Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 234879 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rubiana Soeboer
"ABSTRAK
Penelitian mengenai persepsi ketidak adilan berdasarkan stratifikasi mayoritas-minoritas ini disusun berdasarkan konstruksi teoritik mengenai stratifikasi sosial yang ada di masyarakat (Jeffries dan Ransford, 1980). Menurut Jeffries dan Ransford, stratifikasi sosial di masyarakat secara hirarkis terdiri dari stratifikasi kelas (aset ekonomi, posisi pekerjaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup), etnik, jenis kelamin, dan usia. Stratifikasi sosial yang ada di masyarakat akan membedakan mereka yang berada pada posisi manoritas (kelompok yang menguasai surplus kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise) dan mereka yang berada pada posisi minoritas (kelompok yang kurang memiliki aset kekuasaan, kekayaan, previlegi, dan prestise). Secara obyektif diasumsikan bahwa mereka yang berada pada posisi minoritas akan merasakan adanya ketidak adilan yang berkaitan dengan distribusi sumber daya ini. Namun demikian, kondisi obyektif ini tidak selalu ada pada semua kelompok masyarakat. Pada masyarakat dengan budaya tertentu seperti budaya Jawa, persepsi ketidak adilan yang dirasakan oleh kelompok minoritas (kelas bawah) tergantung pada hubungan baik (kekerabatan) antara kelompok kelas ini dengan si pelaku.
Dalam studi ini, di samping kondisi obyektif dan subyektif, tipe "distribusi reward" serta sumber pertukaran dalam interaksi mayoritas-minoritas juga perlu dilihat. Alasannya adalah tipe "distribusi reward" yang ada di masyarakat terkait dengan setting kultural di mans individu tersebut berada. Dalam studi ini
diasumsikan bahwa subyek penelitian balk Jawa maupun Cina melakukan "ditribusi reward" yang equity. Bila "equity" dalam kelompok Jawa berarti adanya pola pertukaran yang tidak sejajar antara atasan bawahan sesuai dengan input yang diberikan oleh masing-masing pihak, maka dasar "equity" kelompok Cina adalah input yang berupa kapasitas pribadi (uang yang diiniliki, informasi, atau barang).
Berdasarkan asumsi teoritik di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah teori tersebut sesuai bila diterapkan pada kondisi masyarakat Indonesia khususnya Jakarta yang terpilah berdasarkan (1) variabel stratifikasi kelas, yaitu kelas menengah sebagai kelompok mayoritas dan kelas bawah kelompok minoritas, (2) variabel stratifikasi etnik, yaitu kelompok etnik Jawa sebagai kelompok mayoritas dan kelompok Cina sebagai kelompok etnik minoritas, dan (3) interaksi antara variabel stratifikasi kelas dan variabel stratifikasi etnik. Diasumsikan bahwa ketiga variabel penentu di atas akan berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian mengenai pengalaman yang dianggapnya tidak adil. Di samping pengaruh kondisi obyektif struktur mayoritas-minoritas, kondisi subyektif yaitu nilai-nilai budaya tradisional juga ikut berpengaruh terhadap persepsi subyek penelitian.
Sampel penelitian yang diambil adalah 200 sampel penelitian masyarakat Jakarta dewasa (berusia 21 tahun ke atas) dan telah bekerja. Jumlah sampel tersebut terbagi menjadi 100 subyek Jawa golongan menengah dan golongan bawah, dan 100 subyek Cina golongan menengah bawah.
Alat ukur disususun berdasarkan teori dan klasterisasi yang telah dibuat oleh Mikula dkk. (1990).
Secara keseluruhan hasil-studi ini menunjukkan bahwa:
Pada kelompok kelas menengah dan bawah persepsi subyek tidak semata-mata dipengaruhi oleh kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya, melainkan ia juga dipengaruhi oleh kondisi subyektif mereka yaitu nilai-nilai budaya tradisional yang
mengutamakan hubungan baik antara subyek dengan pelaku ketidak adilan. Pada kelompok Jawa, persepsi tersebut dipengaruhi oleh nilai-nilai subyektif budaya tradisional subyek yaitu nilai-nilai kekerabatan. Pada kelompok Cina, persepsi subyek dipengaruhi kondisi obyektif mereka dalam stratifikasi sosialnya. Pada masyarakat Jakarta baik kelompok Jawa maupun Cina, terdapat kecenderung untuk mempraktekkan "distribusi reward" negatif bilamana kelompok tersebut dalam interaksinya berada pada posisi super-ordinat.
Tujuan studi ini, selain untuk mengetahui masalah ketidak adilan pada masyarakat yang terstruktur berdasarkan stratifikasi mayoritas minoritas, studi ini juga dilakukan untuk membentuk klaster ketidak adilan yang khas Indonesia khususnya Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, ternyata pertama, tipe ketidak adilan yang dominan muncul adalah adanya perlakuan sewenang-wenang atasan di tempat kerja, perlakuan sewenang-wenang figur otoritas pegawai pemerintah, dan perlakuan tidak adil oleh atasan di tempat kerja dalam hal distribusi barang dan keuntungan. Kedua,masalah diskriminasi seks bagi wanita dan diskriminasi etnik baik bagi kelompok etnik Jawa maupun.kelompok etnik Cina muncul sebagai salah satu tipe ketidak adilan yang ada di Jakarta.
Berdasarkan hasil studi ini, saran yang dapat diberikan mencakup dua hal, yang pertama saran yang dapat diberikan seandainya dilakukan penelitian berikutnya yang menyangkut topik penelitian ini, dan yang kedua saran aplikatif yang dapat diterapkan oleh pihak-pihak yang membutuhkannya.
"
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pattinasarany, Indera Ratna Irawati
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016
305.5 PAT s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Pattinasarany, Indera Ratna Irawati
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
305.5 IND s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Keanggotaan individu dalam lingkungan sosialnya merupakan tema pembahasan yang menarik perhatian ahli-ahli sosial sejak adanya masyarakat manusia (human society).Tergantung dari perspektif yang dipilihnya, studi-studi dan analisa-analisa mengenai hubungan individu dan masyarakat memperoleh penekanan pada aspek yang berbeda-beda.
Filsafat yang telah dikenal sebagai sumber dari lahirnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan telah meletakkan dasar-dasar bagi studi sistematis mengenai manusia pada umumnya. Sehubungan dengan ini maka Sosiologi sebagai disiplin yang mencari pengetahuan mengenai kondisi manusia dalam manifestasinya yang umum dan khusus, bersibuk diri dengan penyelidikan yang merupakan implikasi dari proposisi yang dikemukakan oleh ARISTOTELES bahwa manusia adalah mahluk sosial ("zoon politikon"; man is asocial animal"). Atau manusia adalah manusia karena keterikatannya dan keanggota annya dalam suatu lingkungan sosial ("polis") tertentu.
Psikologi sosial, sebagai suatu sub-disiplin dari ilmu psikologi, secara khusus memperhatikan tingkahlaku individu sebagaimana ia berespons terhadap pengaruh-pengaruh sosial. Baik sosiologi maupun psikologi sosial memperhatikan perilaku manusia dalam kelompok, tetapi fokus perhatiannya adalah berbeda.
Bidang psikologi sosial berkembang dengan cepat sejak dua puluh lima tahun terakhir ini. KURT LEWIN (1951) dikenal sebagai ahli psikologi yang telah mempelopori penyelidikan eksperimentil dari hampir setiap aspek perilaku sosial individu. Riset yang dilakukannya telah menghasilkan sekumpulan data yang menyangkut hubungan-hubungan antar-manusia dalam berbagai manifestasinya. Karenanya maka dapat dikemukakan bahwa bidang studi dari psikologi sosial memilih aspek-aspek yang menyangkut hubungan-hubungan antar-manusia ("interpersonal behavior"). Termasuk didalamnya adalah hubungan yang secara nyata berlangsung, umpamanya perdebatan atau diskusi yang dilakukan dengan orang lain. Dapat pula menyangkut berbagai kelakuan dimana orang lain di-imaginasikan atau diantisipasikan. Contohnya seorang gadis remaja yang bersolek diri untuk pergi ke pesta.
Sebelum ia meninggalkan kamarnya, ia sekali lagi menatap penampilan dirinya didalam kamar riasnya. Gadis ini berharap dan membayang-bayangkan bahwa pesta ulang tahun teman sekelasnya akan memungkinkannya untuk berjumpa dengan teman-teman yang ia senangi atau mungkin dengan pacarnya.
Dengan demikian kebanyakan perilaku manusia dapat diklasifikasikan sebagai menyangkut hubungan antar-manusia, karena dalam hampir setiap lingkungan akan ada orang lain.
"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1976
D1103
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saparinah Sadli
"ABSTRAK
Keanggotaan individu dalam lingkungan sosialnya merupakan tema pembahasan yang menarik perhatian ahli-ahli sosial sejak adanya masyarakat manusia (human society).Tergantung dari perspektif yang dipilihnya, studi-studi dan analisa-analisa mengenai hubungan individu dan masyarakat memperoleh penekanan pada aspek yang berbeda-beda.
Filsafat yang telah dikenal sebagai sumber dari lahirnya berbagai disiplin ilmu pengetahuan telah meletakkan dasar-dasar bagi studi sistematis mengenai manusia pada umumnya. Sehubungan dengan ini maka Sosiologi sebagai disiplin yang mencari pengetahuan mengenai kondisi manusia dalam manifestasinya yang umum dan khusus, bersibuk diri dengan penyelidikan yang merupakan implikasi dari proposisi yang dikemukakan oleh ARISTOTELES bahwa manusia adalah mahluk sosial ("zoon politikon"; man is asocial animal"). Atau manusia adalah manusia karena keterikatannya dan keanggota annya dalam suatu lingkungan sosial ("polis") tertentu.
Psikologi sosial, sebagai suatu sub-disiplin dari ilmu psikologi, secara khusus memperhatikan tingkahlaku individu sebagaimana ia berespons terhadap pengaruh-pengaruh sosial. Baik sosiologi maupun psikologi sosial memperhatikan perilaku manusia dalam kelompok, tetapi fokus perhatiannya adalah berbeda.
Bidang psikologi sosial berkembang dengan cepat sejak dua puluh lima tahun terakhir ini. KURT LEWIN (1951) dikenal sebagai ahli psikologi yang telah mempelopori penyelidikan eksperimentil dari hampir setiap aspek perilaku sosial individu. Riset yang dilakukannya telah menghasilkan sekumpulan data yang menyangkut hubungan-hubungan antar-manusia dalam berbagai manifestasinya. Karenanya maka dapat dikemukakan bahwa bidang studi dari psikologi sosial memilih aspek-aspek yang menyangkut hubungan-hubungan antar-manusia ("interpersonal behavior"). Termasuk didalamnya adalah hubungan yang secara nyata berlangsung, umpamanya perdebatan atau diskusi yang dilakukan dengan orang lain. Dapat pula menyangkut berbagai kelakuan dimana orang lain di-imaginasikan atau diantisipasikan. Contohnya seorang gadis remaja yang bersolek diri untuk pergi ke pesta.
Sebelum ia meninggalkan kamarnya, ia sekali lagi menatap penampilan dirinya didalam kamar riasnya. Gadis ini berharap dan membayang-bayangkan bahwa pesta ulang tahun teman sekelasnya akan memungkinkannya untuk berjumpa dengan teman-teman yang ia senangi atau mungkin dengan pacarnya.
Dengan demikian kebanyakan perilaku manusia dapat diklasifikasikan sebagai menyangkut hubungan antar-manusia, karena dalam hampir setiap lingkungan akan ada orang lain.
"
1976
D294
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rubiana Soeboer
"ABSTRAK
Studi ini adalah tentang keadilan distributif antara ingroup-outgroup dalam konteks mayoritas-minoritas. Dalam bidang studi psikologi, keadilan distributive secara empiric lebih banyak diukur melalui cara-cara subjek mendistribusikan alokasi imbalan. Berbagai studi mengenai hubungan antarkelompok menunjukkan bahwa dalam menerapkan prisnsip keadilan senantiasa terdapat kecenderungan individu untuk lebih berpihak kepada ingroup atau kepentingan kedua belah pihak dipengaruhi oleh tingkat kekuasaan, antisipasi hubungan di masa yang akan datang, input, dimensi individualism-kolektivisme, status sebagai mayoritas atau minoritas, serta jenis kelamin, Variabel-variabel tersebut menjadi variable bebas dalam studi ini, sedangkan perilaku distributive subjek terhadap ingroup menjadi variable terikat.
Dalam masyarakat multicultural seperti Indonesia, keberadaan mayoritas-minoritas merupakan fenomena yang tak terelakkan. Potensi konflik yang menonjol dalam hubungan antarkelompok di Indonesia adalah konflik antara mayoritas penduduk asli dengan minoritas Cina. Sementara isyu sentral dalam masyarakat yang plural seperti Indonesia adalah bagaimana menciptakan suatu konteks sosiopoltis, di mana setiap individu dapat mengembangkan identitas yang sehat dan sikap antarkelompok menjadikan studi ini relevan untuk diteliti.
Subjek studi adalah mahasiswa Jawa dan Cina Universitas Indonesia dan Universitas Atma Jaya.
Dengan menggunakan teknik statistic LISREL, dalam studi ini diajukan dua kelompok hipotesis, yang pertama adalah hubungan antara variable-variabel bebas dan variable terikat, yang kedua adalah interaksi antara variable-variabel bebas dalam hubungannya dengan variable terikat. Varaiabel-variabel yang diduga memberikan pengaruh yang bermakna pada perilaku distributive subjek didukung oleh hasil uji hipotesis yang signifikan, kecuali variabel individualism-kolektivisme.
Hasil studi menyimpulkan bahwa penerapan prinsip keadilan dalam hubungan antarkelompok cenderung memunculkan favoritisme ingroup. Namun demikian, peningkatan atau penurunan kecenderungan ini didukung oleh sejumlah variable baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Peningkatan keberpihakan kepada ingroup didukung oleh tingkat kekuasaan subjek yang lebih tinggi dari tingkat kekuasaan outgrop, status sebagai mayoritas, pria, input yang lebih besar, dan tiadanya antisipasi hubungan. Secara bersama-sama perilaku distributive yang lebih cenderung menguntungkan ingroup muncul pada interaksi antara ; tingkat kekuasaan dan input; tingkat kekuasaan dan status sebagai mayoritas; input dan status sebagai mayoritas; tingkat kekuaasaan dan jenis dan jenis kelamin; input dan jenis kelamin; status sebagai mayoritas dan jenis kelamin. Secara unik, interaksi antara tingkat kekuasaanm status sebagai minoritasm dan jenis kelamin memunculkan perilaku distributive yang paling diskriminatif pada pria Cinam dibandingkan dengan pria dan wanita Jawa, serta wanita Cina pada posisi yang sama. Sebaliknya peneurunan keberpihakan kepada ingroup dipengaruhi oleh: tingkat kekuasaan yang setara, status sebagai minoritas, wanita, input yang setara, dan adanya antisipasi hubungan.
Sintesa kesimpulan menghasilkan enam thesis mengenai keadilan distributive dalam konteks mayoritas-minoritas.
Tidak bermaknanya variable individualism-kolektivisme vertical-horizontal dibahas dalam diskusi. Merujuk kepada sejumlah variable yang terbukti dapat meningkkan atau menurunkan favoritisme ingroup, diajukan beberapa saran teoritik mupun normatif."
2003
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardi Susanto
"ABSTRAK
Sebagaimana dengan masyarakat luas yang memiliki stratifikasi sosial di dalamnya, masyarakat narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan tentu juga memiliki stratifikasi sosial di dalamnya. Berangkat dari asumsi tersebut, tesis ini mencoba untuk menggali keberadaan stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.
Dalam penelitian tentang stratifikasi sosial narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, teori yang dipergunakan sebagai panduan dalam rangka menjawab permasalahan stratifikasi sosial di lembaga pemasyarakatan adalah teori stratifikasi sosial yang dikemukakan oleh Max Weber, Gerhard E. Lenski dan C. Wright Mills yang menyatakan bahwa ada tiga dimensi stratifikasi sosial di Masyarakat yaitu dimensi kekuasaan, previlese dan prestise.
Dengan pendekatan kualitatif diskriptif, penelitian ini berhasil menemukan suatu fakta empiris bahwa pada masyarakat narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang terdapat 4 (empat) dimensi stratifikasi sosial yaitu 1) Kekuasaan, 2) Prestise, 3) Previlese dan 4) kekerasan. Dari studi ini juga ditemukan bahwa dimensi previlese memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap ketiga dimensi lainnya.

ABSTRACT
As with wide society owning social stratification in it, socialize convict [in] institute of pemasyarakatan of course also own social stratification in it. leaving dar of the assumption, this thesis try to dig existence of social stratification of convict in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang.
In research about social stratification in Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, theory which is used as by guidance in order to replying problems of social stratification in lembaga pemasyarakatan is]theory of stratification of social proposed by Max Weber, Gerhard E. Lenski and C. Wright Mills expressing that there is three dimension of social stratification in society that is paintbrush dimension, previlese and presstige.
With approach qualitative diskriptif, this research succeed to find a[n empirical fact that [at] society of convict in I Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang of there are 4 ( empat) dimension of social stratification that is 1) power 2) presstige 3) Previlese And 4) hardness. From this study is also found by that dimension of previlese own very dominant influence to third the other dimension.
"
2007
T20491
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nina Iskandariati
"Sistim stratifikasi Shi No Ko Sho adalah sistim stratifikasi masyarakat Jepang pada zaman Edo (1600-1867). Sistim stratifikasi tersebut ditetapkan secara resmi dan tegas oleh pemerintah Jepang yang pada saat itu dipimpin oleh Tokugawa Ieyasu. Ieyasu berasal dari kaum Samurai dan ia berhasil mendirikan pemerintah mi_liter yang berpusat di kota Edo pada tahun 1603. Pemerintah Tokugawa secara tegas membagi masyarakat Jepang menjadi empat kelas yaitu kelas Samurai (Bushi), kelas Petani (Nomin), kelas Pengrajin (Kosakunin), dan terakhir kelas Pedagang (Shonin). Tingkatan kelas ini kemudian dikenal dengan Shi No Ko Sho, yang kemudian dilaksanakan secara keras dan kaku. Dengan adanya ketentuan mengenai pembagian kelas tersebut maka seseorang tidak dapat pindah ke tingkatan yang lebih tinggi walaupun ia memiliki kemampuan dan bakat. seseorang memperoleh tingkatan kelas di dalam masyarakat hanya berdasarkan keturunannya saja. Tujuan pemerintah Tokugawa adalah agar kelas-kelas di dalam masyarakat tidak dapat mengumpulkan kekuatan untuk mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah Tokugawa. Penguasa berusaha memecah dan memisahkan kelas yang satu dengan kelas yang lain dengan mengadakan diskriminasi-diskriminasi yang kuat. Sistim ini berlangsung hingga beberapa generasi dan akhirnya tidak dapat dipertahankan lagi karena ada beberapa faktor yang menyebabkan sistim ini runtuh. Faktor tersebut antara lain, karena adanya politik isolasi maka negara dalam keadaan damai sehingga kaum Samurai mulai kehilangan fungsinya dan hanya hidup bermewah-mewahan saja, masuklah kekuatan kelas Pedagang yang lambat faun dapat berperan dalam kehidupan pedagang. Didobraknya politik pintu tertutup oleh pemerintah Amerika sehingga pemerintah Tokugawa runtuh. Dengan runtuhnya pemerintah yang bersifat feodal tersebut maka runtuh pula sistim stratifikasi masyarakatnya. Kemudian sistim startifikasi Shi No Ko Sho dihapus oleh kebijaksanaan Kaisar Meiji."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saparinah Sadli
Jakarta: Bulan Bintang, 1977
305.542 SAP p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rasyid Saleh
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi dan didorong oleh keinginan untuk melihat hubungan antara dinamika kepemerintahan desa dengan struktur sosial, khususnya dalam bentuk ketiga dimensi stratifikasi sosial masyarakat Bulukumba, yakni: kekuasaan, privilese dan prestise. Peneliti sendiri berasal dari Sulawesi Selatan dan berkecimpung selama puluhan tahun dalam birokrasi, khususnya di Iingkungan Departemen Dalam Negeri RI. Peneliti menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa tidak dapat dipisahkan dari struktur sosial budaya, dan malah untuk kasus masyarakat Bugis-Makassar dengan tradisi kerajaan dan kebangsawanannya di masa lampau, nampaknya cukup sulit untuk dipisahkan.
Ada tiga tujuan yang dicapai melalui penelitian ini, yakni: (i) Menggambarkan pengaruh hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi sosial: kekuasaan, privilese dan prestise dalam pelaksanaan pemerintahan desa di Bulukumba; (ii) Menggambarkan fase-fase pemerintahan desa menurut dimensi stratifikasi sosial yang dominan; (iii) Memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Bulukumba.
Sejalan dengan tujuan di atas, penelitian ini dapat berkontribusi pada: (i) Pengembangan teori stratifikasi sosial pada tingkat Iokal, seperti yang pernah dilakukan oleh R.M.Z. Lawang unluk konteks masyarakat Manggarai di Flores Barat (1989/2004); (ii) Identifikasi yang lebih trgas lagi terhadap kontribusi sosiologi pada efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa di Bulukumba, dimana kekuatan tradisi kebangsawanan masih cukup kuat.
Baik tradisi kerajaan dan kebangsawanan Bugis-Makassar maupun sistem pemerintahan desa di Indonesia memiliki sejarahnya sendiri. Dimensi yang menonjol dari sistem stratifikasi sosial juga berbeda-beda dalam setiap kurun waktu (fase) pada rentang sejarah, seperti yang sudah dibuktikan Lawang (ibid.). Pertanyaan penelitian yang memandu pengumpulan informasi dan analisis penelitian, ialah: apakah interaksi antara penyelenggaraan pemerintahan desa dengan struktur sosial terjadi dengan cara yang sama untuk setiap pariode? Dengan kata lain: apakah ketiga dimensi Stratifikasi Sosial itu mempunyai pengaruh yang sama dari dulu sampai sekarang di Bulukumba ?
Dinamika sosiologik ini pernah dibahas secara teoritik klasik oleh Max Weber dalam tiga konsep stratifikasi sosial, yakni: kekuasaan, privilese dan prestise, dimana ketiga dimensi itu pada dasarnya berdiri sendiri, namun faktor ekonomi (priviles) mempengaruhi kedua lainnya (M. Weber, 1963).
Karl Marx menjawab pertanyaan penelitian itu dengan mengatakan bahwa dimensi ekonomi merupakan dimensi utama yang paling menentukan dalam sejarah perkembangan kapitalisme. Sebaliknya Gerhard E. Lenski justru menempatkan dimensi kekuasaan yang mempengaruhi kedua dimensi lainnya. Dalam studi R.M.Z. Lawang tentang Manggarai, pengaruh ketiga dimensi itu berbeda-beda dalam sejarah. Teori terakhir inilah yang menjadi inspirasi bagi peneliti untuk melihat, apakah sejarah Bulukumba memperlihatkan kecenderungan yang sama. Dari pelaksanaan penelitian, ternyata hasilnya berbeda.
Untuk menjabarkan lebih jauh pokok pikiran Lenski dan Lawang, sejarah pemerintahan Bulukumba dibagi ke dalam empat periods, yakni : (i) Periode pra kemerdekaan sampai tahun 1945; (ii) Periode |946-1979; (iii) Periode 1980-2000; (iv) Pcriodc 2001-sekarang. Periodesasi ini mempunyai argumentasi yang dipertanggungjawabkan dalam metodologi.
Metode dan teknik penelitian dilakukan melalui: wawancara mendalam, pengamatan dan Focus Group Discussion, merupakan tiga metode utama, disamping analisis dokumen untuk mengumpulkan infomiasi di lapangan. Setelah informasi itu dianalisis, beberapa temuan menarik perlu dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, selama periode pra kemerdekaan sampai tahun 1945, dimensi kekuasaan Bugis-Makassar rnasih membayangi prestise bangsawan. Tanpa kekuasaan, prestise bangsawan ini tidak ada kekuatannya. Prestise yang melekat pada bangsawan (Arung, Karaeng, Datu dan Andi) merupakan dimensi yang mempengaruhi dimensi kekuasaan Iokal desa, serta privilese yang mereka peroleh. Distribusi ketiga dimensi stratifikasi sosial ini disajikan dalam Bab Ill.
Kedua, periode 1946-i979 tidak berbeda jauh dari yang sebelumnya tetapi selama periode ini berlangsung, sudah terjadi pergeseran. Kalau pada periode sebelumnya dimensi prestise yang dominan, pada periode ini dimensi privilese sudah mulai mendapat tempatnya dan mempengaruhi kedua dimensi lainnya. Distribusi ketiga dimensi ini digambarkan dalam Bab IV.
Ketiga, periode 1980-2000 mcmpunyai corak yang lain. Selama periode ini, teori Lenski nampak benar sekali dalam kenyataannya. Orde Baru menginstitusionalisasikan kekuasaan birokrasi yang bertumpu pada UU Nomor 5/I974 dan UU Nomor 5/1979. Efektivitas birokrasi desa terjadi, karena dukungan kekuasaan dan uang (privilese). Mesin politik yang paling dominan ketika itu adalah GOLKAR yang sangat mempengaruhi birokrat. Bab V mcnggambarkan distribusi ini secara panjang lebar.
Keempat, periode 2001-sekarang, dengan semangat otonomi desa dan daerah, ada keinginan untuk kembali ke struktur lama yang belum jelas. Di satu pihak prestise yang berakar pada kebangsawanan mulai dihidupkan kembali dengan konsekuensi munculnya feodalisme baru yang mengganggu efektifitas pemerintahan, tetapi dilain pihak identitas lokal mulai menunjukkan wajahnya dalam wacana dan harapan masyarakat. Pembahasannya dapat dilihat dalam Bab VI.
Kelima, dalam setiap periode sejarah perkembangan pemerintahan desa di Bulukumba, sangatlah sulit untuk membedakan dimensi kekuasaan dari prestise. Keduanya melebur menjadi satu, seperti halnya hubungan antara kerajaan Bugis-Makassar (kekuasaan) dan kebangsawanan (prestise) di masa silam. Revitalisasi yang dilakukan saat ini belum memperlihatkan arahnya yang jelas."
Depok: 2005
D795
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>