Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 212713 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Djaka Soehendera
"Karya tulis ini menguraikan pengaruh program pembangunan terhadap aspek kehidupan penduduk desa Tabbeyan, khususnya akses mereka terhadap sumber daya, terutama sagu. Sebagai responnya, media 'sistem' kekerabatan yang ada kemudian diaktifkan oleh banyak penduduk dalam rangka mempermudah perolehan sumber daya (ekonomi). Perolehan sumber daya itu dianggap bertambah sulit (atau bertambah dibutuhkan), antara lain, karena adanya proses pembangunan yang dilaksanakan di desa Tabbeyan.
Tesis ini seolah-olah berfokus pada kaitan antara tiga aspek yang nampaknya otomatis berhubungan sebab-akibat; yaitu aspek program pembangunan, aspek 'sistem' kekerabatan dan aspek perolehan sumber daya (ekonomi, terutama sagu). Padahal bila diamati dengan seksama, uraian tesis ini berusaha menghindari anggapan terjadinya hubungan sebab akibat secara otomatis di antara ketiga aspek tersebut.
Fokus perhatian untuk analisa dan uraian tesis ini berlingkup pada aspek kekerabatan. Gejala proses kekerabatan itu sendiri pada sisi tertentu berkaitan dengan beberapa hal yang patut diberi perhatian, antara lain, apakah 'sistem' penggunaan nama fam (suku bosena) di belakang nama seseorang memang baru digunakan atau sudah dari sejak dulu. Hal lain misalnya, terjadi pula berbagai 'aturan' kekerabatan yang bila dilihat dari sudut disiplin hukum adat harusnya ditaati dan dilaksanakan, namun seringkali dilanggar.
Namun demikian, metode kajian terhadap 'sistem' kekerabatan ini bukan semata-mata dilaksanakan demi 'sistem' itu sendiri, tetapi akan disusuri kaitannya-langsung maupun tidak-dengan proses sosial lainnya. Jadi, kajian pada aspek kekerabatan itu dikaitkan dengan kegiatan ekonomi, upaya pelaksanaan pengamanan di desa, maupun dengan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemilik lang bina (hak milik atas tanah) serta hubungan-hubungan lainnya. Contohnya, ketika penduduk Tabbeyan mulai merasakan kelangkaan sagu (akhir 1988), maka sebagian dari mereka kemudian sengaja 'mengaktifkan' ikatan kekerabatan yang sudah ada, dan sebagian lagi mulai mengikutinya. Dengan memiliki hubungan kerabat pada pemilik lang bina (hak milik atas tanah), maka orang yang bersangkutan merasa ikut berwewenang untuk memperoleh sagu dari para kerabatnya. Dan, pada beberapa kesempatan upaya 'pengaktifan' ikatan kekerabatan ini juga dilakukan berkenaan dengan perolehan sumber daya (ekonomi) lain, seperti pinang, sirih, bahkan juga rokok, supermie dan sardines.
Namun demikian, pengaktifan ikatan kekerabatan yang ada pun, pada kenyataannya, tidak selalu menjadi media yang ampuh dalam mendapatkan berbagai sumber daya tersebut. Kadangkala, ikatan kekerabatan nampak tidak diperdulikan oleh beberapa orang pemilik lang bina (hak milik atas tanah).
Pengertian sistem dalam konteks 'sistem kekerabatan' pada tesis ini, lebih dilihat sebagai sesuatu yang dinamis, kadangkala (mungkin) 'bulat' namun seringkali bisa pula 'lonjong' maupun tidak selalu membentuk keteraturan. Karena pada kenyataannya, paling tidak seperti yang terurai pada karya tulis ini, terdapat berbagai variasi pada 'sistem' kekerabatan yang ada.
Analisa yang diterapkan pada karya tulis ini adalah lebih berlandaskan pada hasil-hasil kerja lapangan (field work) yang kemudian dapat disebut sebagai analisa terhadap data primer, dan tidak terlalu bertumpu pada analisa terhadap data tersier (yakni berupa teori general tertentu). Namun demikian, pada bagian-bagian tertentu, kajian ini dilengkapi pula dengan analisa terhadap data sekunder, misalnya mengenai asumsi-asumsi tertentu yang dimunculkan dari suatu kajian etnografis."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rondhi
"Melalui studi tentang mobilitas penduduk akan dapat diketahui pola tingkah laku mobilitas serta konsekuensinya (Hornby, 1980; Hugo, 1981; Abustam, 1989:1). Perlu diketahui bahwa perpindahan penduduk yang dimulai sejak beberapa tahun lalu telah mengakibatkan heteroginitas penduduk di beberapa wilayah di Indonesia (Mantra, 1984). Konsekuensi dari perpindahan penduduk tersebut di samping tidak meratanya distribusi penduduk di berbagai daerah juga berakibat pada bidang ekonomi maupun social. Dengan demikian mobilitas penduduk penting bukan hanya karena masalah tersebut merupakan penyebab utama variasi pertumbuhan penduduk antar wilayah di Indonesia, tetapi juga karena peran pengaruhnya di dalam perubahan social dan ekonomi di wilayah tempat penduduk yang bersangkutan (Hugo, 1987, Bandiyono, 1991)).
Oleh karena itu pula maka Pemerintah Indonesia telah mengatur mobilitas penduduk tersebut melalui berbagai program dan kebijaksanaan yang nyata dalam upaya memadukan antara distribusi populasi dengan sumber daya lingkungan misalnya dalam program transmigrasi. Sejak awal tahun 1970, pemerintah Indonesia juga telah memusatkan sebagian besar program pembangunannya di Irian Jaya. Dengan bantuan internasional, Pemerintah Indonesia telah memusatkan pada peningkatan infrastruktur dan komunikasi, perluasan pelayanan kesehatan dan pendidikan, peningkatan pertanian terutama melalui program transmigrasi. Meskipun demikian usaha pemerintah tersehut hanya merangsang pertumbuhan ekonomi yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi propinsi yang lain bahkan juga dengan tetangganya yaitu Papua New Guinea (Manning, 1999).
Harapan bagi penanam modal swasta di bidang industri tidak terpenuhi, dan kegiatan ekspor di bidang perikanan dan perkayuan juga pengaruhnya terbatas pada pendapatan dan kesejahteraan regional (Manning, 1909). Distribusi perubahan ekonomi dan manfaatnya juga tidak merata dalam pengertian geografis maupun sosial antara penduduk asli dan para pendatang. Kota-kota di bagian utara dan daerah pedalaman di sekitarnya, karena lancarnya hubungan dengan Jawa maupun Sulawesi - mengalami peningkatan perdagangan.
Peningkatan pendapatan yang disebabkan oleh investasi yang cukup besar di bidang infrastruktur dan pembangunan pertanian khususnya di daerah transmigrasi juga cukup bisa dirasakan. Akan tetapi hambatan sistem ekonomi dan keadaan alam telah membatasi menyebarnya pengaruh perkembanggan ekonomi di utara terhadap wilayah di daerah selatan dan dataran tinggi. Sebagian penduduk asli Irian Jaya masih hidup dengan pertanian subsistensi, berburu, dan memelihara binatang ternak. Hasil kegiatan pertanian penduduk asli di wilayah itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari?"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Nengah Tri Sumadana
"Apabila kita mengamati proses pelaksanaan pembangunan di desa Karama, maka kita dapat melihat adanya beberapa karakteristik pembangunan desa yang kurang memperhatikan pengembangan aspek sosial kultural masyarakat setempat antara lain seperti kebijakan, strategi dan program pembangunan desa yang cenderung top down planning daripada bottom up planning, pembangunan desa lebih mengutamakan pembangunan ekonomi dan politik tanpa memberi posisi yang sepadan bagi pengembangan aspek sosial kultural masyarakat setempat, pembangunan desa cenderung mengadopsi pola-pola perilaku manajemen pembangunan dari negara maju dan kurang memberikan peluang bagi adanya akulturasi terhadap nilai-nilai kultural lokal ke dalam proses pembangunan bahkan ingin langsung menggeser nilai-nilai tersebut dengan memaksakan masuknya nilai-nilai baru. Hal ini menyebabkan timbulnya perbenturan nilai-nilai, antara nilai kultural lokal dan nilai modernisasi yang terkandung dalam pembangunan dan masyarakat Karama pun kemudian terperangkap dalam sejumlah pilihan yaitu antara meninggalkan nilai-nilai lama, menerima nilai-nilai baru atau melakukan akulturasi nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai baru yang terkandung dalam pembangunan desa.
Dampak lebih jauh adalah adanya kesenjangan antara antusiasme masyarakat saat melibatkan diri dalam berbagai arena sosial kultural dengan antusiasme saat pelaksanaan pembangunan desa. Dalam arena kehidupan sosial kultural seperti pada acara perkawinan, kematian, peringatan hari-hari besar agama, kenaikan Haji dan lain-lain, masyarakat desa Karama sangat aktif terlibat dan menunjukkan kebersamaan dan kesatuan mereka sebagai sebuah komunitas. Dan hal seperti itu tidak dapat kita saksikan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan desa. Dengan demikian, masyarakat desa Karama pada dasarya memiliki sejumlah nilai-nilai kultural lokal yang aktif menuntun mereka dalam berucap, bersikap dan bertindak sebagaimana yang seharusnya dalam kehidupan sosial kulturalnya.
Mengingat keberhasilan pembangunan bukan hanya ditentukan oleh modal, teknologi dan ilmu pengetahuan tetapi juga faktor manusianya dan manusia dalam melakukan aktivitasnya digerakkan oleh serangkaian nilai-nilai yang tumbuh di dalam benak dan pikirannya yang diperolehnya dari kultur di mana dia tumbuh dewasa. Untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam kultur masyarakat Karama sebagai bagian dari komunitas Mandar, maka kita perlu memahami institusi-institusi sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat Karama. Dalam penelitian ini, Penulis membatasi diri untuk meneliti institusi kekerabatan dan perkawinan adat Mandar di desa Karama. Dari pengkajian terhadap institusi tersebut, penulis mencoba menggali dan menguraikan nilai-nilai kultural yang terkandung didalamnya dan menganalisa peranan yang dapat dimainkan oleh nilai-nilai tersebut dalam proses pembangunan desa.
Untuk memahami sistem sosial kultural tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan metode etnogafi. Penelitian ini melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Peneliti tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu peneliti belajar dari masyarakat. Melalui pengamatan terlibat dan wawancara mendalam, struktur analisa disusun dari hal yang dikatakan orang, dari cara orang bertindak, dan dari berbagai artefak yang digunakan orang.
Dan penelitian selama ini, Penulis menemukan sejumlah nilai-nilai kultural yang aktif menuntun masyarakat dalam setiap hubungan sosialnya. Nilai-nilai tersebut adalah (1) nilai siri' yang berarti malu, harga diri, martabat, dan tanggung jawab, (2) nilai dippakaraya yang mengkonsepsikan pernyataan hormat, (3) nilai siarioi mengkonsepsikan keharmonisan dalam setiap hubungan sosial, dan (4) sirondorondoi yang mengkonsepsikan solidaritas sosial yang kuat. Nilai-nilai tersebut memainkan sejumlah peranan dalam arena sosial mereka sehari-hari dan apabila nilai-nilai tersebut diakulturasi dan diadaptasi ke dalam pembangunan desa, diyakini akan dapat berperan positif bagi proses pembangunan di desa Karama."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7703
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumbrawer, Frans
"Tesis ini membahas perubahan sosiokultural masyarakat pedesaan, yang dikaitkan dengan telah tembusnya jalan trans-Biak ke daerah-daerah pedesaan di Biak, Kabupaten Biak-Numfor. Tiga dari sekian banyak aspek kebudayaan yang menjadi sasaran penelitian ini, adalah aspek perubahan perilaku ekonomi, hubungan kekerabatan, dan aspek pendidikan yang telah terjadi dalam kehidupan masyarakat desa di Biak. Desa Bosnabraidi di Kecamatan Biak Utara telah dipilih sebagai daerah studi kasus. Adapun ketiga aspek sosiokultural yang menjadi objek studi tersebut di atas, hanya dibatasi pada kurun waktu sejak tembusnya jalan trans-Biak di daerah Kecamatan Biak Utara, tahun 1975 sampai dengan tahun 1994.
Latar Belakang Masalah
Jalan merupakan prasarana perhubungan vital dan sifatnya amat klasik, di antara prasarana dan sarana perhubungan lainnya. Keberadaannya agak unik jika dibandingkan dengan fasilitas perhubungan yang lain. Manusia menggunakan jalan sejak ada dalam kandungan sampai lahir ke bumi (merangkak, berdiri, dan berjalan sendiri) fasilitas klasik ini selalu digunakan dalam derap langkah kehidupan atau tingkah lakunya tiap saat.
Silvia Sukirman mengemukakan bahwa "Pada awalnya, jalan hanyalah berupa jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup ataupun sumber air. Setelah manusia mulai hidup berkelompok jejak-jejak itu berubah menjadi jalan setapak" (1992:1), lalu berkembang mengikuti fase perkembangan peradaban manusia, mulai dari jalan setapak (tradisional) sampai dengan jalan raya yang modern, yaitu mengikuti arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai hasil manifestasi dari kebudavaan manusia itu sendiri.
Jadi, sebelum adanya fasilitas yang lain (sarana) seperti, mobil, perahu, kapal dan pesawat terbang, jalanlah yang menempati posisi utama dalam perhubungan dan kehidupan manusia, sebagaimana diungkapkan dalam bahasa Biak bahwa "Nyandayuk ima isya ro kenem pampondi. Ima imaniso wurek kankenem. Inja isyaba (irnuk) ido na komar." (Jalan ada semenjak kehidupan dahulu. la bagaikan urat nadi kehidupan. Akan matilah kita jika tak ada jalan/putus).
Dengan dibangunnya jalan trans-Biak ini, maka dampaknya terhadap pembangunan ekonomi tradisional, kekerabatan dan pendidikan di daerah ini sangat berarti. Jalan mendorong lajunya pembangunan ekonomi, perubahan dalam hubungan kekerabatan dan kemajuan pendidikan yang nyata di daerah pedesaan.
Prasarana klasik ini memberikan inspirasi, motivasi, dan saluran informasi bagi masyarakat desa, untuk lebih mengintensifkan sistem produksi, distribusi, dan konsumsi barang, dalam konteks kebudayaan masyarakat setempat secara total. Masyarakat dengan mudah mendistribusikan produksi pertanian, perikanan dan hasil-hasil lainnya ke kota untuk dijual dan sebaliknya konsumsi barang-barang menjadi lebih tinggi sehingga perekonomian daerah lebih maju karena masuknya jaringan jalan sampai di desa-desa."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hermayulis
"Penelitian ini bersifat yuridis empiris, yang dilakasanakan pada masyarakat yang bermukin di daerah ,thak Mvi Tigo, Propinsi Sumatera Barat. Masalah yang dikaji tentang: Perkembangan hubungan kekerabatan yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat matrilineal Minang dipandang dari pengamaan tanah komunal dalam hal ini adalah hak ulayat sebagai salah satu "media" pengikatnya; Dinamika perubahan penguasaan tanah komunal (tanah ulayat) menjadi tanah milik pribadi (perorangan) dalam masyarakat hukum adat matrilineal Minangkabau; Pengaruh pemilikan pribadi atas tanah terhadap perubahan hubungan kekerabatan; Pengaruh perubahan hubungan kekerabatan terhadap sistem kekerabatan dalam masyarakat hukum adat matrilineal.
Temuan lapangan menunjukkan bahwa keterikatan masyarakat hukum adat Minangkabau terhadap tanah telah munyebabkan timbulnya pola migrasi yang berorientasi ke kampung, dalam arti selalu memelihara hubungan dengan kampung. Hubumgan rantau - kampung ini terbina dengan pola pewarisan, yang memungkinkan saling mewarisi tanah yang mereka dapat dan dapatkan dari hasil harta pencaharian. Di dalam perkembangannya, hubungan rantau- kampung dalam saling mewarisi mulai memudar, kalaupun masih ditemukan saling mewarisi, maka pola demikian terjadi di lingkungan yang terbatas pada keluarga inti yaitu terdiri dari mamak ibu - anak (kemenakan).
Semakin terpusatnya penguasaan dan pewarisan tanah kepada keluarga inti, dan diterimanya nilai dan norma pemilikan individu di tengah masyarakat, menyebabkan semakin lemahnya ikatan keluarga luas (extended family), yang ditunjukkan oleh semakin intensif dan penguasaan tanah oleh keluarga inti, adanya upaya untuk selalu mempertahankan agar tanah tetap berada pada keluarga inti. Perubahan pola penguasaan tanah ini semakin jelas dengan sertifikasi tanah yang menunjuk meta seseorang dam llama mamak kepala wrzris sebagai wakil dari anggota kerabat matrilinealnya Penguasaan tanah ulayat sebagai tanah milik komunal (bersama) yang sudah terfokus kepada penguasaan keluarga inti, telah melatarbelakangi pendapat para praktisi (khususnya BPN dan Departemen Kehutanan pada masa era Orde Baru) yang menyatakan tanah ulayat sudah tidak ada Pendapat tersebut telah mewarnai berbagai kebijakan yang berkaitan dengan tanah (khususnya tanah ulayat), sehingga kebijakan yang diambil menunjukkan tidak adanya sinkronisasi di dalam pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang telah diamanatkan oleh Pasal 3 UUPA.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan tidak adanya sinkronisasi vertikal maxima horizontal. Tidak adanya sinkronisasi vertikal terlihat dan ketentuan tentang pendaftaran tanah yang tidak memungkinkan pengakuan hak masyarakat hukum adat yang diatur dengan Pasal 3 UUPA dengan bentuk-bentuk hak yang diatur di dalam Pasal 16 UUPA, kompersi hak-hak atas tanah, dan penghapusan lembaga gadai sebagai lembaga yang dianggap menyengsarakan rakyat. Tidak adanya sinkronisasi horizontal terlihat dari tidak adanya keterkaitan antara Pasal 3 UUPA dengan ketentuan Pasal 2 UUPK tentang jenis jenis hak atas tanah hutan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
D99
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ende Abraham Badu
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan proses perencanaan pembangunan di tingkat akar rumput (grass roof), dimana lokasi yang dipilih adalah di Desa Kekasewa Kecamatan Ndona Kabupaten Ende Nusa Tenggara Timur.
Secara spesifik, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan proses perencanaan program pembangunan di lokasi penelitian dan mengidentifikasi serta menjelaskan faktor-faktor pendukung dan penghambatnya.
Melalui penelitian deskriptif kualitatif, digambarkan secara lebih akurat dari pengamatan yang dilakukan secara lengkap tentang suatu gejala atau situasi sosial diantaranya melalui pengamatan dan wawancara. Beberapa informan yang dipilih adalah aparat pemerintah, lembaga masyarakat, dan warga masyarakat. Analisis dilakukan dengan menelaah data yang diperoleh dari berbagai sumber dan informan.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa:
1) penerapan prinsip-prinsip partisipatoris dalam proses perencanaan program pembangunan di Desa Kekasewa dapat dikatakan berjalan meskipun tidak mengikuti sepenuhnya prinsip-prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat,
2) proses perencanaan program pembangunan di Desa Kekasewa telah dilakukan proses perencanaan program pembangunan yang partisipatoris, yang langkah-langkahnya meliputi: tinjauan keadaan atau review situasi, identifikasi kebutuhan ke depan, identifikasi ketersediaan sumberdaya, dan penyepakatan rencana.
Disamping itu, hasil yang dapat dicatat dari lapangan menunjukkan bahwa dari empat faktor pokok yang mempengaruhi proses perencanaan partisipatoris di lokasi penelitian, dua faktor diantaranya (adanya rasa saling percaya dan kesepakatan yang demokratis) terbukti merupakan faktor pendukung dalam proses perencanaan program/kegiatan pembangunan. Sedangkan untuk dua faktor lainnya (profesionalisme sumberdaya manusia dan pemahaman terhadap persoalan pembangunan sendiri) secara umum belum memperlihatkan perannya dalam mendukung kelancaran proses perencanaan program pembangunan, dan justru (saat ini) menjadi penghambat proses perencanaan.
Terhadap hasil penelitian di atas beberapa hal panting yang direkomendasikan dalam penelitian ini adalah:
1) mempertahankan proses perencanaan yang ada karena secara esensial sudah memenuhi prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Kalaupun harus ada langkah perbaikan, disarankan untuk mempertajam dan mempertegas fungsi dan peran forum Musbangdus dan Musbangdes sebagai wahana penyaringan/seleksi dengan menerapkan skala prioritas,
2) mempertimbangkan fungsi Musbangdus dan Musbangdes sebagai sarana atau media sosialisasi bagi usulan rencana yang ada baik yang diusulkan oleh warga maupun usulan rencana yang sektoral,
3) memanfaatkan lembaga adat melalui kesepakatan bersama dengan pemerintah desa untuk menanamkan nilai yang relevan kepada seluruh warga masyarakat untuk lebih perhatan terhadap masalah waktu, misalnya melalui wora nau yang disampaikan oleh para mosafaki sehari sebelum hari pertemuan, dan
4) peningkatan kesadaran melalui pelatihan in situ berkenaan dengan survei swadaya pengenalan potensi atau bentuk-bentuk participatory rural appraisal (PRA) lainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T11573
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Koesrijanti
"Dokumen Agenda 21 Indonesia menyajikan informasi yang komprehensif di setiap bidang yang berkaitan dengan lingkungan dan pembangunan mulai dari permasalahan yang ada sampai dengan tugas dan fungsi para pengelola lingkungan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Kerjasama dan koordinasi yang terus menerus dari masing-masing pihak akan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan akan tanggung jawab masing-masing peran dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Iingkungan di Indonesia.
Konsep ini dikembangkan seiring dengan perkembangan industri sebagai salah satu strategi pembangunan yang membawa dampak tersendiri terhadap masyarakat, baik secara sosial ekonomis, maupun secara fisik seperti kondisi lingkungan hidup berubah, terutama terhadap masyarakat sekitar di mana industri tersebut berada, yaitu masyarakat desa Cintamulya, Kecamatan Cikeruh, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat.
Industrialisasi sebagai salah satu strategi dalam pembangunan, dilihat pada tatanan makro telah memberikan kontribusi yang besar terhadap ekonomi sosial. Sehingga sektor industri saat ini dipercaya sebagai sektor andalan motor pertumbuhan yang menjadi orientasi pembangunan saat ini. Dipilihnya sektor industri sebagai motor pembangunan, secara otomatis melahirkan banyak kebijakan yang Iahir dengan tujuan untuk mendorong dan menciptakan iklim bagi semakin berkembangnya sektor ini.
Ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat Indonesia dan peningkatan daya saing nasional guna menghadapi era globalisasi ekonomi telah mencuatkan konsep kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil, Diharapkan kemitraan usaha dapat mengurangi berbagai inefisiensi yang terjadi akibat kesenjangan skala usaha besar-kecil. Kemitraan sendiri secara sederhana dapat digambarkan semacam persetujuan antara dua pihak yang mempunyai kebutuhan saling mengisi dan bekerja sama, demi kepentingan keduanya atas prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Kemitraan tercipta karena pihak satu memerlukan sumber-sumber yang dimiliki oleh pihak lain atau pihak kedua untuk memajukan usahanya dan sebaliknya. Sumber-sumber tersebut antara lain meliputi modal, tanah, tenaga kerja, akses terhadap teknologi baru, kapasitas pengolahan, dan outlet untuk pemasaran hasil produksi.
Jadi, tujuan penyusunan Agenda 21 Indonesia digunakan sebagai salah satu referensi di dalam perencaanan pembangunan dan dengan pola kemitraan ini, makin jelas saja bahwa posisi Agenda 21 Indonesia amat penting di dalam upaya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
S7460
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
PATRA 11 (3-4) 2010 (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>