar asam folat dalam darah tidak lagi memerlukan peralatan dan keterampilan khusus dan karena itu mestinya dapat dilakukan oleh laboratorium diagnostik biasa.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu protein khusus yang secara spesifik mampu mengikat asam folat. Dalam banyak hal, keperluan akan adanya protein seperti ini biasanya diselesaikan dengan cara membentuk antibodi spesifik terhadap senyawa yang akan diukur. Teknik ini sekarang secara luas dikenal dengan nama RIA (Radio Immuno Assay) bila menggunakan senyawa radioaktif sebagai penanda, dan EIA (Enzyme Immuno Assay) bila menggunakan enzim sebagai penanda. Dalam mengembangkan teknik pengukuran asam folat ini, keperluan akan adanya protein pengikat yang khan untuk asam folat ini dapat diselesaikan dengan cam yang lebih mudah. Antibodi untuk asam folat tidak perlu lagi dibua terlebih dahulu, oleh karena suatu protein pengikat folat ( PIF : Protein Butt Folat ) tersedia dalam susu sapi. Oleh karena itu, langkah pertama dalam penelitian yang dilaksanakan ini ialah memisahkan (isolasi) dan memurnikan (purilikasi) PIF dari susu sapi?.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M. Tatang Puspanjono
"Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan utama di Asia dan Pasifik khususnya Indonesia. Angka kematian sindom syok dengue (SSD) di rumah saldt masih tinggL Data di Departemen Jimu Kesehatan Anak FKUI/RSCM antara 1 Januari 2003 sampai dengan 30 Juni 2004 didapatkan jumlah kasus DBD yang dirawat sebanyak 263 pasien. Jumlah kasus SSD pada periode tersebut sebesar 31,7% DBD derajat III, diikuti DBD derajat 11 sebesar 30,7% dan DBD ensefalopati pada DBD derajat IV sebesar 1%.
Salah satu gangguan keseimbangan asam basa adalah asidosis laktat, suatu bentuk asidosis metabolik. Kondisi ini terjadi akibat akumulasi laktat yang disebabkan oleh hipoksia atau iskernia jaringan. Asidosis laktat erat hubungannya dengan akumulasi laktat di dalam cairan ekstraseluler, alcibat ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan pemakaian oksigen untuk kebutuhan metabolik. Kadar laktat darah telah banyak dipelajari dan digunakan sebagai petanda biokimia adanya hipoksia jaringan pada keadaan sakit gawat. Asidosis laktat dibuktikan sebagai faktor penyebab umum dan tersering dari berbagai keadaan sakit gawat. Hipoperfusi/ hipoksia jaringan menjadi dasar patogenesis dari berbagai kasus asidosis laktat.
Pengukuran laktat serial dapat memprediksi kemungkinan timbulnya syok septik dan gagal organ multipel Iebih baik dibandingkan pengukuran variabel-variabel transpor oksigen. Beratnya asidosis laktat dapat dilihat dari nilai pH darah, senjang anion, dan kadar laktat darah dengan metode kuantitatif. Pemantauan kadar laktat darah dapat membedakan pasienpasien yang akan tetap hidup dan pasien yang akan meninggal. Kadar laktat darah juga merupakan indikator yang lebih sensitif untuk daya tahan hidup dibandingkan dengan nilai rush jantung, hantaran oksigen, tumor necrosis factor a (TNF a), dan interleukin-6 (IL-6).
Kadar laktat darah dapat digunakan untuk evaluasi penilaian terhadap terapi syok. Pada syok septik penurunan kadar laktat darah saat terapi menandakan prognosis yang baik. Pemantauan kadar laktat darah langsung di sisi pasien penting untuk evaluasi terapi.
Penelitian kadar laktat darah serial pada penderita demam berdarah dengue sangat jarang dilaporkan. Setiati dkk dalam penelitiannya melaporkan pemeriksaan kadar laktat darah sebagai prediktor mortalitas DBD berat yang dirawat di pediatric intensive care unit (PICLI) maupun di intermediate emergency care unit. Parameter yang diperiksa meliputi kadar laktat darah, analisis gas darah, elektrolit, hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang diperiksa saat masuk, saat perburukan dan saat pasien keluar dari unit perawatan. Didapatkan peningkatan kadar laktat darah pada penderita dengan serologi dengue blot yang positif. Pada keadaan hipoksia terjadi metabolisme anaerob diikuti peningkatan senjang anion. Didapatkan korelasi kuat antara kadar laktat darah dengan saturasi 02 (r = -0,77) dan senjang anion (r = 0,79).
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat perbedaan kadar laktat darah serial pada penderita DBD tanpa syok dan SSD?
2. Apakah terdapat hubungan kadar laktat darah dengan variabel faktor terjadinya syok pada DBD (kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit, Pa02, saturasi 02, dan senjang anion darah) ?
3. Berapa kadar laktat darah pada penderita DBD anak yang dapat digunakan sebagai petanda memburuknya perjalanan penyakit/syok pada DBD?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18024
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Tatang Puspajono
"Demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan utama di Asia dan Pasifik khususnya Indonesia. Angka kematian sindom syok dengue (SSD) di rumah sakit masih tinggi. Data di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM antara 1 Januari 2003 sampai dengan 30 Juni 2004 didapatkan jumlah kasus DBD yang dirawat sebanyak 263 pasien. Jumlah kasus SSD pada periode tersebut sebesar 31,7% DBD derajat III, diikuti DBD derajat II sebesar 30,7% dan DBD ensefalopati pada DBD derajat 1V sebesar 1%.
Salah satu gangguan keseimbangan asam basa adalah asidosis laktat, suatu bentuk asidosis metabolik. Kondisi ini terjadi akibat akumulasi laktat yang disebabkan oleh hipoksia atau iskemia jaringan. Asidosis laktat erat hubungannya dengan akumulasi laktat di dalam cairan ekstraseluler, akibat ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan pemakaian oksigen untuk kebutuhan metabolik. Kadar laktat darah telah banyak dipelajari dan digunakan sebagai petanda biokimia adanya hipoksia jaringan pada keadaan sakit gawat. Asidosis laktat dibuktikan sebagai faktor penyebab umum dan tersering dari berbagai keadaan sakit gawat. Hipoperfusi/hipoksia jaringan menjadi dasar patogenesis dari berbagai kasus asidosis laktat.
Pengukuran laktat serial dapat memprediksi kemungkinan timbulnya syok septik dan gagal organ multipel lebih baik dibandingkan pengukuran variabel-variabel transpor oksigen. Beratnya asidosis laktat dapat dilihat dari nilai pH darah, senjang anion, dan kadar laktat darah dengan metode kuantitatif. Pemantauan kadar laktat darah dapat membedakan pasien-pasien yang akan tetap hidup dan pasien yang akan meninggal. Kadar laktat darah juga merupakan indikator yang lebih sensitif untuk daya tahan hidup dibandingkan dengan nilai curah jantung, hantaran oksigen, tumor necrosis factor a (TNF a), dan interleukin-6 (TL-6)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuty Rahayu
"Latar belakang Hiperglikemia pada anak sepsis dan syok septik merupakan keadaan yang sering ditemukan serta mempunyai luaran yang buruk. Patofisiologinya belum jelas mungkin berbeda dengan dewasa yaitu terdapatnya hipofungsi sel beta pankreas dibandingkan dengan resistensi insulin.
Tujuan Mengetahui adanya hipofungsi sel beta pankreas dengan didapatnya penurunan kadar insulin melalui pemeriksaan kadar C peptida pada anak sepsis dan syok septik dengan hiperglikemiaMetode. Penelitian dilakukan di PICU Pediatric Intensive Care Unit dan IGD Instalasi Gawat Darurat. Penelitian ini merupakan suatu uji deskriptif analitik dengan memeriksa kadar C peptida pada anak sepsis dan syok septik dengan hiperglikemia Kadar gula darah dan C peptida diperiksa secara periodik selama 48 jam
Hasil Hiperglikemia dan penurunan kadar C peptida ditemukan pada 59 dan 52 pasien anak dengan sepsis dan syok septik Keadaan hiperglikemia hanya ditemukan pada 12 jam pertama perawatan. Perbedaan kadar gula darah dan C peptide tampak pada 1 jam pertama yaitu 229 vs 192 mg dl dan 0 5 vs 1 5 ng ml nilai p 0 409 p 0 025 Skor PELOD lebih tinggi pada kadar C peptida rendah 11 vs 1. Penggunaan ventilator inotrops kortikosteroid dan lama rawat PICU tidak terdapat perbedaan pada kedua kelompok.
Simpulan Terdapat penurunan kadar C peptida di bawah normal pada anak sepsis dan syok septik dengan hiperglikemia dan meningkat ke normal dalam 48 jam Penurunan gula darah terjadi 12 jam pertama hal ini menunjukkan perlunya infus glukosa pada keadaan akut sepsis. Apakah hiperglikemia merupakan respons normal tubuh dan hipofungsi sel beta pankreas akibat beratnya penyakit pada anak sepsis perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

Background Hyperglycemia in children sepsis is a condition that is often found Pathophysiology is unclear may differ from the adult that the presence of hypofunction of pancreatic beta cells compared with insulin resistance.
Objective To determine the hypofunction pancreatic beta cells with decreased levels of C peptide insulin in children with sepsis hyperglycemiaMethods The study was conducted in the PICU and ER. This study was a descriptive analytic test by examining the levels of C peptide in children with sepsis hyperglycemia Checked blood sugar levels and C peptide during 48 hours on a periodic basis.
Results Hyperglycemia and decreased levels of C peptide were 59 and 52 in children with sepsis respectively Hyperglycemia was found only in the first 12 hours Differences in blood sugar levels 229 vs 192 mg dl p value 0 409 and C peptide 0 5 vs 1 5 ng ml p value 0 025 appeared at the first 1 hour. Further analysis between normal and low C peptide showed PELOD score was higher in low C peptide level 11 vs 1. Ventilators inotrops corticosteroids and PICU LOS was should no difference in the two groups.
Conclusions There was a decrease in C peptide level below normal in children with sepsis hyperglycemia and increased to normal within 48 hour. The decrease in blood sugar occurs in the first 12 hours which demonstrates the need for infusions of glucose in acute sepsis Further research whether hyperglycemia was a normal response of the body and hypofunction pancreatic beta cells due to the severity of the disease in children sepsis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Andriamuri Primaputra
"Latar Belakang. Pasien yang mengalami sepsis dan syok sepsis akan mengalami disfungsi organ akibat reaksi radikal bebas dengan sel endotel mikrovaskular sehingga menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Kondisi difungsi organ dapat diukur melalui perubahan kadar Interleukin-6 (IL-6), C-Reactive Protein (CRP), dan skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) yang terjadi pada pasien-pasien tersebut. Pemberian asam askorbat yang memiliki kemampuan sebagai free radical scavenging, diharapkan dapat menurunkan proses peradangan atau inflamasi sehingga terjadi perbaikan fungsi organ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena terhadap perubahan kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.
Metodologi. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan desain uji acak terkontrol, tersamar tunggal yang dilakukan terhadap pasien usia 18-65 tahun dengan diagnosis sepsis atau syok sepsis dalam perawatan 24 jam pertama masuk intensive care unit (ICU) RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta dan ICU RSUP H. Adam Malik-Medan sejak bulan Juli sampai dengan Desember 2019. Sebanyak 49 subyek dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok perlakuan (n=23), yang menerima vitamin C 1,5 gram per 6 jam selama 3 hari, dan kelompok kontrol (n=26), yang tidak menerima vitamin C tersebut. Pemeriksaan kadar IL-6, kadar CRP, dan skor SOFA dilakukan pada jam ke-24, 48, dan 72.
Hasil. Tidak terdapat perubahan bermakna pada kadar IL-6 (P=0,423), CRP (P=0,080), dan skor SOFA (P=0,809) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.
Kesimpulan. Pemberian asam askorbat 6 gram secara intravena tidak memberikan perubahan bermakna terhadap kadar IL-6, CRP, dan skor SOFA pada pasien sepsis dan syok sepsis di ruang perawatan intensif.

Background. Septic and septic shock patients will have organ dysfunctions due to free radical reaction with microvacular endothelial cells, thus morbidity and mortality rate will increase in these conditions. Those organ dysfunctions can be measured through the changes of Interleukin-6 (IL-6) levels, C-Reactive Protein (CRP) levels, and Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scores. The administration of ascorbic acid has a feature known as free radical scavenging. The feature is expected to reduce the inflammatory rate in the organs and to improve the functions. This study was aimed to analyze the intravenous administration effect of 6 grams of ascorbic acid towards the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit
Methods. This was a single blind randomized controlled clinical trial study on patients aged 18-65 years old with septic and septic shock conditions in the first 24 hour care in intensive care unit (ICU) Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital-Jakarta and H. Adam Malik Hospital-Medan from July to December 2019. In total, 49 subjects were included in the study and randomized into two groups. Intervetion group (n=23) received 1.5 gram/6 hours of vitamin C in three days consecutively, whereas the control group (n=26) did not receive the vitamin C. Measurements of IL-6 levels, CRP levels, and SOFA scores were performed in the 24th, 48th, and 72th hour.
Results. There were no significant changes of IL-6 levels (p=0.423), CRP levels (p=0.080), and SOFA scores (p=0.809) between the two groups.
Conclusion. The intravenous administration of 6 grams of ascorbic acid did not significantly affect the changes of Interleukin-6 levels, C-Reactive Protein levels, and SOFA scores in septic and septic shock patients in intensive care unit.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>