Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20834 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ida Bagus Rata
"Bali adalah propinsi terkecil dari Negara kesatuan Republik Indonesia. Luasnya hanya 5.632,86 km2 dan berpenduduk 2.632.323 jiwa, sesuai hasil sensus pada tahun 1987 yang sekitar 93,3 % memeluk agama Hindu (Kantor Statistik Propinsi Bali, 1988: 4 dan 31). Sejalan dengan ini, maka tidaklah mengherankan apabila dari ujung Barat sampai ke ujung Timur, juga dari ujung Utara sampai ke ujung Selatan pulau Bali, dipenuhi dengan pura yang merupakan tempat persembahyangan umat beragama Hindu.
Sebutan yang diberikan kepada Bali sebagai Palau Dewata atau Pulau Beribu Pura, adalah sesuai dengan kenyataan. Sebagai gambaran betapa banyaknya pura yang terdapat di Bali dapat dilihat dari catatan pada waktu gempa bumi dahsyat yaitu pada tahun 1917, akibat meletusnya Gunung Batur. Pada gempa tahun 1917 tersebut, jumlah Pura yang hancur adalah sebanyak 2431 buah, padahal daerah yang tertimpa malapetaka itu, hanyalah sepersembilan bagian dari pulau Bali (Swellengrebel, 1960: 12; Soekmono, 1974: 310). Catatan mengenai hancurnya pura waktu tahun 1917 tersebut, juga dikemukakan oleh Miguel Covarrubias, dalam bukunya Island of Bali sebagai berikut:
One day the Batur began to growl and in 1917 it burst into a violent eruption accompanied by earthquakes. The whole of the is-land was affected, and 65.000 homes, 2.500 temples, 1.372 lives were lost. The lava engulfed the village of Batur, but stopped at the very gate of the temple. The villagers took the miracle as a good omen and continued to live there. In August 1926, however a new eruption buried the sacred temple under the molten lava, this time with the lost of one life, an old woman who died of fright ". (Covarrubias, 1977: 5).
Pendataan pura yang dilakukan Pemerintah Daerah Bali hanya mencakup tiga macam pura yaitu: Sad Kahyangan, Dang Kahyangan dan Kahyangan Tiga yang ada pada masing-masing Desa Adat. Pada tahun 1987 tercatat Sad Kahyangan sebanyak 9 buah, Dang Kahyangan 534 buah dan Kahyangan Tiga 5.848 buah. Jadi jumlah ketiganya adalah sebanyak 6.391 buah (Kantor Statistik Propinsi Bali, 1988: 95).
Dalam pendataan itu tadi, tidak dicatat purapura jenis lain, seperti aura Keluarga, pura Subak yang jumlahnya lebih banyak. Banyaknya aura di Bali, memberi gambaran yang jelas betapa besar peranan agama Hindu bagi kehidupan masyarakatnya. Gambaran yang demikian diperkirakan mewarnai pula kehidupan masyarakat Jawa Kuno pada masa berkembangnya agama Hindu, dan agama Budha dengan candi-candinya.
Kalaupun kebudayaan Bali sekarang tidak dapat begitu saja dianggap sebagai lanjutan dari kebudayaan Jawa Kuno, namun tidak juga dapat diingkari bahwa kebudayaan Bali sekarang tidak dapat dipisahkan dari masa lampaunya. Corak kehinduannya merupakan benang merah yang menampakkan diri sepanjang masa.
Sehubungan dengan kenyataan di atas, maka peninggalan-peninggalan purbakala yang ada di Bali dalam jumlah yang cukup besar, mendapat tempat khusus dalam kehidupan masyarakat dan pada umumnya dikeramatkan. Peninggalan purbakala yang berupa bangunan, misalnya candi, petirtan, gua, diberi fungsi baru sebagai pura, sedangkan peninggalan yang berupa benda lepas kebanyakan disimpan dalam pura sebagai benda suci.
Dari jumlah pura yang demikian banyaknya, Pura, Besakih merupakan tempat persembahyangan yang terbesar di Bali. Pura Besakih adalah Kahyangan Jagat yang terpenting dan menjadi orientasi kesucian serta pusat kegiatan upacara keagamaan di Bali. Kahyangan Jagat berarti tempat bersemayamnya hyang?"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
D278
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stuart-Fox, David J.
Jakarta: KITLV; Pustaka Larasan, 2010
306 598 6 STU p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Pawilangan indik pujawali ring kahyangan Pura Besakih ini menguraikan tentang pera-turan ritual, pembagian amongan bagi delapan kabupaten di Bali, bentuk-bentuk sesajen dan sarana yang digunakan dalam rangka upacara pujawali di pura-pura lainnya di lingkungan Pura Besakih, stana-stana Dewa Nawasanga, jenis-jenis pecaruan, pujawali pancawali krama di Pura Besakih. Beberapa halaman di margin kiri naskah ini memuat cuplikan-cuplikan singkat yang menyebutkan tentang pembangunan kahyangan, upacara pamelaspas, penjor galungan, dan nama Empu Kuturan. Lempir no.20, 23, dan 28 tidak ditulisi secara penuh, karena adanya bintik-bintik putih pada daun ini sehingga tidak mungkin untuk ditulisi. Bintik-bintik putih ini muncul mungkin akibat daun lontarnya terlalu muda serta pengolahannya kurang baik sehingga serangga dapat merusaknya. Informasi penulisan teks maupun penyalinan naskah ini tidak ditemukan secara jelas."
[Place of publication not identified]: [Publisher not identified], [Date of publication not identified]
AH.26-LT 153
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Fox, David J. Stuart
Jakarta: Jayakarta Agubg Offset, 1982.
726.192 FOX o
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Transformasi nilai-nilai pendidikan kepemimpinan Hindu merupakan fenomena budaya pada saat ini, yang sering diwacanakan dalam pertunjukan wayang kulit Bali. Transformasinya lebih banyak lewat dialog tokoh-tokoh bawahan dengan teknik banyolan untuk menggoda penonton menjadi tertawa atau tersenyum dalam suasana kemasyarakatan."
2014
902 JPSNT 21:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Marie Wattie
"Pertautan antara agama dan adat istiadat di Bali merupakan hal yang penting karena Bali dan Hindu merupakan dua identitas yang tidak bisa dipisahkan. Bali menunjuk pada kategori etnis yang mempunyai adat-istiadat khusus. Demikian pula halnya dengan Hindu yang merupakan kategori agama yang ditandai oleh seperangkat sistem kepercayaan. Meskipun lembaga yang peduli terhadap HIV/AIDS tidak secara eksplisit menempatkan Hindu-Bali sebagai dasar kegiatan, pemahaman ini sangat berguna dalam penyelenggaraan program dan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, khususnya yang berkaitan langsung dengan masyarakat adat Bali. Hasil penelitian ini makin menegaskan argumentasi bahwa setiap program dan kegiatan penanggulangan HIV/AIDS harus melibatkan masyarakat adat melalui proses jejaring dengan berbagai lembaga lain secara multiperspektif, yaitu agama, adat, dan kesehatan. Dengan adanya hal tersebut, para ODHA merasa lebih diterima di dalam keluarga dan desa adat."
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"The implementation of religious ceremonies in Balinese Hindu communities is known for its rich symbolic order and the amount of money, time and energy devoted to them. However, the rapid social change taking place in Bali, particularly through the influence of globalization."
300 JWISOS 2:1 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Paku Alam X, 1962-
Yogyakarta: Perpustakaan Pura Pakualaman Yogyakarta, 2017
294.56 PAK a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
I Kade Sanjaya Duaja
"Sebelum terbentuknya majelis umat Hindu, di Bali sarat dengan pembaharuan. Pembaharuan dilaksanakan diberbagai aspek baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Organisasi-organisasi kecil baik yang berbau politik, agama maupun sosial pada bermunculan. Lebih - lebih pengakuan terhadap Agama Hindu terlambat datangnya. Agama Hindu baru diakui dan didudukkan sejajar dengan agama - agama lain di kementrian agama Republik Indonesia pada tahun 1958.
Sebelumnya Agama Hindu Bali dinyatakan sebagai aliran kepercayaan. Pengakuan agama Hindu Bali oleh pemerintah memerlukan waktu yang cukup panjang. Para tokoh di Bali dengan segala upaya ditempuh untuk pengakuan tersebut. Beberapa kali pertemuan dilakukan untuk menyatukan pikiran dalam rangka mengajukan tuntutan kepada pemerintah.
Bali adalah salah satu propinsi yang ada di Indonesia yang berdiri pada tahun 1958. Di pulau inilah berdiri sebuah majelis agama Hindu yang bernama Parisada Dharma Hindu Bali. Parisada ini berdiri adalah karena hilangnya sistem kerajaan di Bali yang digantikan oleh para bupati pada tahun 1957, pada setiap kabupaten. Sebelum adanya bupati urusan agama serta pemerintahan adalah tanggung jawab raja. Urusan pemerintahan sudah mendapatkan porsi yang digantikan oleh para bupati tetapi untuk urusan agama yaitu agama Hindu tidak mendapat perhatian. Dengan tidak adanya penanggungjawab secara pasti maka umat Hindu di Bali melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaannya sesuai dengan tradisinya masing - masing. Ketidakteraturan pelaksanaan kegiatan keagamaan di Bali juga mendorong untuk membentuk suatu lembaga yang mampu memberikan pembinaan, pengayoman dan pendidikan kepada umat Hindu di Bali. Dorongan dari generasi muda yang sudah mengenyam pendidikan baik di luar maupun di Bali sendiri untuk membentuk suatu lembaga, yang sangat diperlukan dalam rangka pembinaan, pendidikan dan pengayoman umat.
Sosok putra Bali seperti Ida Bagus Mantra (almarhum), Tjokorde Rai Sudartha dan Ida Bagus Oka Puniatmaja, yang mempunyai pengalaman sekolah di India berusaha untuk menata kembali kehidupan keagamaan di Bali dengan membentuk satu majelis yang bernama Parisada. Mengenai Parisada ini memang sudah diatur didalam Kitab Suci Agama Hindu Manawa Dharma Sastra. Parisada tercetus pada tanggal 23 Februari 1959 di Fakultas Sastra Universitas Airlangga Denpasar. Dua produk Parisada yaitu Piagam Parisada yang lahir di Fakultas Sastra tanggal 23 Februai 1959 dan Piagam Campuhan lahir pada tanggal 23 Nopember 1961 di Pura Gunung Lebah Campuhan Ubud Gianyar.
Parisada dalam perkembangannya sebagai majelis umat telah berhasil membuat lambang Parisada yang sangat sarat dengan makna yaitu menggambarkan kepengurusan Parisada baik Pesamuhan Sulinggih, Pesamuhan Welaka dan Pengurus harian. Semua tersirat dalam Lambang yang dibuat oleh Parisada itu. Pada tanggal 3 Oktober 1963 Parisada juga berhasil mendirikan Institut Hindu Dharma yaitu tempat mempelajari Dharma. Parisada ingin membuat kaderisasi sebagai pembina umat karena pembinaan sangat kurang kepada umat. Salah satu pola anutan bagi umat juga dibangun Parisada walaupun dalam renatang waktu yang cukup lama yaitu Pura Jagatnatha. Pura ini didirikan dari tahun 1964 dan selesai pada tahun 1975. Pura ini berdiri megah ditengah - tengah kota Denpasar. Pura ini dibangun selain untuk model Pura untuk umat di luar Bali, juga sebagai sarana untuk mempersatukan seluruh umat Hindu yang ada di kota Denpasar.
Dengan berkembangnya umat Hindu di berbagai daerah , berkembang pula nama majelis ini. Parisada Dharma Hindu Bali berkembang menjadi Parisada Hindu Dharma dan selanjutnya berkembang menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia. Perubahan nama ini disebabkan karena umat Hindu tidak hanya ada di Bali dan tidak di peluk oleh suku Bali saja tetapi sudah tersebar secara sporadis di seluruh wilayah Indonesia. Begitupula dengan sekretariat dari majelis ini berpindah - pindah yang dimulai dari Fakultas Sastra Universitas Airlangga, kemudian pindah di areal Pura Jagatnatha dengan membuat bedeng dan selanjutnya di jalan Ratna Tatasan Denpasar Bali.
Kepengurusan demi kepengurusan telah dilewati oleh majelis ini. Orang - orang yang duduk dalam kepengurusan Parisada sama sekali tidak mendapat gaji. Ini dilakukan semata - mata sebagai wujud bhakti yang dilandasi dengan ngayah(tUlus iklas). Sejak berdiri Parisada ini dipimpin oleh Ida Pedanda Gde Wayan Sideman dari tahun 1959 - 1968. Kemudian dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Kemenuh dari tahun 1968 - 1980. Ida Pedanda Gde Made Pidada Keniten dari tahun 1980 - 1986. Tahun 1986 - 1991 dipimpin oleh Ida Pedanda Ngurah Bajing dan selanjutnya dipimpin oleh Ida Pedanda Putra Telaga dari tahun 1991 - 1996. Semua sosok pemimpin majelis yang disebut dengan ketua umum adalah sosok yang berkarisma. Umat Hindu sangat yakin dengan pemimpinnya Semua ahli dalam Weda dan sastra -- sastra agama yang lain. Selain mampu melaksanakan pembinaan kepada urnat Hindu secara umum beliau juga sangat diyakini mampu mengadakan hubungan dengan Tuhan, dalam rangka mengemban serta membina umat Hindu.
Pembinaan yang dilakukan oleh majelis ini adalah dengan mendatangi umat ke daerah - daerah untuk diberikan penyuluhan agama. Buku buku agama sangat minim dikeluarkan dari majelis ini untuk disebarkan kepada umat karena masalah dana. Parisada tidak mempunyai sumber pendapatan yang tetap. Salah satu buku yang diterbitkan Parisada untuk pertama kalinya adalah "Dharma Prawerili Sastra". Pembinaan ini selalu dilaksanakan bersama - sama dengan Departemen Agama cq. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha baik di pusat maupun di daerah. Begitu pula dalam mengalasi permasalahan yang menyangkut keumatan di daerah - daerah Parisada selalu berjalan bersama-sama.
Dengan melihat kondisi umat di lapangan, Parisada juga dapat mengeluarkan Bhisama ( fatwa } alas usul dari Pesamuhan Walaka. Salah satu Bhisama Parisada yang pernah dikeluarkan adalah "Kesucian Pura". Bhisama ini dibuat karena mengingat Bali sebagai daerah pariwisata, dan Pura adalah sebagai tempat yang sangat disucikan oleh umat Hindu. Ini supaya sama - sama dipikirkan baik dari kalangan wisatawan maupun dari kalangan umat sendiri. Disinilah peran dari majelis ini untuk selalu tanggap dengan kondisi dilapangan sebagai pengayom umat."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11586
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kingsland, Venika Mehra
England: Global Books , 1997
294.5 KIN s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>