Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65128 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Petrus Irwan, 1958-
"Hampir di sepanjang sejarah hukum Pidana menunjukkan, problema mendasar yang terjadi dalam penanggulangan kejahatan adalah : Membina pelanggar hukum. Sebagai pelaku kejahatan, kerapkali diperhadapkan kepada berbagai pilihan, salah satu di antaranya adalah mentaati hukum. Ketaatan pada hukum dengan tidak melakukan kejahatan ulang setelah selesai menjalani hukuman merupakan indikator adanya perubahan sikap perilaku. Pembinaan pelanggar hukum (Treatment of offenders) di dalam Negara Hukum seperti Indonesia, tidak saja menjadi tanggung jawab keluarga, atau masyarakat semata. Di dalam kenyataan Pemerintah melalui Garis-garis Besar Haluan Negara telah menunjukkan keseriusan akan pentingnya pembinaan Manusia Indonesia Seutuhnya. Hal ini terlihat pada Garis-garis Besar Haluan Negara 1988-1993 yang telah ditetapkan MPR dengan Ketetapan Nomor II/MPR/1988. Di dalam Bab IV butir kedelapan mengenai Kesejahteraan Sosial ditegaskan lebih lanjut :
Pelayanan kesejahteraan sosial perlu di tingkatkan secara lebih terpadu melalui upaya pemberian bantuan dan santunan serta upaya rehabilitasi sosial. Pemberian bantuan dan Santunan Sosial bagi fakir miskin, anak-anak terlantar, yatim piatu, orang lanjut usia yang tidak mampu, korban bencana alam dan musibah lainnya serta rehabilitasi social bagi mereka yang tersesat terus di lanjutkan dan dilaksanakan sebagai upaya Pemerintah, Lembagalembaga Sosial dan masyarakat dan pada umumnya. Dalam hubungan ini dilanjutkan pula usaha-usaha untuk membantu penyandang cacat agar dapat memperoleh kesempatan kerja sesuai kemampuannya.
Memperhatikan isi dan makna Garis-garis Besar Haluan Negara tersebut, jelas terlihat adanya usaha untuk melakukan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, khususnya bagi pelanggar hukum melalui rehabilitasi sosial bagi mereka yang tersesat. Di rumuskannya suatu usaha Pelayanan Kesejahteraan bagi pelanggar hukum dengan istilah orang yang tersesat menunjukkan adanya suatu gejala baru yang positif dalam memperlakukan pelanggar hukum. Dengan demikian Pelanggar hukum tidak lagi di lihat sebagai manusia yang harus disingkirkan maupun di jatuhi hukuman tanpa memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan. Pelanggar hukum itu dilihat dan dipahami maupun diperlakukan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang harus di bina dibimbing ke jalan yang benar agar kaiak dapat menjadi warga yang sadar dan taat pada Hukum. Usaha selanjutnya yang diprioritaskan oleh Pemerintah untuk membina pelanggar hukum adalah melalui Lembaga Pemasyarakatan. ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Sahat F.
"Narapidana bagaimanapun merupakan bagian dari masyarakat Indonesia yang memiliki kontribusi besar bagi ketahanan sosial yang pada gilirannya akan memiliki kontribusi bagi ketahanan nasional. Perubahan pendangan tentang penjara dan pemidanaan dari konsep hukuman menjadi konsep pemasyarakatan menjadikan kelompok masyarakat ini merupakan aset masyarakat yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Mereka bagaimanapun merupakan bagian dari masyarakat kita.
Dengan perubahan konsep tersebut diatas pola pembinaan narapidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan menjadi tema yang sangat penting. Pola pembinaan dengan program-program yang menyangkut aspek mentalitas, kecerdasan, ketrampilan kerja dan religiusitas menjadi sebuah tuntutan yang penting. Departemen Kehakiman sejak lama memiliki program rehabilitasi bagi lembaga-lembaga pemasyarakatan dengan tujuan para peserta anak didiknya yang tidak lain adalah para terhukum pelaku tindak pidana bisa kembali ke masyarakat dan diterima masyarakat sekaligus bisa memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya tanpa harus melakukan tindak kejahatan lagi. Program-program pembinaan narapidana juga diharapkan agar para peserta didik yang sudah bebas bisa kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatan pidana lagi.
Indikator keberhasilan pembinaan di lembaga-lembaga pemasyarakatan, termasuk Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang Jakarta, yang menjadi lokasi penelitian ini, memang belum ada, kendati bisa dilihat dari jumlah pemberian asimilasi, remisi, cuti menjelang bebas dan bebas bersyarat, serta angka residivis yang cukup signifikan. Departemen Kehakiman belum memiliki mekanisme penilaian keberhasilan dan monitoring untuk para alumni anak didiknya yang sudah kembali ke masyarakat.
Penelitian ini ingin mengetahui sejauh mana pola pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang Jakarta memberikan implikasi yang signifikan terhadap perubahan perilaku narapidana baik yang masih di dalam lembaga pemasyarakatan maupun yang sudah bebas. Penelitian ini juga ingin mengetahui bagaimana dampak pembinaan narapidana terhadap ketahanan sosial masyarakat dan yang pada gilirannnya memiliki dampak kepada kondisi ketahanan nasional.
Dari penelitian lapangan ditemukan bahwa pola pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang sudah baik kendati ditemukan pula sejumlah hal yang menjadi kelemahan yang bisa mendorong ketidakberhasilan pembinaan. Demikian juga tidak ditemukan mekanisme evaluasi terhadap keberhasilan pembinaan, sebagaimana evaluasi yang dilakukan sekolah-sekolah terhadap anak didiknya."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 1994
364 PER
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Suwarto
"Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pelaksanaan proses pemasyarakatan narapidana di lembaga pemasyarakatan tersebut, dan kemudian mengetengahkan alternatif pemikiran sehubungan dengan peranannya dalam membina narapidana.
Penelitian ini bersifat deskriptif, dan pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan berupa studi dokumen, observasi, angket, dan wawancara terhadap narapidana, petugas, dan mantan narapidana. Penentuan responden dilakukan secara purposive, dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pembinaan yang dilakukan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, dan apakah pembinaan tersebut dapat bermanfaat bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat.
Berdasarkan prinsip-prinsip pokok pemasyarakatan, maka perlakuan terhadap narapidana haruslah bersifat manusiawi dan sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, agar tujuan pemasyarakatan itu dapat tercapai. Di dalam sistem pemasyarakatan program pembinaan narapidana ditujukan pada pembinaan kepribadian atau mental dan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian dalam prakteknya meliputi kegiatan keagamaan, penyuluhan hukum, pendidikan, olah raga, dan bergotong royong, sedangkan pembinaan kemandirian atau keterampilan meliputi kursus menjahit, montir radio/elektronika, pertukangan, kerajinan tangan, dan pertanian.
Kendala-kendala yang ada seperti dana, sarana, dan prasarana, merupakan faktor penghambat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan pembinaan. Pembinaan yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, dapat dikatakan kurang memadai. Hal ini disebabkan oleh faktor peraturan perundang-undangan, kualitas dan kuantitas petugas yang belum memadai, kurang mendukungnya sarana dan prasarana, serta kurangnya partisipasi masyarakat. Dilihat dari peranannya dalam membina narapidana, pembinaan di lembaga ini kurang bermanfaat bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yosafat Rizanto
"Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) lewat penelitiannya tentang ?the white collar crime? membuktikan bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas bawah, namun kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. Sementara itu, setiap perbuatan yang melanggar hukum pidana harus diberikan hukuman. Adapun hukuman yang diberikan tersebut harus mempunyai tujuan tertentu yang harus dapat dicapai melalui berbagai program pembinaan pada suatu Lembaga Pemasyarakatan dalam kerangka Sistem Pemasyarakatan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tugas dan fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan adalah melaksanakan pembinaan secara sama dan merata bagi seluruh narapidana lewat Sistem Pemasyarakatan sebagai metode pembinaannya. Akibatnya, pembinaan yang dimaksud tidak dapat diberikan kepada narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime). Hal ini disebabkan karena mereka merupakan narapidana dengan identifikasi khusus, baik dari tingkat intelektual maupun status sosial ekonomi. Padahal, agar dapat mencapai hasil yang optimal dari pelaksanaan pembinaan, sangat tergantung sekali pada metode dan program pembinaan itu sendiri.
Pada akhirnya, Lembaga Pemasyarakatan tidak mampu mewujudkan tujuan pembinaan yang menghendaki agar narapidana tidak melakukan tindak pidana lagi dan mengalami perubahan tingkah laku serta menjadi ?orang baik?. Dengan demikian muncul pertanyaan, metode pembinaan yang bagaimana yang sesuai dengan narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime) serta kendala apakah yang muncul bilamana pembinaan tersebut hendak dijalankan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan belum memiliki program pembinaan khusus bagi narapidana kasus tindak kejahatan kerah putih (white collar crime) yang disebabkan oleh beberapa kendala seperti program pembinaan, sumber daya manusia, program kerja, anggaran serta sarana dan prasarana. Untuk mengatasinya, diperlukan upaya untuk mempersiapkan pembinaan dengan metode dan program kerja khusus bagi mereka serta meningkatkan kualitas petugas Lapas, memenuhi anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembinaan itu sendiri.

Edwin Hardin Sutherland (1883-1950) through his research on ?the white collar crime? proves that crime is not only committed by those from lower class people, but crime is also committed by upper-class people. On the other hand, each and every act violating common law must be punished. But the punishment given must serve certain purposes which should be achieved through various development programs at a Correctional Institution.
According to Law No 12 Year 1995, the duties and functions of Correctional Institutions are to carry-out development equally and evently for all the prisoners through Correctional Systems as the development method. As a result, the intended development is not applicable to those convicted for white collar crime because they are prisoners with special identification, both from intelectual level as well as socialeconomic status.
Whereas, in order to achieve optimum result from the development, it is very much depended on the method and the development program itself. At the end, Correctional Institutions cannot achieve the development goals which meant to ensure no repeated crime by the prisoners and a change in their behaviour and become a ?good? man. Then comes the question on which development method that is suitable for those prisoners convicted for white collar crime and what are the obstacles arise from the implementation of this development method.
The research shows that Correctional Institutions do not have development programs dedicated for those prisoners convicted for white collar crime yet which caused by a few obstacles such as development programs, human resources, work programs, budget and infrastructure. To solve this issue, we need efforts to prepare a development program with special method and work programs dedicated for them and to improve the humn resource quality of Correctional Institutions, sufficient budget and infrastructure required by the development program.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26651
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Hendroyono
"Tujuan pembangunan nasional sebagairnana dirumuskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Ketetapan MPH-RI No.11/MPR/1988 adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib, dan damai.
Selanjutnya, diuraikan dalam landasan pembangunan nasional, bahwa hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Dari kedua rumusan tersebut di atas memperlihatkan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional Indonesia tidak hanya berorientasi kepada pembangunan fisik (materiil) semata, melainkan diarahkan pula pada pembangunan yang bersifat non fisik (spiritual) dengan hakikat pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Konsep GBHN mengenai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya itu merupakan cerminan dari kenyataan empiris yang terjadi pada negara-negara lain, bahwa pelaksanaan pembangunan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan materiil belum tentu dapat mensejahterakan masyarakatnya dan dalam pelaksanaannya pembangunan materiil tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya dukungan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Bahkan dapat terjadi, hasil-hasil dari pembangunan materiil tersebut tidak dapat dinikmati oleh masyarakatnya, karena kebudayaan masyarakat bersangkutan belum sesuai dengan hasil-hasil pembangunan tersebut.
Pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lainnya, mencakup ruang lingkup yang sangat luas, seperti sosial, budaya, hukum, pendidikan, ideologi, politik, pertahanan keamanan dan sebagainya. Pembangunan hukum sebagai salah satu bidang pembangunan, dirumuskan dalam GBHN sebagai berikut :
Pembangunan dan pembinaan hukum diarahkan agar dapat
1. Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang teiah dicapai.
2. Menciptakan kondisi yang lebih rnantap, sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati suasana serta iklirn ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan.
3. Lebih memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thomas Sunaryo
"Setiap bangsa dan negara, termasuk bangsa Indonesia, mempunyai cita-cita untuk mencapai tujuan nasionalnya. Upaya untuk mencapai tujuan nasional itu selalu terkait dengan aspek kesejahteraan dan keamanan. Di Indonesia, upaya untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945, dilaksanakan melalui pembangunan nasional secara terus menerus, menyeluruh, terarah dan terpadu, bertahap serta berencana.
Disadari bahwa pembangunan nasional, disamping telah menghasilkan kemajuan di berbagai sektor kehidupan masyarakat, juga membawa dampak ikutan antara lain semakin kompleks dan beragamnya masalah dan bentuk kejahatan, yang pada gilirannya apabila tidak ditangani secara baik akan menghambat pembangunan itu sendiri, dan melemahkan ketahanan nasional.
Sebagai negara berdasarkan hukum (rechtsstaat), salah satu upaya yang dilakukan oleh negara untuk mencegah dan menanggulangi kriminalitas, lebih jauh untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, adalah membina para pelanggar hokum yang oleh pengadilan dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara, di Lembaga Pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan narapidana yang berlaku dewasa ini, secara konsepsual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan dimasa lampau yang tujuannya adalah penjeraan atau pembalasan terhadap para pelaku tindak pidana.
Dalam sistem pemasyarakatan, penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan. Tujuan itu telah berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat (pihak yang dirugikan) maupun kepada pelaku tindak pidana (pihak yang merugikan), agar keduanya tidak melakukan tindakan hukum sendiri-sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartum Setiawan
"Penelitian ini membahas tentang pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Nusakambangan yang berlaku sejak tanggal 27 April 1964. Tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah agar narapidana yang telah menjalani masa hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) dapat hidup mandiri dan dapat diterima oleh masyarakat. Sistem ini bukan hanya berlaku bagi narapidana criminal, tetapi juga tahanan politik di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Nusakambangan. Penulisan ini diawali tahun 1964. ketika sistem ini mulai diberlakukan di Indonesia. Sedangkan pembahasan diakhiri pada tahun 1985, ketika Menteri Kehakiman RI memutuskan untuk menutup lima LP dari sembilan LP di Nusakambangan dikarenakan berbagai kendala yang muncul, seperti kondisi fisik bangunan yang sudah tidak memadai untuk dijadikan sebagai Lembaga Pemasyarakatan. Pengumpulan data yang dilakukan selama penelitian ini adalah dengan menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristic, kritik, interpretasi, dan histiografi. Pencarian data dilakukan dengan studi pustaka dan wawancara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran pelaksanaan sistem pemasyarakatan di pulau Nusakambangan. Penelitian ini juga membahas perbedaan pembinaan terhadap tahanan politik dan criminal. Mereka yang sedang menjalani pembinaan di pulau Nusakambangan akan terisolisasi secara geografis, tetapi juga mengisolisasi antara manusia dengan manusia yang lain. Hal ini tebukti dari penciptaan Nusakambangan sebagai suatu daerah berbahaya (danger area) yang harus dijauhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bergumul dengan sesama napi kelas berat adalah sebagai suatu tindakan terhadap penciptaan ruang-ruang kekerasan. Bahkan kekerasan akan melahirkan suatu konspirasi untuk melakukan kejahatan yang lebih besar lagi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
S12245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Toro Wiyarto
"1. Tugas Akhir ini berisi tentang rancangan untuk merubah mindset narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka terhadap NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia).
2. Latar Belakang Masalah
Dengan dijadikannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer yang kesekian kalinya Serta di bentuknya Kodam sendiri, dan diadilinya para GPK separatis ini, Serta perlakuan terhadap para terpidana Ex GAM ini secara adil dan manusiawi, diharapkan keamanan dan ketentraman di wilayah Nagro Aceh Darussalam menjadi membaik, dan Narapidana Ex. Gerakan Merdeka mengerti akan kesalahannya, serta tidak bergabung lagi dengan GAM setelah selesai menjalani masa pidana.
3. Belum adanya pola pernbinaan khusus terhadap narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka, mereka masih disamakan dengan pola pembinaan narapidana pada umumnya.
4. Maksud Penulisan Tugas Akhir adalah ; berusaha mencari jalan atau untuk merubah mindset bagi para narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka.
5. Tujuan Penulisan Tugas Akhir ini adalah ; diharapkan menghasilkan bentuk dan teknik serta metode pembinaan yang mendasari pola pembinaan narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka.
6. Konsepsi Sistem Pemasyarakatan adalah suatu sistem pembinaan, suatu methodologi dibidang "Treatment of Offénders?. Sistern Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan. konsekuensi adanya pidana penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan.
7. Pola pikir / mindset adalah bukan sekedar percikan pemikiran, perasaan, atau keyakinan tetapi desain muatan tertentu yang kita pilih menurut selera, lalu kita jadikan paradigma hidup.
8. Teori Belajar adalah Suatu teori yang mempelajari Perubahan dan kemampuan untuk berubah yang terkandung dalam belajar.
9. Teori Belajar Contiguous Conditioning (Pembiasan Asosiasi Dekat) sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dan respon yang relevan. Contiguous conditioning sering disebut sebagai teori belajar istimewa dalam arti paling sederhana dan efisien, karena didalamnya hanya terdapat satu prinsip yailu kontinguitas (contiguity) yang berarti kedekatan asosiasi antar stimulus-respon.
10. Teori belajar sosial adalah Memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks atomatis atas stimulus (S_R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.
11.Teori Kontrol Tentang Perilaku adalah ; usaha yang terbaik dari kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dan dengan melakukan itu bisa mendapatkan kontrol yang efektif atas hidup kita yang berasal dari dalam diri kita dan bukan dari kekuatan luar.
12 Basis Terapi realitas Menurut Glasser (1965) adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup kebutuhan untuk mencintai, dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita beruna baik bagi diri kita sendiri rnaupun bagi orang Iain.
13. Analisa masalah ; narapidana Ex.Gerakan Aceh Merdeka merasa bahwa dirinya bukanlah WNI dan mereka merasa dlrinya sedang di tawan oleh Pemerintah RI, sehingga mereka tidak mengakui bahwa dirinya bersalah, sedangkan dasar untuk pembinaan berjalan sesuai dengan Sistem Pemasyarakatan adalah bahwa narapidana mengerti dan menyadari mengapa dirinya dipidana.
14. Usulan Pemecahan Masalah yaitu menggunakan Terapi Realitas yaitu suatu bentuk modifikasi tingkah Iaku, terutama dalam penerapan-penerapan institusionalnya, yang pada dasarnya merupakan tipe pengondisian operan yang tidak ketat.
15. Alasan memilih Terapi Realitas karena terapi realitas menekankan aspek- aspek kesadaran, kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagairnana tingkah Iaku klien sekarang hingga dia tidak mendapatkan apa yang diinginkarmya, dan bagaimana dia bisa terlibat dalam suam rencana bagi tingkah laku yang berhasil yang dilandaskan tingkah laku yang bertanggungjawab dan realistis. Terapi realitas juga tidak melihat pemahaman sebagai suatu yang esensial untuk menghasilkan perubahan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>