Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 58063 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ira Dhirayati Sudarmadji
"ABSTRAK
Tujuan utama suatu pembedahan katarak adalah untuk mengembalikan penglihatan penderita seoptimal mungkin. Dengan berkembangnya teknik bedah mikro katarak serta makin majunya cara-cara mengatasi komplikasi bedah katarak, maka komplikasi pembedahan sudah banyak berkurang, sehingga perhatian para ahli bedah katarak mulai beralih pada masalah kelainan refraksi yang ditimbulkan pasca bedah.

Kelainan refraksi yang seringkali terjadi pasca bedah katarak adalah timbulnya astigmatisme yang tinggi sehingga rehabilitasi penglihatan pada mata afakia dengan kaca mata atau lensa kontak tidak dapat secepatnya terpenuhi.

Jaffe (1984) telah menjabarkan patofisiologi dan faktor-faktor penyebab astigmatisme pasca bedah katarak. Namun tetap terdapat kesulitan untuk mengurangi astigmatisme pasca bedah karena kurangnya pengetahuan bagaimana kurvatura kornea berubah dengan berselangnya waktu. Rowan dan Thygeson (dikutip dari 2) mendapatkan rata-rata pengurangan astigmatisme sebesar 2.5 Dioptri pada 79 penderita 6 minggu pasca bedah katarak, namun hubungan antara astigmatisme anal pasca bedah dan astigmatisme akhir sulit dicari. Disebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kurvatura kornea pada bedah katarak, di antaranya: (a) letak, luas dan bentuk insisi katarak, (b) jenis benang penutup luka dan (e) teknik penjahitan luka katarak (1-9).

Reading (1964) menganalisa besar dan lama perubahan kurvatura kornea pada kasus EKIK dengan insisi katarak yang besar dan kecil, yang dijahit dengan jahitan terputus. Dikatakan bahwa perubahan klasik astigmatisme pasca bedah berupa memendeknya radius kurvatura horisontal dan memanjangnya radius kurvatura vertikal terjadi pada 6.5% segera pasca bedah dan 42.3% pada bulan pertama pasca bedah. Perubahan rata-rata radius kurvatura horisontal pada penderita dengan insisi katarak yang besar berbeda bermakna antara pra bedah dan pasca bedah terutama pada bulan pertama. Singh dan Kumar (1976) meneliti perubahan keratometrik pasca bedah katarak yang dijahit dengan jahitan preplaced dan postplaced. Dikatakan bahwa pada minggu ke enam, hampir seluruh kasus mengalami perubahan berupa pendataran kurvatura terpendek dan pencembungan kurvatura terpanjang, serta astigmatisme yang terjadi dalam waktu tersebut kebanyakan mengarah ke astigmatisme yang tidak lazim.

Faktor teknik penjahitan luka katarak mempunyai mempunyai peranan yang berarti terhadap terjadinya perubahan kurvatura kornea pasca bedah. Aposisi luka yang baik setelah penjahitan akan mempercepat proses penyembuhan sehingga diharapkan kurvatura kornea tidak banyak berubah lagi. Beberapa teknik penjahitan luka katarak telah diperkenalkan oleh para ahli bedah mata, di antaranya penjahitan secara terputus (interrupted) dan jelujur (continuous). Jahitan jelujur dapat satu arah atau bolak-balik (jahitan tali sepatu) (1). Masingmasing cara penjahitan ini mempunyai keunggulan dan kerugian.

Teknik penjahitan terputus merupakan cara penjahitan yang sering dipakai karena teknik ini cukup mudah, kemungkinan penyebaran infeksi ke sepanjang luka kecil serta bila satu simpul terputus atau longgar, tidak akan segera menyebabkan terbukanya seluruh luka (10). Namun usaha untuk mengurangi perubahan kurvatura kornea dengan penjahitan seperti ini lebih sulit dilakukan karena kekuatan masing-masing jahitan seringkali berbeda pada tiap meridian kornea (8).

"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rayhani Fadhila
"Latar belakang: Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi masih menjadi penyebab tersering gangguan penglihatan di dunia terutama di area terpencil. Phoropter lipat merupakan alat baru yang diciptakan untuk memeriksa kelainan refraksi secara mandiri. Tujuan: Mengetahui validitas phoropter lipat dibandingkan dengan refraksi subjektif konvensional (baku emas) pada miopia dan astigmatisme pada populasi dewasa muda. Metode: Desain potong lintang pada pasien miopia dan astigmatisme yang berusia 18-<40 tahun. Seluruh subjek diperiksa status refraksinya dengan refraksi subjektif konvensional yang dilanjutkan dengan pengukuran refraksi menggunakan phoropter lipat. Validitas phoropter lipat dianalisis dengan kurva ROC dan Bland Altman. Hasil: Terdapat 134 subjek (203 mata) yang terdiri dari miopia (92,6%) dan astigmatisme (62,6%). Rerata sferikal ekuivalen (SE) antara refraksi subjetif konvensional dan phoropter lipat adalah -2,160D (1,68) dan -2,468D (1,64) pada miopia, sedangkan pada astigmatisme -2,252D (1,76) dan -2,585D (1,75). Phoropter lipat memiliki sensitivitas yang tinggi (96,77%) serta spesifisitas yang rendah (61,11%). Nilai area under the curve (AUC) phoropter lipat sangat baik, 0,966. Perbedaan rerata antara hasil refraksi subjektif dan phoropter lipat sekitar 0,308 – 0,359 dengan rentang LoA -1,562 – 2,219 pada miopia dan LoA -1,707 – 2,373 pada astigmatisme. Kesimpulan: Phoropter lipat memiliki validitas yang baik dalam mengukur kelainan refraksi berbasis SE penderita miopia dan astigmatisme dewasa muda.

Background: Uncorrected refractive error remains the main cause of vision impairment particulary in remote areas. The Folding Phoropter device is a new self-refraction tool that allows users to determine their own refractive error. Objective: To determine the validity of the folding phoropter compared with conventional subjective refraction (gold standard) in myopic and astigmatism young adults. Method: A cross-sectional study in myopic and astigmatism patients aged 18-<40years. All subjects had their refractive status checked using conventional subjective refraction followed by refraction measurements using a folding phoropter. The validity of the folding phoropter was analyzed by ROC curves and Bland Altman. Results: The 134 participants (203 eyes) enrolled consisted of myopia (92.6%) and astigmatism (62.6%). Mean spherical equivalent (SE) measured by conventional subjective refraction and folding phoropter were -2.160D (1.68) and -2.468D (1.64), respectively in myopia, while in astigmatism, mean SE were and -2.252D (1.76) and -2.585 D (1.75). The folding phoropter had high sensitivity (96.77%) and low specificity (61.11%). The folding phoropter had very good AUC, 0.966. The average difference between the results of subjective refraction and folding phoropter was around 0.308 – 0.359 with a range of LoA -1.562 – 2.219 in myopia and LoA -1.707 – 2.373 in astigmatism. Conclusion: The folding phoropter has good validity in measuring SE-based refractive errors in young adults with myopia and astigmatism."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsubrin Daramin
"Katarak adalah suatu keadaan patologis dimana pada lensa terjadi kekeruhan yang dapat berakibat menurunnya tajam penglihatan bahkan dapat menimbulkan kebutaan. Kebutaan yang disebabkan oleh katarak ini tak dapat dicegah akan tetapi dapat ditanggulangi dengan bedah katarak.
Di RSCM pada penderita-penderita pasca bedah katarak lazimnya diberikan steroid topikal dengan frekuensi penetesan umumnya 3 kali. Hal ini bukan tidak mungkin akan membuka peluang terhadap pemakaian dalam jangka waktu lama dengan segala akibat yang dapat ditimbulkannya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh steroid topikal terhadap edema kornea pasca bedah katarak serta lama pemakaiannya."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T58495
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzia Madona
"Tujuan: Membandingkan efek pemberian suplementasi vitamin C dan plasebo terhadap ketebalan komea pasca fakoemulsifikasi.
Metode: Eksperimental tersamar ganda, 32 penderita katarak densitas 3-4 yang akan menjalani prosedur fakoemulsifikasi dibagi menjadi 2 kelompok. Pasien perlakuan mendapatkan suplementasi vitamin C 1x500 mg/hari peroral 1 selama satu minggu sebelum operasi, 1 g intravena begitu selesai operasi dan 2x500 mglhari peroral (diminum setelah makan) selama 1 minggu pasca operasi sedangkan kelompok kontrol mendapatkan kapsul plasebo lx1 peroral 1 satu minggu sebelum operasi dan 2x1 peroral selama I minggu pasca operasi.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna ketebalan komea dan nilai suar antara kelompok perlakuan dibandingkan kelompok plasebo pada hari pertama dan ketujuh pasca operasi (p>0,05). Terjadi penurunan ketebalan kornea yang cukup signifikan dari hari pertama ke hari ketujuh pada kelompok vitamin C (p=0,029). Jumlah suar cenderung menetap di hari ketujuh pada kelompok vitamin C dan meningkat pada kelompok kontrol. Namun perubahan ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05).
Kesimpulan: Pemberian vitamin C secara sistemik tidak memiliki dampak terhadap ketebalan kornea pada hari pertama pasca fakoemulsifikasi. Suplementasi vitamin C mempercepat pemulihan ketebalan kornea pada had ketujuh pasca fakoemulsifikasi.

Objective: To evaluate the effect of vitamin C supplementation on corneal thickness after phacoemulsification.
Method: Double masked, prospective, randomized clinical trial of 32 patients with grade III-IV cataract. Patient divided into two groups. Subject group received a single dose of 500 mg vitamin C daily orally one week before phacoemulsification were done, I g vitamin C soon after operation finished and 500 mg vitamin C twice daily one week after operation. Control group received the placebo capsule once daily a week before operation and twice daily one week after surgery.
Result: Corneal thickness and flare measurement between two groups demonstrated no statistical difference at first and seventh day. In subject group, there was slightly significant decrease of corneal thickness at first 7 days (p=0,029). Flare tended to be stable in subject group and seemed to increase in control group. But this differences was not significant (p>0.05).
Conclusion: Supplementation of vitamin C has not showed any influence to corneal thickness at one day after surgery. Vitamin C supplementation seemed to facilitate recovery of corneal thickness at seventh day after surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace
"Tujuan: Mengetahui perubahan sensibilitas kornea akibat perbedaan ciri insisi pada prosedur bedah katarak insisi kecil manual dan fakoemulsifikasi serta pengaruhnya terhadap kuantitas dan kualitas lapisan air mata (LAM).
Baban dan Cara: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif observasional, dilakukan pada 30 penderita katarak senilis yang akan menjalani tindakan pembedahan insisi kecil manual atau fakoemulsifikasi dengan lensa tanam rigid polymethylmethacrylate secara konsekutif. Tindakan insisi kecil manual dilakukan di Kabupaten Buleleng Bali Utara, sedangkan tindakan fakoemulsfikasi di RSCM Jakarta. Kriteria inklusi adalah subyek yang tidak memiliki riwayal inflamasi pada segmen anterior, operasi atau trauma, bukan pemakai lensa kontak, bukan pemakai obat-obatan yang dapat mengganggu lapisan air mata Pemeriksaan dilakukan sebelum pembedahan, setelah hari pertama, ke-7 dan ke-15. Pemeriksaan meliputi sensibilitas kornea di lima lokasi menggunakan estesiometri Cachet-Bonnet, tear meniscus , Nonivasive break up time (NIBUT) dan pola corakan lipid menggunakan Tearscope plus' , serta uji Schirmer. Keluhan subyektifdicatat menggunakan kuesioner dari Ocular Surface Disease Index (OSDO.
Hasil: Sensibilitas menurun dimulai hari pertama setelah pembedahan sampai hari ke-15 pada kelompok fakoemulsifikasi, sedangkan pada kelompok insisi kecil manual ditemukan hanya di hari pertama setelah tindakan pembedahan. Sensibilitas kornea yang menurun ini tidak hanya pada lokasi insisi tetapi juga pada lokasi lainnya terutama pada kelompok fakoemulsifikasi, perbedaan antar kedua kelompok ini signifikan (p<0.05). Penurunan sensibilitas kornea pada kelompok fakoemulsifikasi ini mempengaruhi kuantitas LAM_ Kualitas LAM menurun pada kedua kelompok di hari pertama, dengan penurunan terbesar pada kelompok insisi kecil manual, kualilas LAM ini kembali meningkat mendekati normal sampai hari ke-I5. Keluhan subyektif kelompok fakoemulsifikasi ditemukan meningkat pada hari ke-7 dak ke-15 dan berhubungan dengan produksi air mata.
Kesimpulan: Insisi kornea di temporal pada pembedahan katarak fakoernulsifikasi menimbulkan penurunan sensibilitas kornea di lokasi insisi dan lokasi lainnya sampai hari ke-15. Penurunan sensibilitas kornea ini menyebabkan perubahan kuantitas dan kualitas LAM serta menimbulkan subyektif.

Purpose: To describe corneal sensitivity changes caused by different incision method in manual-small incision cataract surgery (manual-SICS) and phacoemulsification (phaco) and its influence to the tear film quantity and quality.
Material & Methods: A prospective observational study which examined thirthy subjects who planned to underwent cataract surgery with polymelhylmethacrylate intraocular lens concequitively. The manual-SICS group was held in North Bali and phacoemulsification in Jakarta. The inclusion criteria were subject without inflammation of anterior segment, contact lens wearer, history of eye surgery or eye trauma, nerve disorder and drugs which influence the tear film stability. The examination were prior to the surgery, first, seventh and the fifteenth day after surgery, including the five sites of the corneal sensitivity using Cochet-Bonner aesthesiometry, tear meniscus, nonivasive break up time (NIBUT) and lipid pattern using Tearseope plus-m and Schirmer test also were examined. The subjective complains were reviewed based on questionaire by Ocular Surface Disease Index (OSDI).
Results: Corneal sensitivity decreased in phaco group since the first day after surgery until the fifteenth day, while in the manual-SICS group the decreasing only at first day after surgery. Corneal sensitivity decreased not only at the incision site, but also on the other sites of the cornea in phaco group, the difference between two groups was significant (p<0.05). The aquous production decreased in phaco group on the seventh and fifteen days which correlated to the corneal sensitivity. The tear film quality decreased in both groups on the first day and much lower in manual-SICS group, the recovery was shown until the fifteenth day. The increasing subjective complains on phaco group correlated to the changes of the corneal sensitivity.
Conclusion: Temporal-side incision on phacoemulsification caused decreasing corneal sensitivity in the incision site and the other sites up till the 15 day. Decreasing corneal sensitivity caused changes of the tear film quantity and quality, also the complains.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermansyah
"ABSTRAK
Katarak adalah suatu keadaan dimana terdapat gangguan pa-
da lensa berupa hilangnya transparansi lensa (1,2,3,4). Katarak
ini dapat digolongkan dalam bentuk developmental seperti kata -
rak kongenital dan katarak yuvenil , katarak degeneratif , kata
rak komplikata , dan katarak traumatika (5,6).
Dalam keadaan sehari-hari yang paling sering kita jumpai adalah
katarak senil , yaitu katarak yang terjadi setelah usia perte -
ngahan , dan ini merupakan salah satu proses ketuaan (aging pro
ces). Oleh karena itu , maka katarak ini merupakan penyebab ke-
butaan pada orang tua yang tidak dapat dicegah , tetapi dapat
ditanggulangi (7,8).
Uji dikriminasi dua sinar merupakan salah satu uji untuk
menilai fungsi makula secara kasar . Pemeriksaan ini cukup se-
derhana dengan hanya menggunakan 2 sumber cahaya yang berasal
dari 2 sentolop kecil yang diletakkan dalam jarak tertentu da-
ri penderita , dan akan lebih baik lagi hasilnya bila mengguna
kan dua sinar berwarna (5,17). Shahab dari Penelitiannya berke-
simpulan bahwa uji diskriminasi dua sinar berwarna ternyata le-
bih baik dibandingkan uji diskriminasi dua sinar tidak berwar-
na dalam menilai fungsi makula (19) .
Pada penelitian ini akan dicoba membandingkan ketepatan
uji diskriminasi 2 sinar berwarna terhadap uji laser interfero-
meter untuk menilai fungsi makula dalam meramalkan tajam peng-
lihatan pasca bedah katarak .
Tujuan : Untuk membandingkan ketepatan uji laser interferometer ter-
hadap uji diskriminasi dua sinar berwarna dalam meramalkan ta -
jam penglihatan pasca bedah katarak ."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui pencegahan dan pengelolaan ektasia kornea pada lasik. Ektasi kornea pasca lasik adalah kelemahan kornea akibat ablasi stroma sentral atau pembuatan flap kornea sesudah operasi lasik. Kondisi ini merupakan komplikasi yang paling ditakuti ahli bedah refraktif. Kejadian ektasia kornea pasca lasik dapat dapat terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun pasca lasik. Indsidensinya tidak diketahui, diduga sekitar 1 per 100.000. Penegakan diagnosis dilakukan dengan menggunakan slitlamp tampak kornea menipis dan menonjol disertai gejala miop progresif, astigmat irreguler yang meningkat dan kelainan refraksi yang tidak dapat dikoreksi. Beberapa faktor risiko ektasia kornea antara lain riwayat keluarga, umur mda, miop tinggi ketebalan kornea kurang dari 500 mikron, asimetri kornea, abnormal topografi, keraktokonus dan rendahnya residual bed. Beberapa pilihan terapi yang dilakukan yaitu pemakaian lensa kontak RGP, pemakaian obat penurun tekanan intraokuler, pemberian C3-R. implantasi intacs dan tahap lanjut dengan lamelalr keratoplasti. Pemeriksaan per operatif yang lemgkap dan penemuan faktor risiko merupakan hal yang penting untuk menghindari terjadinya ektasi kornea pasca lasik. Prognosis pasien ektasi kornea pasca lasik adalah baik."
610 MUM 10:2(2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 1999
WI 520 Sas N99P
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Nurul Mustaqimah
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Prevalensi penyakit periodontal di Indonesia sangat tinggi. Cara penanggulangan penyakit ini yang umum dilakukan adalah ?flap operation? (FO). Penyembuhan FO membutuhkan waktu cukup lama. Beberapa peneliti menemukan berat penyakit periodontal erat kaitannya dengan produksi ?gingival crevicular fluid? (GCF), konsentrasi ?alkaline phosphatase? (ALP) dan protein dalam GCF. Mineral zinc (Zn) berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh di antaranya mempercepat proses penyembuhan luka bakar dan bedah mayor. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui manfaat suplementasi Zn per oral terhadap penyembuhan luka FO, dan apakah aktivitas ALP dapat digunakan sebagai parameternya. Sejumlah 23 subyek dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok A (12 orang) memperoleh kapsul ZnSO4 220 mg dan kelompok B (11 orang) mendapat plasebo. Masing-masing 3x1 sehari selama 14 hari. FO dilakukan pada hari ke 5. Pada hari ke 5, 12, 19, 26 (F0, K1, K2, K3) dilakkan pemeriksaan klinik dan laboratorik. Data klinik yang diteliti adalah ?papillary bleeding index? (PBI), kedalaman poket, dan kegoyangan gigi. Pemeriksaan laboratorik meliputi konsentrasi Zn plasma; besar produksi, konsentrasi protein dan aktivitas ALP GCF. Status gizi para subyek juga diperiksa.
Hasil dan kesimpulan : Status gizi subyek baik. Data PBI dan kegoyangan gigi kelompok A saat K2 menunjukkan kemaknaan penyembuhan klinik. Konsentrasi Zn menunjukkan kemaknaan penyembuhan klinik. Konsentrasi Zn plasma A selama penelitian (F0 149, K1 127, K2 117 ug/dl) walau tidak bermakna. Saat K1 produksi GCF B meningkat bermakna (p < 0,01) dan konsentrasi protein A menurun bermakna (p < 0,01). Didapatkan perbedaan bermakna (p < 0,01) dari konsentrasi protein A saat K1 dan K3 dibandingkan dengan B. Pemberian ZnSO4 per oral dapat mempercepat penyembuhan FO. Aktivitas ALP GCF tidak mempercepat penyembuhan FO. Aktivitas ALP GCF tidak dapat dinilai, sehingga penggunaan ALP GCF sebagai parameter penyembuhan tersebut belum dapat disimpulkan.

Scope and Method of Study: the prevalence of periodontal disease in Indonesia is still high. Flap operation (FO) is the common therapy for this disease is closely related to the production of the gingival crevicular fluid (GCF), alkaline phosphatase (ALP) and protein levvel in GCF. Zinc (Zn) is a mineral with various physiological functions eg to accelerate the healing process of burns and wounds after surgery. The purpose of this study is to investigate the benefit of Zn given orally to wound healing after FO and whther the GCF ALP could be used as the parameter of the healing. The 23 subjects were devided into 2 groups. Group A (12 persons) received 220 mg ZnSO capsuls and group B (11 persons) received placebo 3 ti d for 14 days. FO was done on day 5 of the study. On day 5, 12, 19, 26 (FO, K1, K2, K#) the following were examiner: papillary bleeding index (PBI), pocket depth, looseness of the tooth, plasma Zn level, GCF production, protein level, ALP activity in GCF and the nutritional status was assessed.
Findings and conclusions: all the subjects were in good nutritional status. PBI and the looseness of the tooth of group A on K2 showed significant clinical healing. Although not significantly different the plasma Zn level of group A (FO 208, K1 227, K2 209 ug/dl) was higher than group B (FO 149, K1 127, K2 117 ug/dl). The GCF production of group B on K1 was significantly increased (p <0,01) and GCF protein level of group A was significantly decreased (p < 0,01). The difference in protein level between group A and group B on K1 and K3 was significant (p<0,01). Thus ZnSO4 given orally accelerated the healing of the FO wound. The use of GCF ALP as a parameter for the healing of an FO wound could not yet be proven.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martyarini Budi S
"Perawatan luka dianggap sebagai prosedur yang menyakitkan dan menyebabkan kecemasan bagi pasien. Agen analgesia yang diberikan terkadang tidak dapat mengatasi nyeri proseduraldan memberikan efek samping yang merugikan. Intervensi dengan permainan elektronik berdasarkan pada distraksi yang digunkan untuk menghambat rangsang nyeri mengarah ke otak. Penelitian ini betujuan ingin mengetahui efek dari permainan elektronik terhadap nyeri pada pasien post ORIF. Metode penelitian menggunakan quasi-experimental with a post-test only with control group, dengan 12 sampel dalam tiap kelompok ( Kelompok kontrol dan Kelompok Intervensi). Penelitian ini mengunakan uji t independent sebagai uji statistik. Hasilnya, rata-rata skala nyeri pada pasien kelompok kontrol adalah 65.5 (SD.10.75) dan kelompok intervensi adalah 47.75 (SD 15.1). Penelitian ini mebuktikan bahwa permainan elektronik mempunyai ekef distraksi pada nyeri prosedur dan dapat digunakan sebagai pilihan untuk terapi komplementer pada nyeri akut.

The management of wound dressing is reported as painful, distressing and a cause of anxiety for the patient. The traditional method of pharmacologic analgesia is often insufficient to cover procedural pain, and it can have deleterious side effects. Intervention with electronic games is based on distraction or interruption in the way current thoughts, including pain, are processed by the brain.This study investigates whether playing a electronical game, decreases procedural pain in patient with post ORIF. The paper reports on the findings of aquasi-experimental with a post-test only with control group, in which 12 patient in each group (Control Group & Intervention Group).This study used t - independet test for the statistical test.The result showed average pain scores for control group was, 65.5 mm (SD 10.75), while the intervention group who having electronical games, the average pain score was 47.75 mm(SD 15.1). The study provides strong evidence supporting electronical games in providing distraction effect on the procedural pain, suggesting another option in complementary theraphy of patient acute pain."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30744
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>