Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 77967 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Friasti Fathma
"ABSTRAK
Dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, maka berkembang pulalah peralatan yang dipergunakan oleh dokter untuk meningkatkan taraf kesehatan dan Kehidupan masyarakat. peralatan baru di bidang kedokteran dapat berupa peralatan diagnostik maupun terapeutik.
Sesuai dengan judul penelitian ini, akan dibicarakan suatu peralatan terapeutik yang menggunakan arus listrik, karena itu disebut juga ?Elektro-Terapi?. Salah satu jenis elektro-terapi yang dipergunakan di Unit Rehabilitasi Medis saat ini adalah penggunaan arus listrik untuk pemanasan jaringan ("diathermy") dengan mengubah arus listrik menjadi arus elektromagnetik gelombang pendeK ("Snort Wave Diathermy") atau elektromagnetiK gelombang mikro ("Micro Wave Diathermy").
Diatermi dengan arus listrik ini banyak digunakan pada pengobatan penyakit kolagen, seperti rheumatoid arthritis, atau pada kontraktur akibat fibrotik jaringan Rat. Tapi akhir-akhir ini, diatermi juga banyak digunakan pada kasus sinusitis paranasaiis, terutama pada jenis sub-akut atau pada sinusitis dengan penyembuhan yang tidak sempurna dimana terapi nyeri yang menetap atau Kronis(16,22,35,3 ). Sedangkan secara Minis, masalah yang dihadapi Para penderita sinusitis maksilaris sub-akut, selain gejala radang pada umumnya, yaitu adanya rasa nyeri atau tidak menyenangkan di daerah sekitar hidung atau sakit kepala. Keluhan gejala ini akan mengganggu pasien dalam melaksanakan kegiatan aktifitas sehari-hari.
Juga, adanya kecenderungan sinusitis maksilaris sub-akut rnenjadi Kronis, karena terdapat penumpukan infiltrat peradangan di dalam rongga sinus maksilaris yang sukar mengalir keluar. Hal ini dapat terjadi pada sinus maksilaris karena ostium yang tersumbat akibat edema mukosa, maupun karena faktor anatomis seperti lantai sinus maksilaris yang terletak lebih rendah dari ostium maupun dasar rongga hidung (37).
Secara teoritis,diatermi pada sinusitis maksilaris sub-akut akan membantu mempercepat proses penyembuhan karena mempunyai efek memperbaiki sirkulasi darah, menghilangkan nyeri, menghilangkan edema dan mempercepat penyerapan eksudat, sehingga terapi antibiotik akan menjadi lebilh efektif.
Karena itu, penelitian ini dilakukan dengan membandingkan pasien sinusitis sub-akut yang diberi pengobatan, diatermi disamping terapi medikamentosa yang lazim dengan kelompok pasien yang hanya mendapat terapi medikamentosa. Tujuan penelitian ini, secara umum adalah untuk membantu upaya peningkatan kualitas pengobatan serta mempercepat proses penyembuhan sinusitis maksilaris sub-akut di Indonesia.
Sedangkan secara khusus, akan dapat menguji kebenaran hipotesa bahwa penggunaan diatermi disamping terapi lazim lainnya akan membantu mempercepat proses penyembuhan sinusitis maksilaris sub-akut. Sehingga pada akhir uji klinik ini diharapkan dapat diketahui seberapa jauh tingkat efektifitas pemakaian diatermi sebagai pengobatan tambahan pada sinusitis maksilaris sub-akut dan gejala samping apa yang timbul akibat pemberian diatermi pada penderita sinusitis maksilaris sub-akut. "
Lengkap +
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Rahmah
"Perubahan-perubahan pada aspek perkembangan usia remaja dapat memicu terjadinya stres dan mengarah pada perilaku berisiko seperti merokok, minum minuman keras, dan penyalahgunaan NAPZA. Terapi kelompok terapeutik dan problem-solving therapy merupakan tindakan spesialis keperawatan jiwa yang diharapkan mampu meningkatkan aspek perkembangan dan kemampuan penyelesaian masalah untuk mencegah penggunaan NAPZA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi kelompok terapeutik dan problem-solving therapy terhadap aspek perkembangan, kemampuan penyelesaian masalah, dan penggunaan NAPZA dalam pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada remaja di SMK. Desain penelitian yang digunakan yaitu quasi experimental pre-post test with control group. Sebanyak 125 remaja dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan terapi kelompok terapeutik dan problem-solving therapy dan kelompok yang mendapatkan terapi kelompok terapeutik. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan systematic random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan aspek perkembangan dan kemampuan penyelesaian masalah secara bermakna setelah mendapatkan terapi kelompok terapeutik namun masih belum optimal (p value < 0,05); peningkatan aspek perkembangan dan kemampuan penyelesaian masalah secara bermakna setelah mendapatkan terapi kelompok terapeutik dan problem-solving therapy namun masih belum optimal (p value < 0,05); peningkatan aspek perkembangan dan kemampuan penyelesaian masalah pada remaja yang mendapatkan terapi kelompok terapeutik dan problem-solving therapy lebih tinggi secara bermakna (p value < 0,05) dibandingkan remaja yang mendapatkan terapi kelompok terapeutik; penggunaan NAPZA pada remaja setelah mendapat terapi kelompok terapeutik ditemukan ada 2 orang pada kategori rendah; penggunaan NAPZA pada semua remaja yang mendapatkan terapi kelompok terapeutik dan problem-solving therapy dapat bertahan pada kategori bersih dari NAPZA, sedangkan pada remaja yang mendapatkan terapi kelompok terapeutik ditemukan ada 4 orang pada kategori rendah. Terapi kelompok terapeutik dan problem-solving therapy direkomendasikan sebagai tindakan pencegahan penyalahgunaan NAPZA pada remaja di sekolah menengah kejuruan.

Changes in the developmental aspects of adolescence can trigger stress and lead to risky behaviors such as smoking, drinking alcohol, and drug abuse. Therapeutic group therapy and problem-solving therapy are the intervention of psychiatric nursing specialists which are expected to be able to improve developmental aspects and problem-solving abilities to prevent drug use. This study aimed to determine the effect of therapeutic group therapy and problemsolving therapy on aspects of development, problem-solving ability, and the use of drugs in preventing drug abuse in adolescents in vocational high schools. The research design was used a quasi-experimental pre-post test with the control group. 125 adolescents were divided into 2 groups, one group received therapeutic group therapy and problem-solving therapy and the others received therapeutic group therapy. Sampling technique used purposive sampling and systematic random sampling.
The results showed significantly increased in the developmental aspects and the ability to solve problems after receiving therapeutic group therapy but still not optimal (p-value <0.05); the developmental aspects and the ability to solve problems increase significantly after getting therapeutic group therapy and problem-solving therapy but still not optimal (p-value <0.05); there was significantly increase in developmental aspects and the ability to solve problems in adolescents who received therapeutic group therapy and problemsolving therapy was higher (p-value <0.05) than adolescents who only received therapeutic group therapy; drug use in adolescents found there were 2 people in the low category after receiving therapeutic group therapy; drugs use in all adolescents who get therapeutic group therapy and problem solving therapy can survive in the "none" category of drugs, whereas in adolescents who get therapeutic group therapy found there was 4 people in low category. Therapeutic group therapy and problem-solving therapy are recommended as a drug use prevention for adolescents in vocational high schools.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denny Paul Ricky
"Pelayanan stimulasi perkembangan anak di Kelurahan Campaka belum tersedia. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi kelompok terapeutik dan token economy terhadap pencapaian aspek perkembangan dan tugas perkembangan anak usia prasekolah (inisiatif). Desain penelitian adalah Quasi-experimental pre-test-post-test with non equivalent control group. Responden pada penelitian ini adalah 50 pasang anak usia prasekolah didampingi ibu yang diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Sebanyak 24 pasang anak dan ibu mendapatkan terapi kelompok terapeutik dan token economy sedangkan 26 pasang anak dan ibu tidak mendapat terapi kelompok terapeutik dan token economy. Analisa yang digunakan adalah uji independent t-test dan paired t-test. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan secara bermakna pencapaian aspek perkembangan dan perkembangan inisiatif pada kelompok yang mendapatkan terapi kelompok terapeutik dan token economy (p-value < 0.05). Peningkatan ini lebih tinggi secara bermakna dari kelompok yang tidak mendapatkan terapi kelompok terapeutik dan token economy. Peningkatan aspek perkembangan anak mempunyai hubungan sedang yang bermakna kepada pencapaian perkembangan inisiatif anak usia prasekolah. Terapi kelompok terapeutik dan token economy dapat menjadi salah satu pilihan terapi untuk meningkatkan pencapaian aspek perkembangan dan tugas perkembangan anak usia prasekolah.

Child stimulation development services in Campaka District was not available yet. The aims of this research is to know the effect of therapeutic group therapy and token economy to developmental aspects and developmental task of preschoolers: initiative. This research uses quasi-experimental with control group. Respondents in this study were 50 pairs of mother and school-age children which is taken using consecutive sampling technique. There were 24 pairs who received therapeutic group therapy and token economy and 26 pairs who did not receive therapy. Independent t-test and paired t-test were used for analysis. The result showed developmental aspects and developmental of initiative in preschoolerswas significantly higher in the group receiving therapeutic group therapy and token economy than the group who did not receive therapy(p-value < 0.05). Developmental aspects has a significant relationship to development of initiative in preschoolers. Therapeutic group therapy and token economy can be one therapeutic option to improve develompental aspects and developmental task of preschoolers."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iman Firmansyah
"Penelitian ini untuk mendapatkan perbedaan program Therapeutic Community (TC) dan terapi rumatan metadon terhadap kualitas hidup pada individu dengan ketergantungan opioid yang mendapatkan TC dan terapi rumatan metadon. Penelitian merupakan studi komparatif dengan menggunakan consecutive sampling dan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional). Hasil penelitian didapatkan program Therapeutic Community pada individu dengan ketergantungan opioid mempunyai nilai rerata WHOQOL yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan program metadon pada semua domain yang dinilai yaitu domain fisik, domain psikologis, domain hubungan sosial, dan domain lingkungan namun hanya domain fisik saja yang terbukti berbeda bermakna secara statistik. Perlu adanya penelitian untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhinya. "
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho
"Noodtoestand atau keadaan darurat adalah keadaan di mana suatu kepentingan/kewajiban hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataannya melanggar kepentingan/kewajiban hukum yang lain. Alasan penghapus pidana ini diatur pada Pasal 48 KUHP Lama dan Pasal 42 KUHP Baru, dengan penjelasan-penjelasan lain yang termuat pada doktrin. Konsep ini dapat dihubungkan dengan penggunan ganja sebagai pengobatan (medical cannabis) pada penyakit kronis, karena dari satu sisi penggunaan Ganja dalam bentuk apapun berlawanan dengan kewajiban hukum mematuhi UU 35  tahun 2009 tentang Narkotika. Namun pada sisi lain, ada penyakit kronis yang dapat mengancam nyawa dan tidak dapat diobati dengan obat-obatan konvensional, seperti epilepsi dan penyakit pada sistem saraf pusat lainnya. Penggunaan ganja dalam kondisi darurat harus memenuhi prinsip proporsionalitas, subsidiaritas,culpa in causa, dan garantenstellung yaitu prinsip dalam keberlakuan daya paksa dan keadaan darurat. Konsep alasan penghapus pidan ini akan diteliti melalui membandingkan dengan Inggris karena kemiripan alasan penghapus di kedua negara, kasus-kasus yang serupa, dan perkembangan pengaturan ganja di Inggris yang mirip dengan Indonesia. Penelitian akan ditutup dengan analisis terhadap tiga putusan pengadilan di Indonesia mengenai penggunaan ganja untuk pengobatan, yaitu Kasus Liston Sembiring, Fidelis Arie Sudewarto, dan Dimas Muhammad Akmal.

Noodtoestand, or state of emergency, is a situation in which a legal interest or legal obligation is threatened by danger, and to avoid the threat of danger, a deed is committed which in fact violates another legal interest or obligation. This reason for criminal extinction is regulated in Article 48 of the Old Indonesia Criminal Code and Article 42 of the New Indonesia Criminal Code, with other explanations contained in the doctrine. This concept is closely related to the context of the use of marijuana as a treatment (medical cannabis) for chronic diseases because on the one hand, the use of Marijuana in any form is contrary to the legal obligation to comply with Law No. 35 of 2009 on Narcotics. However, on the other hand, there are chronic diseases that can be life-threatening and cannot be treated with conventional drugs, such as epilepsy and diseases of the central nervous system. The use of marijuana in an emergency must meet the principles of proportionality, subsidiarity, and culpa in causa, which are the principles of the validity of a state of emergency. The concept of this reason for criminal extinction will be examined by comparing it with England because of the similarity of the reasons for extinction in both countries, similar cases, and the development of marijuana regulations in England that are similar to Indonesia. The research will be concluded with an analysis of three court decisions in Indonesia regarding the use of marijuana for treatment, namely the Liston Sembiring Case, the Fidelis Arie Case, and the Dimas Muhammad Case."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachrudin Ali Ahmad
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang penggunaan jamu untuk pengobatan pada pasien di
Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus Tawangmangu tahun 2012. Penelitian
ini adalah penelitian kualitatif menggunakan pendekatan Rapid Assesment
Procedures (RAP). Hasil penelitian menemukan bahwa jamu yang digunakan
untuk pengobatan sudah dirasakan manfaatnya dengan efek samping yang ringan,
serta jamu yang paling banyak digunakan adalah sediaan godokan. Hal yang
mendukung penggunaan jamu untuk pengobatan adalah pengetahuan terhadap
tanaman obat, persepsi terhadap jamu, informasi mengenai klinik dan fasilitas
pelayanan yang tersedia, keterjangkauan akses, adanya keluhan sakit serta
keinginan untuk sembuh. Saran dari penelitian ini perlunya edukasi kepada
masyarakat dan penambahan Klinik Saintifikasi Jamu yang terjangkau

ABSTRACT
This thesis discusses the use of Jamu for treatment on patients at The Hortus
Medicus Jamu Scientification Clinic in 2012. The study was a qualitative research
using Rapid Assessment Procedures (RAP) approach. The study found that Jamu
medicine used for treatment has already felt the benefit with low side effects, as
well as the most widely used Jamu preparations is boiling. Factors encouraged the
use of Jamu medicine for treatment are the knowledge of medicinal plants, Jamu
perception, the availability of information on clinical and service facilities, the
affordability of access, the pain complaints and the desire to recover. There is a
need to educate people and increasing an affordable Jamu Scientification Clinic"
Lengkap +
2012
T31270
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Prima Irmawati
"Latar Belakang. Trikuriasis sulit diobati dengan antihelmintik dosis tunggal. Tingkat kesembuhan yang lebih tinggi dapat dicapai dengan pengobatan albendazol dan mebendazol triple dose, tetapi, hasil antar penelitian tidak konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas albendazol dan mebendazol triple dose pada trikuriasis. Metode. Penelitian randomized controlled trial telah dilaksanakan
di sekolah dasar di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, Indonesia pada Juli- Agustus 2018; melibatkan 382 anak. Sampel feses diambil dan diperiksa secara mikroskopis dengan metode Kato Katz untuk mengidentifikasi keberadaan telur. Feses yang positif T.trichiura diacak dan dibagi menjadi: kelompok yang diberikan albendazol 400 mg dan mebendazol 500 mg triple dose. Pada hari ke-14 pasca pengobatan, sampel feses diperiksa kembali untuk menghitung tingkat kesembuhan
dan laju penurunan telur. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20. Hasil. Prevalensi infeksi soil transmitted helminths adalah 42%, trikuriasis adalah 25,1%, dan askariasis adalah 29,8%. Terdapat perbedaan yang signifikan pada intensitas infeksi (uji Wilcoxon, p<0,01) sebelum dan sesudah intervensi. Kedua kelompok menunjukkan tingkat kesembuhan (mebendazol 95,2%, albendazol 85,4%, uji Fisher Exact, p=0,125) dan laju penurunan telur yang tinggi (mebendazol 99%, albendazol 96%, uji Mann Whitney, p=0,110). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kesembuhan dan laju penurunan telur. Kesimpulan. Albendazol triple dose memiliki efektivitas yang sama dengan mebendazol triple
dose pada pengobatan trikuriasis.

Background. Trichuriasis is difficult to treat with a single dose of anthelmintic. Higher cure rates were achieved with triple-dose albendazole and mebendazole treatment, however, results between studies were inconsistent. This study aimed to evaluate the effectiveness of albendazole and mebendazole triple dose in tricuriasis. Method. A randomized controlled trial has been conducted
at an elementary school in Pandeglang Regency, Banten Province, Indonesia in July-August 2018; involving 382 children. Stool samples were taken and examined microscopically by the Kato Katz method to identify the presence of eggs. Stools that were positive for T. trichiura were randomized and divided into: groups given albendazole 400 mg and mebendazole 500 mg triple dose. On the 14th post-treatment day, the stool sample was re-examined to calculate the cure rate
and egg drop rate. Data were analyzed using SPSS version 20. Results. The prevalence of soil-transmitted helminths infection was 42%, trichuriasis was 25.1%, and ascariasis was 29.8%. There was a significant difference in the intensity of infection (Wilcoxon test, p<0.01) before and after the intervention. Both groups showed cure rates (mebendazole 95.2%, albendazole 85.4%, Fisher's Exact test, p=0.125) and high egg decline rates (mebendazole 99%, albendazole 96%, Mann Whitney test, p=0.110). There was no significant difference in the cure rate and egg decline rate. Conclusion. Triple dose albendazole has the same effectiveness as mebendazole triple
dose in the treatment of trichuriasis.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedeh Endawati
"Kegagalan pengobatan dengan klorokuin dapat disebabkan oleh faktor hospes dan faktor parasit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui absorpsi obat pada hari ke-3 dan kadarnya pada hari rekurens dari penderita malaria falsiparum dan vivaks yang diobati klorokuin.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai September 2002 di puskesmas Hanura, propinsi Lampung, Indonesia. Enam puluh enam penderita terdiri dari 33 malaria falsigarum dan 33 malaria vivaks diberikan klorokuin dengan dosis standar (25 mg/kgbb, selama 3 hari). Pasien diamati secara klinis dan parasitologi selama 28 hari dan diambil darah pada hari ke-0, 2, 3, 7, 14, 21, 28. Empat puluh sembilan dari 66 penderita malaria mengalami kegagalan pengobatan yaitu 25 penderita malaria falsiparum dan 24 penderita malaria vivaks. Kadar klorokuin diukur dengan HPLC sesuai metode Patchen pada hari ke-0, 3, 28 dan saat terjadi rekurens.
Absorpsi klorokuin (1-13) ditemukan tidak adekuat pada 54,5% (18/33) penderita malaria falsiparum dan 94,4 % (17/18) penderita tersebut mengalami kegagalan pengobatan. Sedangkan dari 51,5% (17/33) penderita malaria vivaks yang absorpsinya in adekuat terclapat 82% (14/17) mengalami kegagalan pengobatan. Hampir seluruh (96%=24/25) penderita malaria falsiparum yang gagal mempunyai kadar klorokuin 2200 ng/ml pada hari rekurens. Sedangkan pada penderita malaria vivaks 79% (19/24) kadar klorokuin darah lebih besar dari 100 ng/ml pada waktu terjadi rekurens.
Penelitian di Lampung Selatan ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa kegagalan pengobatan klorokuin terutama disebabkan oleh absorpsi klorokuin yang inadekuat.

Therapeutic failure with chloroquine thempy of malaria can be caused by hospes and parasite factor. The aim of this study is to know drug absorptions on day-3 and drug levels on recurrent days For falciparum and vivax malaria patiens treated by chloroqune.
The study was conducted during June and September 2002 in Hanura health center, Lampung province, Indonesia. Sixty-six patients consisted of 33 malaria falciparum patients and 33 malaria vivax patients administered supervised standard chloroquine therapy (25 mg/kg, for 3 days) and followed clinically and parasitologically for 28 days. Blood sample of all pateints were taken on day-0, 2, 3, 7, 14, 21 and 28. Forty-nine of 66 patients had therapeutic Failure, consisted of 25 falciparum malaria and 24 vivax malaria patients. Whole blood chloroquine concentrations were measured by HPLC according to method of Patchen on day-0, 3, 28 and on the day of reccurance.
It was found 54,5% (18/33) falciparum malaria patients had inadequate chloroquine absorptions and from those number 94,4% (17/18) patients had therapeutic failure, whereas 51,5% (17/33) vivax malaria patients had inadequate chloroquine absorptions, there were 82% (14/17) had therapeutic failure. Most of the falciparum malaria patients (96%=24/25) who failed had chloroquine level 2200 ngfml on recurrent days, whereas 79% (19/24) vivax malaria patients had chloroquine level 2100 ng/ml on recurrent days.
The result of this study in South Lampung requires further data in order to clarify that chloroquine therapeutic failure is especially caused by inadequate chloroquine absorptions."
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16247
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Gustia Arminda
"Human Immunodeficiency Virus (HIV) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS dapat meningkatkan kegagalan pengobatan baik klinis, imunologi, maupun virologi, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta resisten terhadap terapi antiretroviral. Kejadian loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS yang menjalani pengobatan ARV di Kota Medan sebesar 21% pada tahun 2021 dan mengalami peningkatan pada tahun 2022 menjadi 26%. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui determinan loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS yang menjalani pengobatan ARV di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2018 – 2022. Desain studi penelitian ini adalah kohort retrospektif pada 383 pasien HIV/AIDS yang memulai pengobatan ARV di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2018 - 2022. Data yang digunakan adalah data sekunder meliputi SIHA, rekam medis, dan formulir ikhtisar follow-up perawatan pasien HIV dan terapi ARV. Proporsi pasien HIV/AIDS yang mengalami loss to follow-up sebesar 39,3% dan probabilitas loss to follow-up sebesar 52%. Pada analisis multivariat dengan cox proportional regression, usia > 30 tahun (aHR=1,4; 95% CI: 1,010-1,938) dan jumlah CD4 < 200 sel/mm3 (aHR=1,66; 95% CI: 1,184-2,331) secara signifikan merupakan faktor penyebab terjadinya loss to follow-up. Diperlukan peningkatan upaya pendampingan untuk menghindari terjadinya loss to follow-up terutama pada pasien usia lebih tua dan jumlah CD4 < 200 sel/mm3.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) is still a major public health problem that attacks the immune system. Loss of follow-up in HIV/AIDS patients can increase clinical, immunological and virological treatment failure, increase morbidity and mortality, and become resistant to antiretroviral therapy. The incidence of loss to follow-up in HIV/AIDS patients undergoing ARV treatment in Medan City was 21% in 2021 and will increase in 2022 to 26%. The aim of this study was to determinants of loss to follow-up in HIV/AIDS patients on antiretroviral treatment at RSUD Dr. Pirngadi Medan 2018 – 2022. The study design of this research was a retrospective cohort of 383 HIV/AIDS patients who started ARV treatment at RSUD Dr. Pirngadi Medan 2018 - 2022. The data used is secondary data including SIHA, medical records, and an overview form of follow-up care for HIV patients and ARV therapy. The proportion of HIV/AIDS patients of loss to follow-up was 39.3% and the probability of loss to follow-up was 52%. In multivariable cox proportional regression analysis, age > 30 years (aHR=1,4; 95% CI: 1,010-1,938) and a low CD4 count (aHR=1,66; 95% CI: 1,184-2,331) were found to be a significant predictors of loss to follow-up. Increased assistance efforts are needed to avoid loss to follow-up, especially in patients who are older and have a CD4 count < 200 sel/mm3."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helio Sarmento Freitas Guterres
"Latar belakang : Peresepan antibiotik (AB) yang tidak tepat umum terjadi di seluruh dunia dan berkontribusi pada meningkatnya organisme yang resisten. Diperlukan sistem surveilans untuk memantau penggunaan AB dan resistensi untuk pengambilan keputusan yang tepat.
Indonesia belum pernah menerapkan Point prevalence survey (PPS) dalam evaluasi AB dan resistensi. Tujuan: untuk mengetahui profil penggunaan antibiotik dan resistensi mikroorganisme di rumah sakit menggunakan metode PPS
Metode : penelitian potong lintang. Dilakukan pengumpulan data demografi, penggunaan antibiotik dan kultur resistensi mikroorganisme menggunakan formulir PPS.
Hasil : Pada hari penelitian dilakukan survei terhadap 451 pasien, ditemukan 244 (54,1%) pasien mendapatkan AB dengan diagnosis paling banyak adalah pneumonia (25%). Alasan penggunaan antibiotik adalah untuk tatalaksana infeksi dari komunitas sebanyak 50,8%, infeksi dari fasilitas kesehatan sebanyak 15,5%, penggunaan AB sebagai profilaksis sebanyak 30,7% dan 3% tidak ditemukan alasan indikasi penggunaan AB. Diresepkan 368 AB, di mana
hanya 46 (12,5%) AB yang digunakan sebagai terapi definitif. Tiga AB yang paling sering digunakan adalah ceftriaxone (15,5%), levofloxacin 9,2% and ampicillin sulbactam 7,9%. Tanggal evaluasi penggunaan AB hanya tertulis pada 88 (22,3%) AB. Tidak tersedia pedoman
tatalaksana lokal sebanyak 83 (22,6%) penggunaan AB dan hanya 214 (58,2%) AB yang diresepkan sesuai dengan pedoman tata laksana lokal. Kami melakukan evaluasi terhadap 244 pasien yang menggunakan AB dan hanya 91 (38%) pasien yang dilakukan pemeriksaan kultur dan tes resistensi. Didapatkan 222 sampel, dimana 81 (36,5%) adalah steril. Tiga mikroorganisme terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae 47 (20,7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9,9%) dan Escherichia coli 20 (9%). Jumlah
mikroorganisme extended-spectrum β-lactamase (ESBL) didapatkan sebesar 21,4%, resisten terhadap karbapenem 12,5% dan Multiple drug resistance (MDR) sebesar 17,7%.
Kesimpulan : lebih dari setengah pasien yang disurvei menggunakan AB dan angka kepatuhan penggunaan antibiotik masih belum baik, evaluasi resistensi kuman terbatas karena jumlah sampel yang diperiksa kurang. Pelaksanaan PPS terbukti efektif dan efisien.

Background: Inappropriate antibiotic prescribing appears to be common worldwide and is contributing to the selection of resistant organisms. Surveillance systems to monitor antimicrobial use and resistance are needed to improve decision making and assess the effect of interventions. Point prevalence surveys (PPSs) in Indonesian hospitals have not yet been applied. Aim : to evaluate the antibiotic prescribing trends and microorganism resistance using PPS methods Methods: A one day, cross-sectional PPS was performed whereas total of 10 days were taken. Data on demographics, antimicrobial use and culture/resistance test of all adult inpatients were collected using a data collection form. Results: On the day of the study 451 adults patients were surveyed, 244 (54.1%) were received
368 antibiotics and the most common diagnosis was pneumonia (25%). Reasons of using the antibiotics were to treat community acquired infection (CAI) 50.8%, hospital acquired infection (HAI) 15.5%, prophylaxis 30.7% and 3% was unknown. 368 antibiotics prescriptions were issued, of which 46 (12.5%) were used for definitive therapy. The top three antibiotics prescribed were ceftriaxone (15.5%), levofloxacin 9.2% and ampicillin sulbactam 7.9%.
Review date of using antibiotics were performed in 88 (22.3%). Local guidelines was not available for 83 (22.6%) of prescribed antibiotics and among prescribed antibiotics with local guidelines available compliance was 214 (58.2%). We evaluate the culture test among those received antibiotics (244), 91 (38%) patients were
performed culture and resistance test. From these 222 samples of culture, 81 (36.5%) was sterile. The most three growth microorganisms were Klebsiella pneumoniae 47 (20.7%), Pseudomonas aeruginosa 22 (9.9%) and Escherichia coli 20 (9%). The number of extendedspectrum β-lactamase (ESBL) recorded at 21.4%, Carbapenem Resistanculture ce was 12.5% and Multiple drug resistance was 17.7%. Conclusions: more than half-of-patients surveyed by PPS in an hospital in Indonesia were on antibiotics, has a limitation due to availability of result and sample. Conducting PPS in teaching hospital proved to be effective and efficient.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>