Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91810 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Johannes Janto Thomarius
"ABSTRAK
Sejak dahulu kala infertilitas sudah merupakan masalah. Kisah-kisah tersebut juga bisa didapatkan dalam Al Qur'an dan Alkitab. Hippocrates (460 SM) sebagai bapak kedakteran telah menaruh minat dalam masalah infertilitas dan telah menulis "On Sterile". (IQ) Pada tahun-tahun akhir ini cukup banyak kepustakaan yang menuliskan timbulnya gangguan mental emosional dan ganngguan disfungsi psikoseksual pada pasangan infertil. Menurut Elstein (1975) pasangan infertil secara potensiil mudah mengalami abnormalitas dalam fungsi seksual mereka dan dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Infertilitas sebagai penyebab masalah psikoseksual.
2. Masalah psikoseksual yang mendasari infertilitas, seperti vaginismus, impotensi, ketidak sanggupan ejakulasi, ketakutan dan kecemasan.
3. Secara kebetulan sudah mengalami abnormalitas seksual, seperti ketidak mampuan orgasme (anorgasmia) dan ejakulasi prematur. (30)
Juga oleh Berger. (I976) dikatakan bahwa cara yang paling sederhana dan mudah dimengerti adalah adanya konflik psikologik yang dapat menyebabkan infertilitas dan kemudian berakibat pada penampilan seksual (sexual performance) (5). Masalah seksual sering diklasifikasi menurut gangguan penampilan. Pada laki-laki seringkali dijumpai adanya impotensi, ejakulasi prematur atau ejakulasi retarda, serta frekuensi hubungan seks yang berubah. Kekurangan atau kelebihan hubungan seks mungkin berpengaruh terhadap terjadinya infertilitas. Sedangkan pada wanita seringkali mengalami tidak adanya libido (frigiditas), hambatan orgasme dan vaginismus. Baik pada laki-laki maupun pada wanita maka gangguan psikoseksual dapat bersifat primer atau sekunder. (5)
Seibel dan Taymor (1982) menyatakan bahwa pengobatan dan evaluasi dari infertilitas membutuhkan sejumlah besar perhatian terhadap hubungan seks. (30) : Sedangkan Sandler (1959) menyatakan bahwa bukti jelas hubungan antara stres dan infertilitas dapat ditemukan pada pasien yang mengalami dispareunia, ketidak mampuan orgasme dan lain-lain gangguan seksual. (29) Kaplan (1982) menyatakan bahwa pasangan infertil memerlukan evaluasi psikiatrik. Disharmoni perkawinan atau konflik emosional bisa mempengaruhi keintiman hubungan seks, peran suami atau isteri dan dapat secara langsung mempengaruhi fungsi endokrin dan proses fisiologik seperti ereksi, eyakulasi dan ovulasi.(11)?
"
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fetia Nursih Widiastuti
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor sosio-ekonomi dan faktor gender dan perkawinan terhadap gangguan mental emosional wanita menikah di Indonesia. Menggunakan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2016, gangguan mental emosional diukur berdasarkan rincian pertanyaan yang terdiri dari 20 pertanyaan Self Reporting Questionnaire SRQ-20.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa persentase gangguan mental emosional tertinggi pada wanita tinggal di perdesaan, pendidikan SD kebawah, tidak bekerja, indeks kekayaan rendah, durasi perkawinan 21-30 tahun, suami melakukan kegiatan selain bekerja, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, usia perkawinan pertama kurang dari 18 tahun, jumlah anak lahir hidup lebih dari enam, dan status kesehatan buruk.
Hasil analisis inferensial menggunakan regresi logistik biner menunjukkan bahwa faktor sosio-ekonomi dan faktor gender dan perkawinan berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan mental emosional. Faktor sosio-ekonomi yang yang berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan mental emosional adalah tingkat pendidikan dan indeks kekayaan. Sedangkan status pekerjaan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap gangguan mental emosional wanita menikah. Faktor gender dan perkawinan yang berpengaruh signifikan terhadap gangguan mental emosional wanita menikah adalah durasi perkawinan, kegiatan suami dan kekerasan dalam rumah tangga oleh suami. Sedangkan usia kawin pertama secara statistik tidak signifikan berpengaruh terhadap gangguan mental emosional.

This study aims to determine the influence of socio economic factors and gender and marital factors to common mental disorders among married women in Indonesia. Using the 2016 National Women 39 s Life Experience Survey, common mental disorders were measured on Self Reporting Questionnaire 20 SRQ 20.
The result of descriptive analysis show that the highest percentage of common mental disorder in women living in rural areas, elementary school education, unemployment, low wealth index, duration of marriage 21 30 years, husband doing activities other than work, experiencing domestic violence, age at first marriage less from 18 years, the number of live birth children is more than six, and the health status is bad.
The results of inferential analysis uses binary logistic reggression show that socio economic factors and gender and marital factors significantly influence common mental disorders. The socio economic factors that significantly influence common mental disorders are the level of education and wealth index. While the status of work does not significantly influence the common mental disorders among married women. Gender and marital factors that significantly influence the common mental disorders among married women are the duration of marriage, husbands 39 activities and domestic violence by husbands. While age at the first marriage is not statistically significant effect on common mental disorders.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T50863
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Dodik Pramiasti
"Wanita dengan kanker serviks saat menjalani terapi umumnya tidak memikirkan masalah seksualitas dan merasa malu atau tabu membicarakannya. Mereka cenderung memusatkan perhatiannya pada kesembuhan penyakitnya, mengkhawatirkan efek samping terapi dan perjalanan terapinya. Tujuan dari penelitian ini adalah penerapan praktik keperawatan berbasis bukti melalui pemberian intervensi edukasi psikoseksual pada pasien kanker serviks yang sedang menjalani terapi kanker. Metode yang digunakan case study. Pemberian edukasi psikoseksual dengan pendekatan teori keperawatan self care Orem kepada lima partisipan kelolaan dengan diagnosa kanker serviks dan sedang menjalani terapi. Partisipan menjalani intervensi edukasi selama empat kali pertemuan yang dijadwalkan setiap minggu satu kali dengan durasi selama 30-60 menit dalam setiap pertemuan. Karakteristik partisipan adalah wanita dewasa muda, menikah, usia 26 – 45 tahun, dua orang sebagai ibu rumah tangga dan tiga orang bekerja. Hasil intervensi menunjukkan peningkatan pengetahuan tentang perawatan diri dan kepercayaan diri sebesar 39%. Penurunan tingkat kekhawatiran masalah seksualitas sebesar 50% dengan instrumen HARS. Meskipun pasien kanker serviks saat menjalani terapi kanker tidak memikirkan masalah seksualitas, tetapi edukasi psikoseksual tetap penting diberikan. Kesimpulan studi kasus ini adalah intervensi keperawatan edukasi psikoseksual pada wanita dengan kanker serviks terbukti meningkatkan pengetahuan tentang perawatan diri dan masalah seksual. Pemberian edukasi masalah seksualitas penting dilakukan sejak dini kepada pasien kanker serviks.

Women with cervical cancer during therapy generally do not think about sexuality and feel ashamed or taboo to talk about it. They tend to focus on healing their disease, worrying about the side effects of therapy and the processes of therapy. The aim of this study is to apply evidence-based nursing practice through the provision of psychosexual educational interventions in cervical cancer patients who are undergoing cancer therapy. The method used is case study. Providing psychosexual education using Orem's self care nursing theory approach to five managed participants with a diagnosis of cervical cancer and currently undergoing therapy. Participants underwent educational interventions during four meetings which were scheduled once a week with a duration of 30-60 minutes in each meeting. Characteristics of the participants were young adult women, married, aged 26-45 years, two people as housewives and three people working. The results of the intervention showed an increase in knowledge about self-care and self-confidence by 39%. Reducing the level of concern about sexuality problems by 50% with the HARS instrument. Even though cervical cancer patients undergoing cancer therapy do not think about sexuality, psychosexual education is still important. The conclusion of this case study is that psychosexual educational nursing interventions for women with cervical cancer are proven to increase knowledge about self-care and sexual problems. It is important to provide education on sexuality issues from an early age to cervical cancer patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, S.M.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
616.83 LUM g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbantobing, S.M.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
616.89 LUM a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Amin
"Skizofrenia merupakan salah satu contoh gangguan jiwa berat dan merupakan bentuk psikosis fungsional paling berat dan menimbulkan disorganisasi personalitas terbesar yang tidak mempunyai kontak dengan realita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran daerah tempat tinggal terhadap kejadian penyakit skizofrenia pada penderita gangguan jiwa yang dirawat inap di RS.Dr.Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan tahun 2007.
Hasil penelitian menemukan bahwa responden yang tinggal di perkotaan yang menderita penyakit skizofrenia sebanyak 155 orang (82.4%). Berdasarkan hasil analisis multivariat menunjukan bahwa penderita yang tinggal di perkotaan mempunyai resiko 3,22 kali untuk mengalami penyakit skizofrenia dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan, setelah dikontrol dengan tingkat pendidikan, yaitu dengan OR= 3,22 (CI; 1,99 - 5,46 ).

Schizophrenia is one of example of serious mental disorder and the most serious functional psychosis form and cause severest disorganization of personality which does not have any contact to reality.
This study aim to find out the role of residence area for schizophrenia disease to inpatient of mental disorder treated in Dr.Ernaldi Bahar Hospital South Sumatera Province year 2007.
Study result founds that respondent who live in the city area suffering schizophrenia as much as 155 people (82.4%). Based on multivariate analysis, it showed that sufferers who lived in city area have 3,22 times of risks to suffer schizophrenia disease compared with their counterparts in the village, after controlled by education level, with OR = 3,22 (CI; 1,99 - 5,46).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
T28809
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dery Abdurrachim Iskandar
"Ditinjau dari pendekatan Model kognitif, secara umum orang dengan Gangguan Depresi Mayor mengalami lima buah simtom Depresi yaitu simtom afektif, simtom, simtom kognitif, simtom motivasional, simtom fisik, dan simtom Behavioral. Model kognitif juga mengungkapkan tingginya kemungkinan terjadinya dependency pada orang dengan gangguan depresi sebagai salah satu bentuk nyata simtom behavioral Depresi Tingginya kemungkinan orang dengan gangguan depresi untuk mengalami dependency cenderung meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami interpersonal dependency, yaitu sebuah bentuk ketergantungan yang dialami oleh seseorang dengan menjadikan orang lain sebagai objek ketergantungan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan wawancara yang dilengkapi oleh metode observasi. Populasinya adalah orang-orang yang telah didiagnosis depresi mayor oleh psikolog maupun psikiater. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan theory based/operation construct sampling, di mana sampel dipilih dengan kriteria tertentu, berdasarkan teori atau konstruk operasional depresi yang termuat dalam DSM IV TR.
Diperoleh beragam gambaran interpersonal dependency pada orang dengan gangguan depresi yang dikelompokan dalam empat dimensi, yaitu kognitif, motivasional, afektif, dan behavioral di mana ditemukan peranan yang lebih dominan pada dimensi kognitif dan afektif. Selain itu diperoleh juga faktor-faktor ekstrinsik pada orang dengan gangguan depresi mayor berupa dalam proses terjadinya interpersonal dependency pada orang dengan gangguan depresi Mayor ,berupa peranan pola asuh orang tua.

Being analyze from The Cognitive Model approach, people who has major depression disorder are generally deliver through five depression symptoms. Those symptoms are affective symptom, cognitive symptom, motivational symptom, physical symptom and behavioral symptom. The Cognitive Model also elaborates the high possibility of dependency that could happen to people who has depression disorder as a frank appearance of behavioral symptom. This high possibility of dependency experienced by the ones who have major depression disorder tends to risen the possibility of interpersonal dependency, a form of dependency happened to certain people by making someone else as the object of the dependency.
This research process was using qualitative method with interview approach and observation method. The population of this research was those people diagnosed having major depression disorder by psychologist and or psychiatrist. The samples has chosen by using the theory based/operation construct sampling, where those samples picked out with certain criteria, based on the theories or depression operational construct stated in DSM IV TR.
During this research, various interpersonal dependency appearances are found in person who has diagnosed with major depression disorder, which could be classified to four dimensions: cognitive, motivational, affective and behavioral. We can also find the dimensions that have more dominant and stronger influence, which are cognitive dimension and affective dimension. Moreover, external factors could also be found occur to person with major depression disorder along with the forming of the interpersonal dependency, like parenting pattern role.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan perubahan mood antara rasa girang yang ekstrem dan depresi yang parah (Nevid, Rathus & Greene, 2003). Para penderita gangguan bipolar tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan emosi sehingga menyebabkan kualitas hidup mereka rusak (Goodwin & Jamison, 1990). Mereka sulit mempertahankan suatu hubungan, memiliki kinerja kerja yang buruk, dan sulit menjalankan fungsi sosial dengan baik.
Walaupun tidak bisa kembali normal, seorang penderita bipolar mampu mengusahakan agar dapat pulih. Coleman (1999, dalam Straughan & Buckenham, 2006) mengatakan pulih berarti kemampuan seseorang untuk mempertahankan kondisi stabil agar tidak terlalu 'tinggi' ketika manik atau terlalu 'rendah' ketika memasuki episode depresi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor pendukung pemulihan pada penderita bipolar dengan menggunakan metode wawancara mendalam. Sampel penelitian ini adalah tiga orang penderita bipolar yang telah mendapat diagnosis dari psikolog atau psikiater.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pemulihan yang dialami setiap subjek telah melalui beberapa kali peristiwa kambuh dan usaha bunuh diri. Dari peristiwa-peristiwa tersebut para subjek belajar untuk mengenali gejala-gejala gangguan bipolar sehingga mampu melakukan usaha pencegahan atau meminimalisir tingkat keparahan saat kambuh. Terdapat beberapa faktor pendukung proses pemulihan pada mereka yaitu nilai agama, dukungan keluarga, kehadiran teman dan obat-obatan.

Bipolar disorder is a symptom that is indicated by changing in mood extremely between manic and acute depression (Nevid, Rathus & Greene, 2003). The bipolar disorder sufferer do not have ability to control their emotion and it affects their life (Goodwin & Jamison, 1990). They will find difficulties in making relationship, having bad working habbits, and hard to carry out their social function.
Although the sufferer cannot back to the previous condition, but they can make an effort to be recovered. Coleman (1999, in Straughan & Buckenham, 2006) said that recovered here means condition that make someone can maintain the stability of their emotional condition.
The aim of this research is knowing supporting factors of recovery in bipolar disorder sufferer using intensive interview method. Objects of this research are three bipolar disorder sufferers who have been diagnosed by the psychiatrist.
The result indicate that during recovery process, the sufferers recurrenced from their illness for several times and even tried to commit suicide. From that experience, the sufferer learned how to analyst the bipolar disorder symptom so they can do preventive action against it. There are severals suppporting factors that can help recovery process, they are religion moral, family support, friends, and medicines."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
616.89 FAU f
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maidina Rahmawati
"ABSTRAK
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir Indonesia dikejutkan oleh maraknya kasus kejahatan seksual terhadap anak, beberapa kasus menimbulkan puluhan korban dari satu pelaku. Menyikapi hal ini, pihak perumus kebijakan memfokuskan perhatiannya kepada upaya pemberatan hukuman semata, pemerintah menganggap bahwa sanksi yang ringan merupakan penyebab kasus terus bertambah. Padahal jika kita mencermati secara lebih luas, terdapat beberapa tipe pelaku kejahatan seksual, salah satunya pengidap pedofilia. Pedofilia dalam ilmu psikologi dikenal sebagai suatu gangguan seksual yang membutuhkan treatment bukan penghukuman. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah kebijakan pidana tertentu perlu diterapkan bagi pelaku kejahatan seksual yang mengidap pedofilia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, perbandingan dan pendekatan kasus. Penelitian ini bersifat eksploratoris dengan menelusuri landasan teori pidana dan pemidanaan. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan pada sistem peradilan pidana modern tidak hanya memandang perbuatan namun juga pelaku. Perkembangan pemidanaan ini melahirkan ide rehabilitasi dan individualisasi pidana. Konsep rehabiltasi dan individualisasi pidana ini pun sejalan dengan Pasal 10(4) Konvensi Hak Sipil dan Politik dan UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menjelaskan bahwa pemidanaa bertujuan merehabilitasi dan mengembalikan pelaku kepada masyarakat, sehingga kebijakan khusus bagi pelaku yang mengidap pedofilia diperlukan untuk merehabilitasi dan mengembalikan pelaku kepada masyarakat.

ABSTRACT
Over the past five years, people around Indonesia watched in fear and heartbreak as the number of sexual offences against children has risen. The several cases cause more than one victims from each perpetrator. Legislators and executives zealously react this problem by tightening laws to regulate the heavier sentence. They contend that the insufficient punishment has significant role in the increasing number of sexual offense. In fact, if we see in a wider perspective, sexual offence against children is not merely about criminal act. Sex offenders are classificated into four types, one of them is pedophilic offender. In psychology, Pedophile is known as an abnormal attraction which requires treatment, not punishment. This research aims to investigate whether the distinctive criminal law policy should be regulated for pedophilic offender. This research is a normative juridical, with an approach in legislation, comparison and approaches in cases (case approach), also explores several number of theories of sentencing. Based on this research, it can be concluded that under the modern criminal justice system, both offense conduct and offender characteristic have significant role in sentencing decisionmaking. This concept formulated individualized tailoring of sentences and rehabilitative model which confirming to the concept of correctional board under Law No 12/1995 and rehabilitative model Article 10(4) ICCPR. Therefore, the distinctive criminal law policy for pedophilic offender should be regulated in order to rehabilitate and to resocialize the offenders.;"
2016
S64678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tinambunan, Iriawan Rembak
"[ABSTRAK
Gangguan bipolar dikenal memiliki kaitan dengan berbagai komorbiditas
klinis yang memengaruhi pekerjaan, kehidupan berkeluarga, dan fungsi
interpersonal. Duapertiga pasien dengan gangguan bipolar memiliki komorbid
yang akan memperburuk luaran gangguan bipolar dan dapat menganggu
penatalaksanaan terhadap penyakitnya. Belum ada penelitian yang
menggambarkan frekuensi komorbiditas fisik yang terjadi pada penderita bipolar
di Indonesia. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi sebagai rumah sakit jiwa tertua
di Indonesia juga belum memiliki data mengenai jenis dan frekuensi komorbid
fisik, mengingat bahwa rumah sakit ini juga menangani rawat inap umum di
samping rawat inap psikiatri
Metode:
Penelitian menggunakan rancangan potong lintang pada 100 orang dengan
Gangguan Bipolar di Poliklinik Jiwa Dewasa dan Bangsal Psikiatri R.S. Dr. H.
Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian ini menggunakan instrument Structured
Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders untuk menentukan Gangguan
Bipolar, dan kriteria diagnostik sepuluh komorbid fisik yang mengacu pada
kriteria diagnostik masing-masing komorbid fisik.
Hasil:
Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara umur
dengan terjadinya komorbid fisik yaitu p= 0.001(p di bawah 0.005). Pada analisis
tambahan didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemberian obat
polifarmasi/monoterapi dengan terjadinya komobid fisik terbanyak yakni
hipertensi (nilai p= 0,0001). Pada sepuluh komorbid fisik yang dinilai, migrain,
hipertensi dan dermatitis merupakan yang paling banyak.
Simpulan
Hipertensi, migrain dan dermatitis merupakan tiga besar komorbid fisik di
R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Terdapat hubungan bermakna antara umur
dengan terjadinya komorbid fisik. Pemberian obat polifarmasi/monoterapi juga
bermakna dalam terjadinya hipertensi. Diperlukan kewaspadaan psikiater dalam
mengawasi terjadinya komorbid fisik pada gangguan bipolar di layanan psikiatri.

ABSTRACT
Bipolar disorders are known to cause various clinical comorbidity that
may affect work, family and interpersonal function. Two third of bipolar disorder
have comorbidities that may worsen the outcome of bipolar itself and interfere
with it's therapy. There has not been sufficient study about physical comorbidities
in bipolar in Indonesia. As the oldest psychiatric hospital in Indonesia that treats
physical and psychiatric inpatients, Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital still lacks
data concerning types and frequencies of physical comorbidities.
Method:
This research uses cross-sectional design from 100 people with bipolar
disorder at Psychiatric Clinic and Psychiatric Ward at Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor Hospital. This research also uses the Structured Clinical Interview For the
DSM-IV Axis I Disorders to ensure the bipolar diagnosis, and criteria diagnostic
for ten physical comorbidities from each of their field.
Result:
There is a significant relationship in this research between age and
physical comorbidities p=0.001 (p below 0,005). In the additional analysis, there
are significant relationship in this research between polypharmacy / monotherapy
and hypertension (p=0,0001). Migraine, hypertension, and dermatitis were the
top three physical comorbidities in this research.
Conclusion:
Hypertension, migraine and dermatitis are the top three in our physical
comorbidities in Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital. Age has a significant
relationship with physical comorbidities. Polipharmacy and monotherapy also
has significances in hypertension. Therefore psychiatrist must be aware about the
possibility of physical comorbidity in the psychiatric care, Bipolar disorders are known to cause various clinical comorbidity that
may affect work, family and interpersonal function. Two third of bipolar disorder
have comorbidities that may worsen the outcome of bipolar itself and interfere
with it’s therapy. There has not been sufficient study about physical comorbidities
in bipolar in Indonesia. As the oldest psychiatric hospital in Indonesia that treats
physical and psychiatric inpatients, Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital still lacks
data concerning types and frequencies of physical comorbidities.
Method:
This research uses cross-sectional design from 100 people with bipolar
disorder at Psychiatric Clinic and Psychiatric Ward at Dr. H. Marzoeki Mahdi
Bogor Hospital. This research also uses the Structured Clinical Interview For the
DSM-IV Axis I Disorders to ensure the bipolar diagnosis, and criteria diagnostic
for ten physical comorbidities from each of their field.
Result:
There is a significant relationship in this research between age and
physical comorbidities p=0.001 (p below 0,005). In the additional analysis, there
are significant relationship in this research between polypharmacy / monotherapy
and hypertension (p=0,0001). Migraine, hypertension, and dermatitis were the
top three physical comorbidities in this research.
Conclusion:
Hypertension, migraine and dermatitis are the top three in our physical
comorbidities in Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital. Age has a significant
relationship with physical comorbidities. Polipharmacy and monotherapy also
has significances in hypertension. Therefore psychiatrist must be aware about the
possibility of physical comorbidity in the psychiatric care]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>