Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 94238 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nartono Kadri
"ABSTRAK
Penyakit hemolitik neonatal (PHN) adalah suatu penyakit dengan umur sel darah merah janin atau neonatus yang memendek akibat antibodi ibunya. Antibodi ibu yang dapat menyeberang plasenta ialah IgG. Dengan ditemukannya upaya preventif anti Rho (anti-D) terhadap penyakit hemolitik Rhesus, maka pada waktu ini PHN akibat inkompatibilitas golongan darah ABO ibu-janin (PHN-ABO) merupakan penyebab utama terjadinya penyakit hemolitik isoimun pada neonatus.
PHN-ABO lebih sering ditemukan pada bayi golongan darah A atau B dan ibu golongan darah O, dan angka kejadiannya berbeda bermakna dibandingkan dengan kehamilan inkompatibel pada ibu golongan darah A atau B.Hal ini disebabkan karena antibodi anti-A atau anti-B pada ibu golongan darah O umumnya adalah klas IgG (7S) yang dapat menyeberang lintas plasenta, sedangkan pada ibu golongan darah A atau B umumnya adalah klas IgM (19S) yang tidak dapat menyeberang plasenta. Kehamilan inkompatibel ibu golongan darah O dengan janin golongan darah A atau B ditemukan sekitar 15-40% dari seluruh kehamilan.
Dalam masyarakat Indonesia, kelompok golongan darah O merupakan persentase tertinggi dibandingkan kelompok golongan darah lainnya yaitu 40,8%, diikuti golongan A, B kemudian. AB. Di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSUPN CM), 59,2% ibu bergolongan darah O melahirkan bayi golongan darah A atau B.
Sekitar 20%-30% penderita ikterus neonatal dari berbagai ras ternyata berlatar belakang inkompatibilitas ABO. Pada beberapa penelitian terpisah, ditemukan bahwa resiko kejadian PHN-ABO lebih tinggi pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Di Afrika Selatan, ditemukan 47% dari penderita ikterus neonatal disebabkan oleh inkompatibilitas ABO. Pemeriksaan laboratorik uji antiglobulin direk positif, pada etnis kulit berwarna berbeda bermakna dibandingkan dengan etnis kulit putih. Tindakan transfusi tukar atas indikasi hiperbilirubinemia berlatar belakang kehamilan dengan inkompatibel ABO mempunyai persentase yang cukup tinggi. Angka kejadian di Afrika Selatan adalah 55% dari seluruh tindakan transfusi tukar, di Jakarta ditemukan sekitar 42,4%, dan di Singapore sebanyak 28%.
Di daerah yang keadaan lingkungan hidupnya belum memadai, kejadian PHN-ABO lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang lingkungan hidupnya lebih baik, hal ini disebabkan adanya paparan substansi dari lingkungan berupa bakteri atau parasit. Beberapa bakteri misalnya E.coli dan parasit cacing Ascaris lumbricoides dan Necator americanus yang banyak ditemukan di daerah lingkungan hidup kurang sehat, ternyata mengandung substansi yang mirip dengan komponen sel darah merah A atau B. Bila paparan oleh substansi demikian terjadi secara berulang dan kontinu, dapat menimbulkan reaksi antigen antibodi sekunder terhadap antibodi alamiah yang telah ada pada ibu, terjadilah pembentukan antibodi lebih cepat dan tinggi. Pada wanita hamil yang mempunyai titer antibodi anti-A atau anti-B tinggi, kemungkinan terjadinya penyakit hemolitik ABO pada bayinya makin tinggi pula."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
D179
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Astasari Widodo
"ABSTRAK
Latar Belakang: Fototerapi NB-UVB merupakan salah satu modalitas terapi penyakit kulit pada lansia, terlebih populasi ini sering kali memiliki komorbiditas untuk mengonsumsi obat sistemik. Penentuan dosis awal yang akurat penting, karena dosis yang terlalu rendah akan memperpanjang waktu respons terapi sedangkan dosis yang terlalu tinggi dapat meningkatkan risiko efek fototoksik. Penentuan dosis awal fototerapi NB-UVB menggunakan pengukuran DEM merupakan metode yang lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan tipe kulit Fitzpatrick karena respons tiap individu terhadap pajanan sinar dapat berbeda. Kulit lansia berbeda dibandingkan kulit dewasa akibat proses penuaan. Sejumlah perubahan yang terjadi dapat memengaruhi respons kulit terhadap pajanan sinar ultraviolet, termasuk respons eritema. Perbedaan respons eritema pada lansia dapat mengakibatkan perubahan DEM. Penentuan dosis fototerapi berdasarkan DEM yang tepat akan memberikan hasil terapi yang lebih optimal. Metode: Penelitian ini adalah uji klinis dengan analisis statistik yang membandingkan DEM pada lansia dan dewasa. Pada penelitian ini dilakukan perhitungan DEM berdasarkan respons eritema kulit relatif terhadap enam dosis pajanan sinar NB-UVB yang berbeda pada lansia berumur di atas 60 tahun dan dewasa berumur 18-45 tahun. Total 69 sampel dibagi menjadi kelompok dewasa dan lansia. Penyinaran dilakukan dengan alat fototerapi Waldmann UV109 TL-01 pada jendela yang dibuka. Jendela diradiasi sesuai dosis dimulai dari 300, 500, 700, 900, 1100, dan 1300 mJ/cm2. Hasil penyinaran dibaca pada 24 jam dan 48 jam pasca penyinaran oleh tiga orang penilai berbeda dengan pemahaman yang sama terhadap pembacaan DEM nilai ICC mendekati 1 Hasil: Pada kelompok dewasa, rerata DEM 24 jam didapatkan sebesar 554 182 mJ/cm2 dan rerata DEM 48 jam sebesar 606 167 mJ/cm2. Rerata DEM 24 jam lansia adalah 702 340 mJ/cm2 dan DEM 48 jam 836 341 mJ/cm2. DEM 24 jam dan 48 jam lansia lebih tinggi dibandingkan dewasa, namun hanya DEM pada 48 jam yang bermakna secara statistik p=0,026 . Pada kelompok lansia, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik antara DEM 24 dan 48 jam p

ABSTRACT
Background UVB phototherapy is one of therapy modalities of skin diseases in elderly, in which comorbidities are often present thus taking systemic agent. To determine initial dosage is important. A dosage that is too low would lengthen the therapy response period, whereas a dosage that is too high could increase phototoxic side effect. The determination of UVB phototherapy initial dosage using MED measurement is a more accurate method compared with Fitzpatrick skin type due to different response of each individual to light exposure. Elderly rsquo s skin is different compared with adult rsquo s skin because of aging. Such changes could influence skin response to ultraviolet light exposure, for instance, erythema response. The difference of erythema response in elderly could lead to MED change. The determination of phototherapy dosage based on accurate MED would yield better therapy outcome. Methods This study was a clinical trial with statistical analysis to compare MED in elderly and adults. In this study, MED calculations were based on skin erythema responses relative to six different exposure doses of NB UVB in elderly people aged over 60 years and adults aged 18 45 years. The irradiation is done with a Waldmann UV109 lamp on the opened window. Window irradiated according to dosage starting from 300, 500, 700, 900, 1100, and 1300 mJ cm2. Responses were examined at 24 hours and 48 hours post irradiation by three different assessors with the same understanding of the DEM reading ICC values approaching 1 Results In adult group, the mean of 24 hours MED was 554 182 mJ cm2 and 48 hours MED was 606 167 mJ cm2. In elderly group, the mean of 24 hours MED was 702 340 mJ cm2 and 48 hours MED was 836 341 mJ cm2. 24 hours MED and 48 hours MED in elderly were higher compared with adults rsquo , although only 48 hours DEM that was statistically significant p 0.026 . In elderly group, a statistically significant difference between 24 hours MED and 48 hours MED was found p"
Depok: 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Guntur Bumi, Author
"ABSTRAK
Penentuan golongan daran ABU dari tulang manusia telah dilakukan pada mayat di Bagian Kedmkteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Jakarta dan Bagian Hedokteran Forenaik Fakultas Kedokteran Universitaa Sumatera Utara di Medan. Mayat-mayat ini herasal dari kasus-kasus kecelakaan yang diminta oleh penyidik untuk di autapsi.
Penentuan gnlungan darah AED dilakukan denQan metoda absnrpsi elusi yang menggunakan bahah dari Biofarma Bandung serum anti A dan serum anti E' dengan titer 1 : 125, sedangkan anti H beraaal dari biji ulex europaeua dengan titer 1 : 32.
Hasil penelitian pada 30 kasus menunjukkan banwa golongan darah dari tulang masih dapat ditentukan dalam jangka waktu EO minggu setelan kematian. Perubahan intenitas reaksi aglutinasi dari (+++) menjadi (++) untuk anti A mulai terlinat setelah 4 minggu dan telah lengkap pada seluruh tulang setelah 10 minggu. Sedangkan untuk anti B dan anti H, perubahan intensitas reaksi tersebut mulai terlinat setelah 4 minggu' dan menjadi lengkap pada seluruh tulana setelah B minggu.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi.
Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandra Sasmita
"Skripsi ini dibuat untuk merancang perangkat lunak yang dapat mengidentifikasi golongan darah melalui proses 'image processing' dengan menggunakan 'Hidden Markov Model'. Darah manusia terbagi menjadi 4 golongan menurut sistem penggolongan darah ABO. Pengolongan ini dapat dikenali dengan berbagai metode. Skripsi ini bertujuan sebagai penelitian untuk menganalisa pengenalan golongan darah manusia dalam bentuk 'Image' dengan metode 'Hidden Markov Model' (HMM) yang selanjutnya akan dihasilkan keluaran dalam bentuk probabilitas. Proses pengenalan darah dikhususkan dengan memasukkan 'image' ke dalam pemrogaman perhitungan matematis.
Selanjutnya penelitian dilakukan 2 tahapan, yaitu: pembentukan 'database' dan proses pengenalan. Pada proses pembuatan 'database', gambar akan dibagi-bagi menjadi beberapa 'frame' agar lebih memudahkan proses. Setiap 'frame' diubah ke dalam domain frekuensi menjadi bilangan vektor yang disebut 'sample point'. Kumpulan beberapa 'sample point' terdekat dikuantisasi menjadi sebuah nilai yang disebut 'centroid' dan kumpulan 'centroid' ini menghasilkan sebuah 'codeword', untuk kemudian disimpan dalam sebuah 'database codebook'.
Semua data dalam 'database codebook' diolah sehingga menghasilkan parameter-parameter HMM yang kemudian disimpan dalam sebuah 'database' HMM yang akan menghasilkan nilai-nilai 'log of probability' untuk setiap perbandingan target gambar dengan data pada database HMM. Data dengan nilai 'log of probability' yang paling tinggi disimpulkan sebagai keluaran dari keseluruhan proses. This final project of undergraduate program was created to design the software that could identify ABO blood type with applying Hidden Markov Model.

Human blood consist of 4 categories based on ABO blood type. This categorization can be recognized with some method, such as: Fuzzy Logic, Neural Network, Hidden Markov model. The purpose of this project was identify the human blood using special software with applying Hidden Markov Model with minimal error, so the results still can show what the reality are. We got the results from the highest probability that comes from the output of Hidden Markov Model. For better and easiest programming, we used special mathematical software.
Later on, the examination was conducted in 2 steps. The 1st was to make a database and 2nd to do the identification. In the 1st step, the picture was cropped and standardized to the exact same file extension and same matrix form. We call the results as frames in which we change it over to frequency domain that hence numerical vector in which we call it as sample point. Some collection of sample point were calculated as a value that we call as centered point and the collection of these centered points was called codeword that was stored as a database codebook.
All the codeword was calculated to get HMM parameter that was stored in a HMM database as log of probability value for every comparison with the target picture. Log of probability value would show the conclusion of the target picture which also means what type the blood belongs.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S40577
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Pekey
"ABSTRAK
Latar Belakang : Infeksi malaria menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan pada semua usia terutama kelompok berisiko tinggi. Golongan darah ABO dikatakan dapat mempengaruhi berat ringannya malaria namun pada etnik dan geografis tertentu dapat berbeda. Meskipun beberapa penelitian terakhir mengatakan terdapat hubungan namun terdapat beberapa penelitian yang tidak menemukan hubungan tersebut termasuk di Papua New Guinea yang memiliki karakteristik etnik dan alam yang mirip dengan Papua. Selain itu pada beberapa studi sebelumnya jumlah sampel yang digunakan hanya sedikit, terdapat hasil statistik yang tidak bermakna, melibatkan sampel anak serta beberapa hanya dilakukan berbasis laboratorium Laboratory base . Pada penelitian ini kami menggunakan sampel yang lebih banyak, tidak melibatkan sampel anak dan penelitian dilakukan berbasis rumah sakit Hospital base . Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di RSUD Dok II Jayapura Indonesia dari September hingga November 2016. Sebanyak 210 subjek malaria yang memenuhi kriteria dikategorikan menjadi golongan darah O dan Non O serta malaria berat dan malaria ringan berdasarkan kriteria WHO. Data yang diperoleh diolah menggunakan SPSS versi 17 dengan melakukan analisis statistik kai-kuadrat dan menghitung rasio prevalensi serta interval kepercayaan. Hasil Penelitian : Dari 210 pasien, golongan darah non-O 80 pasien 38,2 dan golongan darah O 130 pasien 61,9 . Malaria berat pada golongan darah Non O sebanyak 13 kasus 16,3 dan Golongan darah O sebanyak 9 kasus 6,9 . Terdapat perbedaan prevalensi kejadian malaria berat yang bermakna antara kedua golongan darah p = 0,032 dengan Prevalensi rasio PR 2,4 IK95 : 1,06-6,42 . Golongan darah B terbanyak mengalami malaria berat p = 0,038 dan IK95 1,06-6,42 . Prevalensi malaria berat golongan darah non O pada kedua etnik lebih tinggi terutama pada etnik non Papua non Papua, PR 3,8 IK95 0,84-17,9, p=0,143 dibandingkan Papua, PR 1,83 IK 95 0,56-5,9, p=0,356 . Kesimpulan : Terdapat hubungan bermakna golongan darah ABO dengan berat ringanya malaria. Malaria berat lebih banyak terjadi pada Golongan darah Non O terutama golongan darah B.

ABSTRACT
Background Malaria infection has caused a significant morbidity and mortality in all ages, especially in high risk groups. Various factors, including ABO blood type, can influence the severity of malaria to certain ethnic group and location. In terms of ABO blood types, several studies showed their relationship with severity of malaria. Others, such as study on Papua New Guinea which has the same characteristic with Papua Province in Indonesia, showed a contrary result. However, these studies were considered invalid due to the usage of smaller samples, with no statistical differences results, only included children and laboratory based studies. In our study, we included more samples, not involving children and did a hospital based studies. Methods This was a cross sectional study in Dok II Jayapura Hospital, Indonesia, from September to November 2016. 210 subjects were diagnosed with malaria, clinically classified according to WHO criteria and underwent ABO blood type examination. Blood type was categorized into O and Non O groups. Malaria severity was classified into severe and mild malaria. Results Out of 210 patients, 80 38.2 and 130 61.9 were Non O and O blood types respectively. Severe malaria was commonly found in Non O compare to O blood type 16.3 vs 6.9 prevalence ratio PR 2.4 95 CI 1.06 6.42 p 0.032 . Moreover, group B blood type had the highest incidence of severe malaria p 0.038 95 CI 1.06 6.42 . In addition, Non O blood group in both Papuan and Non Papuan races had a greater prevalence of severe malaria Papuan, PR 1.83, 95 CI 0.56 5.9 p 0.356, compared with Non Papuan, PR 3.8, 95 CI 0.84 17.9, p 0.143 .Conclusion There is a significant relationship between ABO blood group and the severity of malaria in Papua. Severe malaria was more common in Non O, especially type B blood group. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elza Ibrahim
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Penelitian ini bertujuan mencari derajat ketepatan penentuan golongan darah ABO dari material gigi yang diambil dari 145 subyek. Determinasi golongan darah dilakukan pada bahan email, dentin dan pulpa serta dari darah pasta pencabutan sebagai kontrol. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok : 54 gigi non-karies yang dibelah dua, sebagian segera dilakukan penentuan golongan darah, sebagian lagi dibiarkan dalam suhu kamar (29±4°C) selama satu bulan sebelum ditentukan golongan darahnya. Sebagai perbandingan 36 gigi non-karies dikubur dalam tanah selama satu bulan sebelum dilakukan penentuan golongan darah dan 55 gigi karies yang langsung ditentukan golongan darahnya. Penentuan golongan darah dilakukan dengan metode absorpsi elusi.
Hasil dan Kesimpulan : Hasil menunjukkan pada kelompok non-karies, frekuensi ketepatan pada sampel email lebih kecil secara signifikan dibanding dentin, pulpa dan darah (p<0,01), sedangkan antara dentin, pulpa dan darah tidak ada perbedaan yang bermakna. Dan email, hanya 37-59 % yang terdeteksi bertar, diduga disebabkan karena rendahnya fraksi organik gigi dibagian ini. Sampel dentin dan pulpa tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna baik pada paparan tanah maupun suhu kamar selama satu bulan. Secara keseluruhan untuk dentin dan pulpa persentase ketepatan penentuan golongan darah pada gigi non-karies berkisar antara 94-100 %, sedangkan untuk gigi karies 65-87 %. Disini terlihat bahwa frekuensi ketepatan penentuan golongan darah dan dentin dan pulpa pada karies pulpa lebih kecil secara signifikan dibandingkan non-karies (p<0,01). Ketepatan penentuan golongan darah antara gigi karies dentin dan karies pulpa tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Dapat disimpulkan bahwa materi email tidak dianjurkan untuk digunakan dalam penentuan golongan darah dari material gigi. Sedangkan dentin, pulpa dan kemungkinan gigi utuh secara keseluruhan dapat dipercaya untuk penentuan golongan darah waupun proporsi ketepatan agak lebih rendah dibandingkan darah secara langsung, materi dari suatu gigi utuh cukup memenuhi persyaratan dalam penentuan golongan darah. Efek kontaminasi mikro-organisme karies secara signifikan juga terlihat dalam hasil penelitian ini, yang berarti membatasi relabilitas ketepatan penentuan golongan darah dalam identifikasi forensik. Bila dimungkinkan sebaiknya digunakan gigi non-karies dan dalam keadaan terpaksa dipilih seminimal mungkin gigi karies.

Determination of ABO Blood Grouping Using Tooth Material: Supporting Information for Forensic IdentificationScope and methods of research: To study the efficiency and robustness of ABO blood grouping from tooth material, extracted tooth samples from 145 people were ABO blood grouped torn enamel, dentine and pulp, with direct blood grouping at the time of extraction as control. Of the 145 tooth samples, a half of 54 teeth without caries and 55 whole teeth with caries were blood grouped immediately (within few days). The other half of the 54 teeth without caries were stored at room temperature (29±4°C) for one month. For all cases, straightforward absorption elution technique was used br ABO blood grouping from tooth material.
Results and Conclusions: From enamel, the proportion of correctly ABO blood grouped tooth samples without caries was only 37 to 59 % and significantly smaller (p<0,01) than from dentine, pulp or control (blood). In comparison, for dentine and pulp 94 to 100 % of the results were correct for teeth without caries, and there was no significant difference between dentine, pulp and control immediately after extraction. With the exception of relatively unreliable blood grouping from enamel, storing non-caries teeth for one month at room temperature appears to exert no significant influence in comparison with immediate blood grouping after extraction. However, one month underground made it significantly less likely (p<0,01 for dentine and pulp) to achieve correct blood grouping from non-caries tooth material in comparison with immediate blood grouping after extraction or one month storage at room temperature. For dentine and pulp, only 65 to 87 % of blood grouping results were correct for teeth with caries. Particularly caries pulpa appears to make correct blood grouping from tooth material (dentine and pulp) significantly less likely (p<0,01) than torn non-caries teeth. Similar tendency for teeth with caries dentine was weaker, but there was no significant difference in correct blood grouping torn teeth with caries dentine and caries pulpa.
The results confirm that enamel alone is unreliable material for ABO blood grouping. However, dentine, pulp and probably whole teeth without caries can be used hr blood grouping with reasonable confidence. The material torn a single tooth appears sufficient for blood grouping in such cases. The results also imply adverse effects of microbial contamination by caries and soil contact, which can limit the reliability of correct blood grouping from teeth in forensic applications. When the choice is possible, tooth material with as little caries as possible should be used.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Triana
"ABSTRAK
Dermatoglifi merupakan qambaran sulur kulit pada ujung jari tangan, telapak tangan, ujung jari kaki dan telapak kaki. Pada penelitian ini dilakukan analisis dermatoglifi ujung jari tangan pada mahasiswa FMIPA UI berdasarkan golongan darah sistem ABO dengan tujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan dermatoglifi di antara golongan darah 0, A, B, dan AB. Sampel terdiri dari 78 mahasiswa/mahasiswi FMIPA UI yang terdiri dari golongan darah 0 = 25 orang, golongan darah A = 20 orang, golongan darah B = 23 orang, dan golongan darah AB = 10 orang. Metoda yang digunakan adalah mencetak dermatoglifi ujung jari tangan dengan tinta finger print seperti yang dilakukan oleh Cummins dan Midlo. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Urutan frekuensi tipe pola dari yang tertinggi pada mahasiswa FMIPA UI adalah loop, whorl dan arch. Indeks Dankmeijer (ID) pada golongan darah 0 = 0; A = 8,24; B = 0,93; AB = 10,53. Rata-rata Jumlah Semua Triradius (JST) pada golongan darah 0 = 13,76; A = 14,05; B = 14,52; AB = 13,5. Rata-rata Jumlah Semua Sulur (JSS) pada golongan darah 0 = 147,36; A = 129,3; B = 140,09; AB = 122,6. Hasil uji Kruskal- Wallis terhadap tipe pola, JST dan JSS pada keempat golongan darah ABO menunjukkan tidak ada perbedaan pada a = 0,05. Kesimpulan hasil penelitian ini adalah: tidak terdapat perbedaan dermatoglifi ujung jari tangan dalam hal tipe pala, jumlah semua triradius dan jumlah semua sulur pada mahasiswa FMIPA UI berdasarkan golongan darah sistem ABO."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1995
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Nugroho Danang Puruboyo
"Latar belakang. Salah satu komplikasi paling umum dari diabetes mellitus (DM) adalah penyakit arteri perifer (PAD). Diperkirakan PAD mempengaruhi sebanyak 20% orang di atas 65 tahun. Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya PAD. Golongan darah merupakan faktor risiko yang dikatakan mempengaruhi keparahan PAD namun belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan golongan darah ABO dengan derajat keparahan PAD pada pasien DM tipe II.
Metode. Studi cross-sectional dilakukan pada pasien DM tipe II yang didiagnosis dengan PAD dan datang ke Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo, Indonesia selama periode Januari 2022 hingga Juni 2022. Diagnosis PAD didasarkan pada pengukuran indeks pergelangan kaki-brakialis. (ABI). Tingkat keparahan PAD dikelompokkan menjadi PAD ringan (ABI 0,7-0,9) dan PAD sedang-berat (ABI <0,7). Pasien dikategorikan menurut golongan darah ABO menjadi golongan darah O dan golongan darah non-O (A, B, dan AB).
Hasil. Sebanyak 366 subjek dilibatkan dalam penelitian ini (A = 108, B = 52, AB = 12, O = 194). Tidak ada perbedaan kejadian PAD pada pasien PAD golongan darah O dan non golongan darah O (p = 0,780). PAD lebih parah pada golongan darah non-O (p = 0,041). Faktor risiko PAD yang lebih berat adalah periode diabetes yang lebih lama (OR 10,325 (95% CI 5,108-20,871), p < 0,001) dan hipertensi (OR 4,531 (95% CI 1,665-
12,326), p < 0,003).
Kesimpulan. Golongan darah ABO tidak berhubungan dengan terjadinya PAD. Golongan darah non-O dikaitkan dengan PAD yang lebih buruk di antara pasien DM tipe II. Faktor risiko lain untuk PAD yang lebih parah adalah periode diabetes dan hipertensi yang lebih lama.

Introduction. One of the most common complications of diabetes mellitus (DM) is peripheral artery disease (PAD). It is estimated that PAD affects as many as 20% of people over 65 years. Many factors are associated with the occurrence of PAD. Blood type is a risk factor that is said to influence the severity of PAD but has not been widely studied. This study aims to evaluate the relationship between ABO blood group type and the severity of PAD in DM type II patients.
Method. A cross-sectional study was performed on DM type II patients who was diagnosed with PAD and came to Cipto Mangunkusumo National Hospital, Indonesia during the period of January 2022 to June 2022. The diagnosis of PAD was based on the measurement of ankle-brachial index (ABI). The severity of PAD was grouped into mild PAD (ABI 0.7-0.9) and moderate-severe PAD (ABI <0.7). The patients were categorized according to the ABO blood group into O blood type and non-O (A, B, and AB) blood type
Results. A total of 366 subjects were included in the study (A = 108, B = 52, AB = 12, O= 194). There was no difference of PAD occurrence in O blood type and non-O blood type PAD patients (p = 0.780). The PAD was more severe in non-O blood type (p = 0.041). The risk factors of more severe PAD were longer period of diabetes (OR 10.325 (CI95% 5.108-20.871), p < 0.001) and hypertension (OR 4.531 (CI95% 1.665-12.326), p
< 0.003).
Conclusion. The ABO blood type was not associated with the occurrence of PAD. The non-O blood type was associated with worse PAD among DM type II patients. Other risk factors of more severe PAD were longer period of diabetes and hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>