Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165448 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alexander Karmali Ruslim
"Maraton adalah salah satu jenis olah raga aerobik, sehingga sangat memerlukan hantaran oksigen yang baik di otot yang sedang aktif bekerja. Untuk ini diperlukan kadar dan fungsi hemoglobin yang normal, serta adanya perubahan fisiologis dari jantung, paru, pembuluh darah dan otot, untuk dapat bekerja lebih baik. Walaupun demikian, berbagai peneliti melaporkan adanya perubahan hemodinamik yang kurang menguntungkan, seperti misalnya hemokonsentrasi, hemolisis intravaskuler, perdarahan saluran kemih dan perdarahan saluran cerna. Perubahan hemodinamik ini dapat mempengaruhi prestasi atlit.
Oleh karena kadar dan fungsi hemoglobin yang normal sangat dibutuhkan dalam olah raga maraton, maka atlit dengan kelainan hemoglobinopati menunjukkan prestasi yang kurang memuaskan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data frekuensi Hbpati pada atlit maraton Indonesia, serta untuk mengetahui pengaruhnya pada perubahan hemodinamik yang dialami atlit maraton Indonesia setelah perlombaan maraton.
Peserta penelitian adalah 35 orang atlit maraton pria yang mengikuti prokiamaton pada tanggal 5 Agustus 1990 di Jakarta. Dari 35 orang ini, yang bersedia untuk meneruskan penelitian sampai selesai berjumlah 17 orang, sedang sisanya 21 orang hanya bersedia untuk diambil bahan pemeriksaan 1x saja, yaitu 1 hari sebelum perlombaan berlangsung.
Didapatkan 17 (48,6%) dari 35 atlit mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 3,6-7,3% dengan 5 orang diantaranya disertai peningkatan kadar HbF berkisar antara 1,02-1,27%. Kelompok ini didiagnosis sebagai talasemia R heterozigot. Empat dari 35 atlit (11,4%) mempunyai kadar HbA2 berkisar antara 27,20-30,60%. Elektroforesis Hb dengan dapar pH alkali dan asam menunjukkan bahwa ke 4 atlit ini adalah penderita HbE heterozigot. Atlit dengan hasil elektroforesis Hb, kadar HbA2 dan HbF normal, berjumlah 14 orang (40,0%).
Dari 17 orang atlit yang bersedia mengikuti penelitian sampai selesai, 8 atlit (47,1%) didiagnosis sebagai talasemia A heterozigot, 2 atlit (11,7%) sebagai HbE heterozigot dan 7 atlit (41,2%) adalah normal.
Bila dibandingkan hasil pemeriksaan berbagai parameter antara kelompok atlit normal, talasemia dan HbE, maka pada umumnya tidak didapatkan perbedaan yang bermakna, kecuali pada kadar Hb plasma dan kadar haptoglobin. Kadar Hb plasma atlit kelompok talasemia dan HbE lebih tinggi dibanding atlit kelompok normal. Kadar haptoglobin atlit kelompok talasemia dan HbE lebih rendah dibanding atlit kelompok normal.
Perubahan hemodinamik yang dapat ditemukan pada 17 atlit yang bersedia melanjutkan penelitian sampai selesai adalah hemokonsentrasi dengan penurunan volume plasma rata rata sebesar 5,44%; hemolisis intravaskuler dengan berbagai derajad pada 16 dari 17 atilt (94,12%), dan hematuria pada 3 dari 17 atlit (17,65%). Hemoglobinuria dijumpai pada 5 dari 17 atlit (29,41%). Proteinuria +1-+4 terdapat pada 14 dari 17 atlit (82,30%). Peningkatan jumlah leukosit dalam urin.
Bila ke 17 atlit tersebut dipisahkan menjadi kelompok atlit normal dan talasemia, maka hemokonsentrasi pada kelompok atlit normal sebesar 2,5%, dan hemokonsentrasi pada kelompok atlit talasemia sebesar 9,1%. Tidak terdapat perbedaan hemolisis intravaskuler yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Iskemia ginjal pada kelompok atlit talasemia lebih berat dibanding pada kelompok atlit normal. Prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit normal lebih baik secara bermakna dibanding prestasi yang ditunjukkan kelompok atlit talasemia.
Tiga hari setelah perlombaan maraton, didapatkan perubahan hemodinamik berupa hemodilusi dengan peningkatan volume plasma rata rata sebesar 3,2%, dibanding keadaan sebelum perlombaan. Hemodilusi pada kelompok atlit normal sebesar 2,7% dan hemodilusi pada kelompok atlit talasemia sebesar 3,2%. Tidak dijumpai lagi hemolisis intravaskuler dan perdarahan saluran kemih serta tanda iskemia ginjal lainnya. Radar haptoglobin dan jumlah eritrosit mulai meningkat, tetapi belum mencapai kadar seperti sebelum perlombaan berlangsung.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Vivi Medina
"ABSTRAK
Latar Belakang. Optimalisasi hemodinamik perioperatif berkorelasi dengan peningkatan hasil terapi pascaoperasi. Alat pantau pulse contour analysis telah digunakan rutin pada operasi transplantasi ginjal di RSCM. Teknologi ini mahal dan harus dilakukan pemasangan akses kateter arteri. Terdapat alat ukur lain dengan kelebihan tidak invasif.Tujuan. Mengetahui kesesuaian hasil pengukuran hemodinamik antara teknik bio-impedance analysis dan pulse contour analysis pada pasien resipien transplantasi ginjal.Metode. Penelitian observasional statistik potong lintang terhadap 35 pasien resipien transplantasi ginjal di RSCM dan RSCM Kencana Jakarta periode Oktober 2017-Febuari 2018. Parameter hemodinamik pasien diukur menggunakan kedua alat uji yaitu ICONTM dan EV1000TM, pencatatan dilakukan pascainduksi, pascainsisi dan pascapelepasan klem arteri renalis. Analisis data menggunakan uji kesesuaian Bland-Altman dan korelasi.Hasil. Rerata perbedaan nilai indeks curah jantung dan indeks isi sekuncup antara kedua alat adalah 1,3 l/mnt/m2 dan 22,1 ml/denyut/m2 lebih tinggi pada EV1000TM. Rerata perbedaan hasil indeks tahanan vaskular sistemik dan stroke volume variation antara kedua alat adalah 973,3 dynes-detik-m2/cm5 dan 4,8 lebih rendah pada EV1000TM.Simpulan. Tidak terdapat kesesuaian hasil pengukuran curah jantung, tahanan vaskular sistemik dan stroke volume variation antara teknik bio-impedance analysis dengan teknik pulse contour analysis pada pasien resipien transplantasi ginjal.
Background. Hemodynamic optimization perioperative has strong correlation with improvement of post-operative outcome. Pulse contour analysis uses regularly for monitoring in renal transplantation surgery at RSCM hospital. This technology is expensive and need access to artery vascular. There is other monitoring device with excess non-invasive use. Purpose. Comparing hemodynamic measurement results between bio-impedance analysis and pulse contour analysis in renal transplant recipients.Method. Cross sectional observasional study to 35 renal transplantation recipient patients at RSCM and RSCM Kirana hospitals Jakarta during October 2017-February 2018. Each patient was measured with both devices ICONTM and EV1000TM. Data collected after induction, after incision and after renal artery release. All the data analyzed with Bland-Altmant agreement and corellation.Result. Mean difference of cardiac output index and stroke volume index are 1,3 l/mnt/m2 and 22,1 ml/denyut/m2 higher in EV1000TM. Mean difference of systemic vascular resistance index and stroke volume variation are 973,3 dynes-detik-m2/cm5 and 4,8 lower in EV1000TM. Conclusion. There is no agreement in measurement of cardiac output, systemic vascular resistance and stroke volume variation between bio-impedance analysis and pulse contour analysis in renal transplantation recipient patients. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Wigati
"Latar Belakang. Transfusi packed red cell (PRC) sering ditemui pada anak sakit kritis, dengan kemungkinan efek samping yang tidak sedikit. Beberapa laporan terakhir merekomendasikan ambang batas transfusi yang lebih rendah yaitu hemoglobin (Hb) 7 g/dL, namun data karakteristik serta pedoman transfusi PRC anak sakit kritis di Indonesia belum diketahui.
Metode. Studi dilakukan terhadap pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (PICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan diputuskan untuk mendapat transfusi PRC. Kadar Hb, saturasi vena sentral (ScvO2), rasio ekstraksi oksigen (O2ER), oxygen delivery (DO2), indeks kardiak (CI), dan indeks inotropik (INO) diukur/dihitung sebelum dan sesudah transfusi.
Hasil. Dari 92 pasien yang masuk perawatan PICU, 25 anak (27,5%) menjalani transfusi PRC dengan total 38 episode transfusi selama bulan Oktober hingga Desember 2015. Tiga episode dieksklusi dari penelitian sehingga 35 episode transfusi PRC diikutsertakan dalam analisis. Sebagian besar pasien adalah anak lelaki (77,1%) berusia 1 bulan hingga 1 tahun (45,7%), dengan median usia 2,1 (rentang 0,2 ? 16,2) tahun. Rerata Hb pre- dan pascatransfusi adalah 7,7 + 1,46 dan 10,2 + 1,97 g/dL. Rerata ScvO2 dan O2ER pretransfusi normal, yaitu 73,8 + 6,46 % dan 0,25 + 0,070, dengan rerata pascatransfusi tidak berbeda bermakna untuk keduanya, yaitu 79,0 + 5,92 % dan 0,19 + 0,056. Perbedaan rerata DO2, CI, dan INO pre- dan pascatransfusi juga tidak bermakna secara klinis maupun statistik. Analisis subgrup yang menunjukkan perbedaan bermakna secara klinis adalah pada anak dengan ScvO2 pretransfusi < 70%. Subgrup ini menunjukkan rerata Hb pretransfusi 7,2 + 1,69 g/dL, dengan nilai ScvO2 pre- dan pascatransfusi sebesar 64,1 + 4,71 % (nilai p 0,181) serta O2ER pre- dan pascatransfusi 0,34 + 0,055 dan 0,21 + 0,080 (nilai p 0,152).
Simpulan. Studi terhadap praktek transfusi PRC di PICU RSCM tidak menunjukkan perubahan hemodinamik yang bermakna. Analisis lebih lanjut pada anak sakit kritis dengan nilai ScvO2 < 70% sebelum mendapatkan transfusi PRC cenderung menunjukkan perbaikan hemodinamik. Penelitian lebih lanjut mengenai ambang batas Hb atau ScvO2 untuk memutuskan pemberian transfusi PRC perlu dilakukan.

Background. Transfusion of packed red cells (PRC) often found in critically ill children, with the possibility of side effects is not uncommon. Later reports recommended a lower hemoglobin (Hb) for transfusion threshold, nevertheless the characteristics and transfusion guidelines PRC critically ill children in Indonesia is yet unknown.
Methods. This study was conducted on patients admitted to the pediatric intensive care unit (PICU) Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) and underwent PRC transfusion. Hemoglobin level, central venous saturation (ScvO2), oxygen extraction ratio (O2ER), oxygen delivery (DO2), cardiac index (CI), and inotropic index (INO) were measured/calculated before and after transfusion.
Results Of the 92 patients admitted to the PICU, 25 children (27.5%) were given PRC transfusion with a total of 38 episodes of transfusion during October to December 2015. Three episodes were excluded from the study that 35 episodes of PRC transfusion were included in the analysis. Most patients were boys (77.1%) aged 1 month to 1 year (45.7%), with a median of age 2.1 (range 0.2 to 16.2) yearold. Mean Hb pre- and post transfusion were 7.7 + 1.46 and 10.2 + 1.97 g/dL. The average ScvO2 and O2ER before transfusion were still in normal range, i.e. 73.8 + 6.46 % and 0.25 + 0.070, without significantly different levels after transfusion, i.e. 79.0 + 5.92% and 0.19 + 0.056. The mean differences of DO2, CI, and INO pre- and post transfusion were neither clinically nor statistically significant. Subgroup analysis that revealed clinically significant difference was children with pretransfusion ScvO2 <70%. This subgroup mean pretransfusion Hb was 7.2 + 1.69 g/dL, with pre/post transfusion ScvO2 values of 64.1 + 4.71% (p-value 0.181) and pre/post post transfusion O2ER 0.34 + 0.055 and 0.21 + 0.080 (p-value 0.152).
Conclusions. Study on PRC transfusion practice in PICU RSCM showed no significant hemodynamic changes. Subgroup analysis of critically ill children with ScvO2 <70% before PRC transfusion indicated hemodynamic improvement. Further research on optimal transfusion thresholds, e.g. hemoglobin level or ScvO2, for PRC transfusion decision-making need to be done.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saptadi Yuliarto
"Tingginya angka mortalitas syok anak dapat dicegah dengan deteksi dini dan terapi adekuat. Parameter hemodinamik digunakan sebagai dasar tatalaksana syok. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perubahan parameter hemodinamik pada pasien syok anak pasca resusitasi cairan dan obat-obatan vasoaktif. Penelitian deskriptif ini dilakukan di instalasi gawat darurat dan rawat intensif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, Januari 2013-September 2014, pada seluruh anak yang mengalami syok. Pengukuran hemodinamik dengan USCOM dilakukan pada jam I dan VI. Sebagian besar pasien mengalami syok hipodinamik dan refrakter cairan pasca resusitasi. Pasca pemberian obat-obatan vasoaktif, terjadi peningkatan inotropy pada sebagian besar kasus, namun diikuti oleh peningkatan afterload.

The high mortality rate in pediatric shock can be prevented by early detection and adequate management. Hemodynamic parameters is useful for guiding shock management. The aim of study was describing hemodynamic parameters in pediatric shock after fluid resuscitation and vasoactive drugs therapy. This descriptive study was conducted at emergency room and intensive care unit, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, in January 2013 ? September 2014, including all shock children. The hemodynamic was measured by USCOM in 1st and 6th hour. Most patients suffered from hypodynamic and fluid-refractory shock after fluid resuscitation. Post-administration of vasoactive drugs, inotropy and afterload increased in most cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Anggi Sinantara
"Latar Belakang. Pemantauan respon keadaan nosiseptif dengan objektif melalui metode non-klinis masih dalam keadaan pengujian dan pengembangan, tanpa metode yang terdokumentasi dan terbukti baik untuk penggunaan sehari-hari secara klinis. Pemantauan terhadap nosiseptif hingga saat ini lebih banyak berdasarkan status hemodinamik pasien yang dinilai dari laju nadi dan tekanan darah. qNOX telah membuktikan korelasi dengan tanda-tanda klinis dari nosiseptif dan/atau antinosiseptif yang tidak memadai, seperti gerakan selama insersi LMA, laringoskopi dan intubasi trakea Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea.
Metode. Penelitian merupakan penelitian reliabilitas dan diagnostik yang menilai kesesuaian nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea, dan menilai validitas qNOX sebagai prediktor respon nyeri. 54 subjek dilakukan pendataan nilai qNOX sebelum dilakukan intubasi, dan dua kali pendataan hemodinamik yaitu sebelum anestesia dan dalam satu menit pasca-intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dan dikategorikan menjadi reaktif dan nonreaktif. Data qNOX yang didapatkan dikategorikan menjadi responsif dan nonresponsif. Hasil. Uji Kappa menunjukkan kesesuaian qNOX dengan perubahan hemodinamik adalah bermakna dengan nilai Kappa 0,715. qNOX menunjukkan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 86%.
Simpulan. Terdapat kesesuaian yang kuat antara nilai qNOX dengan perubahan hemodinamik sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX dan perubahan hemodinamik merupakan prediktor respon nyeri yang reliabel dalam prediksi respon nyeri pada prosedur intubasi trakea. qNOX memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi sebagai prediktor respon nyeri pada prosedur intubasi
trakea.

Background. Objectively monitoring the response of nociceptive states through non-clinical methods is still in testing and development, without well-documented and proven methods for clinical daily use. Nociceptive monitoring to date has largely been based on the patient's hemodynamic status as measured by heart rate and blood pressure. qNOX has been shown to correlate with nociceptive and / or inadequate antinociceptive clinical signs, such as movements during LMA insertion, laryngoscopy and tracheal intubation. Therefore, researchers want to find out the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of
pain response in tracheal intubation procedures.
Method. The study is a reliability and diagnostic study that assesses the suitability of qNOX values with hemodynamic changes as predictors of pain response intracheal intubation procedures, and assesses the validity of qNOX as a predictor of pain response. 54 subjects were collected qNOX values before intubation, and hemodynamic data collection twice before anesthesia and within one minute postintubation. Hemodynamic data is then determined by the difference and categorized as reactive and nonreactive. The qNOX data obtained is categorized as responsive and non-responsive. Results. Kappa test shows that the suitability of qNOX with hemodynamic changes is significant with a Kappa value of 0.715. qNOX shows a sensitivity of 100% and a specificity of 86%. Conclusion. There is a strong compatibility between qNOX values and
hemodynamic changes as predictors of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX and hemodynamic changes are reliable predictors of pain response in the prediction of pain response in tracheal intubation procedures. qNOX has a high sensitivity and specificity as a predictor of pain response in tracheal intubation procedures.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Kurniawan
"Pendahuluan: Laparoskopi memiliki risiko intraoperatif dan pascaoperasi, termasuk instabilitas hemodinamik dan nyeri pascaoperasi. Anestesi umum sering digunakan untuk operasi ini, namun teknik ini tidak menekan peningkatan resistensi vaskular sistemik selama laparoskopi sehingga fluktuasi hemodinamik tetap terjadi. Sayatan dinding abdomen dan regangan peritoneum selama operasi juga menyebabkan nyeri somatis dan viseral yang dirasakan pascaoperasi. Penambahan blok TAP pada operasi laparoskopi belum memuaskan disamping memerlukan instrumen tambahan serta bergantung pada kemampuan operator. Anestesi spinal dapat menguntungkan karena dapat menetralkan peningkatan SVR dan menghambat nyeri selama operasi, namun penggunaannya dikaitkan dengan mobilisasi yang tertunda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menjaga perubahan hemodinamik intraoperatif, nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan anestesi umum dan blok TAP.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 40 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok S (spinal) dilakukan anestesi spinal menggunakan bupivacaine 10 mg + morfin 50 mcg intratekal disusul anestesi umum. Kelompok T (blok TAP) dilakukan anestesi anestesi umum disusul blok TAP dengan bupivacaine 0.25% 20 ml pada kedua sisi abdomen. Perubahan tekanan darah dan nadi, NRS pascaoperasi 3 jam dan 6 jam, waktu untuk mencapai Bromage 0, serta kejadian nyeri bahu dan mual muntah pascaoperasi dicatat. Hasil: Pada kelompok S terdapat perubahan tekanan darah sistolik yang signifikan dibandingkan dengan kelompok T setelah 15 menit insuflasi (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). Tidak ada perbedaan nyeri pascaoperasi dan waktu pulih pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menurunkan tekanan darah sistolik, namun tidak berbeda dalam nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan kombinasi anestesi umum dan blok TAP.

Introduction: Laparoscopy is associated with intraoperative and postoperative risks, including hemodynamic instability and postoperative pain. Although general anesthesia is often used for this procedure, hemodynamic fluctuations still occur because this technique does not suppress the increase in systemic vascular resistance during laparoscopy. Incisions in the abdominal wall and stretching of the peritoneum during surgery can also cause somatic and visceral pain after surgery. Adding TAP block to laparoscopic surgery is not satisfactory, apart from requiring additional instruments and depending on the operator’s abilities. Spinal anesthesia may be beneficial as it can counteract the increase in SVR and suppress pain during surgery, but its use is associated with delayed mobilization. The purpose of this study is to determine whether the combination of general and spinal anesthesia is superior in maintaining intraoperative hemodynamic changes, postoperative pain, and recovery time compared to general anesthesia and TAP blockade.
Methods: This study is a single-blind, randomized clinical trial with 41 patients divided into two groups. Group S (spinal) received spinal anesthesia with 10 mg bupivacaine + 50 μg morphine administered intrathecally, followed by general anesthesia. Group T (TAP block) received general anesthesia followed by TAP block with 20 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the abdomen. Intraoperative blood pressure and heart rate changes, NRS at 3 and 6 hours postoperatively, time to reach bromage 0, and occurrence of postoperative shoulder pain and nausea and vomiting were recorded.
Results: In group S there was a significant change in systolic blood pressure compared to group T after 15 minutes of insufflation (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). There was no difference in postoperative pain and recovery time in the two groups.
Conclusion: The combination of general anesthesia and spinal anesthesia is better in reducing systolic blood pressure, but does not differ in postoperative pain and recovery time compared to the combination of general anesthesia and TAP block.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tori Rihiantoro
"Terapi musik memiliki manfaat yang besar dalam dunia kesehatan. Beberapa studi telah dilakukan, namun yang berfokus pada pasien koma dan status hemodinamik masih sedikit yang dipublikasikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap status hemodinamik pada pasien koma. Penelitian ini menggunakan disain quasi experimental one group pre post, dengan teknik consecutive sampling didapatkan sampel sebesar 21 pasien. Analisi deskriptif mengambarkan terjadi penurunan rata-rata MAP sesudah dilakukan terapi musik sebesar 6,80 mmHg, penurunan rata-rata heart rare sesudah terapi musik sebesar 6,76 kali/menit dan terjadi penurunan rata-rata frekuensi pernapasan sesudah terapi musik sebesar 4,08 kali/menit. Hasil analisis bivatiat dengan dependent t test menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna terapi musik terhadap MAP (p value = 0,03l), heart rare (p value = 0,015) dan frekuensi pernapasan (p value = 0,000). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna terapi musik terhadap status hemodinamik pada pasien koma di ruang ICU RSUDAM Propinsi Lampung. Hal ini dapat terjadi karena terapi musik dengan memperdengarkan musik instrumentalia healing sound mampu menciptakan efek relaksasi sehingga mampu menurunkan tingkat kecemasan, stressor dan stimulus-stimulus lain yang berpengaruh buruk terhadap hemodinamik pasien. Efek relaksasi tersebut dapat menurunkan indikator-indikator hemodinamik seperti MAP, heart rare dan frekuensi pernapasan. Penurunan indikator status hemodinamik pada pasien koma dengan cidera kepala dan stroke akan membantu stabilisasi hemodinamik pasien sekaligus membantu proses pemulihan pasien."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T22853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Kautsar
"Latar belakang: Duktus arteriosus persisten signifikan hemodinamik (DAPsh) ditandai dengan peningkatan aliran darah paru dan penurunan aliran darah sistemik. Hipoperfusi sitemik yang menyebabkan penurunan oksigenasi jaringan dapat dideteksi menggunakan near-infrared spectroscopy (NIRS) yang dipasang di area serebral, renal, dan abdomen.
Tujuan: Mencari nilai diagnsotik dari NIRS serebral, renal, dan abdominal dalam mendeteksi dini DAPsh pada bayi <32 minggu.
Metode: Sebanyak 43 subjek bayi prematur dilakukan pemantauan dengan memasang NIRS serebral, renal, dan abdomen pada 3 jam pertama selama 72 jam. Semua subjek dilakukan pemeriksaan dengan ekokardiografi dalam 24 jam pertama untuk menilai adanya DAPsh. Kriteria ekokardiografi yang digunakan termasuk parameter oversirkulasi paru dan pola aliran doppler di serebral, renal, dan abdominal. Nilai rerata dari NIRS selama 72 jam dibandingkan antara kelompok DAPhs dan non-DAPhs.
Hasil: Terdapat 10 subjek dengan DAPsh dan 33 subjek tanpa DAPsh. Median dari nilai RrSO2 pada kelompok dengan DAPsh lebih rendah dibanding kelompok tanpa DAPsh, 72 (44-87) vs 78 (48-89) (p=0,044). Dengan menggunakan kurva ROC, nilai titik potong < 74% memiliki sensitivitas sebesar 80% dan spesifisitas sebesar 70%. Sedangkan nilai CrSO2 dan SrSO2 tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Nilai RrSO2 < 74% dapat memprediksi adanya DAPsh pada bayi <32 minggu.

Background: Hemodynamically significant patent ductus arteriosus (hsPDA) is characterised by systemic hypoperfusion and pulmonary overcirculation. Systemic hypoperfusion with subsequent decrease of tissue oxygenation can be detected using near-infrared spectroscopy (NIRS) applied at the cerebral, renal, and abdominal areas.
Objective: To seek the diagnostic value of cerebral, renal, and splanchnic NIRS to detect hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
Methods: Forty-three very preterm infants (birth weight <1500 gr and gestational age <32 weeks) were monitored continuously with cerebral, renal, and abdominal NIRS within three hours after birth for 72 hours. All infants were prospectively evaluated using echocardiography to detect hsPDA within 24 hours after birth daily during the NIRS application. Echocardiography criteria to diagnose hsPDA included indices of pulmonary overcirculation and organ Doppler pattern at cerebral, renal, and splanchnic. The mean value of regional NIRS during its application was compared between the hsPDA and no- hsPDA groups.
Results: Of 43 infants, there were 10 infants with hsPDA and 33 with no hsPDA. A lower median of mean RrSO2 was noted in hsPDA groups compared to no-hsPDA groups, 72 (44-87) vs 78 (48-89), respectively (p=0.044), while no significant difference was found in CrSO2 and SrSO2. Using ROC curves, Mean RrSO2 < 74% identified an hsPDA with a sensitivity of 80% and specificity of 70%, while CrSO2 and SrSO2 were not significant
Conclusion : Low RrSO2 <74% was associated with the presence of hsPDA in infants < 32 weeks of gestation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mefri Yulia
"Latar Belakang. Laringoskopi dan intubasi dilakukan untuk memfasilitasi tindakan anestesia umum. Prosedur ini mengakibatkan nyeri dan memicu pelepasan katekolamin yang dapat menimbulkan respon hemodinamik berupa hipertensi dan takikardia. Berbagai macam obat digunakan untuk menekan respon hemodinamik salah satunya lidokain namun masih tidak dapat meniadakan respon hemodinamik. MgSO4 memiliki banyak manfaat salah satunya untuk menekan hipertensi dan takikardia yang dicetuskan oleh tindakan intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas MgSO4 dibandingkan lidokain dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.
Metode. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar ganda, dengan 42 pasien yang menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu MgSO4 dan lidokain. Kriteria inklusi adalah usia 18-65 tahun dengan status klinis ASA 1-2. MgSO4 25 mg/kg intravena diberikan dengan syringe pump selama 10 menit sebelum induksi dan lidokain 1,5 mg/kg diberikan secara bolus setelah pemberian atrakurium. Respon hemodinamik diukur pada saat awal, pasca induksi, saat intubasi, menit ke-1,3 dan 5 setelah intubasi. Data hemodinamik kemudian ditentukan selisihnya dari nilai pasca induksi dan dibandingkan antara kedua kelompok.
Hasil. Uji General Linear Model menunjukkan MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi dinilai dari sistolik, diastolik, MAP dan laju jantung dengan p > 0,05 pada saat intubasi dan menit ke-1,3,5 setelah intubasi dibandingkan nilai pasca induksi pada semua variabel hemodinamik antara kedua kelompok.
Simpulan. MgSO4 25 mg/kg intravena tidak lebih efektif dibandingkan lidokain 1,5 mg/kg intravena dalam menekan respon hemodinamik saat intubasi.

Background. Laringoscopy and intubation is performed for facilitating general anesthesia procedure. This procedure induces pain and stimulate cathecolamine release which gives rise to a hemodynamic response such as hypertension and tachycardia. Many methods has been used to prevent this response such as lidocain, but still there is no method that can eliminate the hemodynamic response. MgSO4 has a lot of benefit effect including supressing hypertension and tachycardia which is induced by intubation procedure. This study aims to compare the effectiveness of MgSO4 with lidocain in supressing hemodynamic response during intubation.
Methods. This study is double blind clinical study on 42 patients undergoing general anesthesia with endotracheal intubation and is divided into two groups: MgSO4 and lidocaine. Inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1-2. Intravenous MgSO4 25 mg/kg was given by syringe pump for 10 minutes before induction and lidocaine 1,5 mg/kg was given by bolus injection after atrakurium was administered. Hemodynamic response were recorded at baseline, post induction, intubation, 1,3,5 minutes after intubation. Hemodynamic data is determined by the difference from the post induction value and is compared between two groups.
Results. General Linear Model Test shows intravenous MgSO4 25 mg/kg is not more effective than intravenous lidokain 1,5 mg/kg in supressing hemodynamic response during intubation from systolic, diatolic, MAP and heart rate variable with p > 0,05 during intubation, and 1,3,5 mintues after intubation between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lough, Mary E.
St. Louis: Elsevier Mosby, 2016
612.140 28 LOU h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>